Pages

Tampilkan postingan dengan label alam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label alam. Tampilkan semua postingan

Rabu, 01 April 2020

Menantang Maut di Sangihe


Perjalanan 90 menit ke pulau Marore tak asing bagi Recksan dan Karce. Sejak kecil mereka hidup di Matutuang, pulau kecil di Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara yang berada di ujung utara Sulawesi dan berbatasan dengan Provinsi Davao del Sur, Filipina.  Kali ini keduanya pergi memenuhi undangan rapat di pulau yang menjadi ibu kota kecamatan.

Seperti biasa, pumpboat, perahu kecil bermesin tempel yang ditumpangi harus melewati Pulau Mamanuk. Perairan yang rawan dengan ombak besar laut Pasifik yang sulit diprediksi.

“Tiba-tiba perahu terhempas dan terbalik. Karce tak bisa berenang. Dia menangis dan banyak minum air hingga stres dan seperti orang gila. Kami sudah putus asa,” kenang Recksan.

Recksan dan Karce berhasil terapung di puing perahu. Mereka terombang ambing ombak di tengah laut tanpa makanan dan minuman selama lima hari dan terseret arus keTarakan. Tapi, mereka berhasil diselamatkan kapal patroli TNI yang kebetulan melintas di sana. Selamat, meski perjalanan itu menyisakan trauma bagi Karce. Dan Recksan butuh dua pekan di rumah sakit untuk memulihkan kulitnya yang mengelupas akibat sengatan matahari.

Tragedi empat tahun lalu yang membuat nyawa nyaris melayang masih membekas. Namun, peristiwa itu tak memupus  Recksan untuk mengabdi sebagai Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) di Pulau Matutuang, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.

Recksan Salur (28) dan Karce Salensehe adalah orang pilihan warga di Kecamatan Kepulauan Marore menjadi Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa PNPM. “Hasil rapat di kampung dipilih kader laki-laki dan Karce terpilih sebagai kader perempuan. Awalnya saya tak tahu PNPM yang masuk ke kampung tahun 2009.”

Selain harus memahami ruh PNPM, penggerak program di daerah perbatasan, seperti di Sangihe, butuh keberanian. Medan yang harus ditempuh dan dihadapinya terbilang sulit. Mereka bahkan rela menantang maut hanya untuk bertemu warga, memimpin pertemuan di desa dan mensosialisasikan program nasional pemberantasan kemiskinan. Keterbatasan transportasi menjadi kendala terbesar.

Pumpboat menjadi moda transportasi andalan warga Matutuang, Marore, dan pulau lain di Kabupaten Sangihe. Dua cadik perahu kecil bermesin biasa digunakan melawan ganasnya ombak. Untuk sampai ke Tahuna, ibu kota Kabupaten Sangihe, harus berperahu hingga enam jam.

Sementara transportasi kapal perintis ke ibu kota kabupaten, hanya beroperasi tiap dua pekan. Di pulau Matutuang juga tak terjangkau sinyal telepon. Urusan antar dokumen ke kecamatan harus menitipkan pada nelayan. “Bahkan tak jarang menguras kantong pribadinya untuk biaya transportasi antar pulau. Ikut berkoordinasi ke Kecamatan Marore memfasilitasi masyarakat yang belum paham program PNPM,” tuturnya.

Selain tak subur, pulau-pulau di Sangihe banyak tak dihuni hingga infrastruktur minim dan kehidupan di wilayah terpencil ini sangat bergantung pada cuaca dan biaya tinggi. Pasokan energi pun menjadi persoalan. “Warga Pulau Matutuang dan Kawio mengusulkan ada generator listrik untuk  menerangi sekitar 100 rumah selama lima jam mulai pukul 18.00 WITA,” tutur lelaki yang hanya mendapat honor fasilitator Rp 200 ribu per bulan.

Selama medio 2009-2012, PNPM Mandiri Perdesaan mengakomodir kebutuhan warga dengan membangun talud pantai di Pulau Matutuang sepanjang 980 meter. pengadaan mesin diesel dan instalasi listrik berkapasitas 22,5 KVA, membangun 18 unit MCK, sumur bor tiga unit, tiga  kamar mandi, dan drainase sepanjang 417 meter.

Kehidupan sosial warga Kabupaten Sangihe yang terpengaruh dengan negara tetangga menjadi tantangan karena Kabupaten dihuni 150 ribu jiwa dan tersebar di 26 dari 105 pulau ini terbiasa hidup bersama.

“Sebagian warga tidak berbahasa Indonesia karena dulu tinggal di Filipina, pendidikan masih rendah. Adaptasi bahasa sering merepotkan. Ya, Kehidupan di sini sulit  tapi harus dijalankan karena ini pengabdian,” kata Recksan.

Lokasi Ekstrem

Dedikasi Jeremia P. Antara (30) selama tujuh tahun terakhir ini sebagai pendamping Lokal PNPM, Kecamatan Tabukan Tengah tak diragukan. Awalnya, dia diangkat menjadi Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) di Desa Bowongkali, Kecamatan Tabukan Tengah, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara dalam sebuah musyawarah desa.

Di daerah berbukit dikelilingi banyak pulau dan dikategorikan lokasi ekstrem dan terpencil ini, tugasnya membantu fasilitator kecamatan melaksanakan kegiatan PNPM. Perencanaan, pelaksanaan, hingga pelestarian program kerja membuatnya berkeliling menapaki perbukitan dan berpindah dari satu desa ke desa lain.

“Saya harus memimpin rapat desa, sosialisasi, menjaring usulan dan ide dari masyarakat. Jarak antardesa sangat jauh.  Terkadang harus naik pumpboat untuk menjangkaunya,” ujar lulusan SMKN 3 Tahuna yang biasa menempuh perjalanan 9 kilometer dari rumahnya di Bowongkali ke sekretariat PNPM Kecamatan Tahuna.

Sejak tahun 2007, kegiatan PNPM di Kecamatan Tabukan Tengah menyerap dana hampir Rp 9 miliar rupiah, yang digunakan untuk pembangunan akses jalan menuju Sekolah Dasar di Desa Bowongkali sepanjang 700 meter, talud pantai, talud sungai, jembatan, jalan desa, sarana air bersih, drainase, tambatan perahu dan bangunan pengolahan sagu yang mesin pencacahnya dirakit sendiri dari mesin perahu.

“Kami punya 12 pengolahan sagu di empat desa Kecamatan Tabukan Tengah. Ini daerah pertama di Sangihe yang punya pengolahaan sagu modern dan bisa mencacah sagu dalam hitungan menit. Warga membayar iuran untuk biaya pemeliharaan aset desa ini,”imbuh Jeremia.

Kegiatan non-fisik program simpan-pinjam perempuan juga digalakkan untuk menambah modal usaha dengan mengalokasikan 15 persen dana PNPM untuk 50 kelompok yang mengajukan pinjaman tanpa agunan dengan bunga 1,5 persen. Tingkat pengembaliannya dalam waktu setahun mencapai  95 persen.  

“Dari perencanaan, pembangunan, hingga pengelolaan dana yang transparan membuat warga antusias. Apalagi warga juga swadaya,” jelas pendamping lokal terbaik nasional untuk wilayah ekstrem dan terpencil dalam PNPM Mandiri Perdesaan 2013 ini.

Ketekunan Jeremia “terbayar” dengan perubahan. Tak hanya jalan mulus menuju sekolah,  ekonomi di wilayahnya juga berkembang. “Sekarang warga punya modal dagang ikan dan punya perahu. Bahkan ada yang punya toko.” (Arnee)

Rabu, 06 Desember 2017

Are We Walking Alone in Facing Climate Change?*

I was born and grew up in Semarang, capitol of Central Java. Yeah, Semarang is a coastal city. And many people hear about Semarang will definitely remember the local song titled "Semarang Kaline Banjir”. 

Peoples lives in Semarang really knew that Semarang has flooded by rob and abrasion. We usually called Rob and Abrasion for sea level rise and coastal erosion.
Every year. Flooding by Rob and abrasion became a common sight in my town. Even could have sunk the buildings, roads, markets, houses and many infrastructures. And the condition would get worse at the beginning of the month.

At the time I didn't have any personal concern to this coastal city because I moved to Jakarta for studied and worked. But 12 years ago, I decided to back to my hometown and started my career as a journalist on a local broadcast radio. I covered local issues, government, economy, and ceremonial activities. Yes, almost local journalists did just like I did. Worked every day as the boss wish. I almost did the same thing  everyday that really made me feels like a robot.

2 years later, I got an email invitation from Deutsche Welle Germany to submit a climate change story in Indonesia and became a fellow to covering climate change. This story will be published by  Deutsche Welle Radio  at COP 13 in Bali in 2007.

I was so glad even though I really didn't have any interesting ideas for my proposal to be approved. I didnt know coz Climate change was something that I never think deeply. I never learned before to understand this issue.

Then I remembered “Semarang Kaline Banjir”. Rob and abrasion became my idea of my stories on climate change. Then I went and traced the worst areas along the coast of Java that was hit by sea level rise and coastal erosion. I worked for 2 weeks, saw the impact, met local people, scientist, find the document researches.
And from my experience, I learned many things. Not only about reporting techniques, but also learned to understand the real climate change issues and brought to the local context.

Sayung, Demak, Central Java one of the village I visited, had been abandoned by almost the entire people. Yes, many villages along the north coastal of Java are threatened to disappear by coastal erosion.  I met the researchers who had a lot of research on the topic said that coastal erosion in Java occurred since 60 years ago. Land subsidence  and sea level rise reaching a quarter centimeter per year due to global warming. Massive buildings construction and groundwater suction also make the land subsidence  an average at 20 centimeters per year.

I went to Sayung many times, and the last time was the end of last year. Some area was getting worst than before.
Pak Nurohman, a local resident accompanied me to traced the village by perahu (a small boat) because it was the only way to reach the place. My memory back to the first time I came to the village 9 years before. At that time, half of the houses had been left by residents because the houses had been damaged, destroyed, just like living debris, and sunk by coastal erosion.

Several local residents still lived there. The fisherman went to the sea as the main livelihood. Economic activity was still alive, of course in a bad situation. The main road in the village was still passable by cars. I walked down and follow the path to the edge of the village.

But, what we saw was just only memory. Everything I've seen in this village 9 years ago was gone. I only saw the roofs of houses and mangrove trees that become the habitat of herons.

Yeah of course, The government also seeks to solve the problem. Build green belt, the breakwater with billions of fund, revitalization fish cultivation. And revitalizing the mangrove ecosystem that is considered the best solution.

The Ministry of Marine Affairs and Fisheries also restoring the coastline with Nature Building Program to built a coastal shelter natural waves breaker called hybrid engineering from twigs and wood. This technology was adopted from Netherlands and believed to be able to reduce coastal erosion rate and stabilize the coastline.

Many Efforts to adapt to self-help by local people with build breakwater, plants mangroves, make the stage house. But Its not comparable with the massive disaster in front of their eyes. Coastal erosion continued to crash the lives of hundreds of families in Village. Many villages in Sayung were sinking. Houses and infrastructure are destroyed, economic slumps, they lost livelihoods and social relations ties.

The local government considers that relocation to be the best choice for them. But is that the best choice? 
I was remembered Pak Sumadi, a local resident in Tanggultlare, Jepara, north coast of Java who I met. He showed his sunken village in the middle of the sea. He told me how hard to adaptand living in a new place. Not enough one time relocation, coastal erosion makes Saadah, an old woman in Jepara and other residents relocated up to 3 times. They live in a new village, which is 5 kilometers from the origin village. But that was 9 years ago. What happens right now? Honestly, I don't know.

Coastal erosion that occurred in Sayung area, Central Java for the last 20 years was estimated to be the largest in coastal areas in Indonesia. The area affected by erosion reached more than 20,000 hectares causing the coastline retreating along 5 kilometers from the coastline in 1994.

Some local people who choose to survive adapt, makes a village regulations to protect coastal areas with mangrove conservation and prohibition shoot herons. Developing mangrove ecotourism, mangrove culinary and mangrove batik to improve  economic life.

Adaptation to the nature also are done by farmers in Temanggung, in the highlands in the south of Java, those who fought for the droughts every years. They build fog harvesting to collect water sources like the farmer in Cuba did.  They work together with Gajahmada University students to apply and trial the first eco-friendly technology in Indonesia.

But it didn’t last long because there was no support from the local farmer's community and local government. Farmers seem to face it themselves.  fog harvesting tools from nets and bamboo were damaged. Farmers helpless and they failed to harvest vegetable crops and paddy.

Yes, Indonesia had a serious threatening and vulnerability the impacts of climate change. Not only sea level rise, disturbances in the agricultural sector, droughts and food security. But the loss of rainforests because of palm oil and forests fires are the greatest threat and challenge. It  increases Indonesia's greenhouse gas emissions significantly.

Harvest failures, food crises, and forest fire are common and become subscriptions every year. The disaster is actually in sight and it should not be regarded as ordinary. too much of a real impact.  But we seem to look that the existing problems not the impact of climate change because this happens with various other causes.

Nature will always seek to balance. But, is it fair that those who will suffer are who have been living in harmony side by side with nature?
Yeah, it probably will not happen if the media take the role and influence and become a bridge between citizens and governments to combat climate change.

The lack of media to covering climate change and environmental issues occurs because the media seem don’t care about this issue. The media industry only pursuing profits with attracts public attention with  politics, economics, and national issues than climate change. That’s  may be the reason why almost all media in Indonesia dont have an environmental rubrication. I observed only large companies such as Kompas daily with environmental rubrics combined with science technology and health. BBC Indonesia. Natgeo. Or mongabay.id and green radio that is focused on environmental issues.

This condition makes journalist lack ability and understanding to covering this specific issue. Journalists don’t have discourse and any concern. I said that because of many media not willing to spend money for journalists and no much space in the media to cover this issues. 

Yes, I am sure that the media keeps reporting on climate change and the environmental issue but within the framework of news events, such as a live report of floods and forest fires. Not look at climate change context.

Many efforts to reduce the impact of climate change in Indonesia, but so far not been maximized. It's as if we are in Indonesia running on our own. Farmers and fishermen adapt them selves. The central government and local governments also had policy making with they own way.

The other hand, many  journalists try to bring and present environmental and climate change issues by involved in organization. In Indonesia, we have many such like The Society of Indonesian Environmental Journalists and The Alliance of Independent Journalists. 

Coz, Not only having high vitality, Organization is one of the best way for Indonesian journalists to get connected, networking, and meet scientists who have a lot of research on climate change. And provides many opportunities for journalists to improve their skills with training, workshops, fellowship, assistance, and advocacy if journalists are in trouble in the field.

I know it is not easy but it's not difficult either. The Press become the most effective medium to awake peoples to makes them realize and aware of the worst effects of climate change. I am sure if journalists and the media have discourse and concern that this is important.  They can do this.


Journalists and media have a role to inform, to voice, and to give understanding to the public that climate change is real. Climate change is around us, and impact on us. This is a challenge for us to hand in hand. Not walking alone in facing climate change! 


*My Presentation in public lecture at Regional Conference, Getting The Message Across “Telling the Story of Global Change: Better Journalistic Reporting on Climate Change and Sustainable Development”, 8 - 10 November 2017, in Kuala Lumpur, Malaysia.
UNESCO in partnership with Nottingham University and The Universiti Sains Malaysia.

Selasa, 09 September 2014

Menantang Maut di Sangihe



Perjalanan 90 menit ke pulau Marore tak asing bagi Recksan dan Karce. Sejak kecil mereka hidup di Matutuang, pulau kecil di Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara yang berada di ujung utara Sulawesi dan berbatasan dengan Provinsi Davao del Sur, Filipina.  Kali ini keduanya pergi memenuhi undangan rapat di pulau yang menjadi ibu kota kecamatan.

Seperti biasa, pumpboat, perahu kecil bermesin tempel yang ditumpangi harus melewati Pulau Mamanuk. Perairan yang rawan dengan ombak besar laut Pasifik yang sulit diprediksi.

“Tiba-tiba perahu terhempas dan terbalik. Karce tak bisa berenang. Dia menangis dan banyak minum air hingga stres dan seperti orang gila. Kami sudah putus asa,” kenang Recksan.

Recksan dan Karce berhasil terapung di puing perahu. Mereka terombang ambing ombak di tengah laut tanpa makanan dan minuman selama lima hari dan terseret arus keTarakan. Tapi, mereka berhasil diselamatkan kapal patroli TNI yang kebetulan melintas di sana. Selamat, meski perjalanan itu menyisakan trauma bagi Karce. Dan Recksan butuh dua pekan di rumah sakit untuk memulihkan kulitnya yang mengelupas akibat sengatan matahari.

Tragedi empat tahun lalu yang membuat nyawa nyaris melayang masih membekas. Namun, peristiwa itu tak memupus  Recksan untuk mengabdi sebagai Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) di Pulau Matutuang, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.

Recksan Salur (28) dan Karce Salensehe adalah orang pilihan warga di Kecamatan Kepulauan Marore menjadi Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa PNPM. “Hasil rapat di kampung dipilih kader laki-laki dan Karce terpilih sebagai kader perempuan. Awalnya saya tak tahu PNPM yang masuk ke kampung tahun 2009.”

Selain harus memahami ruh PNPM, penggerak program di daerah perbatasan, seperti di Sangihe, butuh keberanian. Medan yang harus ditempuh dan dihadapinya terbilang sulit. Mereka bahkan rela menantang maut hanya untuk bertemu warga, memimpin pertemuan di desa dan mensosialisasikan program nasional pemberantasan kemiskinan. Keterbatasan transportasi menjadi kendala terbesar.

Pumpboat menjadi moda transportasi andalan warga Matutuang, Marore, dan pulau lain di Kabupaten Sangihe. Dua cadik perahu kecil bermesin biasa digunakan melawan ganasnya ombak. Untuk sampai ke Tahuna, ibu kota Kabupaten Sangihe, harus berperahu hingga enam jam.

Sementara transportasi kapal perintis ke ibu kota kabupaten, hanya beroperasi tiap dua pekan. Di pulau Matutuang juga tak terjangkau sinyal telepon. Urusan antar dokumen ke kecamatan harus menitipkan pada nelayan. “Bahkan tak jarang menguras kantong pribadinya untuk biaya transportasi antar pulau. Ikut berkoordinasi ke Kecamatan Marore memfasilitasi masyarakat yang belum paham program PNPM,” tuturnya.

Selain tak subur, pulau-pulau di Sangihe banyak tak dihuni hingga infrastruktur minim dan kehidupan di wilayah terpencil ini sangat bergantung pada cuaca dan biaya tinggi. Pasokan energi pun menjadi persoalan. “Warga Pulau Matutuang dan Kawio mengusulkan ada generator listrik untuk  menerangi sekitar 100 rumah selama lima jam mulai pukul 18.00 WITA,” tutur lelaki yang hanya mendapat honor fasilitator Rp 200 ribu per bulan.

Selama medio 2009-2012, PNPM Mandiri Perdesaan mengakomodir kebutuhan warga dengan membangun talud pantai di Pulau Matutuang sepanjang 980 meter. pengadaan mesin diesel dan instalasi listrik berkapasitas 22,5 KVA, membangun 18 unit MCK, sumur bor tiga unit, tiga  kamar mandi, dan drainase sepanjang 417 meter.

Kehidupan sosial warga Kabupaten Sangihe yang terpengaruh dengan negara tetangga menjadi tantangan karena Kabupaten dihuni 150 ribu jiwa dan tersebar di 26 dari 105 pulau ini terbiasa hidup bersama.

“Sebagian warga tidak berbahasa Indonesia karena dulu tinggal di Filipina, pendidikan masih rendah. Adaptasi bahasa sering merepotkan. Ya, Kehidupan di sini sulit  tapi harus dijalankan karena ini pengabdian,” kata Recksan.

Lokasi Ekstrem

Dedikasi Jeremia P. Antara (30) selama tujuh tahun terakhir ini sebagai pendamping Lokal PNPM, Kecamatan Tabukan Tengah tak diragukan. Awalnya, dia diangkat menjadi Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) di Desa Bowongkali, Kecamatan Tabukan Tengah, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara dalam sebuah musyawarah desa.

Di daerah berbukit dikelilingi banyak pulau dan dikategorikan lokasi ekstrem dan terpencil ini, tugasnya membantu fasilitator kecamatan melaksanakan kegiatan PNPM. Perencanaan, pelaksanaan, hingga pelestarian program kerja membuatnya berkeliling menapaki perbukitan dan berpindah dari satu desa ke desa lain.

“Saya harus memimpin rapat desa, sosialisasi, menjaring usulan dan ide dari masyarakat. Jarak antardesa sangat jauh.  Terkadang harus naik pumpboat untuk menjangkaunya,” ujar lulusan SMKN 3 Tahuna yang biasa menempuh perjalanan 9 kilometer dari rumahnya di Bowongkali ke sekretariat PNPM Kecamatan Tahuna.

Sejak tahun 2007, kegiatan PNPM di Kecamatan Tabukan Tengah menyerap dana hampir Rp 9 miliar rupiah, yang digunakan untuk pembangunan akses jalan menuju Sekolah Dasar di Desa Bowongkali sepanjang 700 meter, talud pantai, talud sungai, jembatan, jalan desa, sarana air bersih, drainase, tambatan perahu dan bangunan pengolahan sagu yang mesin pencacahnya dirakit sendiri dari mesin perahu.

“Kami punya 12 pengolahan sagu di empat desa Kecamatan Tabukan Tengah. Ini daerah pertama di Sangihe yang punya pengolahaan sagu modern dan bisa mencacah sagu dalam hitungan menit. Warga membayar iuran untuk biaya pemeliharaan aset desa ini,”imbuh Jeremia.

Kegiatan non-fisik program simpan-pinjam perempuan juga digalakkan untuk menambah modal usaha dengan mengalokasikan 15 persen dana PNPM untuk 50 kelompok yang mengajukan pinjaman tanpa agunan dengan bunga 1,5 persen. Tingkat pengembaliannya dalam waktu setahun mencapai  95 persen.  

“Dari perencanaan, pembangunan, hingga pengelolaan dana yang transparan membuat warga antusias. Apalagi warga juga swadaya,” jelas pendamping lokal terbaik nasional untuk wilayah ekstrem dan terpencil dalam PNPM Mandiri Perdesaan 2013 ini.

Ketekunan Jeremia “terbayar” dengan perubahan. Tak hanya jalan mulus menuju sekolah,  ekonomi di wilayahnya juga berkembang. “Sekarang warga punya modal dagang ikan dan punya perahu. Bahkan ada yang punya toko.”