Pages

Tampilkan postingan dengan label disiksa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label disiksa. Tampilkan semua postingan

Jumat, 27 Desember 2019

Penantian Para Penyintas Jugun Ianfu


Usianya sudah menginjak 87 tahun. Tapi gurat kecantikan masih terlihat jelas di wajahnya yang tirus. Malah senyum selalu mengembang di bibirnya kala menceritakan kesehariannya di sebuah rumah sederhana berlantai tanah.

Di ruang tengah rumahnya, hanya ada tikar lusuh. Dan Paini –begitu dia dipanggil, bertukar cerita dengan saya sembari memutar kembali ingatannya ke masa pendudukan Jepang.

Kata dia, di kurun waktu 1942-1945, serdadu Jepang datang ke kampungnya di Sidomukti, Kopeng, Jawa Tengah. Mereka kemudian merekrut para perempuan dan lelaki muda untuk kerja paksa atau romusha. Dan Paini, adalah satu di antaranya yang baru berusia 13 tahun.
“Waktunya istirahat nggak boleh istrahat, harus kerja. Dikasih pekerjaan apapun saya harus mau, kalau nggak mau pasti saya dipukuli. Bukan hanya kerja angkatin batu, tapi juga angkatin tanah," kata Paini lirih.

"Sudah selesai di dapur, saya di disuruh minta makan di kampung lain. Disuruh ngemis-ngemis minta makanan. Saya jalanin itu supaya selamat, jangan sampai dipukuli. Makan pun kalau saya nggak cari sendiri saya nggak bisa makan.”

Di tangsi militer Kamp Garuda –milik Jepang itu, Paini kecil dipaksa bekerja tanpa imbalan uang dan makanan.

Dia sendiri bahkan tak berdaya ketika dilarang pulang ke rumahnya hanya untuk menengok keluarga atau suami yang baru setahun dinikahi. Dan yang kian membuatnya murka, tatkala dirinya dipaksa melayani hasrat seksual seorang pria berbaju kimono.
“Saya tidak tahu kalau ada orang di belakang saya. Saya lalu disikep (peluk dari belakang-red). Dibekap mulutnya. Dipaksa, saya dipaksa suruh melayani (tentara Jepang). Saya duduk sendirian sambil menangis.”

Paini, adalah saksi hidup sekaligus korban perbudakan seks tentara Jepang pada Perang Dunia ke-2. Korban kejahatan tentara Negeri Matahari Terbit itu membentang dari Korea Selatan, Tiongkok, Taiwan, Timor Leste, hingga Indonesia. Dan diperkirakan korbannya lebih dari 200 ribu perempuan.
Penderitaan Paini, berlangsung kira-kira satu setengah bulan. Hingga kemudian, dua serdadu Jepang bernama Haruka San dan Handika Motto, menyelamatkannya.
“Saya menjerit, lalu ada yang mendengar dan menolong saya. Saya ingat nama yang menolong yaitu Haruka San dan Handika Motto.”

Tapi kepulangannya dari Kamp Garuda, tak disambut gembira keluarganya. Paini justru disangka selingkuh dengan tentara Jepang hingga akhirnya diceraikan sang suami.

Paini lantas menikah untuk kali kedua, tapi usia perkawinan itu tak bertahan lama.
“Waktu ada pelecehan itu, saya terus diceraikan oleh suami. Baru lima bulan orangtua saya menerima lamaran lagi. Baru tujuh bulan, saya diceraikan lagi sama suami yang kedua."

***

Kegetiran Paini, juga dialami Sri Sukanti. Tatkala umurnya sembilan tahun dan masih duduk di bangku Sekolah Rakyat –kini Sekolah Dasar, ia dibawa paksa tentara Jepang untuk melayani hasrat seksual Ogawa –seorang komandan regu.

Di kediaman sekaligus kantor Ogawa, Sri Sukanti dikurung. Di dalam Gedung Papak, Grobogan –yang merupakan bekas bangunan Belanda itulah, Sri kecil tak berdaya melawan tubuh besar lelaki bermata sipit tersebut.
“Ayah saya semaput (pingsan-red) lihat saya dibawa. Dikira mau dibunuh. Waktu diambil Jepang saya diajak tidur, bokong dielus-elus,” ucap Sri Sukanti dengan bibir bergetar.

Atas perintah Ogawa pula, penjagaan ketat dilakukan. Sehingga tak ada yang bisa menolongnya.
“Yang jaga dua, di depan pintu. Saya dikunci di kamar, dijaga kalau ada yang nengok-nengok dibentak sama yang jaga. Jepang itu memang kejam.”

Enam bulan, Sri kecil menjadi budak seks tentara Jepang Ogawa. Ia pun masih ingat dirinya disuntikkan obat anti-hamil berkali-kali di pinggul kiri sebelum akhirnya dipulangkan ke orangtuanya.
“Iya biar nggak punya anak. Suntikannya nih..nih.. Waktu disuntik satu minggu nggak bisa bangun.”
Suntikan itu rupanya berdampak panjang. Ia tak bisa memiliki anak meski telah menikah dua kali. Pertama dengan pria asal Semarang, namun berpisah. Dan kini, dengan Sidik Tonys yang setia mendampinginya.

Catatan Komnas HAM menyebut, di Indonesia ada sekitar dua ribu perempuan korban perbudakan seks tentara Jepang atau disebut jugun ianfu.
Dan hingga kini, belum ada permintaan maaf dari pemerintah Jepang. Negeri itu belakangan hanya bersedia meminta maaf pada ianfu yang berasal dari Korea Selatan, Tiongkok.

***
Kembali ke Paini. Perih akibat perlakuan tentara Jepang, takkan mungkin dilupakan.
“Saya dilecehkan dengan penjajah itu. Malu saya.. memalukan. Biarpun saya dilecehkan, biarpun saya tidak berguna, jiwa saya itu nggak suci lagi saya terima. Tapi saya itu kalau ingat, menyesal sekali, sakit hati. Kalau malam nggak bisa tidur, ingat jiwa saya itu sudah tidak suci lagi, sudah tidak berguna..”

Dan kini, janda empat anak ini tinggal bersama anak perempuan sulungnya di rumah sederhana berlantai tanah itu.

Permintaan Maaf dan Kompensasi
Di rumahnya sederhana –berlantai tanah di Sidomukti, Kopeng, Jawa Tengah, Paini tinggal bersama anak perempuan sulungnya.
Suaminya, meninggal 20 tahun lalu. Maka dia harus menghidupi dirinya sendiri dan sang anak, dengan menjadi buruh lepas; mengisi pot sayuran. Dari situ, dia bisa mengantongi 50 ribu dari lima ribu pot.

Tapi jika tak ada pesanan, Paini hanya mengandalkan pemberian anak-anaknya yang juga serba pas-pasan.
“Satu pot kalau sama ngeranjangi itu cuma seribu, satu pot. Kan masih untung, buat beli beras sekilo, sayurnya cari sendiri di tempat keponakan. Masih terimakasih nenek masih sehat,” imbuh Paini.
Di usianya yang sudah 87 tahun, dia juga masih bisa menyusuri jalan kampung mencari kayu bakar dan rumput.

Perempuan sepuh lain, Sri Sukanti –yang hidup sebatang kara, kini bergantung pada uluran tangan orang sekitarnya. Sementara suaminya yang dulu bekerja sebagai kuli bangunan, tak bisa lagi diandalkan.
“Aku nggak malu, aku minta-minta pada orang kampung buat beli nasi. (Sejak kapan terima raskin?) Sudah lama, kalau nggak begini nggak makan,” kata Sri Sukanti.

Di Salatiga, Sri Sukanti bersama suami, tinggal di rumah yang sangat sederhana. Dinding kusam rumah itu dipenuhi foto dia dan keluarganya. Isi perabotan seolah dibiarkan berantakan tak terurus.
Hanya ada satu kamar tidur yang bersebelahan dengan dapur. Di situ, rak kayu yang sudah lapuk, dipenuhi piring dan panci. Di lantai, sebuah tungku teronggok.
Sementara di ruang depan, penuh sesak. Di sisi kanan rak papan televisi berukuran 14 inchi, perabot rumahtangga bertumpuk. Dan bau pesing, begitu menyengat.

***
Catatan Komnas HAM, di Indonesia ada sekitar dua ribu perempuan korban perbudakan seks tentara Jepang atau disebut jugun ianfu. Dua di antaranya adalah Paini dan Sri Sukanti.
Karena itulah, sejumlah pihak; Komnas HAM, LBH Yogyakarta, dan lembaga lain yang mengatasnamakan Ianfu Indonesia gencar memperjuangkan hak penyintas. Salah satunya, mengajukan gugatan kompensasi atas kerugian materil dan imateril yang dialami para penyintas.

Hingga pada 1997, Asian Women’s Fund (AWF) –sebuah organisasi swasta Jepang mengucurkan dana santunan bagi para penyintas melalui Departemen Sosial RI. Nilainya sebesar 380 juta yen atau setara Rp1,1 Triliun. Tapi uang itu, tak pernah sampai ke tangan Paini pun Sri Sukanti.

“Katanya ada imbalan segini..segini.. Sampai sekarang kok nggak datang. Imbalannya itu saya masih ingat kalau nggak salah 100 juta. Sampai sekarang imbalan dari Jepang itu belum pernah seperserpun saya terima. Saya ikhlas,” jelas Paini.

Uang triliunan itu rupanya dialokasikan Departemen Sosial untuk membangun Panti Wreda khusus penyintas Jugun Ianfu di sejumlah kota di Indonesia.

Karena dana itu digunakan dengan tak semestinya, para penyintas melayangkan surat gugatan ke Pengadilan Jakarta Pusat.
“Dibawa kemana-mana. Ke Yogya kalau nggak salah, sembilan kali diwawancarai. Yang paling banyak di Solo. Terakhirnya saya dibawa ke Jakarta. Saya pun sampai diangkat di podium untuk bicara. Tapi sampai sekarang nol nggak ada apa-apanya,” sambung Paini.

Heruwaty Wahyu, Kepala Panti Wredha Wening Wardoyo Ungaran, Jawa Tengah membenarkan, pernah ada proyek dari pemerintah pusat untuk membangun wisma untuk penyintas Jugun Ianfu di areal pantinya.
“Jugun Ianfu suatu proyek sendiri, bantuan dari Jepang kalaupun saya pimpro saya nggak dipegangin. Bantuan yang jugun ianfu itu hanya fisiknya pandu itu saja. Jadi kita hanya menyediakan lahan. Khusus untuk ianfu sekarang difungsikan untuk yang lain, untuk lansia yang terlantar-terlantar tapi bukan jugun ianfu,” jelas Heruwaty Wahyu.

Wisma yang diberi nama Pandu Dewanata dibangun pada 1997 dengan fasilitas lima kamar tidur dan televisi. Di tahun yang sama juga, pemerintah membangun empat panti yang tersebar di sejumlah kota.

Namun, Paini menolak tinggal di panti dengan berbagai alasan.
“Nggak mau saya. Saya mau di rumah saja, kerja, kumpul sama cucu anak. Terus terang daripada saya dibawa ke panti jompo, dikasih uang 10 ribu dibuat jajan saya ikhlas. Tapi kalau dibawa ke panti jompo, saya nggak mau. Biarpun kayak gini kotor tempatnya. Nggak apa-apa. Kalau saya dibawa ke panti jompo nanti anak saya cucu saya yang repot.”

Para penyintas seperti Paini dan Sri Sukanti, hidupnya sengsara. Hak yang seharusnya mereka peroleh, justru tak diberi. Pemerintah Indonesia sendiri malah menganggap kejahatan yang dilakukan tentara Jepang, sudah selesai. Tapi, tidak bagi Paini.

“Saya ditanyakan apakah sanggup ngasih maaf sama orang Jepang? Kalau saya berhadapan sendirian ya saya mau bisa ngasih maaf. Tapi kalau saya nggak bisa berhadapan sendiri apa bisa saya ngasih maaf? Kan nggak bisa. Yang penting saya dikasih kesehatan, dilindungi, dikasih kekuatan sama Allah saya sudah terimakasih. Saya ikhlas.”

Noted :
Perjalanan menemui Sri Sukanti dan Paini dilakukan pada tahun 2016
Elizabeth Sri Sukanti atau Mbah Sri, penyintas jugun ianfu paling muda meninggal dunia di Kota Salatiga pada 20 Desember 2017 di usia ke-84.

Senin, 15 Juni 2009

TKI.. oh..TKI..

Publish on Radio International Jerman Deutsche Welle / Indonesian Programme

by. Noni Arni / 2008

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang mengadu nasib di luar negeri berharap pulang dengan membawa segepok uang. Mereka memiliki cita-cita tinggi untuk memperbaiki tingkat ekonominya.Bahkan mereka di klaim sebagai penghasil devisa negara, meski hingga kini keberadaan mereka di negeri orang kerap kali mendapat perlakuan tak manusiawi, seperti, gaji tak layak, penganiayaan dan kekerasan.

Tapi ini adalah cerita sukses di salah satu kantong TKI di Jawatengah yang berhasil merantau di negeri orang. Tepatnya di Kampung Pegandon Kendal Jawa Tengah. Para TKI di wilayah ini mampu menghasilkan devisa hingga 250 miliar rupiah pertahunnya.

Saya akan berbagi cerita kepada anda...

Tidak begitu ramai, hanya sesekali lalu lalang kendaraan bermotor melintas diruas jalan ber aspal. Diantara areal persawahan, disela-selanya nampak deretan bangunan rumah yang cukup besar, mewah dengan lantai keramik. Salah satunya milik Suyatmi.

Inilah wujud hasil jerih payah Suyatmi di negeri orang selama 11 tahun.
Tekatnya untuk merubah ekonomi keluarga membuahkan hasil cukup menggiurkan. Rumah, kendaran dan warung telekomunikasi sebagai tempat usahanya. Tapi kini Ia memilih menjadi trainer di PJTKI di Kampungnya.

“Untung-untungan ya kebetulan pas saya dapat agen yang lumayan. Alhamdulilah saya bisa sukses. Jaman sekarang kan PJTKI sangat banyak jadi harus hati-hati memilih, kadang-kadang ada yang illegal. Jadi Pastikan dulu PT nya resmi bonfit disana agennya juga baik nah baru kita masuk. jangan salah memilih” demikian ungkap Suyatmi.

Demikian juga dengan Umi Hanik yang sudah 4 tahun merasakan hidup dinegeri orang, ketagihan ingin mengulang suksesnya. Meski banyak cerita pahit , tekat telah mengalahkan ketakutan.

“nggak semua orang kan gitu, saya mantep saja. Niat baik insyaallah berhasil lah. ya memang banyak tetangga bilang. tetapi kalau saya niatnya baik ya mungkin Allah melindungi lah saya kan pasrah saja. Pasti takutlah Kalau denger sana sini sana sini pasti ragu”, cerita Umi Hanik.

Nuryahmat, staf PT. Ficotama Bina Trampil Pengusaha Jasa Penempatan TKI di Kendal memastikan,selama TKI berada dalam prosedur yang benar, mereka tidak akan bermasalah. Karena selama kontrak ,PJTKI akan menjamin mereka.

“Ada masalah apapun nanti agency atau PT yang memberangkatkan dari Indonesia. Gampang sekali nanti kalau sudah sampai disana anak-anak yang sudah kerja disuruh telepon keluarganya masing-masing. Keadaannya bagaimana.. kondisinya gimana jadi tahu keluarganya yang ada di Indonesia. Jadi, Disamping itu PJTKI juga selalu memantau anak ini sampai mendapat perlakuan yang tidak bagus, nanti kita urus sampai masalah gaji sampai tidak di bayar itu sudah ada yang mengurus semua dari PJTKI yang memberangkatkan”

Pengawasan terhadap penempatan TKI yang dilakukan PJTKI, kata dia, juga mudah. Menurutnya, setiap PJTKI tersebut mengurusi paspor calon TKI, maka selanjutnya mereka harus dituntut menunjukkan daftar TKI yang telah dikirim ke negara yang disebutkan dalam setiap paspor yang diajukan.

Kepala Badan Penempatan Pengawasan dan Perlidungan TKI Jateng, AB rahman mengungkapkan, Sebenarnya kesulitan memonitor para TKI ini karena kebijakan pemerintah yang tidak merata. TKI ke Timur Tengah kepegurusan dilakukan di Jakarta, berbeda dengan penempatan lain yang bisa dilakukan didaerah masing-masing.

“Tentunya persoalan-persoalan itu kan bisa di indoor.pengurusan administrasi untuk ke arab Saudi sampai KPKLN bisa diurus di daerah masing-masing. pembuatan paspor bisa di daerah masing-masing. Kemudian sampai kompetensi di daerah masing-masing, kemudian dia dikasih kartu kemudian dikasih bebas fiscal untuk daerah dan berangkat lewat Jakarta. tapi kepengurusan administrasinya tetap di sini mungkin itu bisa dimonitor dari awal .Tapi kita tidak tahu TKI diberangkatkan ke jakarta oleh perusahaan mana. Ini tidak hanya dialami jawatengah tapi hampir semua. Ga tahu kok dibikin begini memang kebijakannya dari dulu”

Padahal menurutnya, tiap tahun Jawatengah memberangkatkan TKI hingga 30 ribu lebih. bahkan mentargetkan pengiriman TKI meningkat hingga 10 persen per tahunnya.

Contoh kasus, Eli Anita. Satu dari ribuan TKI yang harus menelan pahit merantau di negeri orang karena terjebak di Irak. Dengan iming-iming akan mendapat perkerjaan di negara makmur, mereka diangkut ke Kurdistan, bagaikan budak belian.

“mereka mau ambil saya 85 persen mereka mau bikinkan saya visa.Tapi agen saya bilang kalau kamu tidak mau tidur sama aku, aku nggak akan lepasin kau. Jadinya saya sudah tidak ada pilihan . ada tiga pilihan. satu pulang ke Indonesia , kedua tidur dengan saya, ketiga ada Negara baru katanya Kurdistan Negara baru masih part of Itali. saya percaya aja . jadinya saya berangkat. saya sudah terlalu nekat” kenang Eli.

Setelah melalui perjuangan panjang,dan perlakuan yang tidak semestiya dari agency yang menaunginya, Eli bersama temannya Darmianti dan Siti Julaeha akhirnya dipulangkan ke Indonesia bantuan organisasi internasional, Organization for Migration (IOM). Sementara beberapa TKI saat ini tengah menunggu jadwal kepulangan.

“Kita dipanggil ke IOM terus tandatangan kalau kita mo pulang. Saya ditanyain keadaan kamu gimana saya critain semua saya pernah di cekik, sering tak dikasih makan, di siksa dengan pegawai-pegawai disitu. Dia minta beberapa identitas temen-temen saya disana kebetulan saya selalu catet temen-temen saya.saya baru bener-bener percaya kita di kirim pulang kita dikirim ke bandara Erbil International Airport. Ke luar dari kantor itupun saya sudah diancam kalau sampai di Dubai kamu macem-macem, Aku bisa tarik kembali kamu ke Erbil. Kita dapet probem juga sampai di Dubai kita harus cari-cari sendiri. jadi saya sempet kebingungan akhirnya tanggal 7 desember kita sampai di bandara sukarno hatta,” tambahnya.

Banyaknya kasus TKI berasalah ini terjadi karena pemerintah ternyata tidak melakukan apapun, khususnya untuk memulangkan buruh-buruh migran Indonesia yang saat ini terperangkap di wilayah konflik.

Namun Anis Hidayah Direktur Eksekutif organisasi MigrantCare atau Perhimpuan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat mengungkapkan, pemerintah hingga kini masih sangat tidak serius dalam melindungi para pekerja migran.

“Kita sih menilai pemerintah masih menggunakan kerangka advokasi yang lama. Jadi Merespon perkasus. ada kasus di respon, ditanggapi bahkan beberapa kasus mereka lebh reaktif . ini tidak akan memperbaki birokrasi yang ada.Seharusya yang harus dilakukan pemerintah segera mungkin membangun satu mekanisme yang sistematis habis juga energi pemerintah . Saya kita tidak akan selesai masalah TKI. Ini kelemahan paling besar.Dan ada BNP2TKI, saya kira birokrasi untuk menyelesaikan masalah semakin tak pasti.selama ini kasus-kasus yang kita ajukan untuk proses penyelesaian sangat lambat proses penyelesaiannya.”

Data Migran care menyebutkan, akhir tahun lalu TKW asal Indonesia yang berada di negara dilanda konflik itu sekitar 70 orang, tapi baru 29 orang yang teridentifikasi. Dari jumlah itu lima di antaranya sudah dipulangkan ke Indonesia.
Sementara, untuk memperkecil peluang TKW asal Indonesia jadi korban trafficking, tambah Nur, pemerintah perlu memperketat pengawasan terhadap PPJTKI yang akan memberangkatkan buruh migrant.

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia Deplu Teguh Wardoyo mengakui , situasi dan kondisi di wilayah konflik tidak normal. Ada ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi untuk alasan keamanan mereka sendiri.

Menurut Teguh, pihaknya memang bertugas memberikan perlindungan kepada WNI di luar negeri. Meski demikian, pihaknya tetap bersikukuh instansinya tidak bertanggung jawab atas segala permasalahan WNI.

“Ya karena uang mereka mau cari duit. Mereka dalam kondisi kesulitan ya Kita nggak tahu. Cuman pemerintah menghimbau kalau cari uang ke tempat lebih baik . kalau mereka kemana-mana sapa yang bisa cegah gitu masalahnya . departemen luar negeri hanya menghimbau untuk melapor ini. tapi nyatanya mereka tidak melapor.jadi pemerintah bisa berbuat apa”

Penempatan TKI memang sepenuhnya merupakan tanggung jawab Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).

Ditengah banyaknya tragedi yang menimpa para TKI di negeri orang dan ketidak seriusan pemerintah dalah menangani kasus –kasus TKI bermasalah. Menjadi TKI tetap menjadi pekerjaan yang menggiurkan bagi mereka yang tak mengenyam pendidikan tinggi. Para pemasok devisa Negara tetap yakin akan mereguh keuntungan besar secara materi dengan bekerja di luar negeri sebagai buruh migran.

Dari Kendal, Jawa Tengah. Noni Arnee