Pages

Tampilkan postingan dengan label RUU Pertembakauan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label RUU Pertembakauan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 16 Mei 2017

Berharap pada Regulasi Tembakau

Kesulitan Kusumaatmadja Agung (69) pemilik Mukti Kafe dan pengusaha tembakau, Taru Mertani dan perusahaan kretek serupa diduga dampak dari pelbagai regulasi, baik nasional maupun internasional. Di tingkat internasional muncul pengetatan bisnis tembakau dan segala produk olahannyaFramework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang diadopsi WHO pada 21 Mei 2003.
Perjanjian ini mengikat pengaturan produksi, penjualan, distribusi, periklanan, dan perpajakan tembakau.  Di sisi lain persoalan tembakau dan industri rokok di Indonesia muncul perdebatan antara pro dan kontra tembakau atau rokok akhir-akhir ini, khususnya mengenai bahaya rokok.
Perusahaan rokok yang berkembang menjadi perhatian khusus pemerintah. Regulasinya mengalami perubahan terus-menerus terutama sejak masa Reformasi. Saat pemerintahan BJ Habibie, kali pertama pemerintah mengeluarkan regulasi pengendalian tembakau melalui Peraturan Presiden (PP) Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan yang mengatur iklan tentang rokok serta kewajiban pencantuman peringatan bahaya merokok pada kemasannya. Lebih khusus lagi, peraturan tersebut menetapkan kadar nikotin dan tar dalam sebatang rokok.
Peraturan tersebut diamandemen seturut pergantian presiden. Pada era Presiden Abdurrahman Wahid keluar PP Nomor 38 Tahun 2000. Rokok diperbolehkan mengiklankan produknya di televisi pada malam hari. Selain itu dalam UU Kesehatan Tahun 2009 menyebutkan rokok mengandung zat adiktif.  UU itu diperkuat PP No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
“Paling ngeri karena menganggap tembakau mentah sebagai zat adiktif seperti narkoba. Roadmap perlindungan kesehatan tembakau itu juga hanya dua pasal,” papar Pradnanda Berbudy, Tim Pembela Kretek dari Komite Nasional Penyelamat Kretek (KNPK) dalam Workshop “Membaca Kretek” di Yogyakarta pertengahan Maret 2017.
PP terakhir itu dianggap sebagai hasil kompromi antara pro dan antirokok dan sekarang dalam wacana bakal direvisi, poin-poin dalam PP tersebut tak menguntungkan semua pihak yang memiliki usaha di bidang tembakau. Meskipun Indonesia belum meratifikasi WHO FCTC, dalam praktiknya poin-poin dalam konvensi pengendalian tembakau WHO itu sudah dijalankan di Indonesia.
Banyaknya ketentuan daerah bebas rokok yang mengadopsi aturan WHO mengenai pelarangan merokok di tempat umum. Begitu juga, kenaikan cukai rokok yang bertujuan membatasi konsumsi rokok. Itu menjadi “acuan” pemerintah dalam penetapan cukai yang naik tiap tahun. Soal cukai inilah yang kemudian banyak mematikan perusahaan rokok menengah dan kecil.
“Kalau yang punya modal besar bisa menyesuaikan aturan pajak. Yang sedang atau bahkan yang kecil, bisa kembang kempis hanya untuk membeli pita cukai,” ujar Suwarno M Serad, pengamat industri rokok dan sering disebut sebagai pakar kretek.
Serangan Produsen dan Produk Asing
Berbagai regulasi membatasi gerak usaha tembakau. Begitu juga kampanye kontrol tembakau yang gencar di lingkup nasional maupun internasional. Mereka yang menggantungkan hidup pada tembakau pun semakin tersingkir dengan ekspansi pemilik modal asing yang menguasai pabrik-pabrik rokok legendaris di Indonesia.
Tak hanya menguasai pabrik rokok, mereka juga menguasai dan memonopoli pembelian tembakau di daerah penghasil tembakau. Agung, pengusaha kretek di Semarang mengatakan petani tembakau di beberapa daerah terikat kontrak karena mendapat mendapat modal dari perusahaan. Mereka berkewajiban menjual kembali tanamannya ke perusahaan.
Kondisi tersebut membuat pebisnis tembakau kecil tak bisa membeli tembakau dari para petani yang sekian lama menjadi mitra bisnisnya.  Akhirnya ia harus  membayar lebih mahal dari harga pasar jika ingin mendapatkan tembakau.
Sebagai contoh, dia pernah membeli satu dos tembakau Jember untuk wiper atau daun tembakau pembungkus cerutu dengan harga hampir 10 kali lipat harga normal. Untuk satu dos seberat antara 26-30 kilo dihargai Rp20 juta, atau Rp600 ribu lebih per kilo. Padahal, harga normal hanya berkisar Rp50 ribu hingga Rp60 ribu per kilonya. Harga semahal itu lantaran pembelian dikurs dengan mata uang euro.
“Untuk cerutu dengan tembakau Jember, saya harus nempil (membeli dalam jumlah kecil lewat perantara). Kalau tidak kenal orang-orang lama di sana, tidak bakal dapat tembakau,” kata Agung, “Di Lombok, kalau tidak kenal ‘orang dalam’ pasti tidak bisa beli.”
Suwarno M Serad menilai penguasaan tembakau dan pabrik rokok nasional oleh perusahaan asing orang asing itu salah satu upaya dekretekisasi. Upaya mencegah rokok kretek khas Indonesia menguasai pasar dunia. Sebabnya kretek telah populer sebagai rokok yang khas dan banyak disukai orang asing yang ingin menikmati rokok berkualitas tinggi.
Ia mengatakn rokok kretek diakui memiliki keunikan yang tak dijumpai pada rokok-rokok buatan Amerika atau Eropa karena racikannya mengandung rempah cengkeh. Di Amerika Serikat, rokok kretek sudah masuk ke pasar pada 1970-an dan banyak digemari. Ia menduga ada produsen rokok Amerika rokok khawatir kretek akan menguasai pasar di sana dan menggerus pasar rokok putih dalam negeri Amerika. “Lalu muncul isu soal rokok yang berbahaya dan mematikan pengisapnya,” ujarnya.
Dampak paling nyata adalah kematian perusahaan rokok lokal berskala kecil. Pada 2014 Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Tengah mencatat 40 perusahaan rokok di provinsi tersebut gulung tikar. Para petani dan pedagang tembakau yang selama ini berhubungan bisnis dengan perusahaan rokok kecil terkena imbasnya.
Perusahaan rokok yang masih bertahan sekarang ini pun bukannya tanpa ancaman. Beberapa produk rokok asing dari Vietnam dan Denmark dengan jenis mirip rokok khas Indonesia seperti jenis tingwe (lintingan) sudah mulai masuk ke pasar Indonesia. Meskipun jumlahnya belum besar dan harganya lebih mahal dari produk lokal, penetrasi produk asing akan menjadi menjadi pesaing produk rokok lokal.

Adil dan Proporsional
Tidak mudah mencegah masuknya pemilik modal asing dan produk rokok luar negeri ke Indonesia. Mereka yang menggantungkan hidupnya dari tembakau dan produk olahannya berharap pada regulasi yang berpihak. Revisi UU mengenai tembakau menjadi harapan besar.
Agung, salah seorang yang masih tetap bertahan dalam bisnis tembakau berharap “monopoli” lahan tembakau petani oleh perusahaan rokok besar diatur. Agar para pedagang tembakau kecil dan perusahaan rokok kecil bisa kembali membeli tembakau berkualitas dari para petani seperti Madura, Lombok, Paiton, Temanggung, dan Muntilan. “Keinginan saya, tembakau petani yang telah dikuasai perusahaan rokok besar dibuka. Maksudnya, orang seperti saya bisa ikut membeli,” katanya.
Bagi Suwarno, regulasi yang mengatur tembakau dan produk olahannya harus adil dan proporsional. Selain itu, pengenaan pajak cukai yang berbeda dari industri lain berujung pada bangkrut atau tutupnya perusahaan rokok sedang dan kecil juga mendapat perhatian.
Suwarso tak yakin revisi UU tentang tembakau yang sedang diproses bakal menghasilkan peraturan yang adil dan proporsional terhadap industri tembakau. Dia melihat ambivalensi keberpihakan pemerintah dalam urusan tembakau. Pemerintah seolah-olah berdiri di dua kaki, antara yang pro industri rokok dan yang antirokok.
“Revisi UU tentang tembakau itu inisiatif DPR. Presiden tidak bisa menolak dan harus membuat surat agar revisi UU tersebut dibahas. Lebih-lebih lagi, di dalam kabinetnya, tak banyak yang pro industri rokok,” ujarnya
Suwarno hanya berharap bila tak memungkinkan melakukan proteksi terhadap industri rokok, setidaknya regulasi memperlakukan industri rokok secara proporsional, seperti industri lainnya. Bersambung.

Noni Arnee

http://independen.id/read/khusus/389/berharap-pada-regulasi-tembakau/