Pages

Jumat, 22 Mei 2009

Petaka di Kota Batik


Published on Kantor Berita Radio 68H Jakarta

by. Noni Arni

Sebutan Kota Pekalongan sebagai Kota Batik makin menguat, setelah akhir-akhir ini batik kembali menemukan masa kejayaan. Batik menjadi tren berpakaian semua kalangan. Pemasaran 80 persen denyut ekonomi industri batik tidak perlu disangsikan lagi. Tak hanya menyebar ke seluruh kota-kota di Indonesia. Tapi juga penjuru dunia.

Namun di balik itu, Batik Pekalongan ternyata membawa petaka besar. limbah yang dihasikan dari ribuan industri batik, seakan terlupakan dan menjadi hal biasa. Limbah dari pencuciannya batik, mewarnai semua aliran air dan sungai di Pekalongan. upaya kongkrit untuk menyelesaikan persoalan pencemaran belum nampak,karena sistem pengolahan limbah nyaris tak ada.

Separah apakah limbah batik ini mencemari Pekalongan? Apakah ini akan menjadi Bencana lingkungan yang nantinya dinikmati anak cucu. Simak laporan berikut ini:

“Airnya dari sungai. yang dibuat buang limbah batik. Kampung-kampung deket sungai Kampung yang bikin batik. Lewatnya selokan terus masuk sungai terus ke sawah.Ini dah lama sejak ada batik kecil-kecil”kata Tarjuni, petani asal Pabelan.

Sawah Tarjuni ini satu dari hamparan sawah di pekalongan yang ter-aliri air sisa pencucian batik milik para pengrajin batik.Asalnya dari irigasi.berwarna merah kehitaman dan berbuih.

Saya datangi Desa Pabelan, satu dari kampung sentra pengrajin batik yang berjarak sekitar 1 kilometer dari areal persawahan. Di tiap rumah terdapat selokan selebar 1,5 meter. Warga biasa menyebut kali atau sungai kecil. Airnya pekat berwarna merah kehitaman, bercampur sampah rumah tangga dan kotoran manusia.

Rumini,seorang Pengrajin mengaku ditempat ini biasa mereka gunakan untuk mencuci kain batik sebelum dibilas dengan air sumur
“proses batik itu harus dikali.kalau ga di kali ga bisa. Kalau di sumur semua tempatnya ga ada. Nanti di bilas di bak. Pokoknya liatnya bagus.Disini prosesya begini.pokoknya dikemasnya bagus.semua bikinnya juga begini.nyuci sekali tu biar praktis, ngejar waktu.”

Tak ada yang melarang membuang sisa pencucian pewarnaan batik di selokan yang mengalir ke sungai. Bahkan, kepercayaan mencuci batik di kali atau sungai sudah melekat turun temurun.

”Nggak ada yang melarang. Sudah bebas disini. Kalinya kan tidak besar.pokoknya ya buat nyuci disini. Kualitasnya ga terpengaruh... Nyuci tidak terpengaruh malah laris batiknya kalau dijual. Tidak ada yang tahu kalau nyucinya ditempat selokan yang airnya sangat kotor seperti ini.Kalau dah dikemas bagus.”

Suasana nyuci batik
(2..3 hari jadi.berapa kali nyuci..3 kali..direndem satu jam ..ini dah jadi..airnya bisa buat berapa kali nyucipak.. 3 ..buang airnya ke mana…saluran.kesungai)

Proses pewarnaan kain batik dilakukan 2 orang dengan batuan alat cukup sederhana, biasa di sebut kapal-kapalan. selain di selokan, para kuli keceh mencuci kain batik di bak berdiameter 9 meter . sementara sisa pencucian berwarna warni yang menjadi limbah batik ini dibuang ke selokan khusus yang sengaja di buat. alirannya berujung ke sungai terdekat.

Ini obrolan saya dengan salah seorang pengrajin
(Sehari buang ganti yang baru lagi. Ke sungai…itu da langsung di kolah-kolah kecil..gorong-gorong langsung lalu ke timur.naik ke sungai kecil di pinggir jalan itu.. dah biasa.Kalau batik ga bau ga.tapi berwarna gitu.ga-ga bahaya.)

Turun temurun hingga sekarang, sebagian besar proses produksi batik Pekalongan dikerjakan secara tradisional di rumah-rumah yang skalanya kecil. Tidak hanya di Pabelan, Desa Kauman sentra pengrajin batik lain di Pekalongan juga melakukan hal yang sama.

Namun ada juga pengrajin yang tak mengakui membuang limbahnya ke sungai. Salah satunya Haji Lukman pemilik Batik n****a (kalau ga nyebut nama gimana…?

“Batik bukan kontributor limbah ekstrak yang pekat.Terhidrolisir oleh air. Itu jawabanya. Jadi sederhana. Dalam Sejarah limbah batik itu tidak bermasalah. (Punya proses pembuangan sendiri.?)..lha itu kan dari rumah mengertinya begitu kan masih belum percaya kan..hahaha”

Dirinya juga menyangkal limbah batik yang dibuang berbahaya.
“Kalau batik dari sejarahnya memang komponennya air , obat dan soda kue.apanya yang berbahaya. Yang namanya limbah semuanya manusia hidup saja punya limbah. Bukan saya bela diri.”tambahnya.

Dari catatan Dinas Penataan Kota dan Lingkungan Hidup DPKLH Kota Pekalongan, seribu lebih industri batik masih membuang limbahnya ke sungai. Sementara dari data Badan Pengendali dampak lingkungan Bappedal Jawa Tengah menyebutkan, sedikitnya 12 ribu industri kecil dan 23 industri menengah besar di pekalongan, limbah cairnya berpotensi mencemari lingkungan. debit air limbah mencapai puluhan ribu meter kubik perharinya. tidak ada angka pasti debit limbah cair yang masuk ke sungai.

“Tidak usah dipantau itu otomatis ya tahu lah kalau limbah itu masuknya ke sungai.habis itu ke laut. 4 sungai.”
“Limbah batik mengandung B3, termasuk warna, BOD, COD itu memang tinggi sekali dibanding limbah rumah sakit. Limbah batik BOD, COD tinggi. Untuk merendahkan sesuai baku mutu itu memang sulit prosesnya mahal. Ada konsultan dari Jakarta yang menawarkan tak mampu untuk menuunkan BOD 1500 yang sesuai standar 50 itu ga bisa”Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan DPKLH Kota Pekalongan, Masrur membenarkan.

Pemkot tak bisa berbuat banyak meski limbah tersebut dianggapnya sangat berbahaya bagi kehidupan warga pekalongan.

“Jadi ini kalau satu dua banyak yang taat. Sedikit mungkin gampang diatasi. Yang jadi masalah ini kan pelanggaran kolektif. Pelanggaran berjamaah.apa suruh nutup semua.”
“Tidak ada complain. karena dia buruh batik ditempat majikannya tetangganya sendiri. Itu bisa langsung lapor saja. Masak mo melaporkan majikannya sendiri. Suruh menutup usahanya..la terus mau kerja apa.melaporkan dia..ya memang sedikit banyak tercemari. Masak mo melaporkan tetangganya sendiri. Memang dilema”tambah Masrur.

Saat ini hanya satu unit pengelolaan limbah batik organik di kawasan Jenggot. Padahal terdapat 33 pengrajin resmi yang menghasilkan 900 meter kubik limbah cair perhari . Selebihnya membuang sisa pencucian batik ke sungai.Begitu juga dengan wilayah lain yang tersebar di seluruh kecamatan di Pekalongan.

Operator Unit Pengelolaan Limbah Jenggot, Bambang mengungkapkan, UPL Jenggot berkapasitas 400 meter kubik dan hanya mampu menampung 30 persen limbah.
“Dibawah batu ga langsung tanah ada lapisan semacam karpet itu namanya geo membran. Fungsinya air limbah tidak meresap ke tanah.karena kalau meresap ke tanah otomatis sumur masyarakat itu kan tercemar.Penyaringan ke batu-batu. Ada yang masih terbuang sekitar 300 lebih. Makanya kalau ada yang bilang kurang berfungsi itu ga benar.. cuman kurang muat.Daya tampungnya kurang.”

Air limbah dibuang ke sungai ternyata meresap ke sumur warga yang hanya berjarak 5 meter dari sungai. Saya datangi Danali,salah satu warga jenggot yang sumurnya tak lagi digunakan karena tercemar

”Limbah-limbah masuknya ke kali semua. Dari jenggot, simbang wetan, krajenan.masuknya ke kali.Ada UPL tapi jalannya paling masuknya jam 8-9. Yang lainnya masuk kali. Jadi cemar kalinya.pokoknya sini tu untuk pembuangan semua. Limbah-limbah masuknya ke kali semua.”Masuk ke kali kesumur. Dah lama tahun 89 sampe sekarang. Air agak hitam. sumur rusak tidak bisa dipake.”

Ketika saya mengelilingi kota pekalongan, mata saya tertuju pada sungai Pencongan yang airnya berwarna merah kehitaman. saya bertemu dengan Wahnuri, warga desa Sepacar kecamatan Tirtokalongan. Ia menunjukkan aliran warna merah itu berasal.

“Ini merah itu.air batik dari pabrik.ngalirnya sebelah sana. Ada pintu itu. Mo lias sana? Dah ijin sama a pemerintah. Ada uangnya.TST gitu. Mo liat sana?.Dulunya bersih..bisa disuap kan ga papa. Banyak warga yang kerja di pabrik”

Jarak dari pabrik ke sungai hanya 300 meter.Meski mengeluhkan limbah namun warga sekitar bantaran sungai tak protes. Tentu saja karena alasan ekonomi.

“Mau minta berapa kamu saya beli..kan udah.lewat batik..dijual.kan aman. Obatnya kan nglerit berkali-kali ada yang merah, hitam, ijo gitu. Tapi semua diam aja. Lha bagaimana orang kampung juga diam apalagi saya. pasrah saja. Sebetulnya ini ga boleh. biar aman. Orang kampung sudah diam karena sudah dibeli.”jelas Wahnuri.

Kepala Bappedal Jateng, Joko Sutrisno mengungkapkan, maraknya penggunaan zat kimia dalam pewarnaan batik ini dimulai saat batik mengalami masa kejayaan pada tahun 1970an. Order meningkat. Proses batik dibuat karena tuntutan pasar.

“Sebelum ini langsung membuang limbahnya di alur-alur sungai disitu sendiri. Memang ini industry kecil, dulu pada saat nenek moyang mereka memulai usahanya yang pertama itu pewarna batik belum banyak menggunakan warna-warna kimia. Realitanya di kanan kiri sungai, sumur penduduk sudah berubah warna . ada yang tidak bisa digunakan lagi”

Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan DPKLH Kota Pekalongan, Masrur menambahkan, Sulit melakukan pemantauan dan pengawasan, karena sebagian besar industri rumahan.

“Saya tidak mungkn jaga 24 jam disana ya memang pegusaha kan maunya efisiensi, diantaranya karena pembuangan yang tanpa diketahui. Ni jelas memungkinkan, buang tengah malam masak saya suruh jadi herder juga. Kan ga mungkin lah, pembungan seperti itu kan mungkin juga yang namanya pengusaha kan cari celah" .

Akademisi Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang , Junaedi menjelaskan, limbah batik dari proses pewarnaan tradisional dampaknya lebih berbahaya. hingga kapanpun tak bisa terurai.

“Proses pewarnaan itu, karena tradisional dan hanya di celupkan. Tingkat peresapan warnanya rendah. Sebagian besar limbah 75 persen terbuang semua. Jadi yang meresap ke kain, ke benang hanya 25 persen. Semakin rendah tingkat industrinya, pencemaran makin besar karena dari sisi warna tadi.
Seremnya kan di warna. Fluktuatif warnanya bukan harian tapi jam-an.kalau lagi hijau itu hijaunya lebih hijau dari baju kita. Merah tapi air limbahnya lebih merah dari yang mbak pake. Mengerikan Warna itu bisa mengalami bioakumulasi senyawanya karesnogenik bisa timbul tumor.tubuh kita efeknya tahunan jadi susah. “

Sebenarnya penggunaan pewarna alami sudah dikenalkan sejak lama. Alasan mahal dan tidak praktis, pewarna alami tak diminati pengrajin.
Padahal warna alami sangat mudah didapat dan diolah. Seperti diungkapkan Pemerhati batik asal pekalongan, Dudung Alisyahbana

“Dari tingi, tegeran,jambal, secang,dll. Beberapa daun dan akar mengkudu.beberapa tempat tumbuh liar di pinggir jalan.itu banyak sekali jalan dari Pekalonga ke pemalang kemudian di tegal Ringroot arteri dikendal . it juga banyak sekali tumbuh liar.“

Pekalongan termasuk daerah zona merah. Artinya termasuk wilayah yang tergolong paling tinggi tingkat pencemarannya di jawa tengah. Berbagai upaya dilakukan untuk meminimalisir pencemaran, salah satunya kata Joko Sutrisno dilakukan dengan remediasi lahan.

“Kita bisa memafaatkan mikroorganisme maupun dengan sejumlah tanaman yang kita tanam pada lahan yang sudah tercemar itu. Tanaman-tanaman yang kita pilih yang rakus akan unsur logam pakai rami, nilam yang menyerap unsur logam. Bisa dengan kubis.ditanam di areal itu tidak boeh dikonsumsi. Ini harus dimusnahkan”

Untuk mengetahui seberapa parah dampak limbah batik mempengaruhi kehidupan warga pekalongan. Saya bertemu satu keluarga yang tinggal di bantaran sungai Banger. Fajar dan istri mengenang betapa susahnya hidup mereka waktu itu.

”Sumur saya itu rasanya asin, pahit, getir, dan warnanya itu kuning. Diatas nglirap minyak tanah. Buat nyuci misalnya, 1 timba air, soklin satu bungkus kecil nggak berbusa. Kalau dipake kurang enak. setenga gatal-gatal gitu..tapi kepekso. sampe alat-alat rumah tangga gelas, piring warnanya kuning semua. sampe kuku-kuku kuning seperti orang biasa ke sawah. ikan-ikan mati, ke sawah sudah ga bisa.10 tahun sumur saya kena limbah. sungai itu warnanya hitam dan baunya menyengat sekali.. bener menyesakkan. Susah. rusak parah.ke DPR pekalongan, semarang, pusat jakarta sampe ke mahkamah agung itu terus maju tak ada henti-hentinya ...itu sistem gerilya”

Fajar mengingat masa perjuanganya bersama 87 kepala keluarga yang tinggal di sepanjang sungai banger. Mereka menuntut 3 perusahaan tekstil yang nyata mencemari sungi. Tahun 1988 kasus kali banger mencuat. Butuh waktu tahunan untuk membuktikan adanya pencemaran.

”Saat pelebaran, sungai itu untuk pembuangan sudetan diPekalongan. tapi ternyata yang mengalir itu limbah sungai. ini kan disedot untuk mengaliri sawah ke utara. rusak total 20 hektar. mati total. itu berarti imbah kan sudah parah. dari masyarakat terus mengajukan gugatan minta diperbaiki. limbah dibikinkan ipal dari pemerintah maupun pabrik. lha timbul demo-demo itu tapi tetep saja dari pihak aparat polisi dan tentara selalu menghalang-halangi”

Aksi dan protes warga menuntut perusahaan tekstil bertanggung jawab soal pencemaran tak sendiri. Mereka didampingi lembaga bantuan hukum YAPHI. Koordinator LBH YAPHI, Lusila Anjela Bodroani, mengungkapkan sulitnya melakukan proses hukum pelaku pencemaran.

”Yang paling alot adalah pada pembuktianhya begitu lama, karena kami harus membutikan satu persatu. misalnya pembuktian mengenai pencemarannya itu sendiri, kami harus mencarikan saksi ahli yang bisa membuktikan dan harus bisa membaca hasil analisa. Tidak setiap ahli mau dijadikan saksi ahli dalam kasus kemasyarakatan seperti ini. pembuktian bagi masyarakat itu sendiri. karena misalnya salah satu penggugat mengatakan dia rugi karena sawahnya tercemar itu juga harus dibuktikan”

Hasilnya? Tak sia-sia. tahun 2003 Pengadilan negeri semarang hingga tingkat kasasi menyatakan perusahaan bersalah. terbukti membuang limbah ke sungai dan mengakibatkan kerugian materiil bagi warga. ternak mati, sawah puso dan hajat hidup warga sekitar kalibanger terganggu. Gugatan perdata dikabulkan. warga mendapat ganti rugi meski tak layak.

”Jelas tidak bisa menyelesaikan semuanya. harapan dengan adanya satu putusan menjadi evalusai bagi semua penentu kebijakan di pekalongan. pemkot melakukan kebijakan yang mendukung pada penegakan hukum aparat .dari perusahaannya sendiri sudah sadar. cuman mekanisme ini tidak jalan . yang seharusnya itu sudah diawali baik oleh masyarakat ya akhirnya tidak ditindak lanjuti.akhirnya masyarakat lagi yang jadi korban”.tambah Lala.

Itu keberhasilan membuka kasus pencemaran 5 tahun kebelakang, Yang kini menjadi angin lalu. Pasalnya, limbah dari pencucian indutri batik di pekalongan masih merajalela mendiami sepanjang aliran air. Bahkan di selokan kecil sekalipun.

Dari kota batik Pekalongan Jawa Tengah, Noni Arni melaporkan

Tidak ada komentar: