Jendela Budaya
Radio Deutsche Welle / Indonesian Programme
Wayang
bukan cuma tumbuh dan berkembang di pulau Jawa dan Bali .
Tetapi juga di berbagai belahan dunia lain. Khususnya di kawasan Asia , yang memang secara kebudayaan cukup dekat satu sama
lain, dan selama beratus tahun saling mempengaruhi. Hal ini mengemuka dengan
jelas dalam Temu Wayang Asia yang diselenggarakan terpadau dengan festival
wayang Indonesia ke-2, di
Taman Budaya Yogyakarta . Pesta setiap tiga
tahun sekali ini diselenggarakan Persatuan Pedalangan Indonesia Pepadi bersama
Lembaga Sena Wangi.
Saya
Nonie Arni, koresponden Anda di Jawa Tengah, berbagi cerita dalam Jendela Budaya
kali ini.
Lakon
Abimanyu Ranjab atau tewasnya Abimanyu dalam pakeliran padat selama 1 jam yang
disajikan dalang muda asal Jawa Timur Ki Cahyo Kuntadi, begitu menghanyutkan penonton.
Wajar saja kalau akhirnya Wayang Kulit Jawa Timuran ini memperoleh predikat
penyaji dan garap sabet atau permainan wayang terbaik.
Selain
Abimanyu Ranjab dari Ki Cahyo Kuntadi, tampil 17 dalang dari seluruh Indonesia
dengan 17 laokon yang berbeda. Juga dengan berbagai gaya , jenis, dan bahkan aliran wayang yang
berbeda.
Ketua panitia festival wayang, Ki Ageng Mas’ud Thoyib mengatakan, festival ini selain untuk memberi motivasi baru bagi seniman pewayangan, juga diupayakan untuk menumbuhkan apresiasi masyarakat lebih luas, khususnya generasi muda, terhadap seni budaya wayang.
“Setelah diakui dunia, maka pertama langkahnya
adalah konsolidasi yang diwujudkan dalam bentuk festival yang disebut festival
wayang Indonesia 2008. Tapi festival wayang itu sudah dilaksanakan 3 tahun lalu
yang pada saat itu pesertanya 10, padahal PEPADI punya Komda di 24 propinsi. 18
mengirimkan berarti di daerah itu sudah tumbuh wayang-wayang itu sendiri.
mewakili tingkat propinsi. Sangat dinamis dan tidak didominasi oleh Jawa.
Tujuan akhir dengan adanya festival pasti akan lahir dalang baru. Ke depan akan
sangat baik sekali potensinya”
Upaya
Festival Wayang untuk menjangkau penonton lebih luas tampak dari
pertunjukan-pertunjukan yang tidak dilangsungkan semalaman sebagaimana
pertunjukan tradisional. Melainkan dengan pertunjukan padat yang berlangsung
sekitar 1 jam. Setiap gharinya dalam festival ini ditampilkan lima
pakeliran padat oleh lima
peserta.
Wayang
Indonesia saat ini mencapai
lebih dari 50 jenis dan gaya , yang
terbedakan dalam hal bentuk, gaya
dan teknik pertunjukan. Bentuk yang nyata terlihat bedanya, misalnya antara
wayang kulit, wayang golek, wayang beber, wayang klitik, bahkan juga
wayang orang. Sebagian sudah tak lagi hidup dengan wajar, karena sudah tidak
lagi disangga masyarakat pendukungnya. Seperti wayang beber atau wayang klitik.
Yang
paling dominan adalah wayang kulit purwa, khususnya gaya
Yogyakarta dan Surakarta .
Dalam Festival Wayang, pakeliran gagrak wayang purwa begitu mendominasi. wayang
gaya Surakarta
lebih banyak dipilih peserta dari luar Jawa. Ada juga pakeliran wayang banjar khas
Kalimantan Selatan yang disajikan Ki Syaputra.
Namun
kata pemerhati wayang asal Yogyakarta, Sumari, festival akan lebih menarik jika
jenis dan gaya
wayang yang dipertontonkan lebih variatif. “Bagaimana festival ini mencakup
berbagai jenis dan gaya
wayang di Indonesia. Tidak hanya wayang kulit gaya
surakarta , yogyakarta, tapi mungkin gaya-gaya
yang lain seperti wayang Palembang , gaya Banyumasan, gaya
Betawi. Itu semua bisa pentas alangkah lebih bagus lagi”
Terlepas
dari itu, Festival Wayang selalui dijubeli pengunjung. Dalam setiap
pertunjukan, kursi di gedung pertunjukan berkapasitas seribu orang selalu
dipadati penonton, siang dan malam. Mungkin kkarena pertunjukan juga
digratiskan.
Di
antara ribuan penonton terdapat Sartono warga Yogyakarta yang sore itu datang
bersama istri dan Bagus anaknya yang berusia lima tahun. “Pada dasarnya saya sebagai orang
tua ingin megenalkan kebudayaan lokal kepada anak, tapi anehnya kejadian
kemarin itu justru anak saya yang memberitahukan bahwa disini ada wayang, jadi
hari ini saya menyempatkan melihat karena diajak anak saya. Anak saya bilang
wah.. kasian ya bapak ga bisa lihat wayang padahal bapak suka wayang. Kemudian
anak saya mengajak untuk menonton wayang.”
Festival
Dalang disleenggarakan sesudah terhentinya Pesta Wayang yang biasanya
diselengagrakan oleh pemerintah. Berbeda denan Pesta Wayang yang biasanya
berlangsung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta ,
Festival Wayang diselenggarakan secara berpindah-pindah. Upaya ini mendapat
dukungan kuat dari para dalang dan seniman seni pewayangan. Seperti dikatakan
Ki Cahyo Kuntadi dalang asal Jawa Timur. “Sangat luar biasa, saya sangat
mendukung dan menorong adanya festival wayang tingkat nasional seperti ini,
karena untuk memacu generasi-generasi penerus untuk mengiprahkan keahlian dan
kemampuan dalam berkesenian terutama di wayang. Dengan cara begini temen-temen
bisa berpikir oh.. kalau dengan festival seperti ini dengan kriteria seperti
ini, nilainya gimana, bobotnya gimana.. lha ini tantangan, itu sangat positif.”
Yang
menarik dari ajang ini juga adalah tampilnya peserta dari Papua. Tentu saja
bukan wayang Purwa Papua. Melainkan wayang kulit purwa Jawa yang didhidupkan
oleh pendatang Jawa di pulau paling timur itu. Ki Toto Handoko, dalang peserta
dari Papua, menggambarkan:
“Untuk mengenalkan wayang
disana biasanya kita pakai pegelaran padat juga tapi dialognya pakai bahasa Indonesia . Di sana kita mengenalkan
anak-anak kadang kita memancing pagelaran pakai doorprize tiap triwulan. kalau
frontal langsung susah. Biasanya ada hari-hari penting seperti 17an, satu
syuro, tahun baru. Saya pribadi Ingin menciptakan wayang papua mengangkat
cerita asli daerah sana
tapi ya tetep pakai bahasa Indonesia karena sekitar 300 lebih bahasa disana dan
sulit untuk mempelajari.”
Di
Papua Ki Toto Handoko berusaha memperkenalkan wayang Jawa. Kendati dengan
bahasa Indonesia .
Namun di pulau Jawa sendiri, wayang tidak lagi berada di masa kejayaannya.
Jumlah dalang jauh berkurang, seiring menurunnya jumlah penonton dan undangan
manggung. Pertunjukan wayang kini lebih terbatas kesempatannya. Dan banyak yang
harus menyertakan bumbu kesenian populer seperti dangdut, agar bisa tetap
bertahan dalam kehidupan masyarakat. Sementara wayang yang murni sebagaimana
pakemnya, lebih banyak ditampiulkan dalam acara kebudayaan yang khusus.
Pengamat pewayangan Sumari menjelaskan,
“Satu sisi kita prihatin
generasi muda kita khususnya diperkotaan itu semakin jauh dari wayang, itu kita
akui. Tapi kalau kita petakan di pedesaaan daerah-daerah tertentu seperti
Jawa timur khususnya itu masih tinggi sekali. Ya ini tantangan bagi semua yang
ngurusi wayang ini. Kendalanya banyak anak muda kita jauh dari wayang itu
karena dari sisi bahasa mereka kurang paham. Kedua memang munculnya pesaing
media lain seperti media elektronik.“
Kondisi
yang sama dialami wayang lain di berbagai negara Asia .
Sebagaimana terungkap dalam Temu Wayang Asia zang diikuti 13 negara.
.Kali
ini sebagian peserta berasal dari Asia Tenggara. Namun wayang atau teater
boneka dalam berbagai bentuknya, juga tersebar di hampir semua wilayah Asia .
Sekretaris
Jendral Asosiasi Wayang ASEAN, Tupuk Sutrisno mengatakan, dalam temu Wayang
Asia itu para delegasi menyepakati beberapa hal.
“Melestarikan dan
mengembangan wayang diseluruh sub region, itu antara lain tukar
menukar
pagelaran, tukar menukar ahli untuk saling membantu agar wayang ini tumbuh. Ke
dua adalah membuat dimasing-masing Negara itu sanggar wayang tradisional dan
tidak membutuhkan banyak biaya. Disanggar itu akan dipelajari filosofi dari
masing-masing wayang. Wayang Indonesia ,
Thailand , Myanmar dan
sebagainya. Nantinya akan tumbuh kualitas dalang dan SDM lainnya secara
lebih meningkat kualitas nya.”
Dalam
pertemuan tersebut juga digagas pembuatan buku Wayang ASEAN sebagai
referensi Wayang di negara-negara ASEAN.
Terdesaknya
seni tradional wayang oleh berbagai tradisi kesenian dan kebudayaan baru, juga
diderita negara-negara Asia lain. Di
Thailand misalnya. Ketua delegasi Thailand, Siriporn Theopipithporn
menjelaskan, untuk bisa bertahan, seni wayang Thailand yang disebut ‘hun’,
bahkan dikemas dalam bentuk mini konser yang lebih modern.
“Teater boneka
tradisional Joe Louise, misalnya, sangat terkenal nasional dan
internasional. Bahkan mendapatkan 2 penghargaan best performance dalam
festival teater boneka internasional di Praha pada tahun 2006 dan tahun ini.
Tahun depan berencana ikut festival di Prancis. Pada dasarnya teater boneka
tradisional di dunia punya masalah yang sama dalam hal penyajian dan bagaimana
mempertahankan.”
Teater
boneka tradisional Thailand
dari kelompok Joe Louise bisa terus bertahan, karena mereka berkompromi dengan
kebudayaan dan kenyataan baru dan modern. Kini mereka berencana membuat sekolah
khusus mengenai teater boneka ini. Di Indonesia pun banyak kelompok dan dalang
yang bertahan dan memperoleh tempat khusus justru karena mereka berkompromi
dengan selera baru masyarakat. Seperti tampak dari wayang golek Asep Sunarya,
dalang Ki Narto Sabdo, dalang wayang Kulit Tegal Enthus Sismono, dan
lain-lain.
Sementara
wayang dalam bentuk aslinya hanya bisa hidup jika disangga dengan peristiwa dan
dana kebudayaan yang besar. Masalahnya, kesenian bukan merupakan prioritas
dalam anggaran pemerintah Indonesia .
Kendati justru kesenian merupakan salah satu unggulan dan kebanggaan Indonesia di
dunia internasional.
Pendengar demikian jendela budaya kali ini. Saya Noni Arni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar