German Cinema Film
Festival :
“Foot..ball?”
Pertanyaan
singkat itu datang dari seorang muridnya saat Konrad
Koch menunjukkan benda berbentuk bundar
di tangannya. Sekembalinya dari Inggris pada 1874, sebagai guru utama, Konrad seharusnya
mengajar bahasa Inggris.
Tapi apa yang
dia lakukan? Di tengah rutinitas mengajar bahasa Inggris, Konrad menyebar menyebarkan
“virus” sepak bola kepada siswa-siswanya yang
selama ini terbelenggu “kepatutan dan keteraturan” dan menyulap dengan semangat
tim dan sportivitas di lapangan hijau.
Pihak sekolah dan para orangtua meradang
atas kelakuan sang guru muda yang dianggap melanggar kebiasaan di Kekaisaran
Jerman karena membawa olahraga “barbar”.
Ya, kisah Konrad melawan “ketaatan
gaya Jerman” dengan sepak bola yang kala itu dicela sebagai “penyakit
Inggris” menjadi tema utama cerita dalam
film Der Ganz Große Traum (Impian
Sangat Besar) (2011). Dari film yang bersandar pada kisah sejarah itu, kita
tahu seperti apa sepak bola di Jerman (juga saat masih bernama Jerman Barat).
Film itu besutan sutradara Sebastian
Grobler dalam suasana vintage. Akting
Daniel Brühl yang memainkan Konrad Koch juga sangat memukau. Wajar saja, film
itu meraih sejumlah penghargaan pada festival film di dunia, antara lain Predikat Sangat Bernilai dari Badan Penilai Film dan Media Wiesbaden,
Penghargaan Publik Seksi Generasi pada Festival Film Internasional Rio de
Janeiro, Hadiah Pertama Festival Film Anak-Anak ke-26 Düsseldorf.
Film tersebut dipilih sebagai pembuka
dalam perhelatan German Cinema Film
Festival, di Jakarta, Kamis (20/6) lalu.
Selain di Jakarta, perhelatan kali kedua itu bakal berlangsung 10 hari (20-29
Juni) di tujuh kota besar lain, yaitu Bandung,
Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Medan, Balikpapan, dan Palu.
Tak hanya Der
Ganz Große Traum, pada festival yang dimotori Pusat kebudayaan Jerman Goethe-Institut diputar 14 film lain yang
telah memenangi beberapa penghargaan internasional. Semua beraras pada satu
hal: film yang mengandung unsur sejarah.
Sebut saja Barbara karya sutradara Christian Petzold adalah drama sejarah di
Berlin Timur sekitar 1980-an. Begitu pula Halt Auf Freier Strecke (Berhenti
di Tengah Jalan) karya Andreas Dresen, Die Farbe Des Ozeans (Warna
Samudera) karya Maggie Peren, Sound of Heimat (Suara Kampung Halaman)
karya Arne Birkenstock dan Jan Tengeler. Atau film karya Percy Adlon dan Felix
Adlon yang bertajuk Mahler Auf Der Couch (Mahler di Sofa).
Selain itu, This Ain't California
karya Martin Persiel, Wintertochter (Puteri Musim Dingin) arahan
Johannes Schmid, Der Verdingbub (Bocah Pekerja Titipan) karya Markus
Imboden, Vergiss Mein Nicht (Jangan Lupakan Aku) karya David Sieveking,
dan 5 Jahre Leben (5 Tahun) karya Stefan Schaller.
Pola Omnibus
Menarik salam perhelatan itu ada
sebuah film berpola omnibus yang dalam sinematigrafi Jerman disebut dreileben. Film garapan tiga sutradara dengan
kisah yang tentu saja masing-masing sutradara memakai pendekatan dan gaya
berbeda, tetapi dirangkai menjadi satu kesatuan. Ketiga film yang masuk
kategori itu adalah Etwas Besseres als
den Tod (Lebih Baik daripada Mati) karya Christian Petzold, Komm Mir Nicht Nach (Jangan Mengikutiku)
karya Dominik Graf, dan Eine Minute
Dunkel (Semenit Kekelaman) karya Christoph Hochhausler.
Di luar perhelatan tersebut, Jerman
bagaimanapun lekat dengan sejarah perfilman dunia dan tak bisa dipandang
sebelah mata. Di
Negara inilah dua bersaudara Germans Max dan Emil
Skaldanowsky mengembangkan teknologi rol selulosa menggunakan proyektor dengan menayangkan film berdurasi 15 menit
pada sebuah teater di Berlin pada tahun 1895.
Meski kemudian industri film lokal Jerman
terhempas hingga tahun 1913 lantaran dianggap tak signifikan dan reputasi
rendah karena selalu menyajikan tema kejahatan. Kehancuran film Jerman pada
masa itu juga disebabkan dominasi firma
film Pathé dari Perancis yang menguasai industri perfilman dunia. Semua film
mereka selalu laris dan paling sering
diputar di berbagai bioskop dengan antrean penonton membludak.
Tapi, sineas Jerman terus bangkit
dan berusaha membuat literatur film yang lebih elegan dan pretisius hingga
Jerman sangat terkenal lewat kemunculan Autorenfilm, genre film yang kaya akan
efek visual layaknya film D’art dari Perancis.
Film yang pertama berjudul 1st Der Andere (1913) karya Max Mack atau Die Landstrasse (jalan Kampung- 1913) karya Paul Von Woringen yang dianggap sebagai film
luar biasa memuaskan dalam segi teknik eksplorasi dan ekspresi sinematik.
Setelah masa-masa film propaganda Nazi yang dimotori Joseph
Goebbels, Jerman terus bangkit dalam industri perfilman. Hanya saja, ada
kecenderungan besar pada kalangan sineas yakni kesukaan pada tema sejarah. Lola Rennt (Lola Berlari-1998) karya Tom
Tykwer misalnya berkisah mengenai upaya Lola melintasi Tembok Berlin.
Begitu pula saat memasuki millennium ketiga, kecenderungan
itu masih tampak sekali. Film Good Bye, Lenin!(2003) kaeya Wolfgang Becker yang
mengisahkan kehancuran Tembok Berlin diputar di 70 negara lebih, atau film
karya Florian Henckel von Donnersmarck bertajuk Das Leben der Anderen (2007) yang mengangkat
kehidupan penduduk semasa pemerintahan Republik Demokratik Jerman (Jerman
Timur).Yang pasti, film-film dari sineas Jerman mulai disukai di sini. Itu
terbukti ribuan orang hampir selalu menjadi penonton setia Festival Film
Jerman.
e-paper harian Suara Merdeka 230613
Non