Pages

Minggu, 13 Februari 2011

Warok Suromenggolo-Suminten Edan

Deutsche Welle
15.12.10

Kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Lewat kethoprak

Pagelaran kethoprak yang digagasi Aliansi We Can ini mengusung judul “Warok Suromenggolo-Suminten Edan”. Sebuah metode kampanye yang digagas pegiat isu perempuan. Tujuannya, untuk mendorong perubahan sikap dan perilaku setiap individu secara berantai untuk menghasilkan sebuah gerakan sosial yang mampu menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Pelaksana Program Kampanye We Can, Ninik Jumoenita  mengatakan, kentalnya budaya di masyarakat juga menjadi penyebab masih banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan dimasyarakat. Data Komnas Perempuan tahun 2009 menyebut, terjadi kenaikan angka kasus kekerasan terhadap perempuan hingga 260 persen lebih, dari 54 ribu menjadi 140 ribu kasus. Karena itu, diperlukan kampanye aktif dalam bentuk apa pun, termasuk kampanye melalui jalur budaya.

”Kita tidak akan memerangi pelaku dalam konteks secara frontal, tapi kita lebih melakukan dengan pendekatan positif. Kami melihat bahwa budaya itu mempunyai posisi yang sangat strategis dalam mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Budaya itu juga berkontribusi untk melanggengkan budaya patriarki. Ketika misalnya kepercayaan yang mereka anut perempuan itu adalah makluk sub ordinat berdampak pada terjadinya kekerasan. Kalau saja budaya ini yang digemari masyarakat bisa mempengaruhi perspektif  cara berpikir masyarakat harapannya bisa berefek domino. Melalui pagelaran-pagelaran seperti ini kampanye We Can  atau nilai-nilai untuk hentikan  kekerasan terhadap perempuan ini akan tertular lebih banyak dalam tingkat pembangunan awarness.”

Sanggar  ketoprak Widya Budaya tampil bersama pegiat isu perempuan dalam ketophrak “Warok Suromenggolo-Suminten Edan”. Ketophrak ini antara lain bercerita tentang nasib dua perempuan. Cempluk Warsiyah, yang mengalami kekerasan fisik dari Surogentho karena menolak diperistri dan Suminten yang mengalami kekerasan secara psikis. Dia menderita hingga hilang ingatan karena rencana pernikahannya dengan anak adipati Trenggalek, Raden Mas Subrata dibatalkan secara sepihak. Calon suami yang dijodohkan kedua orangtuanya itu lebih memilih Cempluk, sepupunya. Anak dari warok Suromenggolo.

Lakon ”Warok Suromenggolo-Suminten Edan” diadaptasi dari babad atau cerita tutur masyarakat yang sering dimainkan dalam kesenian tradisional yang masih relevan dengan kondisi saat ini. Isinya kritik atas berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dimasa lalu, baik kekerasan fisik maupun psikis.

Lakon ini mengisahkan masih kentalnya budaya patriarki kala itu, yang digambarkan dari sikap para warok atau tokoh masyarakat yang disegani, yakni suromengolo dan surobangsat.  Mereka sering bersikap sewenang-wenang, termasuk merenggut hak atas diri anak perempuan mereka Suminten dan Cempluk untuk menentukan hidupnya.

Kisah ini sebenarnya ingin menuturkan masih banyak kekerasan fisik dan psikis terhadap perempuan. Sehingga dengan menunjukkan pesan moral tersebut, penonton menyadari segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Setidaknya itu pesan yang ingin disampaikan Rakun, sutradara ”Warok Suromenggolo-Suminten Edan”.

Ada kaitan dengan ”We Can Indonesia” seperti ketika adipati Trenggalek mencoba pemaksaan anaknya untuk dinikahkan, bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Kedua, Suminten yang sudah diberitahu akan dinikahkan ternyata tidak jadi, kita anggap satu tindakan kekerasan psikis. Adegan Surogentho yang sekarang ini juga sering terjadi bahwa kekerasan dilakukan oleh orang terdekat. Cempluk Warsiyah dan Gentho.  Dari teman sepermainan itu mencoba melakukan pemerkosaan. Jadi gambaran itulah diharapkan tidak harus terjadi dan perlu dicegah. Kita munculkan solusi. Jadi ketika ada adegan kekerasan ada yang menjelaskan Itu adalah pelanggaran. Disitulah pesan kepada masyarakat. ”

Pagelaran ketoprak selama dua setengah jam, memukau penonton. Salah satunya Dyah Ayu, mahasiswi Universitas Diponegoro Semarang.

”Sumintennya itu, dia aktingnya total banget, semua bagus. Kayak kethoprak, wayang orang, sebetulnya aku dari kecil suka. Banyak pelajaran, pesen tapi tidak terkesannya menggurui, daripada baca teks buku, apalagi dengerin orang pidato kayak gitu males. Kayak gini kayaknya lebih mengena. Oh yaa..yaa.. jadi mikir. Jadi kalau pesen-pesen yang diselipin kayak kekerasan terhadap perempuan, kadang kita tidak menyadari perempuan jadi kayak benda, tidak berkuasa atas dirinya sendiri. Jadi semua tergantung dari orang tua, dari orang-orang disekitarnya.  Tidak bisa independen.”

Direktur lembaga bantuan hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan LBH APIK Semarang, Soka Hardinah Katjasungkana menilai, pesan yang disampaikan melalui seni pertunjukan lebih mudah diserap sehingga cukup efektif sebagai alat  kampanye. Termasuk dalam kampanye yang mengangkat isu perempuan.

”Media kesenian tradisional ini sangat efektif untuk bisa menyasar kepada masyarakat. Karena selama ini kesenian tradisional ternyata masih dipilih sebagai hiburan mereka. Jadi kalo  materi pesannya dimasukkan kesenian yang masih dimnati oleh masyarakat, kami anggap ini nanti  akan bermanfaat untuk penyebaran nilai-nilai anti kekerasan terhadap perempuan.”

Sabtu, 12 Februari 2011

Milas: Mimpi Lama Sekali

Politik dan Masyarakat
Radio Deutsche Welle / Indonesian Programme
12.02.2011

Milas: Alternatif Pengentasan Pengangguran

Jumlah anak jalanan dan remaja putus sekolah terus meningkat di kota-kota besar Indonesia. Data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional kerjasama BPS dan pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Pusdatin Kesos tahun 2002 menyebut, jumlah anak jalanan hampir 95 ribu anak. Meningkat 100 % lebih dibandingkan angka tahun 1998.

Tidak mudah mengentaskan mereka lepas dari kemiskinan dan hidup dijalan. Tapi inilah yang dilakukan Milas Yogyakarta, sebuah inisiasi sekumpulan orang yang menyediakan ruang bagi mereka untuk mendapat kehidupan lebih baik. Salah satu caranya dengan pemberdayaan melalui pelatihan ketrampilan di sanggar kerajinan Milas.

Dalam Politik dan Masyarakat kali ini, saya, Noni Arni, berkunjung ke Prawirotaman Yogjakarta untuk melihat seperti apa aktivitas Milas, yang lebih dikenal masyarakat sebagai tempat makan yang menyajikan menu khusus vegetarian.

”Lulus SMP nggak punya biaya, dulu sempet kerja di rumah tangga, ikut sales. Pengen cari uang, udah capek nggak dapet duit.Sehari cuman dikasih 3 ribu. Terus ada yang nyari anak-anak putus sekolah, mau nggak kalau kursus kerajinan. Terus aku ikut di lembaga itu. Programnya udah selesai, terus ditawari gimana kalau masuk ke milas aja ikut belajar lagi. Ingin mendalami kerajinan,.”

Ana mengingat pertemuannya dengan sanggar kerajinan Milas 6 tahun lalu, ketika ia putus asa dengan kehidupan yang dilakoninya. Tawaran belajar ketrampilanpun diterima.

”Belajar tapi dikasih transport. Banyak sekali, macem-macem pelajarannya. Bisa cari uang sendiri. Kalau dulu cuman maen, sekarang disini kalau udah satu tahun udah produksi. Temen-temen masih belajar pertama dikasih transport 10 ribu, nanti beberapa bulan tambah lagi. Bikin buku, atau map. Kamu harus belajar caranya mengukur yang bener, nge-lem yang bener. Nanti kalau kualiti kontrol udah bagus bisa tingkat tinggi lagi. Sudah bisa produksi nanti transportnya ditambah 20 ribu, itu yang digaleri udah bisa bikin. Jadi kalau belajar harus telaten. ”

Kini Ana tidak hanya mahir membuat barang kerajinan tangan, tapi juga mendampingi mereka yang belajar di sanggar Milas. Bahkan Kegiatannya ini menghasilkan rupiah untuk menghidupi suami dan anaknya yang berusia 3,5 tahun.

Selain Ana, ada Febri. Siang itu, ia sedang asyik membuat mainan anak sambil ditemani suara gesekan amplasnya yang beradu dengan merdu Katon Bagaskara dari sebuah radio kecil. Remaja berusia 17 tahun ini tak mampu melanjutkan sekolah.
”Udah nggak sekolah. Ya tertarik dari pada dirumah nggak ada hiburan, cuman main-main di rumah.“

Meski baru 3 bulan, ia merasa betah bergabung di sanggar kerajinan yang terletak di bagian belakang restoran vegetarian Milas. “Suasananya enak. Ada temen-temen nanti kalau nggak bisa bisa dibantu, nanya. Hasilnya ini dimasukan ke galeri. Diajarin bikin tempelan kulkas, gantungan kunci.”

Salah satu pengelola Milas, Kartika Wijayanti mengatakan, mereka dibimbing agar produktif dan menghasilkan berbagai kerajinan berkualitas. Hasilnya dijual di galeri milik Milas yang berada di satu lokasi dengan sanggar dan restoran.

”Ada temen-temen yang kasih materi. Bikin kertas daur ulang, kerajinan kalung, tas jahit dan itu dijual ke galeri. Sejak dulu galeri berfungsi untuk menjual barang-barang kerajinan hasil temen-temen yang disanggar itu. Akhirnya berubah bentuk. Bukan rumah singgah tapi sanggar. Sanggar produksi, sanggar bikin kerajinan tapi dari temen-temen yang dulu di jalan. Temen-temen yang putus sekolahpun diajakin kesini bisa.”

Sebenarnya tidak hanya Ana dan Febri. Di sanggar kerajinan Milas ini juga terdapat puluhan orang yang belajar ketrampilan membuat barang kerajinan tangan. Belajar 4 hari dalam seminggu, mulai pukul 9 hingga 4 sore.

Mereka ini adalah penghuni sanggar Milas. Sebuah tempat yang menampung anak jalanan dan remaja putus sekolah yang tertarik untuk belajar berbagai ketrampilan. Diantaranya membuat aneka mainan anak, figura, aksesoris, tas, dompet dan kerajinan daur ulang.

Sanggar kerajinan Milas terbentuk melalui proses yang panjang. Kartika Wijayanti menjelaskan, gagasan awal pendirian Milas bermula dari kepedulian sekumpulan orang terhadap nasib anak-anak jalanan dan remaja putus sekolah di Yogjakarta.

”Dulu Sebenarnya rumah singgah, pendirinya aktif di pendampingan anak jalanan. Rumahnya dibuka, anak-anak jalanan silahkan dateng. Memang disediain sarana mandi, cuci, kasus, untuk membersihkan diri.“

Selain mendapatkan pelatihan ketrampilan disanggar Milas, seperti menjahit dan membuat kerajinan tangan, mereka juga mendapat pendampingan berupa pengetahuan tentang kesehatan, ketrampilan hidup, dan konseling informasi.

”Selain mereka datang untuk mandi, membersihkan diri, mencuci baju, ikut workshop aids, ikut tes hiv aid juga, mereka juga diajari workshop kerajinan. Terus ada workshop kerajinan yang akhirnya berkembang menjadi bengkel kerajinan. Supaya mereka tahu ada cara hidup lain yang tidak hanya dijalan. ”

Mereka belajar ketrampilan tanpa dipungut biaya, dengan jangka waktu maksimal 2 tahun.

”Kalau kelamaan disini juga ke-enakan, terlalu nyaman disini karena bisa langsung dijual disini, kalau diluar mereka harus berjuang kan. Barangnya bisa masuk ke tempat jualannya, misalnya jualan ke galeri mana ke tempat turis mana kan harus dilihat dulu.”

Yang sudah selesai belajarpun dibebaskan untuk berkembang dan membuka usaha sendiri. Sejak Milas berdiri tahun 1997, sudah tak terhitung lagi mereka yang berhasil mengembangkan diri.

” Dalam tanda kutip lulusan sanggar sudah ada yang menikah, punya usaha sendiri. Ikut sanggar dari dia masih muda sampai sekarang, dia sudah bisa jahit. Mereka memasarkan, diajari supaya setelah dari milas mereka bisa jualan sendiri, cari celah sendiri.”

Milas singkatan dari ”Mimpi Lama Sekali”. Mimpi para pendirinya, untuk mewujudkan seluruh ide membangun "Dunia yang Lebih baik" yang fokus pada pendidikan, kesehatan dan lingkungan.

Selain sanggar dan galeri kerajinan, ide Milas dikembangkan melalui usaha restoran vegetarian dan sekolah hijau untuk anak-anak pra-sekolah.

”Visi misinya Milas, lingkungan, pendidikan, kesehatan. Untuk lingkungan adalah dengan adanya dunia yang serba cepat dunia fast food atau apapun namanya juga harus diimbangi dengan model yang lebih pelan. Yang Milas bisa ya seperti ini, makananya juga dimasak lama sekali. Kalau di restonya pengejawantahannya dari sisi kesehatan adalah dengan memperkenalkan menu vegetarian itu nggak hanya makan sayur dan sayur dan tidak menarik. Dari sisi kesehatan, dari sekolah adalah memperkenalkan bahwa makanan-makanan yang dikonsumsi anak-anak sekarang itu nggak bagus, dari sisi lingkungan disini bisa anda temui misalnya kalau makan disini tidak ada pipet, tidak ada plastik, diganti dengan tas. Itu juga nanti mengerucut di bengkel produksi itu, penghasilannya dari itu, misalnya salah satu permainan harganya bisa seratusan lebih karena handmade.”

Berbeda dengan sebuah lembaga, pengelolaan Milas dilakukan secara swadaya dan donasi dari orang-orang yang peduli dengan aktivitas Milas.

”Dana swadaya dari para pendiri, jadi modelnya saling mendonasi, apalagi setelah ada resto keuntungan restonya itu juga dibagi, disisihkan untuk mensuplai. Dari teman, uangnya dari temen ke temen, jadi lewat programnya, misalnya orang selalu datang kesini boleh nggak kalau saya donasikan ke Milas karena saya suka dengan kegiatannya Milas. Seperti itu sebenarnya.”

Karena itu, Milas menjalankan prinsip nirlaba. Keuntungan dari restoran dan penjualan kerajinan termasuk donasi digunakan untuk mendukung program peningkatan kesadaran lingkungan, kesehatan dan pendidikan.

Tujuannya, tak lain untuk membangun kesadaran dan menawarkan pilihan yang lebih baik pada lingkungan sekitar.

Sanggar Milas memang bisa menjadi salah satu alternatif untuk mengajak anak jalanan dan remaja putus sekolah menjadi produktif sehingga meningkatkan taraf hidupnya. Upaya semacam ini sudah selayaknya diikuti siapa saja yang peduli dengan generasi muda yang kurang beruntung.

Pendengar, demikian kunjungan ke sanggar Milas di Prawirotaman Yogyakarta, saya Noni Arni, salam.

Sabtu, 08 Januari 2011

Mengintip Semarang United Football Club


INDONESIA PLUS MINUS
Semarang United Football Club (SUFC)

Deutsche Welle / indonesian programme
06.01.2011


Sejak dibentuk tiga bulan lalu, para pemain ”blue devil” Semarang United langsung menjalani latihan intensif, untuk persiapan tampil pada kompetisi Sepak Bola Liga Primer Indonesia  yang digelar 8 Januari mendatang.
Meski didominasi pemain muda,  klub yang berbasis di Semarang Jawatengah optimis maju menjadi salah satu kontestan dan berlaga di LPI musim 2011. 


Meski tidak mentargetkan juara, untuk memperkuat  skuad SUFC, pelatih Semarang United Edy Paryono, merancang 20 pemain lokal dan 5 legiun asing.  Dalam seleksi ketat, mantan pelatih PSIS dan asisten pelatih Ivan Kolev ini, tidak hanya merekrut pemain muda  berpotensi tapi juga pemain senior yang telah merumput di beberapa kompetisi. 


“Amrildo de Souza merangkap kapten itu dari Brasil, Amancio Fortes, pemain berdarah Australia nama Josh Maguire. Disamping beberapa pemain muda lokal disini ada M yusuf. Diajang promosi ini diharapkan mereka bisa prestasi terhadap tim kita dan punya masa depan yang bagus, diantaranya Eko Prasetyo, Iwan HW, Sandy,  Yuda, Haryadi.  Ini prospek-prospek ke depan, diharapkan mereka sebagai penopang dari tim. Ada beberapa pemain lama  jebolan PSIS atau klub-klub lain, pemain senior yang sudah turun di LI atau Super League,  diantaranya Komang Mariawan, Rahman  Lestahulu, Widi Wianto, Sampelo. Kita ini baru melangkah yang pertama kali, namun tidak bisa diartikan hanya sekedar tampil, prestasi tentu tapi tidak terklalu arogan-lah. Sementara untuk target juara atau apa  ini ”keplesetnya” kalau mungkin saya katakan seperti itu. Main bagus, maksimal. Tahapan ini bisa kita lakukan, Juara pasti bisa kita dapat.”

Bahkan untuk permainan maksimal, Vice President Semarang United, Novel Albakrie berani membayar Amancio Fortes, pemain asing termahal di Indonesia yang pernah bermain di Manchester United U-17.


”Kami mengunggulkan yang lokal adalah muhammad yusuf, asing adalah  Amancio Fortes, pemain yang mendapat gelar golden boy dari Manchaster United yunior. Ini merupakan aset bagi Semarang United kedepan mengingat relatif masih muda dengan usia 20 tahun.”

Nilai kontrak ke-19 pemain Semarang United yang telah menandatangai kontrak mencapai 10 miliar rupiah. Sementara itu, selama membela Semarang United, mantan pemain Manchaster United U-17 Amancio Fortes dikontrak senilai 3 miliar plus 1 miliar untuk fasilitas.



 noni arnee

Rabu, 24 November 2010

Candi Borobudur Berselimut Abu

Jendela Budaya

Radio Deutsche Welle Jerman/ Indonesian Programme
24.11.2010


Pasir dan abu vulkanis letusan dasyat gunung Merapi di Yogyakarta dan Jawatengah yang terjadi sejak 26 Oktober telah menutup rata hampir semua bangunan Candi Borobudur di Magelang Jawatengah dan memporak- porandakan fasilitas pendukungnya. Akibatnya, selain terancam rusak, aktifitas pariwisata di situs bersejarah warisan pusaka dunia yang disulap menjadi obyek wisata paling populer di Indonesia ini lumpuh. Seperti apa dampaknya ?

Pelataran parkir Taman Wisata Candi Borobudur yang biasa dipenuhi pedagang cinderamata kini nampak lengang. Padahal hari Sabtu di pertengahan November ini adalah hari pertama obyek wisata ini kembali dibuka terbatas untuk umum, setelah sebelumnya ditutup selama dua pekan. Pendengar, saya Noni Arni koresponden Deutsche Welle di Jawa Tengah, mengunjungi Candi Borobudur

Terlihat hanya beberapa pedagang memperbaiki kios dari terpaan tebalnya abu vulkanis yang sesekali beterbangan tersapu angin. Atau duduk dan ngobrol menunggu pengunjung datang. Seperti yang dilakukan Sapari, pedagang kartu pos.

”Belum laku. Disini nunggu tamu kalau ada. Kalau tidak ada cuman nongkrong begini. Saya jualannya di zona 2 di dalam sana. Tapi sementara ini tidak ada, pengunjung aja tidak bisa naik ke Borobudur. 15 hari tidak aktifitas, di rumah tidak ada kerjaan, ada tabungan dikit sekarang tapi sudah habis buat anak sekolah.”

Tanpa kunjungan para wisatawan lokal dan mancanegara yang biasanya ribuan jumlahnya, tidak banyak aktifitas. Dari ratusan kios cinderamata dan makanan, hanya segelintir yang buka. Johan, pedagang cinderamata terpaksa beralih berjualan masker.

”Karena tidak punya ladang dan sawah. Kerja disini untuk menafkahi anak dan istri, setelah Borobudur kehujanan abu, pedagang asongan ada yang dagang masker, kacamata di jalan-jalan sekitar Magelang. Ada setengah bulan tidak boleh berjualan, makanya kita cari omset diluar. 10 ribu – 5 ribu bisa untuk mencukupi di rumah.”

Letusan Merapi yang mengeluarkan material hingga 150 juta meter kubik ini telah melumpuhkan perekonomian tiga ribu lebih pedagang yang menggantungkan hidup dari pariwisata di Borobudur. Kepala Unit Taman Wisata Candi Borobudur, Pujo Suwarno, mengatakan bahwa kini wisatawan sudah boleh masuk, tetapi hanya di tamannya. Ia juga menambahkan, penurunan pengunjung akan terasa hingga tahun depan.

“Dengan erupsi merapi kita terkena dampak langsung. Kalau 20 persen wisatawan asing kan sangat terasa sekali bagi kita maupun pelaku usaha di borobudur. Sebelumnya total kunjungan 2,8 juta tapi dengan adanya ini praktis harus kita revisi total termasuk untuk target kunjungan 2011 harus kita revisi .”

Sementara itu, Kepala seksi pelayanan teknis Balai Konservasi candi Borobudur, Iskandar Mulia Siregar mengatakan, penutupan harus dilakukan karena batuan candi, vegetasi dan sarana infrastruktur di candi Borobudur rusak dan tertutup abu vulkanis dengan ketebalan hingga 3 sentimeter. Sehingga tidak memungkinkan untuk dikunjungi.

“Merata di seluruh bagian candi yang horizontal. Lantai, bagian atas, Arupadatu rata diselimuti abu. Dalam jangka waktu menengah dan panjang karena abu itu bersifat asam akan mempercepat pelapukan batu.”

Menurutnya, uji laboratorium menunjukkan pelapukan terjadi karena abu vulkanik Merapi mengandung zat silica dan sulfur yang bersifat korosiff dengan tingkat keasaman hingga 5. Sehingga bebatuan, stupa dan relief candi harus segera dibersihkan untuk mencegah kerusakan.

“Yang kita lakukan terutama membersihkan abu pasir yang menempel diseluruh batu-batu candi dengan teknik khusus. Mengoreknya pelan-pelan. Seperti melakukan penggalian.”

Sedikitnya 60 tenaga Balai Konservasi Candi Borobudur dan tiga ribu lebih relawan dari berbagai elemen dilibatkan untuk proses pembersihan. Salah satunya siswa pertukaran pelajar asal Jerman, Lara sobowsky.

(terjemahan) : ” Ini pertamakali saya ke borobudur. Saya senang dapat kesempatan kesini dan membantu membersihkan borobudur. Ini seperti mimpi masa kecil. Waktu kecil ingin jadi arkeolog. Ini menyenangkan dan saya menikmatnya. Meskipun disini sangat panas dan abunya tidak baik untuk kulit saya. Tapi ini cukup menyenangkan.”

Ini adalah kasus pertama didunia, sehingga proses pembersihan harus dilakukan dengan hati-hati, imbuh Direktur Peninggalan Purbakala Kementrian Budaya dan Pariwisata, Yunus Satrio Atmodjo.

“Untuk Indonesia ini sebuah eksperimen yang luar biasa, karena kita sudah mencari literatur dari mana-mana ternyata tidak ada yang menangani masalah ini. Terkait world heritage standarnya berbeda. Belum pernah world heritage mengalami seperti ini. Makanya kita sedang dicermati orang banyak.“

Sehingga menurutnya, butuh waktu lama hingga sebulan lebih untuk menyelesaikannya. Dan keberhasilannya nanti akan menjadi tolak ukur bagi dunia.

“Kalau kita berhasil maka dunia akan mempunyai sebuah pelajaran baru. Bagaimana mereka harus bereaksi dengan suasana keotik, ketika gunung meletus mengendapkan abu dan itu akan berefek pada world heritage, mereka akan belajar dari Indonesia. Ini adalah salah satu contoh yang akan kita gunakan sebagai standar, dipakai untuk semua jenis tinggalan purbakala.”

Memang butuh waktu untuk memulihkan candi peninggalan raja Samaratungga di abad ke 8 ini hingga nafas kehidupan mulai bisa berdenyut kembali, seperti sebelumnya.

Pendengar demikian jendela budaya kali ini. Saya Noni Arni, terimakasih telah mendengarkan

Senin, 25 Oktober 2010

Jogja Java Carnival

Deutsche Welle Radio
21.10.10

Mod :
Layaknya sebuah ulangtahun yang selalu dirayakan dengan kemeriahan. Sabtu malam pekan lalu, kota Yogyakarta merayakan puncak peringatan hari jadi kota yang ke-254 dengan menggelar sebuah acara spektakuler. Namanya Jogja Java Carnival. Sebuah acara untuk menyampaikan pesan kebersamaan dan kemajemukan, yang dikemas dalam bentuk karnaval kolosal. Pendengar, saya Noni Arni melaporkannya untuk Anda dalam Jendela Budaya.

Atmo kerumunan ribuan warga yang menunggu pawai

Gerimis malam itu tak menghalangi ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya untuk memadati bibir ruas jalan Malioboro hingga alun-alun utara Keraton Yogyakarta sepanjang 1,5 kilometer. Mereka nampak antusias berdesakan menanti sebuah karnaval malam hari.

Atmo karnaval

Tak lama kemudian musik gamelan etnik pun menggema di sepanjang jalan mengiringi barisan wayang, aneka reog, jathilan, dan kereta kencana yang pembawa pengantin jawa. Pawai karnaval dimulai dengan fragmen “golong gilig“ diatas kendaraan hias. Sebuah atraksi simbol jati diri kota Yogyakarta yang terbuka dengan budaya lain sebagai bentuk keragaman budaya. Ketua Badan Promosi Pariwisata Yogyakarta, Deddy Pranowo Eryono juga menambahkan, bahwa karnaval ini menjadi sarana promosi pariwisata yang menarik.

Oton Dedy Pranowo : “Jogja Java Carnival ini bisa menggema tidak hanya di lokal tapi juga nasional bahkan Internasional. Nah ini diperlukan untuk investasi sebuah pencitraan. Jadi kami sebagai pelaku wisata sangat mendukung dengan adanya Jogja Java Carnival ini, karena untuk menarik wisatawan disebuah destinasi diperlukan sebuah even yang spektakuler. Kita berharap target jumlah kunjungan wisatawan ini akan meningkat. Saya kira ini menjadi promosi yang sangat luar biasa.“

Atmo karnaval

Dalam karnaval ini, tujuh kendaraan hias menjadi atraksi utama karnaval dengan seribu lebih penari, diantaranya kendaraan yang mengususng tema Gunungan, Putri Bulan, Tugu Golong Gilig, Tuwuh atau pohon tumbuh, Dewi Air, dan Naga Jawa, serta berbagai atraksi kontemporer lainnya.

Atmo karnaval

Tidak hanya itu, karnaval ini juga membawa pesan lingkungan hidup melalui “Bumi Kebranang“, yakni bola dunia setinggi 10 meter yang terus berputar diatas kendaraan hias, yang dilengkapi dengan beberapa penari berbusana simbol sampah, pohon, air dan api. Mereka meliuk-liuk membawakan pesan dampak pemanasan global.

Atmo karnaval

Semua simbol dalam pawai karnaval itu merupakan perwujudan dari tema yang diusung dalam Jogja Java Carnival, yakni keselarasan dengan sesama, keselarasan dengan alam dan keselarasan dengan pencipta.
Wakil Walikota Yogyakarta, Haryadi Suyuti mengatakan, karnaval ini mengusung tema besar “harmonight“, yang dikemas dalam balutan keberagaman seni dan budaya.

O-ton Haryadi Suyuti: “Harmonight itu dari kata harmony at night , suatu keharmonisan di malam hari . Keharmonisan dari suasana karnaval, harmonisasi budaya, harmonisasi kekuatan lighting, sound dan juga performance, antara penyelenggaraan dengan masyarakat yang menyaksikan. Harmonisasi dari manusia dengan lingkungannya, artinya bahwa kita mengusung tema-tema lingkungan. Sebagai salah satu contoh kita berbicara budaya dan budaya itu kita tetapkan menjadi tema pokok, intinya adalah kesatuan budaya. Aspek dari tempat bukan Java dalam arti budaya jawa. Budaya yang selalu kontemporer selalu ada dinamisasi yang bisa diterima tidak hanya masyarakat Kota Yogya tapi juga Indonesia dan masyarakat internasional.“
Tidak hanya atraksi memukau, kostum dan kendaraan hias yang mengeluarkan pendar cahaya di malam hari. Kemajemukan juga terlihat dari musik pengiringnya yang memadukan kesenian tradisonal gamelan dengan musik kontemporer. Salah satu tim kreatif Jogja Java Carnival, SP Joko mengungkapkan,

Oton SP Joko: “Nuansa yang sangat kuat, suara, bende, jathilan karena hal yang sangat terasa salah satunya gamelan jelas, kemudian iringan jathilan atau reog, kita coba meresponapa-apa yang dianggap masrginal tapi ini bsa dianggkat menjadi satu hal yang menasional bahkan menginternasional. Ini Bentuk responsif kita coba harmonisaskan dengan satu hal yang arif. Artinya nuansanya kental dengan instrumen suasana prajurit keraton yang berjalan, kentongan juga sangat merakyat, wilayah yang ajep-ajep, dugem juga kita respon.“

Menurutnya, musik dalam karnaval ini juga menjadi simbol bahwa Yogyakarta adalah kota yang terbuka dan bisa menerima pluralitas. Ini yang membedakan Jogja Java Carnival dengan karnaval lain.

Atmo karnaval
Haryadi Suyuti yang juga selaku ketua panitia Jogja Java Carnival, mengatakan, bahwa ditahun ke-3 ini, penyelenggaraannya tidak sekadar perayaan peringatan hari jadi kota, tetapi juga sebagai penanda awal sebuah acara tahunan yang diharapkan mampu menyedot wisatawan dan semakin mengokohkan Yogyakarta sebagai ikon pariwisata.

Oton hHaryadi Suyuti: “Ada dua hal tujuan kegiatan ini, yang pertama adalah ulang tahun, kemeriahan pada malam harinya. Yang kedua adalah ikon wisatanya, jadi ada aspek untuk mendatangkan wisatawan. Sehingga orang bisa datang ke Jogja jauh-jauh hari. Ada impian besar bahwa kita punya karnival yang memang diselenggarakan malam hari, seluruh warga tumpah ruah sebagai wujud rasa syukur. tidak hanya orang Jogja tapi juga negara lain sehinga menjadi salah satu agenda yang dicatat dalam kegiatan pariwisata tingkat dunia.“

Masyarakat pun ikut menikmati. Salah satunya Yuliani warga Yogyakarta. Ia bangga dengan adanya even karnaval ini di kotanya. Ia datang dan menyaksikan bersama keluarganya dan 2 keluarga lainnya, ditambah 9 anak anak. Ia merasa beruntung anak anak nya dapat ikut meyaksikan Jogja Java Carnival.

Oton Yuliani : “Kreatif melestarikan budaya Yogyakarta, budayanya bisa menampung semua seniman-seniman di seluruh dunia. Bisa menerima. Yang pertama itu budaya petruk punokawan khas Indonesia. Biar anak-anak tahu budaya kita begini gitu lho, budaya wayang, tari-tari Jogja biar tahu.. pernah nonton di Malioboro dan di luar kota juga. Meriah yang ini.

Begitu juga Emilia Tini dan Iwan Karuntu, warga Bantul yang sengaja datang bersama anak cucunya untuk menyaksikan pawai spekakuler ini.

Oton Emilia Tini : “Lumayan bagus , variasi macam-macam jenisnya, pawai lumayan bisa menghibur. Seperti barongsai.“

Oton Iwan Karuntu : “Ada reog , bagus sekali , jadi sesuai dengan kota Yogyakarta yang kota budaya dan kota seni. Ikon-ikon yang ada di Yogya mengenai kreatifitas dari para senimannya yang menonjol sekali. Tahun yang lalu pernah ada karnaval tapi tidak semeriah ini. Ini muncul semua , dari kesenian-kesenianya semua tampil, dari yang tradisional sampai yang modern ada. Harapan saya setiap tahun bisa seperti ini. Bahkan Mungkin bisa lebih lagi melibatkan dari manca juga.“

Iwan menambahkan, acara ini bisa dijadikan sarana untuk mengenalkan dan menanamkan rasa memiliki seni budaya leluhur kepada anak-anak.

Atmo suasana karnaval

Dibawah gerimis langit malam hari, karnaval ini diakhiri dengan pesta kembang api selama limabelas menit. Ribuan warga berteriak takjub sambil memandang ke langit menyaksikan kota mereka yang berubah menjadi lautan kelap kelip kembang api yang indah.

Atmo pesta kembang api diiringi dengan suara kemeriahan warga

Pendengar demikian jendela budaya kali ini. Saya Noni Arni, terimakasih telah mendengarkan

Atmo closing tepuk tangan kemeriahan fade out