Pages

Senin, 08 Juli 2013

The Lone Ranger : Dongeng dari Old West



Setelah Batman, Spiderman, Ironman, dan Superman, satu lagi pahlawan ikonik Amerika hadir menghiasi bioskop di musim panas ini. Bukan dengan kepiawaian terbang atau kecanggihan teknologi robot yang menyatu dengan otak manusia. Tapi, pahlawan bertopeng dari Old West yang muncul dengan kuda stallion putih bernama silver dan  Ke-mo sah-bee (kawan yang sangat dipercaya) berkulit merah.

Ya, itulah karakter legenda Lone Ranger, yang bermula dari kisah drama radio era 1933 di radio WXYZ yang diadopsi serial televisi populer hingga sewindu (1949-1957) dan dibawa ke layar lebar di tahun 1956 dan 2003 silam.

Setelah satu dekade, aksi Texas Ranger John Reid dan Tonto dihidupkan kembali oleh duet Gore Verbinski dan Jerry Bruckheimer (sutradara dan produser Pirates of the Caribbean) lewat kisah fiksi klasik The Lone Ranger.


Film yang bercerita tentang transformasi  seorang Ranger menjadi pahlawan bertopeng dengan julukan The Lone Ranger  bersama pejuang asli Amerika bernama Tonto untuk menegakkan keadilan .
Dalam versi radio, nama George Seaton, Earle Graser, dan Brace Beemer begitu populer. Pun dengan versi layar kaca yang mengorbitkan nama Clayton Moore sebagai Lone Ranger, dan sosok Tonto lewat peran John Todd, Roland Parker, dan Jay Silverheels.

Tapi versi film terbaru yang dirilis rabu (3/7) di bioskop ini, betul-betul berbeda dari versi sebelumnya. Selain efek visual memukau ala LucasArts, di film dengan biaya 260 Juta dollar AS ini lebih menonjolkan sosok Tonto ( dimainka Johnny Depp), ketimbang  sang tokoh utama The Lone Ranger (dimainkan Armand Douglas Hammer atau Armie Hammer).

Dalam “dongeng dari Old West” kali ini, sutradara Gore Verbinski sengaja memasang Tonto lebih dari sekadar mitra sang hero. Lelaki  Indian itu menjadi narator  yang mengajak penonton mendapatkan kisah awal mantan penegak hukum John Reid menjadi  seorang legenda Lone Ranger yang muncul untuk melawan ketidakadilan dan kejahatan  di tahun 1869 dalam petualangan seru  nan kocak .

Ini terlihat dalam adegan awal ketika Tonto memimpin pertarungan berbahaya di kereta berjalan, saat melarikan diri dari penjahat, sementara sang pahlawan bertopeng, menjelma menjadi sosok naif yang tidak sadar dalam bahaya.

"Cerita itu sudah diketahui orang banyak, tapi kami belum pernah mendengarnya dari sosok yang ada di lokasi. Ini bukan sejarah yang diceritakan dari stasiun radio, studio film, atau jaringan Anda, tapi ini diceritakan dari Tonto dan kenangan dan ingatannya yang mungkin saja dipertanyakan ," ujar Gore Verbinski  yang mengaku  punya “banyak pintu” untuk mendongeng tanpa mengubah elemen inti seperti topi putih dan topeng keadilan, Silver dan peluru perak.

"Saya membuat tokoh Tonto sebagai sosok pendamping,  narator atau penghantar cerita, sekaligus membuka pintu ke banyak cerita lainnya.”

Fantasi Kelam
Tak hanya itu,  The Lone Ranger dibuat dengan ciri khas film fantasi kelam bergaya dark  yang menjadi cirri khas Verbinksi. Itu kita lihat juga pada film garapannya The Ring dan tiga film pertama Pirates of the Caribbean.

Untuk merepresentasikan dan menghidupkan Tonto, lagi-lagi Verbinski memilih aktor mahal Hollywood Johnny Deep yang konon memiliki darah suku asli Amerika yang tahun lalu menjadi anggota  kehormatan suku Indian Comanche di Albuquerque, New Mexico dan menjabat marshal besar Comanche di Oklahoma.
"Sejak kecil, aku melihat seri Lone Ranger di televise dan aku selalu mengaguminya. Aku suka Jay Silverheels. Opini mengenai penduduk asli Amerika telah lama salah dipahami dalam sejarah perfilman. Jadi menurutku film ini adalah kesempatan yang tepat untuk membalikkan presepsi tersebut dalam benak penonton," ungkap Johnny Deep seperti dikutip Digital Spy.

Pesona Depp dalam The Lone Ranger memang dominan tapi tanpa “mengurangi” pamor bintang utama aktor pendatang baru Armie Hammer ( bermain dalam The Social Networks). Sejumlah bintang papan atas Hollywood juga terlibat seperti Tom Wilkinson (Batman Begins), William Fichtner (The Dark Knight), James Badge Dale (Iron Man 3), dan Helena Bonham Carter (Dark Shadows, Les Misérables).

Film koboi termahal ini juga semakin lengkap dengan latar replica kota Old West yang dibuat semirip aslinya. Lihat misalnya terowongan dan jalur kereta sepanjang 200 kaki dengan dua kereta api seberat 250 ton lebih. Dan meninggalkan penggunaan teknik komputer CGI atau miniatur untuk adegannya.


"Film ini adalah kisah epik dan saya tidak ingin membuatnya terlalu indah dan terlalu cantik. Kita semua tahu bagaimana bentuk kereta dan kuda, jadi saya ingin menangkap gambar kereta dan kuda dan melakukannya dengan cara kuno,” ungkap sang sutradara.

Cara inilah yang membuat proyek film The Lone Ranger  yang seharusnya selesai diproduksi dua tahun lalu tersendat karena Walt Disney mengencangkan “ikat pinggang” hingga menunda syuting pada Februari tahun lalu dan baru bisa dirilis awal Juli ini.

Menariknya, film ini mengusung kembali tim film mega-blockbuster Disney, Pirates of the Caribbean melalui kolaborasi Johnny Depp, Gore Verbinski, produser Jerry Bruckheimer, penulis skenario Ted Elliott dan Terry Rossio
yang berhasil membawa sekuel film itu menjadi salah satu film terlaris sepanjang masa.

Meski film ini terbantu secara komersil dengan kehadiran Johnny Deep, polesan The Lone Ranger hampir tak memiliki “warna” baru dan lebih terkesan sebagai  kemasan lain Pirates of the Caribbean lewat aksi humor ala Jack Sparrow.

Ya, memang banyak kemiripan. Seperti gaya dan kostum  Indian  dengan wajah bercat putih yang terinsiprasi dari lukisan Kirby Sattler  ini sekilas mirip kapten Jack Sparrow. Pun  dandanan unik dan nyentrik koboi masa lalu untuk disodorkan pada khalayak abad ke-21.

Bagi para penggemar cerita fiksi yang pernah ngetop pada tahun  1940an, The Lone Ranger bak nostalgia. Dan bagi generasi sekarang, ini menjadi cara mengenalkan ikon budaya Amerika. Apalagi ditambah dengan penampilan eksentrik Tonto di sampul depan majalah Rollingstones Amerika edisi Juli, apakah kolaborasi tim The Lone Ranger bisa mengulang sukses  sosok Kapten Jack Sparrow sebagai ikon budaya pop?

-Non- 070713

Minggu, 23 Juni 2013

Bingkai Sejarah dalam Film Jerman



German Cinema Film Festival :

Foot..ball?”
Pertanyaan singkat itu datang dari seorang muridnya saat Konrad Koch menunjukkan benda berbentuk bundar di tangannya. Sekembalinya dari Inggris pada 1874, sebagai guru utama, Konrad seharusnya mengajar bahasa Inggris.

Tapi apa yang dia lakukan? Di tengah rutinitas mengajar bahasa Inggris, Konrad menyebar menyebarkan “virus” sepak bola kepada siswa-siswanya yang selama ini terbelenggu “kepatutan dan keteraturan” dan menyulap dengan semangat tim dan sportivitas di lapangan hijau.

Pihak sekolah dan para orangtua meradang atas kelakuan sang guru muda yang dianggap melanggar kebiasaan di Kekaisaran Jerman karena membawa  olahraga “barbar”.

Ya, kisah Konrad melawan “ketaatan gaya Jerman” dengan sepak bola yang kala itu dicela sebagai “penyakit Inggris”  menjadi tema utama cerita dalam film Der Ganz Große Traum (Impian Sangat Besar) (2011). Dari film yang bersandar pada kisah sejarah itu, kita tahu seperti apa sepak bola di Jerman (juga saat masih bernama Jerman Barat).

Film itu besutan sutradara Sebastian Grobler dalam suasana vintage. Akting Daniel Brühl yang memainkan Konrad Koch juga sangat memukau. Wajar saja, film itu meraih sejumlah penghargaan pada festival film di dunia, antara lain  Predikat Sangat Bernilai dari Badan Penilai Film dan Media Wiesbaden, Penghargaan Publik Seksi Generasi pada Festival Film Internasional Rio de Janeiro, Hadiah Pertama Festival Film Anak-Anak ke-26 Düsseldorf.

Film tersebut dipilih sebagai pembuka dalam perhelatan German Cinema Film Festival,  di Jakarta, Kamis (20/6) lalu. Selain di Jakarta, perhelatan kali kedua itu bakal berlangsung 10 hari (20-29 Juni) di tujuh kota besar  lain, yaitu Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Medan, Balikpapan, dan Palu. 
Tak hanya  Der Ganz Große Traum, pada festival yang dimotori Pusat kebudayaan Jerman Goethe-Institut diputar 14 film lain yang telah memenangi beberapa penghargaan internasional. Semua beraras pada satu hal: film yang mengandung unsur sejarah.

Sebut saja Barbara karya sutradara Christian Petzold adalah drama sejarah di Berlin Timur sekitar 1980-an. Begitu pula Halt Auf Freier Strecke (Berhenti di Tengah Jalan) karya Andreas Dresen, Die Farbe Des Ozeans (Warna Samudera) karya Maggie Peren, Sound of Heimat (Suara Kampung Halaman) karya Arne Birkenstock dan Jan Tengeler. Atau film karya Percy Adlon dan Felix Adlon yang bertajuk Mahler Auf Der Couch (Mahler di Sofa).

Selain itu, This Ain't California karya Martin Persiel, Wintertochter (Puteri Musim Dingin) arahan Johannes Schmid, Der Verdingbub (Bocah Pekerja Titipan) karya Markus Imboden, Vergiss Mein Nicht (Jangan Lupakan Aku) karya David Sieveking, dan 5 Jahre Leben (5 Tahun) karya Stefan Schaller.

Pola Omnibus
Menarik salam perhelatan itu ada sebuah film berpola omnibus yang dalam sinematigrafi Jerman disebut dreileben. Film garapan tiga sutradara dengan kisah yang tentu saja masing-masing sutradara memakai pendekatan dan gaya berbeda, tetapi dirangkai menjadi satu kesatuan. Ketiga film yang masuk kategori itu adalah Etwas Besseres als den Tod (Lebih Baik daripada Mati) karya Christian Petzold, Komm Mir Nicht Nach (Jangan Mengikutiku) karya Dominik Graf, dan Eine Minute Dunkel (Semenit Kekelaman) karya Christoph Hochhausler.

Di luar perhelatan tersebut, Jerman bagaimanapun lekat dengan sejarah perfilman dunia dan tak bisa dipandang sebelah mata. Di Negara inilah dua bersaudara Germans Max dan Emil Skaldanowsky mengembangkan teknologi rol selulosa menggunakan proyektor  dengan menayangkan film berdurasi 15 menit pada sebuah teater di Berlin pada tahun 1895.

Meski kemudian industri film lokal Jerman terhempas hingga tahun 1913 lantaran dianggap tak signifikan dan reputasi rendah karena selalu menyajikan tema kejahatan. Kehancuran film Jerman pada masa itu juga disebabkan dominasi  firma film Pathé dari Perancis yang menguasai industri perfilman dunia. Semua film mereka selalu laris dan  paling sering diputar di berbagai bioskop dengan antrean penonton membludak.

Tapi, sineas Jerman terus bangkit dan berusaha membuat literatur film yang lebih elegan dan pretisius hingga Jerman sangat  terkenal lewat kemunculan Autorenfilm, genre film yang kaya akan efek visual layaknya film D’art dari Perancis.

Film yang pertama berjudul 1st Der Andere (1913) karya  Max Mack atau Die Landstrasse (jalan Kampung- 1913) karya  Paul Von Woringen yang dianggap sebagai film luar biasa memuaskan dalam segi teknik eksplorasi dan ekspresi sinematik.

Setelah masa-masa film propaganda Nazi yang dimotori Joseph Goebbels, Jerman terus bangkit dalam industri perfilman. Hanya saja, ada kecenderungan besar pada kalangan sineas yakni kesukaan pada tema sejarah. Lola Rennt (Lola Berlari-1998) karya Tom Tykwer misalnya berkisah mengenai upaya Lola melintasi Tembok Berlin.

Begitu pula saat memasuki millennium ketiga, kecenderungan itu masih tampak sekali. Film Good Bye, Lenin!(2003) kaeya Wolfgang Becker yang mengisahkan kehancuran Tembok Berlin diputar di 70 negara lebih, atau film karya Florian Henckel von Donnersmarck bertajuk Das Leben der Anderen (2007)   yang mengangkat kehidupan penduduk semasa pemerintahan Republik Demokratik Jerman (Jerman Timur).Yang pasti, film-film dari sineas Jerman mulai disukai di sini. Itu terbukti ribuan orang hampir selalu menjadi penonton setia Festival Film Jerman.

e-paper harian Suara Merdeka 230613
Non

Rabu, 27 Maret 2013

Surga Di Perut Bumi



Saya dan rombongan beberapa kali ‘’kesasar’’ karena tak begitu banyak petunjuk jalan menuju ke lokasi cavetubing ketiga di dunia. Selain mengandalkan informasi di persimpangan jalan, kami beberapakali harus bertanya pada warga sebelum tiba ke gua Pindul. Lokasi cavetubing (susur gua dengan perahu karet atau ban dalam) yang terletak di Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Karangmojo, Gunung Kidul. Tepatnya, sekitar tujuh kilometer dari pusat kota Wonosari.
Gua Pindul merupakan satu dari rangkaian tujuh gua horizontal yang dialiri sungai bawah tanah dari sungai Oya di daerah Bejiharjo. Aliran air yang sangat tenang ini memiliki panjang sekitar 350 meter, lebar rata-rata lima meter, dengan kedalaman air antara empat hingga tujuh meter dan permukaan setinggi empat meter. 
Ya, karst di daerah Gunung Kidul ini merupakan satu-satunya wisata cavetubing di Indonesia. Dan satu dari tiga tempat cavetubing populer yang ada di dunia setelah cavetubing Belize di Mexico dan Waitomo yang berada di Pulau Utara Selandia Baru. 
Memang, tak banyak yang tahu karena wisata minat khusus yang memadukan petualangan olahraga rafting (arung jeram), caving dengan tube di gua dengan aliran sungai bawah tanah ini terbilang jarang di Indonesia.
 “Silahkan antri karena semua peralatan masih terpakai,” jelas pengelola sambil menyuguhkan welcome drink segelas jahe hangat. Peminat cavetubing di gua Pindul begitu membludak setiap akhir pekan.  50 set peralatan cavetubing telah habis hingga kami harus rela menunggu giliran sekitar satu jam.
***
Setelah berhasil memakai jaket pelampung dan membawa ban pelampung, kami diajak pemandu menyusuri jalan setapak diantara rumah dan kebun warga menuju lokasi yang berjarak sekitar 100 meter.
Cavetubing di gua Pindul ini cukup mudah. Tidak perlu latihan dan ketrampilan khusus. Kami satu persatu hanya duduk di atas pelampung ban karet jumbo yang  berjejer. Dan si pemandu, akan mengendalikan pelampung dengan menyeret  bagian depan dan belakang. 

 Sambil menikmati pemandangan dan merasakan dinginnya air sungai, kami memasuki di zona terang. Di mulut gua ini, kami disuguhi cerita legenda masyarakat tentang asal-usul penamaan Gua Pindul. Kisah yang bermula dari pengembaraan Joko Singlulung mencari ayahnya. “Ketika menyusuri tujuh gua yang memiliki aliran sungai di bawahnya, kepala Joko terbentur batu besar, kemudian gua ini dinamakan Gua Pindul. Asalnya dari kata pipi gebendul,” cerita Badri, warga setempat yang menjadi pemandu.

Legenda lain di gua ini juga berada di zona remang. Badri dengan fasih menjelaskan ornamen cantik yang ditemui di sepanjang ber-cavetubing seperti moonmilk, stalaktit dan stalagmit yang terlihat dari bias cahaya matahari dan lampu senter. Salah satunya, stalakmit batu perkasa di sisi kanan yang konon bisa menambah “kejantanan” laki-laki yang menyentuhnya. Juga ceruk mini stalaktit di dinding gua yang mengeluarkan tetesan air mutiara dengan khasiat awet muda. Ada pula stalaktit gong yang menghasilkan suara mirip gong saat dipukul. 


Perjalanan dilanjutkan menuju sebuah stalaktit peringkat keempat terbesar di dunia yang berbentuk pilar raksasa. Lebarnya lima rentangan tangan orang dewasa. Ujung stalaktit ini masuk ke dalam sungai bawah tanah dan menutup sebagian rongga gua yang masih aktif hingga kini. Pilar yang terbentuk dari proses pertemuan stalaktit dan stalagmit berusia ribuan tahun ini menjadi batas antara zona remang dan zona gelap abadi. Posisinya menyempit dan hanya bisa dilewati seukuran satu ban karet, kami harus melewati secara bergantian. Dan untuk alasan keselamatan pula, kami dilarang menyentuh dengan keras.



Di lorong gua zona gelap abadi, cahaya matahari tidak terlihat sama sekali. Satu-satunya penerangan hanyalah senter di kepala pemandu yang menyorot ke beberapa ceruk-ceruk di atap gua yang dihuni kelelawar. Stalartit dan stalagmit dengan warna kristal juga terlihat di beberapa sudut. 

Sepuluh menit kemudian, seberkas cahaya terlihat dibalik sebuah tikungan. Ini  menjadi pertanda cavetubing telah memasuki zona terakhir goa vertikal (luweng). Zona  yang menyerupai kolam besar. Biasa digunakan untuk beristirahat, berenang atau ’’aksi’’ meloncat dari atas tebing gua setinggi tiga meter.
Cavetubing berakhir di bendungan Banyomoto. Bendungan yang dibangun sejak jaman Belanda dengan latar belakang perbukitan karst ini menjadi titik poin  terjun bebas para penyusur gua. Tantangannya dengan uji nyali naik ke dinding tebing batu dan menceburkan diri dari ketinggian lima meter. Byuuuurr..!!!

Di lokasi ini pula mobil pick up siap menjemput menuju tempat transit untuk menikmati segelas jahe hangat dan membayar petualangan sepanjang 60 menit. Tarifnya hanya Rp 25 ribu. Harga ini sudah termasuk jasa pemandu, peralatan cavetubing (ban dalam, jaket pelampung, headlamp), dan welcome drink ala desa. 

***
Rasa penasaran menyusuri gua berlanjut dengan mencoba tantangan petualangan ekstrim gua Sioyot. Pengelola sengaja merahasikan kondisi di dalam gua sepanjang hampir satu kilometer ini. Pemandu hanya meminta kami menggunakan helm, sepatu dan menyimpan barang berharga dalam drybox atau menaruh di tempat penitipan barang. 

Gua Sioyot berada berada dibalik rerimbunan pohon perkebunan milik warga. Jaraknya sekitar 100 meter dari pos sekretariat. Saya cukup terperanggah karena tantangan menyusuri gua ini sudah dimulai sejak memasuki bibir gua. “Berjalan sambil jongkok dan kepala menunduk,” jelas Badri, pemandu kami yang  memasuki gua yang dulunya dipenuhi dengan akar ini. 

Lebih kurang 50 meter kami harus berganti posisi dengan merangkak di dasar gua yang beratap rendah. Belum hilang rasa pegal, jalan lumpur dengan batu tajam sudah menanti. “Awas kepala dan hati-hati,”Badri mengingatkan sesering mungkin.
Hanya dengan penerangan lampu senter dan headlamp, kami menyusuri medan gua Sioyot yang penuh lumpur dan air. Hampir sepanjang menyusuri gua kami berjalan menunduk untuk menghindari benturan helm dengan stalaktit. 


Tidak hanya itu, ketahanan fisik dan mental memang diuji karena tantangan melewati genangan air setinggi leher orang dewasa. Ditambah ‘’bergelut’’ dengan lumpur sedalam 30 sentimeter. Di gua ini juga memiliki beberapa cabang dengan aliran air yang cukup deras yang belum pernah disusuri sehingga harus memperhatikan petunjuk dari pemandu. Tidak cukup dengan lumpur dan genangan air, kami sesekali harus menyelinap diantara stalaktit-stalaktit berongga sempit dan tajam seperti gigi hiu.
Merayap, merangkak, atau berjalan jongkok adalah gerakan yang harus dilakukan untuk berkompromi dengan tinggi lorong gua yang kurang dari satu meter. Gerakan itu kami lakukan di atas lantai gua yang ditutupi tanah basah dan dialiri air. 


***
Dua jam berlalu. Kami akhirnya berhasil keluar dari gua dan kembali menghirup udara segar. Menurut pengakuan Bardi, tak banyak pengunjung yang berani menjajal tantangan petualangan ekstrim Sioyot. “Sebagian besar pengunjung menggelengkan kepala karena medannya terlalu berat.”
Setidaknya, rasa haus, lelah, dan  posisi jalan yang membuat kaki serasa ingin ‘’copot’’ saat  menaklukkan gua Sioyot terbayar dengan menyaksikan keajaiban dan keindahan di perut bumi Gunung Kidul ini.
Tapi, bisa jadi tantangan ini belum seberapa karena masih ada 400 lebih lagi gua dan sungai bawah tanah yang belum terjamah.


---------------


Menjadi Ikon Wisata 
 
Seorang laki-laki menyapa dan meyambut kami ketika tiba di depan tugu desa yang berada di jalan utama. “Ke gua Pindul? Mari saya antar,” ujar Nino.
Koordinator keamanan karang taruna Dusun Gelaran mengatakan, menyambut dan mengantar pengunjung yang datang ke objek wisata gua Pindul sudah menjadi bagian dari pelayanan wisata minat khusus yang berada di kampung rintisan desa wisata di Kabupaten Gunung Kidul ini.

Namun, berbeda dengan objek wisata cavetubing Waimoto di Selandia Baru yang dikelola lebih profesional. Potensi wisata gua Pindul yang baru diresmikan tahun 2010 ini sepenuhnya mengerahkan swadaya masyarakat yang dikelola melalui Wira Wisata karang taruna desa.
Mereka berinisiatif mengelola wisata gua Pindul dan menjadikannya sebagai potensi ekonomi. Selain pemasukan kas di dusun, hasil  retribusi dimanfaatkan untuk operasional dan melengkapi fasilitas yang disediakan di objek wisata. Seperti peralatan ban pelampung, jaket pelampung, sepatu karet dan headlamp.  

Meski belum ada pengelolaan, promosi  cukup baik serta keterbatasan akses menuju kawasan ini, tapi pelayanan dan alur untuk menjamu para pengunjung patut diacungi jempol.
Sebenarnya, tidak hanya cavetubing di gua Pindul dan petualangan ekstrim gua Sioyot, wisatawan yang datang juga bisa menikmati wisata minat khusus lainnya seperti petualangan rafting sungai Oya sepanjang 1,5 kilometer lengkap dengan air terjun dan pemandangan tebing-tebing indah diantara perkebunan minyak kayu putih yang alami. 

Tujuh mata air yang mengitari wilayah ini juga menjadi sarana irigasi di lima dusun dan  sumber air bersih yang dikemas menjadi paket wisata outbound jelajah alam Sendang Tujuh. Juga homestay di rumah penduduk. Semua itu diminati wisatawan yang datang tidak hanya dari kota Yogyakarta dan sekitarnya, tapi juga Jakarta dan Surabaya.


Kawasan gua Pindul hanya satu dari sekian banyak potensi gua karst sebagai ekowisata andalan yang bisa dikembangkan sebagai obyek wisata mandiri yang bisa menjadi ikon wisata di Gunung Kidul. Di wilayah ini terdapat lebih dari 400 gua batu kapur dan sungai bawah tanah yang bisa ditawarkan. Dibandingkan Waitomo yang memiliki sekitar 300 gua batu kapur  di bawah bukit-bukitnya. 

Setidaknya, menggarap keunikan karakter kars ini tidak hanya mengenalkan dan mengembangkan objek wisata di Gunung Kidul, tapi juga salah satu cara mengubah citra tandus dan kekeringan yang melekat dari kawasan kars terluas di Pulau Jawa ini.