Film drama kisah cinta Habibie&Ainun memukau penonton sejak diputar di jaringan sineplek 21, kamis lalu (20/12). Film garapan duet sutradara Hanung Bramantyo dan Faozan Rizal ini membuat penonton terharu biru dan menguras air matanya menyaksikan akting Reza Rahardian dan Bunga Citra Lestari.
Keduanya melakonkan kehidupan dan perjuangan mantan Presiden RI ke-3 Bacharuddin Jusuf Habibie bersama Hasri Ainun dalam mewujudkan mimpinya dan menjadi pasangan nomor satu di negeri hingga sang istri berpulang.
Tentu saja, selain menampilkan tokoh besar seperti Habibie, bumbu cinta menjadi resep manis yang membuat film bernuansa romantisme keluarga adaptasi novel berjudul sama tidak menjadi garing dan memikat.
"Excellent! Mereka telah melaksanakan secara perfect. Kalau melihat itu, saya yakin akan terilhami. Tiap scene hampir menangis, banyak kenangan," ujar BJ Habibie usai menyaksikan kisah hidupnya dalam adegan film.
Ya, Habibie sebagai tokoh sentral dalam cerita ini masih bugar. Tentu saja tak mudah bagi seorang aktor untuk menghidupkan tokoh yang masih hidup. Reza Rahardian harus kerja ekstra keras menyulap dirinya bak Habibie muda hingga usia senja. Dia harus meniru suara, tingkah laku, hingga cara berjalannya. Pun dengan BCL yang kesulitan menjiwai sosok Ainun lantaran keminiman referensi.
"Saya sempat takut karena beliau sangat jujur sekali. Nggak suka, bilang nggak suka. Saya banyak dikoreksi dan kritikan Pak Habibie sangat tajam," kenangnya ketika Habibie sering menyambangi lokasi untuk melihat proses syuting.
Agar bisa mendalami karakter BJ Habibie, Reza yang pernah meraih Piala Citra ini bahkan ngobrol selama lima jam dengan mantan Presiden RI tersebut. "Reza cum laude. Setelah itu beliau mengirim email pribadi berisi ucapan terima kasih dan ungkapan kebanggaannya," ucapnya menirukan ucapan Habibie.
Sebenarnya, film Habibie&Ainun tak jauh beda dengan film yang berkisah tentang percintaan pada umumnya. Namun, ada alasan lain untuk mengangkat seorang tokoh ke layar lebar. Apa? ”Untuk mengingatkan masyarakat bahwa Indonesia memiliki pejuang sejati,” ungkap Hanung.
Ya, inspirasi dan
tauladan. Mungkin itu pula yang membuat para sineas kemudian membungkus
perjalanan hidup para tokoh dan menghidupkan ke layar lebar. Film jenis ini menjadi
booming setelah sineas Hollywood
membuat film tokoh, seperti Raja Inggris The
King Speech , The Iron Lady yang
diperankan Meryl Streep sebagai PM Inggris Margaret Thatcher hingga meraih
aktris terbaik diajang Golden Globe 2012 dan
Piala Oscar.
Atau kisah hidup tokoh demokrasi legendaris asal Burma, Aung San Suu Kyi
dalam The Lady yang diperankan sangat
menyentuh oleh Michelle
Yeoh.
Di Indonesia juga bermunculan film-film serupa. Kisah legendaris
pesepakbola nasional di film Ramang Macan
Bola, KH Muhammad Dahlan dalam Sang Pencerah, tokoh Muhammad Syai’I
Maarif dalam Si
Anak Kampoeng dan tokoh katolik Mgr Soegijapranoto dalam Soegija yang sarat dengan nilai
pluralisme.
Atau yang masih gres film Sang Kyai, tentang tokoh NU Kyai Hasyim
Asy’ari."Kami mengangkat sosok Kyai Haji Hasyim Asy'ari agar generasi muda
mengenal dan memahami ajaran Kyai, karena tidak banyak yang tahu perjuangan
beliau untuk bangsa, siapa dan bagaimana pemikirannya," pungkas Rako
Priyanto, sang sutradara.
Untuk membuat film layak dinikmati, sejumlah aktor kawakan
dilibatkan. Ikra Negara sebagai K.H.
Hasyim Asy'ari, Christine Hakim sebagai Nyai Kapu, Agus Kuncoro sebagai Wahid
Hasyim.
"Film ini punya misi kemanusiaan dan kebudayaan. Kita
mengangkat cerita anak Indonesia yang hidup di tempat terpencil yang bisa
menjadi tokoh bangsa karena pendidikan. Ini film pendidikan, bukan religius.
Kita coba angkat nilai-nilai pluralisme," jelas sutradara Si Anak
Kampoeng , Damien Dematra.
Jauh sebelum booming, para sineas Indonesia sudah menggarap film berkualitas dengan
genre drama epos biografi sejarah Indonesia. Sebut saja film Cut
Nja' Dhien (1988) besutan Eros Djarot yang berhasil meraih lima
Piala Citra 1988. Akting apik Christine Hakim berhasil mambawa film ini menjadi film Indonesia pertama yang
ditayangkan di Festival Film Cannes tahun 1989.
Karya lain adalah November 1828 (1978)
dari Teguh Karya yang berlatar kisah peperangan Diponegoro yang memenangkan
tujuh penghargaan FFI 1979. Atau Janur Kuning (1979) yang mengetengahkan tokoh Soeharto,
Jenderal Sudirman dan tokoh heroik lainnya seperti Komarudin yang di perankan
Amak Baldjun.
Dari sisi sinematografis, film-film itu
layak diacungi jempol. Begitu juga dengan Pengkhianatan G30S/PKI (1984) karya Arifin C Noer . Terlepas dari segala kontroversinya, film propaganda proyek pemerintah ini digarap sangat
serius dengan riset mendalam. Detail musik, latar, warna kostum hingga jenis
kain yang digunakan pemeran Soeharto seolah-olah nyata hingga menjadi salah
satu film
terbaik sejarah dilihat dari sisi filmografisnya.
Tidak hanya pemeran tiga tokoh
sentral yakni Presiden Soekarno, Mayor Jenderal Soeharto, dan gembong PKI DN
Aidit yang diperankan dengan begitu nyata, natural, mirip, tapi juga setting dan narasi.
Jadi melihat respons penonton yang haus dengan film nostalgia
sejarah, genre ini sepertinya masih akan berlanjut hingga tahun depan. Apalagi
Eros Djarot berencana memfilmkan Kisah hidup Panglima Besar TNI Jenderal
Soedirman. Juga Lola Amaria yang tertantang membuat film kisah cinta Presiden
pertama RI Soekarno dengan Fatmawati layaknya kisah Habibie&Ainun.
Apakah semua film tokoh-tokoh itu memberi inspirasi buat penonton?
Mungkin, iya. Tapi akan sangat bagus bila perfilman kita diisi beragam jenis
film ‘’biografi’’ ketimbang film hantu-hantuan yang tidak jelas.(Noni Arnee)
Publish di Rubrik Rileks Harian Suara Merdeka Edisi Minggu 23 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar