Saya dan rombongan beberapa kali ‘’kesasar’’ karena tak begitu banyak petunjuk
jalan menuju ke lokasi cavetubing ketiga di dunia. Selain mengandalkan informasi di persimpangan jalan, kami beberapakali
harus bertanya pada warga sebelum tiba ke gua Pindul. Lokasi cavetubing (susur gua
dengan perahu karet atau ban dalam) yang
terletak di Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Karangmojo,
Gunung Kidul. Tepatnya, sekitar tujuh kilometer dari pusat kota Wonosari.
Gua Pindul
merupakan satu dari rangkaian tujuh gua horizontal yang dialiri sungai bawah
tanah dari sungai Oya di daerah Bejiharjo. Aliran air yang sangat tenang ini memiliki panjang sekitar 350 meter, lebar rata-rata lima meter, dengan kedalaman air antara empat hingga tujuh meter dan permukaan setinggi empat
meter.
Ya, karst di daerah Gunung Kidul ini merupakan satu-satunya wisata
cavetubing di Indonesia.
Dan satu dari tiga tempat cavetubing populer yang ada di
dunia setelah cavetubing Belize di Mexico dan Waitomo yang berada di Pulau Utara
Selandia Baru.
Memang, tak banyak yang tahu karena wisata minat khusus yang memadukan petualangan
olahraga rafting (arung jeram), caving dengan tube di gua dengan aliran sungai bawah
tanah ini terbilang jarang di Indonesia.
“Silahkan antri karena semua peralatan masih
terpakai,” jelas pengelola sambil menyuguhkan welcome drink segelas jahe hangat. Peminat cavetubing di gua Pindul
begitu membludak setiap akhir pekan. 50 set peralatan
cavetubing telah habis hingga kami harus rela menunggu giliran sekitar satu jam. ***
Setelah berhasil memakai jaket pelampung dan membawa ban
pelampung, kami diajak pemandu menyusuri jalan setapak diantara
rumah dan kebun warga menuju
lokasi yang berjarak sekitar 100 meter.
Cavetubing di gua Pindul ini
cukup mudah. Tidak perlu latihan dan ketrampilan khusus. Kami satu persatu hanya
duduk di atas pelampung ban karet jumbo yang
berjejer. Dan si pemandu, akan mengendalikan pelampung dengan menyeret bagian depan dan belakang. Sambil menikmati pemandangan dan merasakan dinginnya air sungai, kami memasuki di zona terang. Di mulut gua ini, kami disuguhi cerita legenda masyarakat tentang asal-usul penamaan Gua Pindul. Kisah yang bermula dari pengembaraan Joko Singlulung mencari ayahnya. “Ketika menyusuri tujuh gua yang memiliki aliran sungai di bawahnya, kepala Joko terbentur batu besar, kemudian gua ini dinamakan Gua Pindul. Asalnya dari kata pipi gebendul,” cerita Badri, warga setempat yang menjadi pemandu.
Perjalanan dilanjutkan menuju sebuah stalaktit peringkat keempat terbesar di dunia yang berbentuk pilar raksasa. Lebarnya lima rentangan tangan orang dewasa. Ujung stalaktit ini masuk ke dalam sungai bawah tanah dan menutup sebagian rongga gua yang masih aktif hingga kini. Pilar yang terbentuk dari proses pertemuan stalaktit dan stalagmit berusia ribuan tahun ini menjadi batas antara zona remang dan zona gelap abadi. Posisinya menyempit dan hanya bisa dilewati seukuran satu ban karet, kami harus melewati secara bergantian. Dan untuk alasan keselamatan pula, kami dilarang menyentuh dengan keras.
Di lorong gua zona gelap abadi, cahaya matahari tidak
terlihat sama sekali. Satu-satunya penerangan hanyalah senter di kepala pemandu
yang menyorot ke beberapa ceruk-ceruk di atap gua yang dihuni kelelawar. Stalartit dan stalagmit dengan warna kristal juga terlihat
di beberapa sudut.
Sepuluh
menit kemudian, seberkas cahaya terlihat dibalik sebuah tikungan. Ini menjadi pertanda cavetubing telah memasuki
zona terakhir goa vertikal (luweng). Zona yang menyerupai kolam besar. Biasa digunakan untuk
beristirahat, berenang atau ’’aksi’’ meloncat dari atas tebing gua setinggi
tiga meter.
Cavetubing
berakhir di bendungan Banyomoto. Bendungan yang dibangun sejak jaman Belanda
dengan latar belakang perbukitan karst ini menjadi titik poin terjun bebas para penyusur gua. Tantangannya
dengan uji nyali naik ke dinding tebing batu dan menceburkan diri dari ketinggian
lima meter. Byuuuurr..!!!
Di
lokasi ini pula mobil pick up siap menjemput menuju tempat transit untuk
menikmati segelas jahe hangat dan membayar petualangan sepanjang 60 menit.
Tarifnya hanya Rp 25 ribu. Harga ini sudah termasuk jasa pemandu, peralatan cavetubing (ban dalam,
jaket pelampung, headlamp), dan welcome
drink ala desa.
Rasa penasaran menyusuri gua berlanjut dengan mencoba tantangan petualangan ekstrim gua Sioyot. Pengelola sengaja merahasikan kondisi di dalam gua sepanjang hampir satu kilometer ini. Pemandu hanya meminta kami menggunakan helm, sepatu dan menyimpan barang berharga dalam drybox atau menaruh di tempat penitipan barang.
Gua Sioyot berada berada dibalik rerimbunan pohon perkebunan milik warga. Jaraknya sekitar 100 meter dari pos sekretariat. Saya cukup terperanggah karena tantangan menyusuri gua ini sudah dimulai sejak memasuki bibir gua. “Berjalan sambil jongkok dan kepala menunduk,” jelas Badri, pemandu kami yang memasuki gua yang dulunya dipenuhi dengan akar ini.
Lebih kurang 50 meter kami harus berganti posisi dengan merangkak di dasar gua yang beratap rendah. Belum hilang rasa pegal, jalan lumpur dengan batu tajam sudah menanti. “Awas kepala dan hati-hati,”Badri mengingatkan sesering mungkin.
Hanya dengan penerangan lampu senter dan headlamp, kami menyusuri medan gua Sioyot yang penuh lumpur dan air. Hampir sepanjang menyusuri gua kami berjalan menunduk untuk menghindari benturan helm dengan stalaktit.
Tidak hanya itu, ketahanan fisik dan mental memang diuji karena tantangan melewati genangan air setinggi leher orang dewasa. Ditambah ‘’bergelut’’ dengan lumpur sedalam 30 sentimeter. Di gua ini juga memiliki beberapa cabang dengan aliran air yang cukup deras yang belum pernah disusuri sehingga harus memperhatikan petunjuk dari pemandu. Tidak cukup dengan lumpur dan genangan air, kami sesekali harus menyelinap diantara stalaktit-stalaktit berongga sempit dan tajam seperti gigi hiu.
Merayap, merangkak, atau berjalan jongkok adalah gerakan yang harus dilakukan untuk berkompromi dengan tinggi lorong gua yang kurang dari satu meter. Gerakan itu kami lakukan di atas lantai gua yang ditutupi tanah basah dan dialiri air.
***
Dua
jam berlalu. Kami akhirnya berhasil keluar dari gua dan kembali menghirup udara
segar. Menurut pengakuan Bardi, tak banyak pengunjung yang berani menjajal tantangan
petualangan ekstrim Sioyot. “Sebagian besar pengunjung menggelengkan kepala karena
medannya terlalu berat.”
Setidaknya, rasa
haus, lelah, dan posisi jalan yang
membuat kaki serasa ingin ‘’copot’’ saat menaklukkan
gua Sioyot terbayar dengan menyaksikan keajaiban dan keindahan
di perut bumi Gunung Kidul ini.
Tapi,
bisa jadi tantangan ini belum
seberapa karena masih ada 400 lebih lagi gua dan sungai bawah tanah yang belum terjamah.
---------------
Menjadi Ikon Wisata
Koordinator keamanan karang taruna Dusun Gelaran mengatakan, menyambut dan mengantar pengunjung yang datang ke objek wisata gua Pindul sudah menjadi bagian dari pelayanan wisata minat khusus yang berada di kampung rintisan desa wisata di Kabupaten Gunung Kidul ini.
Namun, berbeda dengan objek wisata cavetubing Waimoto di Selandia Baru yang dikelola lebih profesional. Potensi wisata gua Pindul yang baru diresmikan tahun 2010 ini sepenuhnya mengerahkan swadaya masyarakat yang dikelola melalui Wira Wisata karang taruna desa.
Mereka berinisiatif mengelola wisata gua Pindul dan menjadikannya sebagai potensi ekonomi. Selain pemasukan kas di dusun, hasil retribusi dimanfaatkan untuk operasional dan melengkapi fasilitas yang disediakan di objek wisata. Seperti peralatan ban pelampung, jaket pelampung, sepatu karet dan headlamp.
Meski belum ada pengelolaan, promosi cukup baik serta
keterbatasan akses menuju kawasan ini, tapi pelayanan dan alur untuk menjamu para pengunjung patut diacungi jempol.
Sebenarnya, tidak hanya cavetubing di gua Pindul dan
petualangan ekstrim gua Sioyot, wisatawan yang datang juga bisa menikmati
wisata minat khusus lainnya seperti petualangan rafting sungai Oya sepanjang
1,5 kilometer lengkap dengan air terjun dan pemandangan tebing-tebing indah
diantara perkebunan minyak kayu putih yang alami.
Tujuh mata air yang
mengitari wilayah ini juga
menjadi sarana irigasi di lima dusun dan sumber air bersih yang dikemas menjadi paket wisata outbound jelajah alam Sendang Tujuh. Juga homestay di rumah penduduk. Semua itu diminati wisatawan
yang datang tidak hanya dari kota Yogyakarta dan sekitarnya, tapi juga Jakarta dan Surabaya.
Kawasan gua Pindul hanya
satu dari sekian banyak potensi gua karst sebagai ekowisata andalan yang bisa
dikembangkan sebagai obyek wisata mandiri yang bisa menjadi ikon wisata di
Gunung Kidul. Di wilayah
ini terdapat lebih dari 400 gua batu kapur dan sungai bawah tanah yang bisa ditawarkan.
Dibandingkan Waitomo yang memiliki sekitar 300 gua batu kapur di bawah bukit-bukitnya.
Setidaknya,
menggarap keunikan karakter kars ini tidak hanya mengenalkan dan mengembangkan
objek wisata di Gunung Kidul, tapi juga salah satu cara mengubah citra tandus
dan kekeringan yang melekat dari kawasan kars terluas di Pulau Jawa ini.