Pages

Rabu, 13 Maret 2013

Si Cantik Kota Tapal Kuda


Jayapura dari Polimak


Dari balik jendela pesawat, danau terbesar di Papua dengan gugusan pulau kecil terlihat dengan jelas memesona menyambut mata kami dari ketinggian.  Tujuh menit sebelum pesawat yang saya tumpangi bersama rombongan mendarat di Bandar Udara Sentani. ”Itu Danau Sentani,” kata salah seorang teman sambil menunjuk lewat jendela pesawat.
Panorama seperti ini yang membuat kami semakin penasaran untuk menyaksikan salah satu keindahan alam Papua dari dekat ketika menginjakkan kaki di Jayapura. 
Meski tak beruntung menyaksikan Festival Danau Sentani di Kalkote Holiday Resort karena datang bukan pada bulan Juni, paling tidak saya tetap bisa menikmati pemandangan indah danau yang memiliki arti “di sini kami tinggal dengan damai” ini.  Tidak hanya dari dalam pesawat yang akan mendarat. Saya pun bisa menyaksikan panorama lanskap danau seperti lukisan hidup yang terhampar di depan mata dari berbagai tempat.
Danau Sentani dr ketinggian
Tapi mengelilingi danau yang terbentang antara Kota Jayapura dan dan Kabupaten Jayapura dari dekat tentu tak cukup dalam sehari. Selain luasnya mencapai 9.360 hektar, danau yang berada di ketinggian 75 mdpl harus dilalui dengan jalan berliku-liku dan naik turun bukit.
Untuk mempersingkat waktu, kami memutuskan pergi ke Bukit Makatur. ”Sebenarnya namanya Bukit Mc Arthur, tapi kami biasa menyebut Bukit Makatur. Lebih mudah,” jelas pemandu sambil tertawa.
Untuk bisa mencapai bukit, tentu saja mobil yang kami tumpangi harus mendaki. Untung saja walau jalannya kecil, kondisi jalan relatif mulus. 
Dari puncak bukit yang berada di salah satu bukit di jejeran Pegunungan Cyclops yang menjulang tinggi di pinggiran kota Sentani inilah pemandangan utuh danau bisa disaksikan dengan jelas. Saking jelasnya, saya bisa menghitung 21 pulau kecil berpenghuni dengan gunung-gunung kecil berujung yang lancip yang terserak di sekeliling danau. Bahkan dari puncak Mc Arthur ini bisa melihat lalu lintas pesawat yang mendarat atau akan terbang di Bandara Sentani seperti mainan anak-anak.
Sentani dari bukit Makatur
Tak hanya melihat keindahan danau dan kota Sentani. Sejarah kota ini pun tak kalah uniknya. Di puncak bukit Makatur ini juga bisa menyaksikan sisa-sisa peninggalan  Perang Dunia II dari jendral McArthur. Salah satu jenderal sekutu yang pernah mendarat di kota ini sebelum menghancurkan pertahanan dan mengusir Jepang dari kawasan Pasifik ketika pecah Perang Dunia II.  Buktinya, Monumen McArthur yang berdiri kokoh sebagai  tugu peringatan, termasuk tugu pendaratan Jepang. Juga foto-foto McArthur dan berikut barang-barang peninggalannya.
Pertanyaan pun terjawab kenapa ketika sampai di pintu gerbang menuju puncak bukit ini, kami harus meninggalkan kartu identitas di pos penjagaan. Ya, lokasi ini adalah  bekas basis markas sang Jenderal asal Australia yang disulap menjadi Kompleks Militer Resimen Kodam Cendrawasih.
Namun Sayang, semua potensi wisata di sini belum tergarap maksimal dan masih terkesan ala kadarnya. Bahkan pesona Danau Sentani ramai dikunjungi saat event besar saja. Selebihnya hanya menjadi  tempat memancing, latihan para atlet kano dan jet sky saja.

Hongkong-nya Indonesia
Ciri khas daerah yang  berbukit - bukit dengan jalan berliku kami temui sepanjang jalan menuju Abepura, Entrop hingga kota Jayapura. Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam menuju kota pelabuhan paling sibuk di Papua. Letaknya di pantai timur laut berbatasan langsung dengan Teluk Yos Sudarso yang ada di pinggir Samudera Pasifik.
Kota yang paling modern dan makmur di Papua ini menjadi salah satu tujuan dagang yang terkenal karena melayani sebagian besar kapal yang berhubungan dengan pelabuhan sentral di pulau Papua ini.
”Selamat datang di Port Numbay,” kata Robert, pemandu kami. Ya, nama Jayapura memang berganti menjadi Port Numbay dua tahun lalu. Kota ini memang berganti nama hingga enam kali dalam kurun waktu seabad terakhir ini. 

Buku ”Ein Gouden Jibeleum 50 yaar Hollandia, van 7 Mart 1910 tot 7 Mart 1960” yang diterbitkan untuk memperingati 50 tahun pendudukan Belanda di kota ini mengisahkan pergantian nama Numbay menjadi Hollandia (daerah yang berbukit-bukit dan berteluk) oleh kapten infanteri FJP Sachse yang ditandai dengan pengibaran bendera tiga warna milik Belanda  di Numbay (1910). Namun, nama itu diganti menjadi "kota baru"(1963), ketika bergabung dengan NKRI. Berganti lagi menjadi Sukarnopura (1969) dan sejak tahun 1975 diubah menjadi Jayapura (kota kemenangan).
Kota ini sungguh indah dengan berbagai sudut pemandangan yang berbeda-beda, mulai dari perbukitan, danau hingga pantai. Tapi ada satu tempat yang paling cocok dan selalu disinggahi wisatawan yang datang ke kota ini untuk melihat Jayapura dengan utuh. 

Pemandu kami mengajak ke Bukit Polimak. Sekali lagi, kami harus mencari lokasi di bukit paling tinggi di tengah Kota Jayapura yang berada seperti di balik tebing ini. Tapi tidak perlu khawatir, meski jalan cukup berliku puncak, Bukit Polimak tetap bisa diakses dengan menggunakan kendaraan. Bukit ini juga seringkali disebut bukit pemancar karena memang di bukit ini semua menara pemancar televisi berdiri kokoh.
Di atas ketinggian ini, saya tak hanya disuguhi bagian kota yang berada di tepi pantai. Tapi juga hamparan Samudra Pasifik biru, jernih, dan seolah tak berombak. Kota dengan topografi berbukit-bukit nampak seperti tapal kuda, dengan kedua sisinya yang berada di ketinggian. Di antara celah pegunungan yang menghadap ke arah Teluk Yos Sudarso dan Teluk Yotefa.

 Panorama Port Numbay secara utuh bisa terlihat dari sisi kiri. Dan ketika memalingkan muka ke kanan, Samudra Pasifik berada di depan mata. Di tempat ini juga mempunyai penanda berlampu  ala bukit Hollywood bertuliskan “Jayapura City” yang menyala di malam hari dan bisa dilihat dari segala penjuru.

Tak hanya siang hari, kota Jayapura juga memesona di waktu malam ketika disiram cahaya lampu. Semua bisa dinikmati ditempat ini. Teluk Yos Sudarso tampak berkilau oleh lampu-lampu dari kapal yang sedang bersandar, bangunan yang mengitari bibir pantai sepanjang Teluk, lampu jalan, kendaraan yang lalu-lalang. ”Kota kami juga mendapat julukan  Hongkong-nya Indonesia,” imbuh Robert.

Memang, jika menuruni bukit dan melihat dari dekat salah satu ikon kota Jayapura berada di pantai Dok II, pantai yang berhadapan dengan pusat pemerintahan propinsi Papua tidah hanya menjadi jalur padat pelayaran kapal besar, tapi juga ruang publik favorit wisatawan dan masyarakat setempat menghabiskan waktunya.

Dari tempat ini juga bisa melihat dengan jelas dua pulau mungil di seberang teluk yang menjadi lambang kerukunan umat beragama kota ini. Salib Kristus berdiri tegak di pulau paling dekat ke pantai dan satu pulau lagi dihuni umat Muslim.

Oh ya, Kota ini juga bisa dinikmati dari Bhayangkara (Dok V), Angkasa (sepanjang jalan), pantai Base G, pantai Hamadi, pelabuhan danau ( Dok VIII), atau pelabuhan danau Yotefa ( pasar baru Abe).
Rupanya masih banyak tempat menarik dan eksotis lain yang harus  dikunjungi dan dinikmati. Benar kata Edo Kondologit dalam lirik lagunya kalau Papua itu memang seperti ”Surga kecil yang jatuh ke bumi”.

Tapi jarum jam terus berputar dan kami harus bergegas kembali ke Sentani sebelum jalur utama dari Abepura-Sentani sepi. Maklum, dua hari sebelum saya datang ke kota ini terjadi insiden penembakan dan pembakaran mobil di jalur tersebut. Suhu politik yang memanas mengharuskan kami berhati-hati.

Minggu, 18 November 2012

Menyisir Jejak Lorentz


Seabad lalu, Hendrikus Albertus Lorentz  memulai  ekspedisinya memasuki wilayah salju abadi di Papua Tengah dengan kawalan militer Belanda dan orang Dayak yang dipekerjakan sebagai penunjuk jalan. Ia menumpangi kapal uap Valk

Meski ekspedisinya  dinyatakan gagal karena tak mampu menembus puncak Hiriyakub (nama asli dari puncak Wilhelmina yang sekarang bernama puncak Trikora). Penjelajah berkebangsaan Belanda ini mendapat banyak hal. Tidak hanya koleksi ilmiah kekayaan flora fauna yang dikumpulkan dan informasi topografi ke puncak gunung yang diselimuti salju tapi juga pertemuannya dengan sekelompok penduduk asli yang mendiami pegunungan tengah Papua. Ketakutan dengan manusia yang hidup di gunung-gunung putih sirna dan berubah menjadi takjub karena  peradaban tinggi orang yang dianggapnya primitif.

Lorentz kemudian mengakhiri ekspedisinya di Danau Habema. Danau yang berada di tengah lembah indah di Pegunungan Trikora, Papua dengan
 ketinggian 3.400 mdpl yang terletak di desa Habema,  distrik Pelebaga, sekitar 48 Km dari Kota Wamena.  Di danau ini pulalah tujuan field trip saya bersama sejumlah jurnalis dan tim World Wild Found (WWF).

Selain ingin menyaksikan keindahan  salah satu sisi taman nasional Lorentz yang membentang seluas 2.505.600 hektar mulai dari pesisir Laut Arafura hingga Puncak Jaya (Cartenz
piramyd) pada 4.884 mdpl, tim WWF juga melakukan mapping jalur yang mendapat predikat Situs Warisan Dunia karena  memiliki 43 jenis ekosistim dan kawasan daerah tropis yang memiliki gletser.

Berbeda dengan Lorentz, kami memilih jalur udara dari Jayapura menuju Wamena dan melanjutkan dengan perjalanan darat. Tapi bukan berarti jalur yang kami pilih itu lebih mudah dan tanpa kendala. Cuaca buruk membuat pesawat jenis ATR72-200  yang kami tumpangi menuju Wamena harus tertahan tiga jam di bandara Sentani.

menyusuri cartentz
Sepertinya perjalanan yang menantang dan berat. Tapi itu harga yang pantas untuk keindahan keanekaragaman hayati di dalam Taman Nasional Lorentz memberikan kontribusi yang signifikan bagi keanekaragaman hayati di Papua. 

Di tempat strategis menyaksikan gagahnya puncak Trikora yang tertutup lapisan salju atau gletser tropis (Cartentz Glaciers dan  Northwall Firn) Lorentz menyematkan nama kolonel Habema. Danau yang dikelilingi vegetasi alam pegunungan berupa anggrek ini juga sering menjadi tempat peristirahatan bagi para pendaki. Keindahan danau tertinggi di Indonesia ini bahkan pernah dijadikan latar belakang film “Denias” garapan  Alenia picture.

Memang, perjalanan ke Papua selalu memiliki tantangan tersendiri. Tidak hanya cuaca tapi rencana perjalanan yang sudah matangpun  batal karena kondisi keamanan di Puncak Jaya yang kadang tidak dapat di prediksi sebelumnya.
***
Sebagai taman nasional terbesar di Asia Tenggara, Lorentz merupakan  perwakilan dari ekosistem terlengkap untuk keanekaragaman hayati di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik. Lorentz terletak di Provinsi Papua dan me
ncakup 10 kabupaten yaitu Kabupaten Jayawijaya, Yahukimo, Puncak Jaya, Mimika, Asmat, Puncak, Lani Jaya, Paniai, Nduga dan Intan Jaya.
  
Menariknya, keanekaragaman hayati di taman nasional ini belum banyak diteliti dalam 20 tahun terakhir karena  70 persen luasan Taman Nasional Lorentz  yang belum terjamah. Kawasan ini diperkirakan menjadi tempat bagi  1.200 species tumbuhan berbunga, 118 species mamalia seperti Babi moncong panjang, Kuskus, Kucing hutan dan Kangguru. 403 species burung,  Merpati, Kakaktua, Burung Udang, Kasuari, Megapoda, Cendrawasih dan Burung Puyuh Salju adalah beberapa diantaranya. Selain 48 species reptile dan amphibian yang ada di Tanah Papua.

Kangguru Pohon
 adalah salah satu species yang hampir hanya terdapat di Lorentz pada ketinggian 3.200-3.500 mdpl. Kawasan ini juga mencakup dua Daerah Burung Endemik  dengan 45 species burung sebaran terbatas dan 9 species endemik. Deretan Pegunungan Sudirman menjadi isolasi alamiah bagi penyebaran jenis burung dan hewan lainnya. Tingginya tingkat endemisitas di kawasan yang 90 persen masih ditutupi hutan hujan tropis.


Tidak hanya itu saja, Taman Nasional Lorentz juga memiliki keragaman budaya dari dua kelompok suku yang mendiami kawasan ini. Pertama, yang mendiami daerah pegunungan dengan budaya pertanian yakni Suku Dani, Suku Ngalik, Suku Nduga, Suku Lani , Suku Moni , Suku Damal  dan Suku Amungme. Mereka dikenal sebagai petani ubi jalar, Buah Merah ,  Kelapa Hutan , Ubi Taro, Tebu.

Dan  suku yang mendiami daerah tepian sungai dan pantai-pantai di daerah Selatan Taman Nasional Lorentz yakni Asmat, Kamoro dan Sempan yang hidupnya meramu sagu dan hasil hutan lainnya serta menangkap ikan, kepiting, udang dan cacing kayu sebagai makanan keseharian mereka. 

Kekayaan hayati dan suku yang mendiami kawasan ini kami temui sepanjang perjalanan saat menyisir distrik Pyramid menuju Kabupaten Lany Jaya. Kawasan perkampungan yang memiliki trade mark pegunungan yang berbentuk Piramyd  yang menjadi jalur lain memasuki taman nasional selain Habema. Perjalanan darat dengan menggunakan kendaraan jenis Hilux menjadi pilihan mengadapi jalur pegunungan. Kendaraan jenis ini juga menjadi transportasi utama penduduk menuju ke kota. 

Selama perjalanan, mata telanjang kami di suguhi lanskap punggung pengunungan Jaya Wijaya yang hijau, honai (rumah adat) menyembul di lereng, padang rumput, hingga sungai yang meliuk bak ular dan langit biru cerah. Sungguh pemandangan yang luar biasa indah dengan hawa sejuk dan udara  segar. 

Sesekali kami juga melihat penduduk setempat menggelar hasil kebun mereka di pinggir jalan utama. Selain rokok dan pinang, buah jeruk, mentimun hingga kelapa hutan ditawarkan kepada siapa saja yang kebetulan melintas.

Selain jalur utama yang dilalui kendaraan, jalur udara dengan pesawat kecil yang di parkir di landasan miring menjadi pilihan untuk mobilitas para misionaris yang mengabdikan hidup mereka di pedalaman. 

***
Baik  penduduk asli didalam kawasan taman nasional maupun  zona penyangga kampung yang berbatasan langsung dengan batas luar menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kawasan Taman Nasional Lorentz. 

Karena itu, meskipun kawasan ini 70 persen hutan perawan, potensi ancaman kelangsungan taman nasional Lorentz terhadap kerusakan yang berdampak pada ekosistem tetap terjadi. Seperti suku pedalaman perambah hutan, pemekaran kabupaten, pembangunan jalan lintas hingga ancaman pertambangan nikel dan emas.

Kondisi inilah yang mendorong WWF bekerja sama dengan Balai Taman Nasional Lorentz , pemerintah daerah Provinsi Papua dan ke-sepuluh kabupaten serta pihak yang berkepentingan untuk menyusun Rencana Pengelolaan Taman Nasional Lorentz (RPTNL) 2011-2029.

Dalam implementasinya, perencanaan kawasan konservasi pelestarian dan pemanfaatan kawasan dilakukan melalui lima zonasi. Yakni zona inti, zona khusus, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona tradisional. Konsep ini masih dalam proses rekomendasi pemerintah Provinsi Papua. 
Memang fasilitas dan sarana Lorentz sebagai taman nasional pada tahun 1997 masih sangat terbatas, namun  upaya identifikasi semua obyek dan daya tarik wisata alam di taman nasional ini terus  dikembangkan.

non