Pages

Sabtu, 06 Juni 2009

Abrasi Pantai Utara Jawa

Publish on Radio International Jerman Deutsche Welle/ Indonesian Programme
KBR 68 H Jakarta

by. Noni Arni feat. Ging Ginanjar

Kerusakan lingkungan yang dialami pesisir utara pulau Jawa, main lama makin parah. Yang jadi musabab terutama adalah abrasi, pengikisan daratan oleh laut. Berbagai nfrastruktur rusak, lingkungan ahncur, ekosistem berubah. Dan secara sosial dan ekonomi juga menciptakan bencana terhadap penduduk. Sayung, Tanggul Tlare dan Bulak merupakan contoh nyata tentang ancaman abrasi laut.

Namun pemerintah masih belum menaruh perhatian yang memadai. Memang mulai dibangun sejumlah fasilitas pelindung pantai, seperti beton-beton penjinak gelombang. Juga dijalankan program penanaman kembali pohon bakau atau mangrove di berbagai kawasan pantai. Tapi berbagai upaya itu terkesan setengah-setengah. Keterbatasan dana selalu jadi alasan tidak optimalnya penanganan melalui bangunan fisik. Sementara penanganan secara alami, agar mencapai kerapatan yang cukup untuk menahan laju abrasi, pohon bakau memerlukan waktu setidaknya 25 tahun. Separah apa ancaman abrasi ini?

“Terhampar pasir putih meski tak begitu bersih, hempasan ombak dan angin juga bertiup tidak begitu kencang, di depan sana adalah keluasan laut jawa. tapi siapa nyana, sekitar 4 kilometer dari tempat saya berdiri hingga ke laut lepas, dulunya adalah pemukiman. Kampung Bulak namanya. Kami tengah berdiri di atas puing-puing masjid utama kampung Bulak, bersama kami adalah pak Sumadi, warga kampung Bulak yang terpaksa harus terusir oleh abrasi pantai utara pulau Jawa.“

Sumadi juga bercerita soal puing masjid,
“Lokasi masjid, bekas masjid. bekas tampungan air .Masjidnya ya di tengah situ. Ini bekas pondasi, dihancurkan ombak ini. pagarnya hancur,Ini udah masuk ke tengah situ, sudah diterjang ombak pondasinya kocar kacir.“

Masjid yang ditunjukan Sumadi ini, merupakan satu-satunya jejak Kampung Bulak yang masih bisa dilihat. Lain dari itu, seluruh kampung Bulak kabupaten Jepara sudah musnah. Lenyap ditelan abrasi, atau pengikisan daratan oleh Laut Jawa. Sumadi bahkan sudah tak bisa lagi mengira-ngira lokasi bekas rumahnya dulu.

“Sudah jadi lautan tidak ada bekasnya. masih ke barat lagi pokoknya kurang lebih 4 kilo kalo dari sini, malah 5 kilo ada, jauh amat. Air pasang kalo bercampur angin dan air cepet menelan daratan. Kalo diceritakan ya ngeri sekali..menangis...“

Kampung Bulak merupakan satu dari dua daerah pertama yang habis ditelan abrasi pantai Utara Jawa. Satunya lagi adalah kampung Tanggul Tlare.

Berjarak sekitar 5 kilometer dari Bulak, inilah Tanggul Tlare. Di sini sudah tidak ada sama sekali yang tersisa di daratan. Satu-satunya yang masih menunjukan jejak adalah tiga pilar jembatan desa, yang masih menyembul di permukaan laut, sekitar 400 meter dari pantai.

Bulak dan Tanggul Tlare lenyap sepenuhnya seperempat abad yang lalu. Tapi perluasan laut itu bermula bertahun-tahun sebelumnya, sedikit demi sedikit.
Saadah adalah seorang perempuan tua warga Tanggul Tlare yang mengalami peristiwa itu sejak awal sekali.

“Gelombang dan angin. Jadi mumbul-mumbul gitu sampe rumah-rumah roboh. Yang di pinggiran laut roboh semua. Jadi tanahnya hilang sedikit demi sedikit hilang. Tapi air pasang itu campur angin dan air. Ya ketakutan. cari selamat saya lari terbirit-birit. Sama emak saya. Anak saya tuntun dan gendong. Saya sama neneknya lari dikejar ombak angin gemuruh nggak karu-karuan gitu..“

Dari tahun ke tahun, kata Saadah, keluarganya bersama warga lain, memindahkan rumah menjauhi pantai. Sampai tiga kali. Akhirnya, pada tahun 1983, Desa Tanggul Tlare dan Bulak ditinggalkan sepenuhnya. Wargapun mendirikan kampung baru, sekitar 5 kilometer dari lokasi semula. Bulak dan Tanggul Klare yang asli, sekarang sudah terbenam air, jauh di tengah lautan sana.

Warga Bulak dan Tanggul Tlare tidak sendirian. Puluhan tempat lain di sepanjang pantai utara Pulau Jawa terancam lenyap oleh abrasi pantai. Seperti Sayung, sebuah kecamatan di kabupaten Demak, yang dari sana berjarak sekitar 50 kilometer ke arah barat.

Kecamatan Sayung memang belum sepenuhnya lenyap. Namun salah satu desanya yakni Desa Sriwulan yang terdiri dari 7 dusun, sudah ditinggalkan oleh hampir seluruh penduduknya. Seperti dusun Senik.

“Tak mudah lagi memang memasuki dusun Senik yang terletak di kecamatan sayung demak. Jalanan sudah hancur dan penuh dengan lumpur, meski ada juga motor yang lewat dan nekat menembus lumpur dengan sesekali harus didorong. Kiri kanan di jalan ini adalah tambak ikan bandeng yang tepiannya baru-baru ini ditanami pohon bakau untuk mengurangi dampak abrasi.“

„“Naik perahu tu. Kalo nggak punya motor, terpaksa naik sepeda. Kalau jalan becek diangkat sepedanya. „“

Begitulah Ashadi, seorang warga, menggambarkan susahnya hidup mereka sekarang. Kami berjalan terus menelusuri jalan desa yang hancur oleh Rob atau air pasang Laut Jawa yang tak henti menerjang. Sore itu dusun Senik terasa sepi. Maklum, hanya tinggal 13 rumah yang masih dihuni warga di dusun ini. Sementara 1250 keluarga lain sudah pindah ke lokasi baru, sekitar 5 kilometer ke arah dalam. Tanahnya disediakan pemerintah seluas 60 meter persegi untuk tiap keluarga. Sadjimin, Kepala Kelurahan Bedono yang membawahi dusun Senik menceritakan.

“Mulai tahun 2000 kita coba perbaiki sedikit demi sedkit. Tetap airnya semakin tinggi dan abrasinya juga semakin berat. Tambak yang hancur itu kurang lebih 300 hektar. Kategori sudah rusak parah dan hilang. Tambak habis terkena air pasang dan ombak, jadi sekarang tidak berupa tambak tapi lautan, jadi tambak-tambak dan jalan desa yang membentang dari Rejosari Senik ke Tonosari sudah menjadi bibir pantai. Kalau air pasang datang kelihatan ditengah laut. „“

Dalam catatan sementara, di wilayah Sayung, abrasi telah melanda lahan seluas 8.670 hektar. Penelitian Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, FPIK Undip, kehancuran kawasan Sayung, diakibatkan oleh pembangunan fisik di Semarang. Dekan FPIK Undip, Johanes Hutabarat.

“Setelah adanya reklamasi pantai marina yang di semarang, satu kilometer tegak lurus garis pantai, sehingga terjadi penambahan kecepatan arah dan arus. yang seharusnya bergerak sejajar atau searah garis pantai, akibat adanya tanah yang menjorok yang berupa reklamasi tadi, maka akan terjadi perubahan kecepatan dan perubahan arah . sehingga yang menjadi korban adalah pantai sayung.““

Pakar kelautan ini juga menjelaskan, secara umum abrasi di pantai utara disebabkan turunnya permukaan daratan dan naiknya ketinggian permukaan laut. Turun atau amblesnya daratan di sebagian kawasan Pantura, berkaitan dengan tingginya pembangunan fisik yang dibarengi kegiatan penyedotan air tanah. Daratan pun ambles dengan laju rata-rata 20 sentimeter per tahun. Sedangkan naiknya permukaan air laut, sekitar seperempat sentimeter per tahun, lebih terkait dengan pemanasan global.

Djoko Sutrisno, kepala badan pengendali dampak lingkungan Jawa Tengah menambahkan alasan lain kerusakan pantai utara.

“Booming tambak udang tahun 70-an hingga 80-an . Waktu itu besar-besaran mengembangkan tambak udang mangrove di babat. Yang selamat itu petani tradisional yang mengembangkan bandeng saja yang mangrovenya tidak dibabat. Di Pantai-pantai yang petaninya tidak budidaya udang selamat.“

Indra Kertati, direktur lembaga pengkajian dan pengembangan sumberdaya pembangunan menyebut. “Data saya di beberapa tempat abrasi mulai sangat kencang tahun 1986 menghebat mulai tahun 1990. Tapi sebelum itu sebetulnya sudah tahun 1963 sudah mulai, tapi begitu menghebat tahun 1980an-1991 sudah sangat terasa. itu seiring dengan tingkat kepadatan penduduk.“

Kembali ke dusun Senik Kecamatan Sayung. Kami berpapasan dengan Sumanah. Ibu itu tengah menuntun sepedanya menembus jalan setapak pinggir kali, yang rusak berat dan digenangi air semata kaki.

“Biasanya hujan-hujan dulu lama kelamaan tanah amblas, terus lama kelamaan terjadi banjir karena tanah longsor. Kebanjiran terus bertahun-tahun sudah 9 tahun. Tingginya sampai seperempat rumah, terus menerus, paling tinggi 1,5 meter. Lautnya semakin deket, pohon-pohon di pinggir laut tercerabut.“

Kami terus berjalan memasuki pedukuhan. Sore itu angin menderu kencang. Sesekali muncul kilat dan guruh di kejauhan. Hujan tak lama lagi akan turun. Namun suami istri petani tambak asal desa mondoliko, Jumiatun dan Basyir, belum beranjak dari tambak ikan bandengnya. Dalam kecipak air tambak, keduanya melayani obrolan kami:

“Kalau ada air dari laut, musim kemarau atau musim hujan sama saja timbul rob, jadi bandeng sering hilang. Kami menabur benih 7 ribu mustinya bisa dapat 7 kuintal tapi sekarang tidak bisa panen paling cuman dapat 1 kuintal. Bandeng kualitasnya juga jelek dan kecil-kecil. Ini karena pengaruh air dari laut yang terlalu besar dan tinggi.““

Suwarno warga senik menemani kami menjelajahi desa. Ia menunjukan berbagai lokasi yang sudah terendam. Rumah-rumah yang sudah runtuh, juga kuburan desa yang kini telah menjadi habitat ikan mujair.

„“Kuburan semua. Ini lokasi kuburan, dulu kalau ada yang meninggal harus nunggu surut, dikuras sambil menggali liang kubur. Kuburan sudah tenggelam semua patok nisan sudah tidak terlihat lagi, sekarang di buat rumah ikan mujair dan kepiting,“ jelas Warno.

Dalam perjalanan pulang, kami melewati sebuah pekuburan lain. Kami menyaksikan sebuah upacara pemakaman yang tampak rumit, karena tanah pekuburan sudah sangat becek oleh lumpur basah, akibat hujan dan banjir rob sebelumnya. Pemakaman ini memang masih bisa digunakan. Namun sepertinya, tak lama lagi nasibnya akan serupa dengan pemakaman desa yang ditunjukkan Suwarno sebelumnya. Tertelan air, menjadi bagian dari laut, dan berubah sebagai habitat ikan mujair.

Nov 2007 / pesisir utara Jawa Tengah

Tidak ada komentar: