Pages

Kamis, 04 Juni 2009

Qariyyah Tayyibah, Oase Kebobrokan Pendidikan Indonesia


Publish on Radio International Jerman Deutsche Welle / Indonesian Programme

By. Noni Arni

Berbagai persoalan masih menyelimuti sistem pendidikan Indonesia, di semua jenjang. Mulai dari rendahnya mutu lulusan hingga komersialisasi pendidikan. Di berbagai wilayah, pendidikan tak lagi sebagai pelayanan publik, tapi lebih sebagai layanan privat. Artinya mereka yang memiliki uang saja yang bisa mengakses pendidikan.

Institusi pendidikan dibiarkan berjalan sendiri. Akibatnya, banyak anak indonesia terpaksa putus sekolah karena tidak mampu meraih pendidikan, meski hanya di sekolah biasa. Meski tak banyak, untunglah sekolah alternatif pun bermunculan. Berikut penelusuran wartawan Deutsche Welle di Jawa Tengah, Noni Arni, ke sebuah sekolah alternatif berbasis komunitas Qariyyah Tayyibah yang berhasil menciptakan anak-anak berkualitas tanpa biaya mahal :

Waktu menunjukkan pukul 9 pagi ketika saya datang ke sekolah alternatif Qariyyah Tayyibah. Sekolah yang terletak di desa Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah. Sebuah desa kecil yang berjarak sekitar 3 kilometer dari kota Salatiga.

Tak ada papan nama, pagar sekolah, lonceng maupun seragam layaknya sebuah sekolah pada umumnya. Yang ada hanya rumah milik Bahruddin yang disulap menjadi aula tanpa meja kursi. Lantai keramik rumah itu beralaskan tikar plastik. Yang menandakan keberadaan sekolah ini, hanya anak-anak umur belasan tahun yang bergerombol dan asyk dengan aktivitasnya sendiri-sendiri.

Moksa dan 10 anak lainnya terlihat asyik di depan laptop masing-masing. Ada yang mengakses situs internet friendster, google, memainkan game online, mengotak-atik photo shop sambil mendengarkan musik, hingga menulis cerpen. mereka tak bermain-main. Beginilah cara mereka belajar dan sistem pembelajaran yang diterapkan di SMP Qariyyah Tayyibah. Dalam satu ruangan terjadi proses multi pembelajaran. Kebebasan memilih untuk belajar menjadi ciri khas sekolah ini.

Achmad Bahruddin, Kepala Sekolah SMP alternatif Qariyyah Tayyibah yang juga pencetus SMP berbasis komunitas ini mengungkapkan, sekolah ini mengacu pada kurikulum sekolah reguler tapi kegiatan belajar tak dibatasi secara formal.

Kurikulum berbasis kebutuhan, begitulah metode belajar yang diterapkan kepada siswa. Jadi para siswa bebas belajar apa dan kapan saja yang mereka suka dan minati. Belajar juga tidak mengenal lokasi dilakukan dengan cara bermacam-macam.

“Terutama bahasa Inggris karena memang bahasa Inggris lebih intensif selama satu tahun tiap pagi ada English Morning. Telak sekali bisa mengungguli sekolah induknya dan itu kakak kelas. Artinya model pembelajaran yang orang menyebut seenaknya sendiri, terus dengan sarana sangat terbatas gedung tidak ada. Tapi ternyata kita gunakan cara berpikir mandiri, kita manfaatkan apa yang ada, ternyata lingkungan belajar bahkan persoalan yang dihadapi bisa menjadi resource pembelajaran bisa mejadi sarana pembelajaran.”

Pada awalnya sekolah ini ditujukan bagi anak-anak di desa Kalibening yang tak mampu melanjutkan pendidikan wajib belajar sembilan tahun karena keterbatasan biaya. Dikelola dengan prinsip pendidikan berbasis komunitas. Artinya, kegiatan pendidikan diselenggarakan dan diarahkan menurut kebutuhan komunitas atau warga setempat.

“Sederhana saja misalnya ketika di desanya ada persoalan tentang alat produksi yang namanya tanah, anak-anak akhirnya belajar tentang land reform. Sekarang bikin kajian tentang land reform. Tidak ada di SMP SMA se Indonesia bahkan se-dunia yang anak sekecil itu bisa membuat kajian land reform. Masalah itu ternyata bisa menjadi resource pembelajaran. apalagi potensi natural resources yang ada di desa ini, ada kebun, ada sawah dan serangkaian permasalahannya. Sebenarnya itu, Pembelajaran yang betul-betul dipusatkan Pada kepentingan anak. Anak kan punya keluarga. Keluarga punya komunitas. Makanya kita menyebut community base education. Pembelajaran, pendidikan yang betul-betul berbasis pada kepentingan komunitas,”tambah Bachrudin.

Kini sekolah Qariyyah Tayyibah memasuki tahun keenam, Namun 150 siswanya tak hanya berasal dari desa Kalibening saja.

Moksa, adalah siswa tingkat satu yang berasal dari Jakarta yang lebih tertarik memilih sekolah di Qariyyah Tayyibah setelah lulus dari sekolah dasar.

“Aku kan liat di tv, aku senang kalau sekolahan model kayak gini aku senang, bapak menganjurkan mau sekolah di sini apa tidak. Enak suka aku. Tak terlalu dipaksa, Misalnya mau belajar matematika tapi tak suka boleh belajar yang lain, mengedit foto atau main internet. Kalau guru cuma pendamping, pendamping matematika yang ngajar matematika, seperti guru tapi tak seperti kayak guru sekali gitu. Ya bebas berpendapat gitu.”

Begitu juga dengan Binar Al-Kautsar siswa dari bangka Belitung, yang meninggalkan sekolah internasional di kampung halamannya

“Sekolah saya yang reguler kebetulan sekolah internasional. Saya kira mereka bisa mengerti murid kemauan murid. Tidak serba terpaksa. Kalau di sana bangun jam 7 pagi terpaksa disini mau ga… .gitu kan kadang bangun jam 9, jam 11. Jarang.. Paling ikutnya forum kelas Senin saja. tergantung kelasnya mau kumpul atau tidak. Di sini free.”

Untuk membangun sekolah berkualitas namun murah. Dengan memakai model partisipatif, sekolah ini menggabungkan peranan pengelola, murid, keluarga dan masyarakat dalam menciptakan pendidikan sesuai kebutuhan. Qaryah Thayyibah juga memberikan posisi setara antara guru dan murid. Fungsi guru yang mereka sebut pendamping belajar lebih ditekankan sebagai motivator.

Pendamping siswa Ali Mutaha mengatakan sarana menjadi modal yang diutamakan adalah internet yang bisa diakses gratis 24 jam nonstop, sebagai pusat informasi terbesar. Di samping itu, juga memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai media belajar. Misalnya pertanian, industri rumah, konservasi alam, pengairan, ilmu ekonomi warung desa, dan sebagainya.

“Yang paling mendukung bagi kita kan internet, informasi paling besar untuk cari apa-apa. Kalau untuk pendidikan komunitas, diluar ada kebun, ada sawah, tanaman Itu mereka belajar apa, ada faslitas yang sangat besar sekali, gratis, mungkin kalau di luar negeri ya tidak boleh masuk tempat orang. Mereka ingin belajar sejarah tentang desa ini ya sudah datang ke tempat sesepuh atau perangkat atau siapa.Tanya sejarah kalibening itu seperti apa . siapa yang tahu, tidak harus guru. Itu guru mereka.”

Lulu dan Hana menceritakan bagaimana cara belajar mereka

“Misalnya pelajaran kalau yang diterangkan guru kita tidak tahu, bisa cari di internet .terus kalau mau cari artikel –artikel juga dari internet”

“Banyak kalau gurunya tak masuk ya biasananya disini main internet Friendster-an . di sekolah biasa saya tidak pernah masuk enak ..di sini.kalau disuruh buat PR sama lari mending lari. Di sini enak didampingi. Buat bahasa Ingris kayak game gitu….Biasannya kalau disini banyak forum seperti forum teater, film .”

Orang tua yakin dan menyerahkan sepenuhnya pola pembelajaran anaknya pada Qariyah Tayibah, seperti Ridwan orang tua Hana

“Saya mantap bahwa pola pembelajaran di Qariyah Tayibah sangat sesuai, sangat cocok untuk mengembangkan potensi anak. Dia mau tahu apa saja proses itu dia lakukan apa saja.Bahkan dengan memberikan ruang pada anak untuk berkarya, computer sampai HP dia dapatkan sediri. Uang sekolah Tidak ada, sifatnya kalau dulu di awal pembelajaran tidak ada. Kesepakatan Maka ya yang terkecil kosong tidak menyumbang, yang terbesar tidak ada batasannya sesuai dengan kemampuan wali murid.”

SMP Alternatif Qaryah Thayyibah merupakan pengembangan dari konsep bersekolah di rumah. Pada dasarnya anak-anak itu belajar bersama di sebuah rumah dengan didampingi oleh pembimbing.

Naswil Idris, salah seorang praktisi pendidikan mengungkapkan alasannya kenapa "SMP Alternatif QT di Kalibening sejajar dengan kampung Isy Les Moulineuk di Prancis atau Kecamatan Mitaka di Tokyo", yang telah menggunakan jaringan internet di komunitasnya sendiri.

“Qtariyah Tayibah ini sebagai suatu embrio dari yang disebut di New York Intelegent Community. Jadi ada intelegent multy forum di new York yang menilai di seluruh dunia bentuk-bentuk keberhasilan masyarakat pendidikan termasuk di Tokyo Mitaka City namanya kemudian adalagi di Eropa. Saya sudah sejajarkan itu . diantara keberhasilan didunia itu di forum di Honolulu saya katakanan ini adalah embrio untuk menjadi model sekolah yang berhasil . sekolah Qariyyah Tayibah sebagai suatu contoh sekolah yang berhasil, bagaimana menyebutnya ini adalah cikal bakal suatu bentuk pendidikan yang bisa menyamai hasil-hasil pendidikan yang berhasil di dunia.”

Dan SMP Qaryah Thayyibah dapat menjadi contoh bagi peminat pendidikan alternatif yang ingin menciptakan pendidikan berbasis komunitas. Kemunculan SMP Alternatif Qaryah Thayyibah merupakan sebuah kritik paradigmatik atas paradigma pendidikan yang secara umum dipraktikkan di Indonesia.

2008

2 komentar:

doniriadi.blogspot.com mengatakan...

liputan yang komprehensif....
kapan mba ke q-Tha? bertemu 'murid2ku dong...^_^

Unknown mengatakan...

dulu pernah liputan di q-tha juga to....
oh iya....tu foto yang bagian atas pas di papua itu to...??? hehehehe