Pages

Rabu, 24 Juni 2009

Sanitasi Ramah Lingkungan

Publish on Radio International Jerman Deutsche Welle/ Indonesian Programme

by. Noni Arni

Penyediaan fasilitas mandi, cuci, dan kakus MCK yang representatif bukanlah persoalan sederhana bagi kota besar. Dengan penduduk yang padat, lahan yang semakin sempit, persediaan air bersih juga semakin terbatas. Karenanya tak jarang warga memilih memanfaatkan sungai sebagai MCK. Aktivitas ini tentu saja membuat sungai tercemar. Meskipun selama ini banyak program sanitasi yang macet, tapi upaya perbaikan program sanitasi tetap dilaksanakan. Misalnya dengan MCK Ramah Lingkungan. Inilah tema Politik dan Masyarakat kali ini bersama Noni Arni, Koresponden DW dari Semarang

Pagi itu Muktiah dan anaknya tengah asyik mandi bersama di salah satu sungai yang bersebelahan dengan jalur utama pantura timur Jawatengah. Tak ketinggalan Munawaroh yang mencuci baju dan Rusdi yang asyik memandikan domba-domba peliharaannya. Air sungai yang dangkal karena musim kemarau tak mengurangi aktifitas keseharian mereka.

Begini lah potret warga Demak Jawatengah yang hingga kini masih mengalami kesulitan air bersih untuk memenuhi kebutuhan MCK.
Munawaroh dan Rusni mengaku Meski dianggapnya lebih praktis dan murah, memanfaatkan air sungai untuk MCK merupakan keterpaksaan karena sulitnya mendapatkan air bersih. Terlebih lagi saat memasuki musim kemarau.

“(sambil nyuci) ya memang cepet, kalau ini ada kotorannya anak-anak (bekas BAB bayi-red)dibuang disitu, langsung mengalir. Ya terpaksa, dari segi ekonomi kan lebih ngirit. Resikonya ya itu dari kotorannya sana terus kesni. Apa boleh buat . Gimana lagi, airnya adanya ini saja. adanya ini ya dipakai ini, cepet kok, enak.”

“Nyuci piring, mandi disini. Punya sumur tapi kalau musim kemarau kering dan asin airnya.ini sedikit kan seger.tidak ada airnya tapi karena adanya ini, ya dipakai ini. udah dari dulu sebelum saya lahir. Kalau yang alergi gatal tapi yang sudah biasa tidak. Adanya ini ya dipakai ini.”Rusni menambahkan.

Mereka adalah bagian dari hampir 69 juta orang di Indonesia yang hingga kini masih tidak memiliki akses terhadap fasilitasi sanitasi dasar. Lebih dari 30 ribu desa di Indonesia kondisi sanitasinya sangat memprihatinkan.

Memang, kenyataan tak banyak warga yang bisa berbuat untuk perbaikan sanitasi di lingkungannya. Selain itu mengubah perilaku hidup masyarakat bukan pekerjaan mudah. Butuh kerja keras dan berkesinambungan

Warga kampung Bustaman, kampung padat dan miskin di kota Semarang Jawa Tengah ini mampu memberikan contoh sadar lingkungan. Bahkan sanitasi yang dibangun dengan nama sanimas Pangrukti Luhur ini menjadi salah satu daerah percontohan dan pilot project di Indonesia yang berhasil mengembangkan sanitasi berbasis masyarakat.

Pengelola sanimas Pangrukti luhur, Wahyuno bercerita, sebelum berdiri sanimas, warga kampung Bustaman biasa memanfaatkan sungai Semarang untuk buang air besar, karena MCK umum yang ada tak mampu menampung kebutuhan warga.

“Perkembangan lahan penduduknya semakin padat, lahan tidak ada.larinya dulu ke MCK atau ke kali(sungai kecil) semarang samping perkampungan ada kali semarang kalau malam berjejer…hehe.kayak buang air besar gitu..hehehe.”

Namun kini tak lagi, meskipun melewati proses panjang. Sanimas yang menelan dana 235 juta rupiah. Berkat bantuan dari LSM Jerman Bremen Overseas and Development Association Borda , pemda , dan warga berhasil dibangun

“Alhamdulillah ada program sanitasi sanimas ini yang dibawa pak Ibnu BORDA . Orang Jerman kesini datang terus dilihat. Sering ditinjau karena saya sering mengajukan ke kelurahan, pemkot bantuan-bantuan untuk MCK. Tapi nyata cuman ditinjau sudah tidak ada kelanjutannya lagi, sampai warga berpikir paling-paling dibohongin lagi . BORDA datang ya dicuekin orang kampung. Saya yang menemui . Kalau memang betul kita mau kita garap bareng-bareng. Akhirnya untuk mengumpulkan wargapun sulit. Masalah MCK sudah pada pesimis lagi.percuma lah.”

Tak mudah menyulap MCK peninggalan kolonial belanda yang sebelumnya ada dan kumuh menjadi MCK plus yang nyaman. Keberhasilan ini tak lepas dari keterlibatan seluruh warga. Dari mulai pembangunan hingga menejemen pengelolaan sanimas. Disebut MCK plus karena dilengkapi dengan instalasi pengolahan air limbah

“Kita yang mengerjakan semua warga, memang betul bantuan ini tepat sasaran. Tidak ada campur tangan dengan kelurahan, pemkot tidak ada. Murni warga kita. Jadi Yang desain warga. 6 WC, 4 kamar mandi dan 1 tempat cucian. Terus ditawari untuk biogas warga bersedia. Sekarang buat masak juga sudah bisa.”

Kasubdin Praskim Dinas Kimtaru Jawatengah, Dharma Gunadi menyatakan masalah sanitasi merupakan masalah krusial yang menjadi tanggung jawab semua pihak tanpa terkecuali.Namun kenyataannya banyak yang tak menyadari hal itu.

“ Kesulitannya sanitasi itu tidak dianggap penting oleh penentu kebijakan termasuk politisi. Itu intinya, menurut saya. Sanitasi itu ga keliahatan tapi tahu-tahu meninggal.Menggalakkan terus meners dengan melakukan sosialisasi. Setiap Dana sekecil apapun kita upayakan masyarakat terlibat. Tahun 2006 orang kena diare itu hampir 500 ribu jiwa belum yang penyakit kulit lainnya . Orang tidak pernah menyadari itu.”

Peran masyarakat sebagai subyek pun dilalaikan pemeritah. Ini salah satu kegagalan.
“Dulunya salah. Pemerintah dulu kurang percaya dengan warga. Dikit-dikit kelurahan ada bantuan 10 juta terus dibangunkan saja. Keinginan warga apa tidak di kasih. Umpama bangun MCK dah dibangunkan, dipakai suka atau tidak.kalau sekarang tidak. Ini betul-betul warga yang nyeleksi. Warga suruh memilih. Bangun Menghadap kemana, cat warna apa jadi antusias.betul-betul transparan baru kali ini ga ada campur tangan pemerintah. Pak lurah saja tidak tahu.”ungkap Wahyuno.

Pengguna MCK plus Pangrukti luhur memang dikenakan biaya. Uang tersebut dikelola dan dimanfaatkan untuk peningkatan sarana. Sanimas Pangrukti luhur dimanfaatkan sekitar 200 orang, dengan Pemasukan perbulan mencapai 2,5 juta rupiah. Ini Angka tinggi untuk sebuah sanimas di Indonesia.

Ainun dan Amri mengaku tak keberatan jika harus membayar. Yang terpenting menurutnya MCK tersebut nyaman digunakan.
“Memang dari dulu tidak punya MCk karena rumah kecil.Dulu ada tapi kumuh kalau buang air besar kalau tidak dibesihin kan kotorannya banyak. Mau tidak mau jongkoknya disini. Sekarang lebih enak lebih bersih.Cuman 600 rupiah satu paket. Mandi dan buang air besar.”


“Tiap hari kalau bayar 500 sudah bersih. mencari kemudahan saja. Air sudah disiapkan.tidak sulit. Dulu lain dengan sekarang. Dulu tidak ada air.air ledeng”tambah Amri.

Koordinator sanimas regional jateng DIY dan Kalimantan Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan yang menjadi perwakilan Borda di Indonesia, Ibnu Singgih pranoto mengungkapkan, sanimas Pangrukti luhur ini merupakan satu dari 200 lokasi di 118 kabupaten di Indonesia yang berhasil menerapkan program perbaikan sanitasi

“Jawatengah kebetulan sebagi projek desingasi sanimas pertama di Jawa dan Denpasar. Program ini dinilai PU pusat itu pas karena dulu banyak proyek sanitasi dan gagal banyak yang gagal, dulu sekitar ribuan yang harganya tahun 1990 sekitar 15 juta. Malah punya sebutan MCK sebagai monumen cipta karya. Meski agak mahal karena kita ingin mengembalikan bawa MCK itu atau sanitasi itu tidak bau, tidak becek dan itu menjadi tempat yang bisa dikatakan sebagai open space.”

Namun Ibnu menambahkan, menejemen pengelolaan sanimas hingga kini masih menjadi kendala. Sehingga meski banyak proyek sanitasi di gelontorkan. Hanya sedikit yang berhasil.

2008

Tidak ada komentar: