Pages

Kamis, 04 Juni 2009

Qariyyah Tayyibah, Oase Kebobrokan Pendidikan Indonesia


Publish on Radio International Jerman Deutsche Welle / Indonesian Programme

By. Noni Arni

Berbagai persoalan masih menyelimuti sistem pendidikan Indonesia, di semua jenjang. Mulai dari rendahnya mutu lulusan hingga komersialisasi pendidikan. Di berbagai wilayah, pendidikan tak lagi sebagai pelayanan publik, tapi lebih sebagai layanan privat. Artinya mereka yang memiliki uang saja yang bisa mengakses pendidikan.

Institusi pendidikan dibiarkan berjalan sendiri. Akibatnya, banyak anak indonesia terpaksa putus sekolah karena tidak mampu meraih pendidikan, meski hanya di sekolah biasa. Meski tak banyak, untunglah sekolah alternatif pun bermunculan. Berikut penelusuran wartawan Deutsche Welle di Jawa Tengah, Noni Arni, ke sebuah sekolah alternatif berbasis komunitas Qariyyah Tayyibah yang berhasil menciptakan anak-anak berkualitas tanpa biaya mahal :

Waktu menunjukkan pukul 9 pagi ketika saya datang ke sekolah alternatif Qariyyah Tayyibah. Sekolah yang terletak di desa Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah. Sebuah desa kecil yang berjarak sekitar 3 kilometer dari kota Salatiga.

Tak ada papan nama, pagar sekolah, lonceng maupun seragam layaknya sebuah sekolah pada umumnya. Yang ada hanya rumah milik Bahruddin yang disulap menjadi aula tanpa meja kursi. Lantai keramik rumah itu beralaskan tikar plastik. Yang menandakan keberadaan sekolah ini, hanya anak-anak umur belasan tahun yang bergerombol dan asyk dengan aktivitasnya sendiri-sendiri.

Moksa dan 10 anak lainnya terlihat asyik di depan laptop masing-masing. Ada yang mengakses situs internet friendster, google, memainkan game online, mengotak-atik photo shop sambil mendengarkan musik, hingga menulis cerpen. mereka tak bermain-main. Beginilah cara mereka belajar dan sistem pembelajaran yang diterapkan di SMP Qariyyah Tayyibah. Dalam satu ruangan terjadi proses multi pembelajaran. Kebebasan memilih untuk belajar menjadi ciri khas sekolah ini.

Achmad Bahruddin, Kepala Sekolah SMP alternatif Qariyyah Tayyibah yang juga pencetus SMP berbasis komunitas ini mengungkapkan, sekolah ini mengacu pada kurikulum sekolah reguler tapi kegiatan belajar tak dibatasi secara formal.

Kurikulum berbasis kebutuhan, begitulah metode belajar yang diterapkan kepada siswa. Jadi para siswa bebas belajar apa dan kapan saja yang mereka suka dan minati. Belajar juga tidak mengenal lokasi dilakukan dengan cara bermacam-macam.

“Terutama bahasa Inggris karena memang bahasa Inggris lebih intensif selama satu tahun tiap pagi ada English Morning. Telak sekali bisa mengungguli sekolah induknya dan itu kakak kelas. Artinya model pembelajaran yang orang menyebut seenaknya sendiri, terus dengan sarana sangat terbatas gedung tidak ada. Tapi ternyata kita gunakan cara berpikir mandiri, kita manfaatkan apa yang ada, ternyata lingkungan belajar bahkan persoalan yang dihadapi bisa menjadi resource pembelajaran bisa mejadi sarana pembelajaran.”

Pada awalnya sekolah ini ditujukan bagi anak-anak di desa Kalibening yang tak mampu melanjutkan pendidikan wajib belajar sembilan tahun karena keterbatasan biaya. Dikelola dengan prinsip pendidikan berbasis komunitas. Artinya, kegiatan pendidikan diselenggarakan dan diarahkan menurut kebutuhan komunitas atau warga setempat.

“Sederhana saja misalnya ketika di desanya ada persoalan tentang alat produksi yang namanya tanah, anak-anak akhirnya belajar tentang land reform. Sekarang bikin kajian tentang land reform. Tidak ada di SMP SMA se Indonesia bahkan se-dunia yang anak sekecil itu bisa membuat kajian land reform. Masalah itu ternyata bisa menjadi resource pembelajaran. apalagi potensi natural resources yang ada di desa ini, ada kebun, ada sawah dan serangkaian permasalahannya. Sebenarnya itu, Pembelajaran yang betul-betul dipusatkan Pada kepentingan anak. Anak kan punya keluarga. Keluarga punya komunitas. Makanya kita menyebut community base education. Pembelajaran, pendidikan yang betul-betul berbasis pada kepentingan komunitas,”tambah Bachrudin.

Kini sekolah Qariyyah Tayyibah memasuki tahun keenam, Namun 150 siswanya tak hanya berasal dari desa Kalibening saja.

Moksa, adalah siswa tingkat satu yang berasal dari Jakarta yang lebih tertarik memilih sekolah di Qariyyah Tayyibah setelah lulus dari sekolah dasar.

“Aku kan liat di tv, aku senang kalau sekolahan model kayak gini aku senang, bapak menganjurkan mau sekolah di sini apa tidak. Enak suka aku. Tak terlalu dipaksa, Misalnya mau belajar matematika tapi tak suka boleh belajar yang lain, mengedit foto atau main internet. Kalau guru cuma pendamping, pendamping matematika yang ngajar matematika, seperti guru tapi tak seperti kayak guru sekali gitu. Ya bebas berpendapat gitu.”

Begitu juga dengan Binar Al-Kautsar siswa dari bangka Belitung, yang meninggalkan sekolah internasional di kampung halamannya

“Sekolah saya yang reguler kebetulan sekolah internasional. Saya kira mereka bisa mengerti murid kemauan murid. Tidak serba terpaksa. Kalau di sana bangun jam 7 pagi terpaksa disini mau ga… .gitu kan kadang bangun jam 9, jam 11. Jarang.. Paling ikutnya forum kelas Senin saja. tergantung kelasnya mau kumpul atau tidak. Di sini free.”

Untuk membangun sekolah berkualitas namun murah. Dengan memakai model partisipatif, sekolah ini menggabungkan peranan pengelola, murid, keluarga dan masyarakat dalam menciptakan pendidikan sesuai kebutuhan. Qaryah Thayyibah juga memberikan posisi setara antara guru dan murid. Fungsi guru yang mereka sebut pendamping belajar lebih ditekankan sebagai motivator.

Pendamping siswa Ali Mutaha mengatakan sarana menjadi modal yang diutamakan adalah internet yang bisa diakses gratis 24 jam nonstop, sebagai pusat informasi terbesar. Di samping itu, juga memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai media belajar. Misalnya pertanian, industri rumah, konservasi alam, pengairan, ilmu ekonomi warung desa, dan sebagainya.

“Yang paling mendukung bagi kita kan internet, informasi paling besar untuk cari apa-apa. Kalau untuk pendidikan komunitas, diluar ada kebun, ada sawah, tanaman Itu mereka belajar apa, ada faslitas yang sangat besar sekali, gratis, mungkin kalau di luar negeri ya tidak boleh masuk tempat orang. Mereka ingin belajar sejarah tentang desa ini ya sudah datang ke tempat sesepuh atau perangkat atau siapa.Tanya sejarah kalibening itu seperti apa . siapa yang tahu, tidak harus guru. Itu guru mereka.”

Lulu dan Hana menceritakan bagaimana cara belajar mereka

“Misalnya pelajaran kalau yang diterangkan guru kita tidak tahu, bisa cari di internet .terus kalau mau cari artikel –artikel juga dari internet”

“Banyak kalau gurunya tak masuk ya biasananya disini main internet Friendster-an . di sekolah biasa saya tidak pernah masuk enak ..di sini.kalau disuruh buat PR sama lari mending lari. Di sini enak didampingi. Buat bahasa Ingris kayak game gitu….Biasannya kalau disini banyak forum seperti forum teater, film .”

Orang tua yakin dan menyerahkan sepenuhnya pola pembelajaran anaknya pada Qariyah Tayibah, seperti Ridwan orang tua Hana

“Saya mantap bahwa pola pembelajaran di Qariyah Tayibah sangat sesuai, sangat cocok untuk mengembangkan potensi anak. Dia mau tahu apa saja proses itu dia lakukan apa saja.Bahkan dengan memberikan ruang pada anak untuk berkarya, computer sampai HP dia dapatkan sediri. Uang sekolah Tidak ada, sifatnya kalau dulu di awal pembelajaran tidak ada. Kesepakatan Maka ya yang terkecil kosong tidak menyumbang, yang terbesar tidak ada batasannya sesuai dengan kemampuan wali murid.”

SMP Alternatif Qaryah Thayyibah merupakan pengembangan dari konsep bersekolah di rumah. Pada dasarnya anak-anak itu belajar bersama di sebuah rumah dengan didampingi oleh pembimbing.

Naswil Idris, salah seorang praktisi pendidikan mengungkapkan alasannya kenapa "SMP Alternatif QT di Kalibening sejajar dengan kampung Isy Les Moulineuk di Prancis atau Kecamatan Mitaka di Tokyo", yang telah menggunakan jaringan internet di komunitasnya sendiri.

“Qtariyah Tayibah ini sebagai suatu embrio dari yang disebut di New York Intelegent Community. Jadi ada intelegent multy forum di new York yang menilai di seluruh dunia bentuk-bentuk keberhasilan masyarakat pendidikan termasuk di Tokyo Mitaka City namanya kemudian adalagi di Eropa. Saya sudah sejajarkan itu . diantara keberhasilan didunia itu di forum di Honolulu saya katakanan ini adalah embrio untuk menjadi model sekolah yang berhasil . sekolah Qariyyah Tayibah sebagai suatu contoh sekolah yang berhasil, bagaimana menyebutnya ini adalah cikal bakal suatu bentuk pendidikan yang bisa menyamai hasil-hasil pendidikan yang berhasil di dunia.”

Dan SMP Qaryah Thayyibah dapat menjadi contoh bagi peminat pendidikan alternatif yang ingin menciptakan pendidikan berbasis komunitas. Kemunculan SMP Alternatif Qaryah Thayyibah merupakan sebuah kritik paradigmatik atas paradigma pendidikan yang secara umum dipraktikkan di Indonesia.

2008

Minggu, 31 Mei 2009

U`RE NOT ALONE

That's just like him
To wander off in the evergreen park
Slowly searching
For any sign of the ones he used to love
He says hes got nothing left to live for
(He says hes got nothing left)
And this time I think you'll know

Your not alone
There's more to this I know
You can make it out
You will live to tell

She's just like him
Spoiled rotten, confused by the lies shes been fed
Shes searching for no one (but herself)
Her eyes turn to green and she seems to be happy that she is her
And this time I think you'll know

Your not alone
There is more to this I know
You can make it out
You will live to tell

Your not alone
There is more to this i know
You can make it out

(there is more to this)

We're not alone

Sabtu, 23 Mei 2009

Bank Sampah "Gemah Ripah"



Publish on Radio International Jerman Deutsche Welle / Indonesian Programme
Sosial Budaya | 02.03.2009

by. Noni Arni

Bank Sampah, Mengubah Pandangan tentang Sampah

Großansicht des Bildes mit der Bildunterschrift:

Menyimpan sampah, terdengar paradoks. Sebab sampah adalah sesuatu yang biasanya kita buang. Tapi inilah yang dilakukan warga Badegan, Bantul, Yogyakarta. Mereka mengumpulkan, menyimpan lalu bahkan menabung sampahnya.

Pukul 4 sore, warga terlihat berkerumun di sebuah bangunan sederhana yang berukuran 8 kali 12 meter. Lantainya tanah, tanpa pintu dan jendela. Di tembok tak bercat terpampang spanduk besar bertuliskan Bank Sampah Gemah Ripah. Sedangkan di kiri kanan dinding tertempel tulisan ajakan membuang sampah dan tumpukan puluhan kantong sampah. Mereka yang berkumpul adalah nasabah bank sampah gemah ripah. Bukan bank biasa, tidak ada lantai keramik, perangkat komputer maupun petugas berseragam.

Ismiyati dan beberapa warga menunggu dalam antrian sambil ngobrol di depan meja petugas bank. Tangannya menenteng 2 kantong berisi sampah kertas dan plastik yang sudah dipilah. Ismiyati disambut Galuh dan Sita, dua petugas bank yang biasa disebut teller. Ismiyati lalu menyerahkan tabungannya. Bukan dalam bentuk uang, melainkan sampah yang ditentengnya. Dengan cekatan, Galuh menimbang dan melabeli tas isi sampah itu, sementara Sita mencatat berat sampah di buku tabungan. Hanya butuh waktu 3 menit, Ismiyati sudah menerima bukti penyetoran sampah. Semua pencatatan dilakukan dengan tangan.

Setiap kantong sampah milik nasabah atau penabung diberi label agar tidak tertukar dengan nasabah lain. Kemudian kantong sampah itu disimpan dalam bilik penyimpanan sampah sesuai jenisnya. Teller mencatat dan mencocokkan lagi semua penyetoran nasabah dalam buku besar yang disebut buku induk.

Lalu apa yang terjadi dengan sampah yang dibawa nasabah ini? Menurut petugas bank Galuh, dalam seminggu sampah yang terkumpul bisa mencapai 70 kilogram. Sampah ini secara berkala disetor ke tukang barang rongsokan. Mereka disebut pengepul rosok. Merekalah nanti yang akan menghitung nilai ekonomis setiap sampah yang ditabung nasabah. Jadi petugas bank tidak menentukan berapa nilai sampah nasabahnya. Demikian dijelaskan Galuh.

Memang yang mengetahui nilai sampah adalah para pengepul rosok. Mereka yang sehari-hari melakukan jual beli sampah, seperti Nasrulloh. Ia memang harus meluangkan waktu datang ke bank sampah untuk menaksir nilai sampah tiap nasabah. Tapi sebagai pedagang, ia juga diuntungkan dengan adanya bank sampah. Baginya, tidak telalu susah mencari barang.

Tak ada batasan berat sampah yang ditabung nasabah. Sampah yang dikumpulkan lebih dulu harus dipilah. Setiap penabung mendapat tiga kantong sampah gratis yang telah diberi nama dan nomor rekening. Kantong 1 untuk sampah plastik, kantong 2 sampah kertas, dan kantong 3 untuk sampah kaleng dan botol. Jadi sebelum ditabung, setiap nasabah diharuskan memilah sampah terlebih dahulu sesuai jenisnya, baik kertas, kaleng dan botol.

Bank Sampah Gemah Ripah dibuka tiga hari seminggu, Senin, Rabu, dan Jumat jam 4 sore hingga 8 malam.
Bagaimana pengalaman para nasabah? Ismiyati mengaku senang menjadi nasabah bank sampah. Meski pada awalnya ia merasa malu menenteng sampah untuk ditabung.

Adanya bank sampah menambah kesadaran warga tentang pengelolaan sampah. Kalau dulu warga membuang sampah sembarangan saja, karena kesulitan mencari tempat pembuangan resmi. Kata Ismiyati yang sekarang menjadi nasabah bank sampah.

Gagasan awal pendirian bank sampah ini datang dari Bambang Suwerda, dosen Politeknik Kesehatan Yogyakarta. Ia ingin mengubah pandangan masyarakat tentang sampah, bahwa sampah bisa dimanfaatkan jika dikelola dengan benar.

Pengelolaan bank sampah dilakukan secara sukarela. Petugas teller bank sampah, Galuh dan Sita bekerja tanpa dibayar.

Di bank sampah sekarang ada 10 orang yang sekarang bertugas. Bank sampah memotong dana 15 persen dari nilai sampah yang disetor nasabah. Dana itu digunakan untuk membiayai kegiatan operasional. Berbeda dengan bank biasa, nasabah hanya bisa mengambil tabungan tiga bulan sekali.

Penggagas bank sampah Bambang Suwerda menjelaskan mengapa:
“Dengan pertimbangan supaya nilai nominal dari para penabung terutama sampahnya itu besar rupiahnya, kalau diambil tiap hari itu nanti mungkin lama-lama tidak bersemangat untuk menabung karena rupiahnya sangat kecil. Tapi dengan jangka menengah ini, Ternyata bisa mendatangkan income lumayan .”

Di dusun Badegan ada sekitar 600 kepala keluarga. Sampai sekarang nasabah bank sampah baru 60 orang. Tapi Bambang Suwerda yakin, jumlah penabung akan bertambah. Memang kesadaran warga tentang masalah sampah masih rendah. Untuk itu, penjelasan tentang cara kerja dan gagasan bank sampah sekarang dilakukan secara rutin.

Untuk menjangkau warga yang tinggalnya jauh, ada sistem pengumpulan komunal. Petugas bank berkeliling mengambil sampah milik warga dititik yang sudah ditentukan. Tidak semua sampah yang ditabung nasabah disetor ke tukang rosok. Sebagian di antaranya, yakni jenis plastik sachet dan gabus, diolah menjadi aneka aksesori rumah tangga, seperti tas, dompet, hingga rompi, atau pot bunga. Barang-barang tersebut lalu dijual dengan harga 20 ribu Rupiah.

Bank Sampah Gemah Ripah milik warga Badegan adalah salah satu alternatif mengajak warga peduli dengan sampah, yang konsepnya mungkin dapat dikembangkan juga di wilayah lain. (yf)

Jumat, 22 Mei 2009

Petaka di Kota Batik


Published on Kantor Berita Radio 68H Jakarta

by. Noni Arni

Sebutan Kota Pekalongan sebagai Kota Batik makin menguat, setelah akhir-akhir ini batik kembali menemukan masa kejayaan. Batik menjadi tren berpakaian semua kalangan. Pemasaran 80 persen denyut ekonomi industri batik tidak perlu disangsikan lagi. Tak hanya menyebar ke seluruh kota-kota di Indonesia. Tapi juga penjuru dunia.

Namun di balik itu, Batik Pekalongan ternyata membawa petaka besar. limbah yang dihasikan dari ribuan industri batik, seakan terlupakan dan menjadi hal biasa. Limbah dari pencuciannya batik, mewarnai semua aliran air dan sungai di Pekalongan. upaya kongkrit untuk menyelesaikan persoalan pencemaran belum nampak,karena sistem pengolahan limbah nyaris tak ada.

Separah apakah limbah batik ini mencemari Pekalongan? Apakah ini akan menjadi Bencana lingkungan yang nantinya dinikmati anak cucu. Simak laporan berikut ini:

“Airnya dari sungai. yang dibuat buang limbah batik. Kampung-kampung deket sungai Kampung yang bikin batik. Lewatnya selokan terus masuk sungai terus ke sawah.Ini dah lama sejak ada batik kecil-kecil”kata Tarjuni, petani asal Pabelan.

Sawah Tarjuni ini satu dari hamparan sawah di pekalongan yang ter-aliri air sisa pencucian batik milik para pengrajin batik.Asalnya dari irigasi.berwarna merah kehitaman dan berbuih.

Saya datangi Desa Pabelan, satu dari kampung sentra pengrajin batik yang berjarak sekitar 1 kilometer dari areal persawahan. Di tiap rumah terdapat selokan selebar 1,5 meter. Warga biasa menyebut kali atau sungai kecil. Airnya pekat berwarna merah kehitaman, bercampur sampah rumah tangga dan kotoran manusia.

Rumini,seorang Pengrajin mengaku ditempat ini biasa mereka gunakan untuk mencuci kain batik sebelum dibilas dengan air sumur
“proses batik itu harus dikali.kalau ga di kali ga bisa. Kalau di sumur semua tempatnya ga ada. Nanti di bilas di bak. Pokoknya liatnya bagus.Disini prosesya begini.pokoknya dikemasnya bagus.semua bikinnya juga begini.nyuci sekali tu biar praktis, ngejar waktu.”

Tak ada yang melarang membuang sisa pencucian pewarnaan batik di selokan yang mengalir ke sungai. Bahkan, kepercayaan mencuci batik di kali atau sungai sudah melekat turun temurun.

”Nggak ada yang melarang. Sudah bebas disini. Kalinya kan tidak besar.pokoknya ya buat nyuci disini. Kualitasnya ga terpengaruh... Nyuci tidak terpengaruh malah laris batiknya kalau dijual. Tidak ada yang tahu kalau nyucinya ditempat selokan yang airnya sangat kotor seperti ini.Kalau dah dikemas bagus.”

Suasana nyuci batik
(2..3 hari jadi.berapa kali nyuci..3 kali..direndem satu jam ..ini dah jadi..airnya bisa buat berapa kali nyucipak.. 3 ..buang airnya ke mana…saluran.kesungai)

Proses pewarnaan kain batik dilakukan 2 orang dengan batuan alat cukup sederhana, biasa di sebut kapal-kapalan. selain di selokan, para kuli keceh mencuci kain batik di bak berdiameter 9 meter . sementara sisa pencucian berwarna warni yang menjadi limbah batik ini dibuang ke selokan khusus yang sengaja di buat. alirannya berujung ke sungai terdekat.

Ini obrolan saya dengan salah seorang pengrajin
(Sehari buang ganti yang baru lagi. Ke sungai…itu da langsung di kolah-kolah kecil..gorong-gorong langsung lalu ke timur.naik ke sungai kecil di pinggir jalan itu.. dah biasa.Kalau batik ga bau ga.tapi berwarna gitu.ga-ga bahaya.)

Turun temurun hingga sekarang, sebagian besar proses produksi batik Pekalongan dikerjakan secara tradisional di rumah-rumah yang skalanya kecil. Tidak hanya di Pabelan, Desa Kauman sentra pengrajin batik lain di Pekalongan juga melakukan hal yang sama.

Namun ada juga pengrajin yang tak mengakui membuang limbahnya ke sungai. Salah satunya Haji Lukman pemilik Batik n****a (kalau ga nyebut nama gimana…?

“Batik bukan kontributor limbah ekstrak yang pekat.Terhidrolisir oleh air. Itu jawabanya. Jadi sederhana. Dalam Sejarah limbah batik itu tidak bermasalah. (Punya proses pembuangan sendiri.?)..lha itu kan dari rumah mengertinya begitu kan masih belum percaya kan..hahaha”

Dirinya juga menyangkal limbah batik yang dibuang berbahaya.
“Kalau batik dari sejarahnya memang komponennya air , obat dan soda kue.apanya yang berbahaya. Yang namanya limbah semuanya manusia hidup saja punya limbah. Bukan saya bela diri.”tambahnya.

Dari catatan Dinas Penataan Kota dan Lingkungan Hidup DPKLH Kota Pekalongan, seribu lebih industri batik masih membuang limbahnya ke sungai. Sementara dari data Badan Pengendali dampak lingkungan Bappedal Jawa Tengah menyebutkan, sedikitnya 12 ribu industri kecil dan 23 industri menengah besar di pekalongan, limbah cairnya berpotensi mencemari lingkungan. debit air limbah mencapai puluhan ribu meter kubik perharinya. tidak ada angka pasti debit limbah cair yang masuk ke sungai.

“Tidak usah dipantau itu otomatis ya tahu lah kalau limbah itu masuknya ke sungai.habis itu ke laut. 4 sungai.”
“Limbah batik mengandung B3, termasuk warna, BOD, COD itu memang tinggi sekali dibanding limbah rumah sakit. Limbah batik BOD, COD tinggi. Untuk merendahkan sesuai baku mutu itu memang sulit prosesnya mahal. Ada konsultan dari Jakarta yang menawarkan tak mampu untuk menuunkan BOD 1500 yang sesuai standar 50 itu ga bisa”Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan DPKLH Kota Pekalongan, Masrur membenarkan.

Pemkot tak bisa berbuat banyak meski limbah tersebut dianggapnya sangat berbahaya bagi kehidupan warga pekalongan.

“Jadi ini kalau satu dua banyak yang taat. Sedikit mungkin gampang diatasi. Yang jadi masalah ini kan pelanggaran kolektif. Pelanggaran berjamaah.apa suruh nutup semua.”
“Tidak ada complain. karena dia buruh batik ditempat majikannya tetangganya sendiri. Itu bisa langsung lapor saja. Masak mo melaporkan majikannya sendiri. Suruh menutup usahanya..la terus mau kerja apa.melaporkan dia..ya memang sedikit banyak tercemari. Masak mo melaporkan tetangganya sendiri. Memang dilema”tambah Masrur.

Saat ini hanya satu unit pengelolaan limbah batik organik di kawasan Jenggot. Padahal terdapat 33 pengrajin resmi yang menghasilkan 900 meter kubik limbah cair perhari . Selebihnya membuang sisa pencucian batik ke sungai.Begitu juga dengan wilayah lain yang tersebar di seluruh kecamatan di Pekalongan.

Operator Unit Pengelolaan Limbah Jenggot, Bambang mengungkapkan, UPL Jenggot berkapasitas 400 meter kubik dan hanya mampu menampung 30 persen limbah.
“Dibawah batu ga langsung tanah ada lapisan semacam karpet itu namanya geo membran. Fungsinya air limbah tidak meresap ke tanah.karena kalau meresap ke tanah otomatis sumur masyarakat itu kan tercemar.Penyaringan ke batu-batu. Ada yang masih terbuang sekitar 300 lebih. Makanya kalau ada yang bilang kurang berfungsi itu ga benar.. cuman kurang muat.Daya tampungnya kurang.”

Air limbah dibuang ke sungai ternyata meresap ke sumur warga yang hanya berjarak 5 meter dari sungai. Saya datangi Danali,salah satu warga jenggot yang sumurnya tak lagi digunakan karena tercemar

”Limbah-limbah masuknya ke kali semua. Dari jenggot, simbang wetan, krajenan.masuknya ke kali.Ada UPL tapi jalannya paling masuknya jam 8-9. Yang lainnya masuk kali. Jadi cemar kalinya.pokoknya sini tu untuk pembuangan semua. Limbah-limbah masuknya ke kali semua.”Masuk ke kali kesumur. Dah lama tahun 89 sampe sekarang. Air agak hitam. sumur rusak tidak bisa dipake.”

Ketika saya mengelilingi kota pekalongan, mata saya tertuju pada sungai Pencongan yang airnya berwarna merah kehitaman. saya bertemu dengan Wahnuri, warga desa Sepacar kecamatan Tirtokalongan. Ia menunjukkan aliran warna merah itu berasal.

“Ini merah itu.air batik dari pabrik.ngalirnya sebelah sana. Ada pintu itu. Mo lias sana? Dah ijin sama a pemerintah. Ada uangnya.TST gitu. Mo liat sana?.Dulunya bersih..bisa disuap kan ga papa. Banyak warga yang kerja di pabrik”

Jarak dari pabrik ke sungai hanya 300 meter.Meski mengeluhkan limbah namun warga sekitar bantaran sungai tak protes. Tentu saja karena alasan ekonomi.

“Mau minta berapa kamu saya beli..kan udah.lewat batik..dijual.kan aman. Obatnya kan nglerit berkali-kali ada yang merah, hitam, ijo gitu. Tapi semua diam aja. Lha bagaimana orang kampung juga diam apalagi saya. pasrah saja. Sebetulnya ini ga boleh. biar aman. Orang kampung sudah diam karena sudah dibeli.”jelas Wahnuri.

Kepala Bappedal Jateng, Joko Sutrisno mengungkapkan, maraknya penggunaan zat kimia dalam pewarnaan batik ini dimulai saat batik mengalami masa kejayaan pada tahun 1970an. Order meningkat. Proses batik dibuat karena tuntutan pasar.

“Sebelum ini langsung membuang limbahnya di alur-alur sungai disitu sendiri. Memang ini industry kecil, dulu pada saat nenek moyang mereka memulai usahanya yang pertama itu pewarna batik belum banyak menggunakan warna-warna kimia. Realitanya di kanan kiri sungai, sumur penduduk sudah berubah warna . ada yang tidak bisa digunakan lagi”

Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan DPKLH Kota Pekalongan, Masrur menambahkan, Sulit melakukan pemantauan dan pengawasan, karena sebagian besar industri rumahan.

“Saya tidak mungkn jaga 24 jam disana ya memang pegusaha kan maunya efisiensi, diantaranya karena pembuangan yang tanpa diketahui. Ni jelas memungkinkan, buang tengah malam masak saya suruh jadi herder juga. Kan ga mungkin lah, pembungan seperti itu kan mungkin juga yang namanya pengusaha kan cari celah" .

Akademisi Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang , Junaedi menjelaskan, limbah batik dari proses pewarnaan tradisional dampaknya lebih berbahaya. hingga kapanpun tak bisa terurai.

“Proses pewarnaan itu, karena tradisional dan hanya di celupkan. Tingkat peresapan warnanya rendah. Sebagian besar limbah 75 persen terbuang semua. Jadi yang meresap ke kain, ke benang hanya 25 persen. Semakin rendah tingkat industrinya, pencemaran makin besar karena dari sisi warna tadi.
Seremnya kan di warna. Fluktuatif warnanya bukan harian tapi jam-an.kalau lagi hijau itu hijaunya lebih hijau dari baju kita. Merah tapi air limbahnya lebih merah dari yang mbak pake. Mengerikan Warna itu bisa mengalami bioakumulasi senyawanya karesnogenik bisa timbul tumor.tubuh kita efeknya tahunan jadi susah. “

Sebenarnya penggunaan pewarna alami sudah dikenalkan sejak lama. Alasan mahal dan tidak praktis, pewarna alami tak diminati pengrajin.
Padahal warna alami sangat mudah didapat dan diolah. Seperti diungkapkan Pemerhati batik asal pekalongan, Dudung Alisyahbana

“Dari tingi, tegeran,jambal, secang,dll. Beberapa daun dan akar mengkudu.beberapa tempat tumbuh liar di pinggir jalan.itu banyak sekali jalan dari Pekalonga ke pemalang kemudian di tegal Ringroot arteri dikendal . it juga banyak sekali tumbuh liar.“

Pekalongan termasuk daerah zona merah. Artinya termasuk wilayah yang tergolong paling tinggi tingkat pencemarannya di jawa tengah. Berbagai upaya dilakukan untuk meminimalisir pencemaran, salah satunya kata Joko Sutrisno dilakukan dengan remediasi lahan.

“Kita bisa memafaatkan mikroorganisme maupun dengan sejumlah tanaman yang kita tanam pada lahan yang sudah tercemar itu. Tanaman-tanaman yang kita pilih yang rakus akan unsur logam pakai rami, nilam yang menyerap unsur logam. Bisa dengan kubis.ditanam di areal itu tidak boeh dikonsumsi. Ini harus dimusnahkan”

Untuk mengetahui seberapa parah dampak limbah batik mempengaruhi kehidupan warga pekalongan. Saya bertemu satu keluarga yang tinggal di bantaran sungai Banger. Fajar dan istri mengenang betapa susahnya hidup mereka waktu itu.

”Sumur saya itu rasanya asin, pahit, getir, dan warnanya itu kuning. Diatas nglirap minyak tanah. Buat nyuci misalnya, 1 timba air, soklin satu bungkus kecil nggak berbusa. Kalau dipake kurang enak. setenga gatal-gatal gitu..tapi kepekso. sampe alat-alat rumah tangga gelas, piring warnanya kuning semua. sampe kuku-kuku kuning seperti orang biasa ke sawah. ikan-ikan mati, ke sawah sudah ga bisa.10 tahun sumur saya kena limbah. sungai itu warnanya hitam dan baunya menyengat sekali.. bener menyesakkan. Susah. rusak parah.ke DPR pekalongan, semarang, pusat jakarta sampe ke mahkamah agung itu terus maju tak ada henti-hentinya ...itu sistem gerilya”

Fajar mengingat masa perjuanganya bersama 87 kepala keluarga yang tinggal di sepanjang sungai banger. Mereka menuntut 3 perusahaan tekstil yang nyata mencemari sungi. Tahun 1988 kasus kali banger mencuat. Butuh waktu tahunan untuk membuktikan adanya pencemaran.

”Saat pelebaran, sungai itu untuk pembuangan sudetan diPekalongan. tapi ternyata yang mengalir itu limbah sungai. ini kan disedot untuk mengaliri sawah ke utara. rusak total 20 hektar. mati total. itu berarti imbah kan sudah parah. dari masyarakat terus mengajukan gugatan minta diperbaiki. limbah dibikinkan ipal dari pemerintah maupun pabrik. lha timbul demo-demo itu tapi tetep saja dari pihak aparat polisi dan tentara selalu menghalang-halangi”

Aksi dan protes warga menuntut perusahaan tekstil bertanggung jawab soal pencemaran tak sendiri. Mereka didampingi lembaga bantuan hukum YAPHI. Koordinator LBH YAPHI, Lusila Anjela Bodroani, mengungkapkan sulitnya melakukan proses hukum pelaku pencemaran.

”Yang paling alot adalah pada pembuktianhya begitu lama, karena kami harus membutikan satu persatu. misalnya pembuktian mengenai pencemarannya itu sendiri, kami harus mencarikan saksi ahli yang bisa membuktikan dan harus bisa membaca hasil analisa. Tidak setiap ahli mau dijadikan saksi ahli dalam kasus kemasyarakatan seperti ini. pembuktian bagi masyarakat itu sendiri. karena misalnya salah satu penggugat mengatakan dia rugi karena sawahnya tercemar itu juga harus dibuktikan”

Hasilnya? Tak sia-sia. tahun 2003 Pengadilan negeri semarang hingga tingkat kasasi menyatakan perusahaan bersalah. terbukti membuang limbah ke sungai dan mengakibatkan kerugian materiil bagi warga. ternak mati, sawah puso dan hajat hidup warga sekitar kalibanger terganggu. Gugatan perdata dikabulkan. warga mendapat ganti rugi meski tak layak.

”Jelas tidak bisa menyelesaikan semuanya. harapan dengan adanya satu putusan menjadi evalusai bagi semua penentu kebijakan di pekalongan. pemkot melakukan kebijakan yang mendukung pada penegakan hukum aparat .dari perusahaannya sendiri sudah sadar. cuman mekanisme ini tidak jalan . yang seharusnya itu sudah diawali baik oleh masyarakat ya akhirnya tidak ditindak lanjuti.akhirnya masyarakat lagi yang jadi korban”.tambah Lala.

Itu keberhasilan membuka kasus pencemaran 5 tahun kebelakang, Yang kini menjadi angin lalu. Pasalnya, limbah dari pencucian indutri batik di pekalongan masih merajalela mendiami sepanjang aliran air. Bahkan di selokan kecil sekalipun.

Dari kota batik Pekalongan Jawa Tengah, Noni Arni melaporkan