Pages

Sabtu, 06 Juni 2009

Pemakaman


sebuah upacara pemakaman yang tampak rumit, karena tanah pekuburan sudah sangat becek oleh lumpur basah, akibat hujan dan banjir rob sebelumnya. Pemakaman ini memang masih bisa digunakan. Namun sepertinya, tak lama lagi nasibnya akan serupa dengan pemakaman desa tak jauh dari tempat itu. Tertelan air, menjadi bagian dari laut, dan berubah sebagai habitat ikan mujair.

Abrasi Pantai Utara Jawa

Publish on Radio International Jerman Deutsche Welle/ Indonesian Programme
KBR 68 H Jakarta

by. Noni Arni feat. Ging Ginanjar

Kerusakan lingkungan yang dialami pesisir utara pulau Jawa, main lama makin parah. Yang jadi musabab terutama adalah abrasi, pengikisan daratan oleh laut. Berbagai nfrastruktur rusak, lingkungan ahncur, ekosistem berubah. Dan secara sosial dan ekonomi juga menciptakan bencana terhadap penduduk. Sayung, Tanggul Tlare dan Bulak merupakan contoh nyata tentang ancaman abrasi laut.

Namun pemerintah masih belum menaruh perhatian yang memadai. Memang mulai dibangun sejumlah fasilitas pelindung pantai, seperti beton-beton penjinak gelombang. Juga dijalankan program penanaman kembali pohon bakau atau mangrove di berbagai kawasan pantai. Tapi berbagai upaya itu terkesan setengah-setengah. Keterbatasan dana selalu jadi alasan tidak optimalnya penanganan melalui bangunan fisik. Sementara penanganan secara alami, agar mencapai kerapatan yang cukup untuk menahan laju abrasi, pohon bakau memerlukan waktu setidaknya 25 tahun. Separah apa ancaman abrasi ini?

“Terhampar pasir putih meski tak begitu bersih, hempasan ombak dan angin juga bertiup tidak begitu kencang, di depan sana adalah keluasan laut jawa. tapi siapa nyana, sekitar 4 kilometer dari tempat saya berdiri hingga ke laut lepas, dulunya adalah pemukiman. Kampung Bulak namanya. Kami tengah berdiri di atas puing-puing masjid utama kampung Bulak, bersama kami adalah pak Sumadi, warga kampung Bulak yang terpaksa harus terusir oleh abrasi pantai utara pulau Jawa.“

Sumadi juga bercerita soal puing masjid,
“Lokasi masjid, bekas masjid. bekas tampungan air .Masjidnya ya di tengah situ. Ini bekas pondasi, dihancurkan ombak ini. pagarnya hancur,Ini udah masuk ke tengah situ, sudah diterjang ombak pondasinya kocar kacir.“

Masjid yang ditunjukan Sumadi ini, merupakan satu-satunya jejak Kampung Bulak yang masih bisa dilihat. Lain dari itu, seluruh kampung Bulak kabupaten Jepara sudah musnah. Lenyap ditelan abrasi, atau pengikisan daratan oleh Laut Jawa. Sumadi bahkan sudah tak bisa lagi mengira-ngira lokasi bekas rumahnya dulu.

“Sudah jadi lautan tidak ada bekasnya. masih ke barat lagi pokoknya kurang lebih 4 kilo kalo dari sini, malah 5 kilo ada, jauh amat. Air pasang kalo bercampur angin dan air cepet menelan daratan. Kalo diceritakan ya ngeri sekali..menangis...“

Kampung Bulak merupakan satu dari dua daerah pertama yang habis ditelan abrasi pantai Utara Jawa. Satunya lagi adalah kampung Tanggul Tlare.

Berjarak sekitar 5 kilometer dari Bulak, inilah Tanggul Tlare. Di sini sudah tidak ada sama sekali yang tersisa di daratan. Satu-satunya yang masih menunjukan jejak adalah tiga pilar jembatan desa, yang masih menyembul di permukaan laut, sekitar 400 meter dari pantai.

Bulak dan Tanggul Tlare lenyap sepenuhnya seperempat abad yang lalu. Tapi perluasan laut itu bermula bertahun-tahun sebelumnya, sedikit demi sedikit.
Saadah adalah seorang perempuan tua warga Tanggul Tlare yang mengalami peristiwa itu sejak awal sekali.

“Gelombang dan angin. Jadi mumbul-mumbul gitu sampe rumah-rumah roboh. Yang di pinggiran laut roboh semua. Jadi tanahnya hilang sedikit demi sedikit hilang. Tapi air pasang itu campur angin dan air. Ya ketakutan. cari selamat saya lari terbirit-birit. Sama emak saya. Anak saya tuntun dan gendong. Saya sama neneknya lari dikejar ombak angin gemuruh nggak karu-karuan gitu..“

Dari tahun ke tahun, kata Saadah, keluarganya bersama warga lain, memindahkan rumah menjauhi pantai. Sampai tiga kali. Akhirnya, pada tahun 1983, Desa Tanggul Tlare dan Bulak ditinggalkan sepenuhnya. Wargapun mendirikan kampung baru, sekitar 5 kilometer dari lokasi semula. Bulak dan Tanggul Klare yang asli, sekarang sudah terbenam air, jauh di tengah lautan sana.

Warga Bulak dan Tanggul Tlare tidak sendirian. Puluhan tempat lain di sepanjang pantai utara Pulau Jawa terancam lenyap oleh abrasi pantai. Seperti Sayung, sebuah kecamatan di kabupaten Demak, yang dari sana berjarak sekitar 50 kilometer ke arah barat.

Kecamatan Sayung memang belum sepenuhnya lenyap. Namun salah satu desanya yakni Desa Sriwulan yang terdiri dari 7 dusun, sudah ditinggalkan oleh hampir seluruh penduduknya. Seperti dusun Senik.

“Tak mudah lagi memang memasuki dusun Senik yang terletak di kecamatan sayung demak. Jalanan sudah hancur dan penuh dengan lumpur, meski ada juga motor yang lewat dan nekat menembus lumpur dengan sesekali harus didorong. Kiri kanan di jalan ini adalah tambak ikan bandeng yang tepiannya baru-baru ini ditanami pohon bakau untuk mengurangi dampak abrasi.“

„“Naik perahu tu. Kalo nggak punya motor, terpaksa naik sepeda. Kalau jalan becek diangkat sepedanya. „“

Begitulah Ashadi, seorang warga, menggambarkan susahnya hidup mereka sekarang. Kami berjalan terus menelusuri jalan desa yang hancur oleh Rob atau air pasang Laut Jawa yang tak henti menerjang. Sore itu dusun Senik terasa sepi. Maklum, hanya tinggal 13 rumah yang masih dihuni warga di dusun ini. Sementara 1250 keluarga lain sudah pindah ke lokasi baru, sekitar 5 kilometer ke arah dalam. Tanahnya disediakan pemerintah seluas 60 meter persegi untuk tiap keluarga. Sadjimin, Kepala Kelurahan Bedono yang membawahi dusun Senik menceritakan.

“Mulai tahun 2000 kita coba perbaiki sedikit demi sedkit. Tetap airnya semakin tinggi dan abrasinya juga semakin berat. Tambak yang hancur itu kurang lebih 300 hektar. Kategori sudah rusak parah dan hilang. Tambak habis terkena air pasang dan ombak, jadi sekarang tidak berupa tambak tapi lautan, jadi tambak-tambak dan jalan desa yang membentang dari Rejosari Senik ke Tonosari sudah menjadi bibir pantai. Kalau air pasang datang kelihatan ditengah laut. „“

Dalam catatan sementara, di wilayah Sayung, abrasi telah melanda lahan seluas 8.670 hektar. Penelitian Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, FPIK Undip, kehancuran kawasan Sayung, diakibatkan oleh pembangunan fisik di Semarang. Dekan FPIK Undip, Johanes Hutabarat.

“Setelah adanya reklamasi pantai marina yang di semarang, satu kilometer tegak lurus garis pantai, sehingga terjadi penambahan kecepatan arah dan arus. yang seharusnya bergerak sejajar atau searah garis pantai, akibat adanya tanah yang menjorok yang berupa reklamasi tadi, maka akan terjadi perubahan kecepatan dan perubahan arah . sehingga yang menjadi korban adalah pantai sayung.““

Pakar kelautan ini juga menjelaskan, secara umum abrasi di pantai utara disebabkan turunnya permukaan daratan dan naiknya ketinggian permukaan laut. Turun atau amblesnya daratan di sebagian kawasan Pantura, berkaitan dengan tingginya pembangunan fisik yang dibarengi kegiatan penyedotan air tanah. Daratan pun ambles dengan laju rata-rata 20 sentimeter per tahun. Sedangkan naiknya permukaan air laut, sekitar seperempat sentimeter per tahun, lebih terkait dengan pemanasan global.

Djoko Sutrisno, kepala badan pengendali dampak lingkungan Jawa Tengah menambahkan alasan lain kerusakan pantai utara.

“Booming tambak udang tahun 70-an hingga 80-an . Waktu itu besar-besaran mengembangkan tambak udang mangrove di babat. Yang selamat itu petani tradisional yang mengembangkan bandeng saja yang mangrovenya tidak dibabat. Di Pantai-pantai yang petaninya tidak budidaya udang selamat.“

Indra Kertati, direktur lembaga pengkajian dan pengembangan sumberdaya pembangunan menyebut. “Data saya di beberapa tempat abrasi mulai sangat kencang tahun 1986 menghebat mulai tahun 1990. Tapi sebelum itu sebetulnya sudah tahun 1963 sudah mulai, tapi begitu menghebat tahun 1980an-1991 sudah sangat terasa. itu seiring dengan tingkat kepadatan penduduk.“

Kembali ke dusun Senik Kecamatan Sayung. Kami berpapasan dengan Sumanah. Ibu itu tengah menuntun sepedanya menembus jalan setapak pinggir kali, yang rusak berat dan digenangi air semata kaki.

“Biasanya hujan-hujan dulu lama kelamaan tanah amblas, terus lama kelamaan terjadi banjir karena tanah longsor. Kebanjiran terus bertahun-tahun sudah 9 tahun. Tingginya sampai seperempat rumah, terus menerus, paling tinggi 1,5 meter. Lautnya semakin deket, pohon-pohon di pinggir laut tercerabut.“

Kami terus berjalan memasuki pedukuhan. Sore itu angin menderu kencang. Sesekali muncul kilat dan guruh di kejauhan. Hujan tak lama lagi akan turun. Namun suami istri petani tambak asal desa mondoliko, Jumiatun dan Basyir, belum beranjak dari tambak ikan bandengnya. Dalam kecipak air tambak, keduanya melayani obrolan kami:

“Kalau ada air dari laut, musim kemarau atau musim hujan sama saja timbul rob, jadi bandeng sering hilang. Kami menabur benih 7 ribu mustinya bisa dapat 7 kuintal tapi sekarang tidak bisa panen paling cuman dapat 1 kuintal. Bandeng kualitasnya juga jelek dan kecil-kecil. Ini karena pengaruh air dari laut yang terlalu besar dan tinggi.““

Suwarno warga senik menemani kami menjelajahi desa. Ia menunjukan berbagai lokasi yang sudah terendam. Rumah-rumah yang sudah runtuh, juga kuburan desa yang kini telah menjadi habitat ikan mujair.

„“Kuburan semua. Ini lokasi kuburan, dulu kalau ada yang meninggal harus nunggu surut, dikuras sambil menggali liang kubur. Kuburan sudah tenggelam semua patok nisan sudah tidak terlihat lagi, sekarang di buat rumah ikan mujair dan kepiting,“ jelas Warno.

Dalam perjalanan pulang, kami melewati sebuah pekuburan lain. Kami menyaksikan sebuah upacara pemakaman yang tampak rumit, karena tanah pekuburan sudah sangat becek oleh lumpur basah, akibat hujan dan banjir rob sebelumnya. Pemakaman ini memang masih bisa digunakan. Namun sepertinya, tak lama lagi nasibnya akan serupa dengan pemakaman desa yang ditunjukkan Suwarno sebelumnya. Tertelan air, menjadi bagian dari laut, dan berubah sebagai habitat ikan mujair.

Nov 2007 / pesisir utara Jawa Tengah

Kamis, 04 Juni 2009

Qariyyah Tayyibah, Oase Kebobrokan Pendidikan Indonesia


Publish on Radio International Jerman Deutsche Welle / Indonesian Programme

By. Noni Arni

Berbagai persoalan masih menyelimuti sistem pendidikan Indonesia, di semua jenjang. Mulai dari rendahnya mutu lulusan hingga komersialisasi pendidikan. Di berbagai wilayah, pendidikan tak lagi sebagai pelayanan publik, tapi lebih sebagai layanan privat. Artinya mereka yang memiliki uang saja yang bisa mengakses pendidikan.

Institusi pendidikan dibiarkan berjalan sendiri. Akibatnya, banyak anak indonesia terpaksa putus sekolah karena tidak mampu meraih pendidikan, meski hanya di sekolah biasa. Meski tak banyak, untunglah sekolah alternatif pun bermunculan. Berikut penelusuran wartawan Deutsche Welle di Jawa Tengah, Noni Arni, ke sebuah sekolah alternatif berbasis komunitas Qariyyah Tayyibah yang berhasil menciptakan anak-anak berkualitas tanpa biaya mahal :

Waktu menunjukkan pukul 9 pagi ketika saya datang ke sekolah alternatif Qariyyah Tayyibah. Sekolah yang terletak di desa Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah. Sebuah desa kecil yang berjarak sekitar 3 kilometer dari kota Salatiga.

Tak ada papan nama, pagar sekolah, lonceng maupun seragam layaknya sebuah sekolah pada umumnya. Yang ada hanya rumah milik Bahruddin yang disulap menjadi aula tanpa meja kursi. Lantai keramik rumah itu beralaskan tikar plastik. Yang menandakan keberadaan sekolah ini, hanya anak-anak umur belasan tahun yang bergerombol dan asyk dengan aktivitasnya sendiri-sendiri.

Moksa dan 10 anak lainnya terlihat asyik di depan laptop masing-masing. Ada yang mengakses situs internet friendster, google, memainkan game online, mengotak-atik photo shop sambil mendengarkan musik, hingga menulis cerpen. mereka tak bermain-main. Beginilah cara mereka belajar dan sistem pembelajaran yang diterapkan di SMP Qariyyah Tayyibah. Dalam satu ruangan terjadi proses multi pembelajaran. Kebebasan memilih untuk belajar menjadi ciri khas sekolah ini.

Achmad Bahruddin, Kepala Sekolah SMP alternatif Qariyyah Tayyibah yang juga pencetus SMP berbasis komunitas ini mengungkapkan, sekolah ini mengacu pada kurikulum sekolah reguler tapi kegiatan belajar tak dibatasi secara formal.

Kurikulum berbasis kebutuhan, begitulah metode belajar yang diterapkan kepada siswa. Jadi para siswa bebas belajar apa dan kapan saja yang mereka suka dan minati. Belajar juga tidak mengenal lokasi dilakukan dengan cara bermacam-macam.

“Terutama bahasa Inggris karena memang bahasa Inggris lebih intensif selama satu tahun tiap pagi ada English Morning. Telak sekali bisa mengungguli sekolah induknya dan itu kakak kelas. Artinya model pembelajaran yang orang menyebut seenaknya sendiri, terus dengan sarana sangat terbatas gedung tidak ada. Tapi ternyata kita gunakan cara berpikir mandiri, kita manfaatkan apa yang ada, ternyata lingkungan belajar bahkan persoalan yang dihadapi bisa menjadi resource pembelajaran bisa mejadi sarana pembelajaran.”

Pada awalnya sekolah ini ditujukan bagi anak-anak di desa Kalibening yang tak mampu melanjutkan pendidikan wajib belajar sembilan tahun karena keterbatasan biaya. Dikelola dengan prinsip pendidikan berbasis komunitas. Artinya, kegiatan pendidikan diselenggarakan dan diarahkan menurut kebutuhan komunitas atau warga setempat.

“Sederhana saja misalnya ketika di desanya ada persoalan tentang alat produksi yang namanya tanah, anak-anak akhirnya belajar tentang land reform. Sekarang bikin kajian tentang land reform. Tidak ada di SMP SMA se Indonesia bahkan se-dunia yang anak sekecil itu bisa membuat kajian land reform. Masalah itu ternyata bisa menjadi resource pembelajaran. apalagi potensi natural resources yang ada di desa ini, ada kebun, ada sawah dan serangkaian permasalahannya. Sebenarnya itu, Pembelajaran yang betul-betul dipusatkan Pada kepentingan anak. Anak kan punya keluarga. Keluarga punya komunitas. Makanya kita menyebut community base education. Pembelajaran, pendidikan yang betul-betul berbasis pada kepentingan komunitas,”tambah Bachrudin.

Kini sekolah Qariyyah Tayyibah memasuki tahun keenam, Namun 150 siswanya tak hanya berasal dari desa Kalibening saja.

Moksa, adalah siswa tingkat satu yang berasal dari Jakarta yang lebih tertarik memilih sekolah di Qariyyah Tayyibah setelah lulus dari sekolah dasar.

“Aku kan liat di tv, aku senang kalau sekolahan model kayak gini aku senang, bapak menganjurkan mau sekolah di sini apa tidak. Enak suka aku. Tak terlalu dipaksa, Misalnya mau belajar matematika tapi tak suka boleh belajar yang lain, mengedit foto atau main internet. Kalau guru cuma pendamping, pendamping matematika yang ngajar matematika, seperti guru tapi tak seperti kayak guru sekali gitu. Ya bebas berpendapat gitu.”

Begitu juga dengan Binar Al-Kautsar siswa dari bangka Belitung, yang meninggalkan sekolah internasional di kampung halamannya

“Sekolah saya yang reguler kebetulan sekolah internasional. Saya kira mereka bisa mengerti murid kemauan murid. Tidak serba terpaksa. Kalau di sana bangun jam 7 pagi terpaksa disini mau ga… .gitu kan kadang bangun jam 9, jam 11. Jarang.. Paling ikutnya forum kelas Senin saja. tergantung kelasnya mau kumpul atau tidak. Di sini free.”

Untuk membangun sekolah berkualitas namun murah. Dengan memakai model partisipatif, sekolah ini menggabungkan peranan pengelola, murid, keluarga dan masyarakat dalam menciptakan pendidikan sesuai kebutuhan. Qaryah Thayyibah juga memberikan posisi setara antara guru dan murid. Fungsi guru yang mereka sebut pendamping belajar lebih ditekankan sebagai motivator.

Pendamping siswa Ali Mutaha mengatakan sarana menjadi modal yang diutamakan adalah internet yang bisa diakses gratis 24 jam nonstop, sebagai pusat informasi terbesar. Di samping itu, juga memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai media belajar. Misalnya pertanian, industri rumah, konservasi alam, pengairan, ilmu ekonomi warung desa, dan sebagainya.

“Yang paling mendukung bagi kita kan internet, informasi paling besar untuk cari apa-apa. Kalau untuk pendidikan komunitas, diluar ada kebun, ada sawah, tanaman Itu mereka belajar apa, ada faslitas yang sangat besar sekali, gratis, mungkin kalau di luar negeri ya tidak boleh masuk tempat orang. Mereka ingin belajar sejarah tentang desa ini ya sudah datang ke tempat sesepuh atau perangkat atau siapa.Tanya sejarah kalibening itu seperti apa . siapa yang tahu, tidak harus guru. Itu guru mereka.”

Lulu dan Hana menceritakan bagaimana cara belajar mereka

“Misalnya pelajaran kalau yang diterangkan guru kita tidak tahu, bisa cari di internet .terus kalau mau cari artikel –artikel juga dari internet”

“Banyak kalau gurunya tak masuk ya biasananya disini main internet Friendster-an . di sekolah biasa saya tidak pernah masuk enak ..di sini.kalau disuruh buat PR sama lari mending lari. Di sini enak didampingi. Buat bahasa Ingris kayak game gitu….Biasannya kalau disini banyak forum seperti forum teater, film .”

Orang tua yakin dan menyerahkan sepenuhnya pola pembelajaran anaknya pada Qariyah Tayibah, seperti Ridwan orang tua Hana

“Saya mantap bahwa pola pembelajaran di Qariyah Tayibah sangat sesuai, sangat cocok untuk mengembangkan potensi anak. Dia mau tahu apa saja proses itu dia lakukan apa saja.Bahkan dengan memberikan ruang pada anak untuk berkarya, computer sampai HP dia dapatkan sediri. Uang sekolah Tidak ada, sifatnya kalau dulu di awal pembelajaran tidak ada. Kesepakatan Maka ya yang terkecil kosong tidak menyumbang, yang terbesar tidak ada batasannya sesuai dengan kemampuan wali murid.”

SMP Alternatif Qaryah Thayyibah merupakan pengembangan dari konsep bersekolah di rumah. Pada dasarnya anak-anak itu belajar bersama di sebuah rumah dengan didampingi oleh pembimbing.

Naswil Idris, salah seorang praktisi pendidikan mengungkapkan alasannya kenapa "SMP Alternatif QT di Kalibening sejajar dengan kampung Isy Les Moulineuk di Prancis atau Kecamatan Mitaka di Tokyo", yang telah menggunakan jaringan internet di komunitasnya sendiri.

“Qtariyah Tayibah ini sebagai suatu embrio dari yang disebut di New York Intelegent Community. Jadi ada intelegent multy forum di new York yang menilai di seluruh dunia bentuk-bentuk keberhasilan masyarakat pendidikan termasuk di Tokyo Mitaka City namanya kemudian adalagi di Eropa. Saya sudah sejajarkan itu . diantara keberhasilan didunia itu di forum di Honolulu saya katakanan ini adalah embrio untuk menjadi model sekolah yang berhasil . sekolah Qariyyah Tayibah sebagai suatu contoh sekolah yang berhasil, bagaimana menyebutnya ini adalah cikal bakal suatu bentuk pendidikan yang bisa menyamai hasil-hasil pendidikan yang berhasil di dunia.”

Dan SMP Qaryah Thayyibah dapat menjadi contoh bagi peminat pendidikan alternatif yang ingin menciptakan pendidikan berbasis komunitas. Kemunculan SMP Alternatif Qaryah Thayyibah merupakan sebuah kritik paradigmatik atas paradigma pendidikan yang secara umum dipraktikkan di Indonesia.

2008

Minggu, 31 Mei 2009

U`RE NOT ALONE

That's just like him
To wander off in the evergreen park
Slowly searching
For any sign of the ones he used to love
He says hes got nothing left to live for
(He says hes got nothing left)
And this time I think you'll know

Your not alone
There's more to this I know
You can make it out
You will live to tell

She's just like him
Spoiled rotten, confused by the lies shes been fed
Shes searching for no one (but herself)
Her eyes turn to green and she seems to be happy that she is her
And this time I think you'll know

Your not alone
There is more to this I know
You can make it out
You will live to tell

Your not alone
There is more to this i know
You can make it out

(there is more to this)

We're not alone

Sabtu, 23 Mei 2009

Bank Sampah "Gemah Ripah"



Publish on Radio International Jerman Deutsche Welle / Indonesian Programme
Sosial Budaya | 02.03.2009

by. Noni Arni

Bank Sampah, Mengubah Pandangan tentang Sampah

Großansicht des Bildes mit der Bildunterschrift:

Menyimpan sampah, terdengar paradoks. Sebab sampah adalah sesuatu yang biasanya kita buang. Tapi inilah yang dilakukan warga Badegan, Bantul, Yogyakarta. Mereka mengumpulkan, menyimpan lalu bahkan menabung sampahnya.

Pukul 4 sore, warga terlihat berkerumun di sebuah bangunan sederhana yang berukuran 8 kali 12 meter. Lantainya tanah, tanpa pintu dan jendela. Di tembok tak bercat terpampang spanduk besar bertuliskan Bank Sampah Gemah Ripah. Sedangkan di kiri kanan dinding tertempel tulisan ajakan membuang sampah dan tumpukan puluhan kantong sampah. Mereka yang berkumpul adalah nasabah bank sampah gemah ripah. Bukan bank biasa, tidak ada lantai keramik, perangkat komputer maupun petugas berseragam.

Ismiyati dan beberapa warga menunggu dalam antrian sambil ngobrol di depan meja petugas bank. Tangannya menenteng 2 kantong berisi sampah kertas dan plastik yang sudah dipilah. Ismiyati disambut Galuh dan Sita, dua petugas bank yang biasa disebut teller. Ismiyati lalu menyerahkan tabungannya. Bukan dalam bentuk uang, melainkan sampah yang ditentengnya. Dengan cekatan, Galuh menimbang dan melabeli tas isi sampah itu, sementara Sita mencatat berat sampah di buku tabungan. Hanya butuh waktu 3 menit, Ismiyati sudah menerima bukti penyetoran sampah. Semua pencatatan dilakukan dengan tangan.

Setiap kantong sampah milik nasabah atau penabung diberi label agar tidak tertukar dengan nasabah lain. Kemudian kantong sampah itu disimpan dalam bilik penyimpanan sampah sesuai jenisnya. Teller mencatat dan mencocokkan lagi semua penyetoran nasabah dalam buku besar yang disebut buku induk.

Lalu apa yang terjadi dengan sampah yang dibawa nasabah ini? Menurut petugas bank Galuh, dalam seminggu sampah yang terkumpul bisa mencapai 70 kilogram. Sampah ini secara berkala disetor ke tukang barang rongsokan. Mereka disebut pengepul rosok. Merekalah nanti yang akan menghitung nilai ekonomis setiap sampah yang ditabung nasabah. Jadi petugas bank tidak menentukan berapa nilai sampah nasabahnya. Demikian dijelaskan Galuh.

Memang yang mengetahui nilai sampah adalah para pengepul rosok. Mereka yang sehari-hari melakukan jual beli sampah, seperti Nasrulloh. Ia memang harus meluangkan waktu datang ke bank sampah untuk menaksir nilai sampah tiap nasabah. Tapi sebagai pedagang, ia juga diuntungkan dengan adanya bank sampah. Baginya, tidak telalu susah mencari barang.

Tak ada batasan berat sampah yang ditabung nasabah. Sampah yang dikumpulkan lebih dulu harus dipilah. Setiap penabung mendapat tiga kantong sampah gratis yang telah diberi nama dan nomor rekening. Kantong 1 untuk sampah plastik, kantong 2 sampah kertas, dan kantong 3 untuk sampah kaleng dan botol. Jadi sebelum ditabung, setiap nasabah diharuskan memilah sampah terlebih dahulu sesuai jenisnya, baik kertas, kaleng dan botol.

Bank Sampah Gemah Ripah dibuka tiga hari seminggu, Senin, Rabu, dan Jumat jam 4 sore hingga 8 malam.
Bagaimana pengalaman para nasabah? Ismiyati mengaku senang menjadi nasabah bank sampah. Meski pada awalnya ia merasa malu menenteng sampah untuk ditabung.

Adanya bank sampah menambah kesadaran warga tentang pengelolaan sampah. Kalau dulu warga membuang sampah sembarangan saja, karena kesulitan mencari tempat pembuangan resmi. Kata Ismiyati yang sekarang menjadi nasabah bank sampah.

Gagasan awal pendirian bank sampah ini datang dari Bambang Suwerda, dosen Politeknik Kesehatan Yogyakarta. Ia ingin mengubah pandangan masyarakat tentang sampah, bahwa sampah bisa dimanfaatkan jika dikelola dengan benar.

Pengelolaan bank sampah dilakukan secara sukarela. Petugas teller bank sampah, Galuh dan Sita bekerja tanpa dibayar.

Di bank sampah sekarang ada 10 orang yang sekarang bertugas. Bank sampah memotong dana 15 persen dari nilai sampah yang disetor nasabah. Dana itu digunakan untuk membiayai kegiatan operasional. Berbeda dengan bank biasa, nasabah hanya bisa mengambil tabungan tiga bulan sekali.

Penggagas bank sampah Bambang Suwerda menjelaskan mengapa:
“Dengan pertimbangan supaya nilai nominal dari para penabung terutama sampahnya itu besar rupiahnya, kalau diambil tiap hari itu nanti mungkin lama-lama tidak bersemangat untuk menabung karena rupiahnya sangat kecil. Tapi dengan jangka menengah ini, Ternyata bisa mendatangkan income lumayan .”

Di dusun Badegan ada sekitar 600 kepala keluarga. Sampai sekarang nasabah bank sampah baru 60 orang. Tapi Bambang Suwerda yakin, jumlah penabung akan bertambah. Memang kesadaran warga tentang masalah sampah masih rendah. Untuk itu, penjelasan tentang cara kerja dan gagasan bank sampah sekarang dilakukan secara rutin.

Untuk menjangkau warga yang tinggalnya jauh, ada sistem pengumpulan komunal. Petugas bank berkeliling mengambil sampah milik warga dititik yang sudah ditentukan. Tidak semua sampah yang ditabung nasabah disetor ke tukang rosok. Sebagian di antaranya, yakni jenis plastik sachet dan gabus, diolah menjadi aneka aksesori rumah tangga, seperti tas, dompet, hingga rompi, atau pot bunga. Barang-barang tersebut lalu dijual dengan harga 20 ribu Rupiah.

Bank Sampah Gemah Ripah milik warga Badegan adalah salah satu alternatif mengajak warga peduli dengan sampah, yang konsepnya mungkin dapat dikembangkan juga di wilayah lain. (yf)