Pages

Rabu, 24 November 2010

Candi Borobudur Berselimut Abu

Jendela Budaya

Radio Deutsche Welle Jerman/ Indonesian Programme
24.11.2010


Pasir dan abu vulkanis letusan dasyat gunung Merapi di Yogyakarta dan Jawatengah yang terjadi sejak 26 Oktober telah menutup rata hampir semua bangunan Candi Borobudur di Magelang Jawatengah dan memporak- porandakan fasilitas pendukungnya. Akibatnya, selain terancam rusak, aktifitas pariwisata di situs bersejarah warisan pusaka dunia yang disulap menjadi obyek wisata paling populer di Indonesia ini lumpuh. Seperti apa dampaknya ?

Pelataran parkir Taman Wisata Candi Borobudur yang biasa dipenuhi pedagang cinderamata kini nampak lengang. Padahal hari Sabtu di pertengahan November ini adalah hari pertama obyek wisata ini kembali dibuka terbatas untuk umum, setelah sebelumnya ditutup selama dua pekan. Pendengar, saya Noni Arni koresponden Deutsche Welle di Jawa Tengah, mengunjungi Candi Borobudur

Terlihat hanya beberapa pedagang memperbaiki kios dari terpaan tebalnya abu vulkanis yang sesekali beterbangan tersapu angin. Atau duduk dan ngobrol menunggu pengunjung datang. Seperti yang dilakukan Sapari, pedagang kartu pos.

”Belum laku. Disini nunggu tamu kalau ada. Kalau tidak ada cuman nongkrong begini. Saya jualannya di zona 2 di dalam sana. Tapi sementara ini tidak ada, pengunjung aja tidak bisa naik ke Borobudur. 15 hari tidak aktifitas, di rumah tidak ada kerjaan, ada tabungan dikit sekarang tapi sudah habis buat anak sekolah.”

Tanpa kunjungan para wisatawan lokal dan mancanegara yang biasanya ribuan jumlahnya, tidak banyak aktifitas. Dari ratusan kios cinderamata dan makanan, hanya segelintir yang buka. Johan, pedagang cinderamata terpaksa beralih berjualan masker.

”Karena tidak punya ladang dan sawah. Kerja disini untuk menafkahi anak dan istri, setelah Borobudur kehujanan abu, pedagang asongan ada yang dagang masker, kacamata di jalan-jalan sekitar Magelang. Ada setengah bulan tidak boleh berjualan, makanya kita cari omset diluar. 10 ribu – 5 ribu bisa untuk mencukupi di rumah.”

Letusan Merapi yang mengeluarkan material hingga 150 juta meter kubik ini telah melumpuhkan perekonomian tiga ribu lebih pedagang yang menggantungkan hidup dari pariwisata di Borobudur. Kepala Unit Taman Wisata Candi Borobudur, Pujo Suwarno, mengatakan bahwa kini wisatawan sudah boleh masuk, tetapi hanya di tamannya. Ia juga menambahkan, penurunan pengunjung akan terasa hingga tahun depan.

“Dengan erupsi merapi kita terkena dampak langsung. Kalau 20 persen wisatawan asing kan sangat terasa sekali bagi kita maupun pelaku usaha di borobudur. Sebelumnya total kunjungan 2,8 juta tapi dengan adanya ini praktis harus kita revisi total termasuk untuk target kunjungan 2011 harus kita revisi .”

Sementara itu, Kepala seksi pelayanan teknis Balai Konservasi candi Borobudur, Iskandar Mulia Siregar mengatakan, penutupan harus dilakukan karena batuan candi, vegetasi dan sarana infrastruktur di candi Borobudur rusak dan tertutup abu vulkanis dengan ketebalan hingga 3 sentimeter. Sehingga tidak memungkinkan untuk dikunjungi.

“Merata di seluruh bagian candi yang horizontal. Lantai, bagian atas, Arupadatu rata diselimuti abu. Dalam jangka waktu menengah dan panjang karena abu itu bersifat asam akan mempercepat pelapukan batu.”

Menurutnya, uji laboratorium menunjukkan pelapukan terjadi karena abu vulkanik Merapi mengandung zat silica dan sulfur yang bersifat korosiff dengan tingkat keasaman hingga 5. Sehingga bebatuan, stupa dan relief candi harus segera dibersihkan untuk mencegah kerusakan.

“Yang kita lakukan terutama membersihkan abu pasir yang menempel diseluruh batu-batu candi dengan teknik khusus. Mengoreknya pelan-pelan. Seperti melakukan penggalian.”

Sedikitnya 60 tenaga Balai Konservasi Candi Borobudur dan tiga ribu lebih relawan dari berbagai elemen dilibatkan untuk proses pembersihan. Salah satunya siswa pertukaran pelajar asal Jerman, Lara sobowsky.

(terjemahan) : ” Ini pertamakali saya ke borobudur. Saya senang dapat kesempatan kesini dan membantu membersihkan borobudur. Ini seperti mimpi masa kecil. Waktu kecil ingin jadi arkeolog. Ini menyenangkan dan saya menikmatnya. Meskipun disini sangat panas dan abunya tidak baik untuk kulit saya. Tapi ini cukup menyenangkan.”

Ini adalah kasus pertama didunia, sehingga proses pembersihan harus dilakukan dengan hati-hati, imbuh Direktur Peninggalan Purbakala Kementrian Budaya dan Pariwisata, Yunus Satrio Atmodjo.

“Untuk Indonesia ini sebuah eksperimen yang luar biasa, karena kita sudah mencari literatur dari mana-mana ternyata tidak ada yang menangani masalah ini. Terkait world heritage standarnya berbeda. Belum pernah world heritage mengalami seperti ini. Makanya kita sedang dicermati orang banyak.“

Sehingga menurutnya, butuh waktu lama hingga sebulan lebih untuk menyelesaikannya. Dan keberhasilannya nanti akan menjadi tolak ukur bagi dunia.

“Kalau kita berhasil maka dunia akan mempunyai sebuah pelajaran baru. Bagaimana mereka harus bereaksi dengan suasana keotik, ketika gunung meletus mengendapkan abu dan itu akan berefek pada world heritage, mereka akan belajar dari Indonesia. Ini adalah salah satu contoh yang akan kita gunakan sebagai standar, dipakai untuk semua jenis tinggalan purbakala.”

Memang butuh waktu untuk memulihkan candi peninggalan raja Samaratungga di abad ke 8 ini hingga nafas kehidupan mulai bisa berdenyut kembali, seperti sebelumnya.

Pendengar demikian jendela budaya kali ini. Saya Noni Arni, terimakasih telah mendengarkan

Senin, 25 Oktober 2010

Jogja Java Carnival

Deutsche Welle Radio
21.10.10

Mod :
Layaknya sebuah ulangtahun yang selalu dirayakan dengan kemeriahan. Sabtu malam pekan lalu, kota Yogyakarta merayakan puncak peringatan hari jadi kota yang ke-254 dengan menggelar sebuah acara spektakuler. Namanya Jogja Java Carnival. Sebuah acara untuk menyampaikan pesan kebersamaan dan kemajemukan, yang dikemas dalam bentuk karnaval kolosal. Pendengar, saya Noni Arni melaporkannya untuk Anda dalam Jendela Budaya.

Atmo kerumunan ribuan warga yang menunggu pawai

Gerimis malam itu tak menghalangi ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya untuk memadati bibir ruas jalan Malioboro hingga alun-alun utara Keraton Yogyakarta sepanjang 1,5 kilometer. Mereka nampak antusias berdesakan menanti sebuah karnaval malam hari.

Atmo karnaval

Tak lama kemudian musik gamelan etnik pun menggema di sepanjang jalan mengiringi barisan wayang, aneka reog, jathilan, dan kereta kencana yang pembawa pengantin jawa. Pawai karnaval dimulai dengan fragmen “golong gilig“ diatas kendaraan hias. Sebuah atraksi simbol jati diri kota Yogyakarta yang terbuka dengan budaya lain sebagai bentuk keragaman budaya. Ketua Badan Promosi Pariwisata Yogyakarta, Deddy Pranowo Eryono juga menambahkan, bahwa karnaval ini menjadi sarana promosi pariwisata yang menarik.

Oton Dedy Pranowo : “Jogja Java Carnival ini bisa menggema tidak hanya di lokal tapi juga nasional bahkan Internasional. Nah ini diperlukan untuk investasi sebuah pencitraan. Jadi kami sebagai pelaku wisata sangat mendukung dengan adanya Jogja Java Carnival ini, karena untuk menarik wisatawan disebuah destinasi diperlukan sebuah even yang spektakuler. Kita berharap target jumlah kunjungan wisatawan ini akan meningkat. Saya kira ini menjadi promosi yang sangat luar biasa.“

Atmo karnaval

Dalam karnaval ini, tujuh kendaraan hias menjadi atraksi utama karnaval dengan seribu lebih penari, diantaranya kendaraan yang mengususng tema Gunungan, Putri Bulan, Tugu Golong Gilig, Tuwuh atau pohon tumbuh, Dewi Air, dan Naga Jawa, serta berbagai atraksi kontemporer lainnya.

Atmo karnaval

Tidak hanya itu, karnaval ini juga membawa pesan lingkungan hidup melalui “Bumi Kebranang“, yakni bola dunia setinggi 10 meter yang terus berputar diatas kendaraan hias, yang dilengkapi dengan beberapa penari berbusana simbol sampah, pohon, air dan api. Mereka meliuk-liuk membawakan pesan dampak pemanasan global.

Atmo karnaval

Semua simbol dalam pawai karnaval itu merupakan perwujudan dari tema yang diusung dalam Jogja Java Carnival, yakni keselarasan dengan sesama, keselarasan dengan alam dan keselarasan dengan pencipta.
Wakil Walikota Yogyakarta, Haryadi Suyuti mengatakan, karnaval ini mengusung tema besar “harmonight“, yang dikemas dalam balutan keberagaman seni dan budaya.

O-ton Haryadi Suyuti: “Harmonight itu dari kata harmony at night , suatu keharmonisan di malam hari . Keharmonisan dari suasana karnaval, harmonisasi budaya, harmonisasi kekuatan lighting, sound dan juga performance, antara penyelenggaraan dengan masyarakat yang menyaksikan. Harmonisasi dari manusia dengan lingkungannya, artinya bahwa kita mengusung tema-tema lingkungan. Sebagai salah satu contoh kita berbicara budaya dan budaya itu kita tetapkan menjadi tema pokok, intinya adalah kesatuan budaya. Aspek dari tempat bukan Java dalam arti budaya jawa. Budaya yang selalu kontemporer selalu ada dinamisasi yang bisa diterima tidak hanya masyarakat Kota Yogya tapi juga Indonesia dan masyarakat internasional.“
Tidak hanya atraksi memukau, kostum dan kendaraan hias yang mengeluarkan pendar cahaya di malam hari. Kemajemukan juga terlihat dari musik pengiringnya yang memadukan kesenian tradisonal gamelan dengan musik kontemporer. Salah satu tim kreatif Jogja Java Carnival, SP Joko mengungkapkan,

Oton SP Joko: “Nuansa yang sangat kuat, suara, bende, jathilan karena hal yang sangat terasa salah satunya gamelan jelas, kemudian iringan jathilan atau reog, kita coba meresponapa-apa yang dianggap masrginal tapi ini bsa dianggkat menjadi satu hal yang menasional bahkan menginternasional. Ini Bentuk responsif kita coba harmonisaskan dengan satu hal yang arif. Artinya nuansanya kental dengan instrumen suasana prajurit keraton yang berjalan, kentongan juga sangat merakyat, wilayah yang ajep-ajep, dugem juga kita respon.“

Menurutnya, musik dalam karnaval ini juga menjadi simbol bahwa Yogyakarta adalah kota yang terbuka dan bisa menerima pluralitas. Ini yang membedakan Jogja Java Carnival dengan karnaval lain.

Atmo karnaval
Haryadi Suyuti yang juga selaku ketua panitia Jogja Java Carnival, mengatakan, bahwa ditahun ke-3 ini, penyelenggaraannya tidak sekadar perayaan peringatan hari jadi kota, tetapi juga sebagai penanda awal sebuah acara tahunan yang diharapkan mampu menyedot wisatawan dan semakin mengokohkan Yogyakarta sebagai ikon pariwisata.

Oton hHaryadi Suyuti: “Ada dua hal tujuan kegiatan ini, yang pertama adalah ulang tahun, kemeriahan pada malam harinya. Yang kedua adalah ikon wisatanya, jadi ada aspek untuk mendatangkan wisatawan. Sehingga orang bisa datang ke Jogja jauh-jauh hari. Ada impian besar bahwa kita punya karnival yang memang diselenggarakan malam hari, seluruh warga tumpah ruah sebagai wujud rasa syukur. tidak hanya orang Jogja tapi juga negara lain sehinga menjadi salah satu agenda yang dicatat dalam kegiatan pariwisata tingkat dunia.“

Masyarakat pun ikut menikmati. Salah satunya Yuliani warga Yogyakarta. Ia bangga dengan adanya even karnaval ini di kotanya. Ia datang dan menyaksikan bersama keluarganya dan 2 keluarga lainnya, ditambah 9 anak anak. Ia merasa beruntung anak anak nya dapat ikut meyaksikan Jogja Java Carnival.

Oton Yuliani : “Kreatif melestarikan budaya Yogyakarta, budayanya bisa menampung semua seniman-seniman di seluruh dunia. Bisa menerima. Yang pertama itu budaya petruk punokawan khas Indonesia. Biar anak-anak tahu budaya kita begini gitu lho, budaya wayang, tari-tari Jogja biar tahu.. pernah nonton di Malioboro dan di luar kota juga. Meriah yang ini.

Begitu juga Emilia Tini dan Iwan Karuntu, warga Bantul yang sengaja datang bersama anak cucunya untuk menyaksikan pawai spekakuler ini.

Oton Emilia Tini : “Lumayan bagus , variasi macam-macam jenisnya, pawai lumayan bisa menghibur. Seperti barongsai.“

Oton Iwan Karuntu : “Ada reog , bagus sekali , jadi sesuai dengan kota Yogyakarta yang kota budaya dan kota seni. Ikon-ikon yang ada di Yogya mengenai kreatifitas dari para senimannya yang menonjol sekali. Tahun yang lalu pernah ada karnaval tapi tidak semeriah ini. Ini muncul semua , dari kesenian-kesenianya semua tampil, dari yang tradisional sampai yang modern ada. Harapan saya setiap tahun bisa seperti ini. Bahkan Mungkin bisa lebih lagi melibatkan dari manca juga.“

Iwan menambahkan, acara ini bisa dijadikan sarana untuk mengenalkan dan menanamkan rasa memiliki seni budaya leluhur kepada anak-anak.

Atmo suasana karnaval

Dibawah gerimis langit malam hari, karnaval ini diakhiri dengan pesta kembang api selama limabelas menit. Ribuan warga berteriak takjub sambil memandang ke langit menyaksikan kota mereka yang berubah menjadi lautan kelap kelip kembang api yang indah.

Atmo pesta kembang api diiringi dengan suara kemeriahan warga

Pendengar demikian jendela budaya kali ini. Saya Noni Arni, terimakasih telah mendengarkan

Atmo closing tepuk tangan kemeriahan fade out

Jumat, 21 Mei 2010

Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi

Deutsche Welle
22.05.10

Permasalahan seksualitas dan kesehatan reproduksi masih menjadi topik tabu dan terbatas bagi kalangan tertentu. Tapi, beda dengan sekolah khusus di Yogyakarta ini. Di Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi atau SSKR, justru dipelajari secara terbuka. Sekolah ini adalah semacam pelatihan yang berlangsung selama dua bulan. Saya Noni Arni, berkunjung dan menyaksikan mereka mengikuti pelatihan, yang dirancang untuk memberikan pendidikan dan pengetahuan penguatan otoritas tubuh ini.

Enita dan beberapa orang lain memasuki rumah panggung terbuka di Kedai Hijo milik Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Yogyakarta. Mereka langsung duduk di lantai kayu beralas karpet mengelilingi empat meja besar. Pagi itu, pelajaran tentang seks dan gender akan segera di mulai.

Untuk mendukung proses belajar, sejumlah alat peraga yang terkait dengan seksualitas dan reproduksi disiapkan dekat layar monitor di depan kelas.
Seks dan gender merupakan satu dari sekian banyak materi yang dipelajari di sekolah ini. Sepintas, mungkin anda akan bertanya-tanya bahkan merasa aneh mendengar mata pelajaran yang tidak akan di temui di sekolah pada umumnya.

Ya, di rumah panggung yang di sulap menjadi sarana belajar inilah, Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi (SSKR) berada. Sekolah pertama di Indonesia yang memang khusus mempelajari tentang seksualitas dan reproduksi.
Siswanya berasal dari berbagai kalangan seperti Mahasiswa, pegiat LSM, hingga lulusan sekolah menengah atas. Mereka lebih akrab disebut partisipan dan jumlahnya sangat terbatas. Hanya lima belas orang yang sudah diseleksi ketat. Kata Kepala sekolah SSKR Sartika Nasmar

“Usia yang bisa dijadikan agen dari perubahan untuk memperjuangkan atau mengkampanyekan isu-isu seksualitas dan kesehatan reproduksi.”

Layaknya sekolah, metode pembelajaran tidak hanya teori, tapi juga juga memberikan ketrampilan melalui diskusi hingga simulasi.

”Misalnya kita ada pemeriksaaan fisik langsung. Kita ajarkan bagaimana memeriksakan organ seksual dan reproduksinya itu dan bisa dilakukan sendiri dengan cara yang sederhana. Misalnya pemeriksaaan kesehatan payudara, kita ada praktek bagaimana mereka bisa mengetahui kondisi payudaranya, vaginal exam, pemeriksaan vagina dan servix, memberikan pengetahuan mengetahui pola-pola perubahan tubuh, siklus mentruasi, metode-metode kontasepsi, fertility awarness.”

Sartika yang juga menjadi fasilitator di SSKR menambahkan bahwa seluruh materi di SSKR mempunyai kurikulum terstruktur yang dirancang khusus terkait dengan seksualitas dan reproduksi seperti Hak-Hak Seksual dan Reproduksi, Otoritas Tubuh, Seksualitas Agama dan Budaya, Seks dan Media, Pendidikan Seks, Anatomi dan Fisiologi Organ Seksual dan Reproduksi, Kesehatan Payudara, Kontrasepsi Kehamilan dan Menyusui, Aborsi, Penyakit dan Infeksi Menular Seksual, serta Keragaman Seksual.

Lantas apa yang membuat para partisipan termotivasi untuk belajar tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi?
Yemmestri Enita, aktifis IDEA, sebuah organisasi yang fokus pada advokasi perempuan di Yogyakarta, mengemukakan.

“Saya pikir ini ruang yang bagus untuk berbagi informasi. Harapannya ke depan ini bisa jadi bahan ajar ketika bersinggungan masyarakat langsung. Kesehatan reproduksi bagian dari isu-isu yang urgent karena mereka tidak tahu informasi tentang itu. Saya bersingggungan dengan mereka, karena itu saya kerap kali mendapat PR apa sih kesehatan reproduksi. Ini ruang saya untuk belajar.”

Begitu juga Nurul Humafa, yang baru lulus SMA ini dan ingin mengetahui lebih banyak tentang seksualitas dan kehamilan.

“Saya tertarik soalnya dilingkungan saya itu semua orang menganggapnya semua ini tabu dan nggak penting dipelajari. Rata-rata kita disekolah hanya mendapatkan materi tentang organ reproduksi tapi tidak dijelaskan secara detail. Lagian sekarang marak seks bebas, kematian ibu hamil juga meningkat. Dan mungkin dengan ikut ini kita bisa meminimalisir.”

Meski baru sebulan mengikuti sekolah gratis yang berlangsung selama dua bulan ini, keduanya mengaku sangat terkesan

“Yang menarik kita bener-bener eksplorasi tentang tubuh perempuan dan laki-laki. Inikan hal-hal yang langka yang jarang kita dapatkan. Contohnya ketika sesi tentang pemeriksaan payudara itu bener-bener secara terbuka. kita “telanjang” (dalam tanda kutip) bersama-sama di forum, melihat utuh. O begitu.. o begini. Ini hal menarik bagi saya. Se ekstrem itu ketika ada sdesi pemeriksaan vagina, akan dilihat betul apa sih. Ketika diskusi lain kan tidak secara detail dan melihat betul alat-alat tersebut.”

“Kaget gitu ya, terkejut misalnya kayak ada alat peraganya, wah ini kok bener-bener nyata terus kita pertama, ya gimana agak rishi tapi ya mau gimana lagi. Itu ya itu. ada cerita cara pemakaian alat kontrasepsi misalnya kondom, itu kan dipraktekkan lewat jari jempol ternyata salah. Kemarin itu ada alat peraganya langsung ini digunakan disini seperti itu.”

Tak jauh beda dengan Syaiful Huda, mahasiswa yang juga aktifis PLU, organisasi yang konsen dengan transseksual. Syaiful adalah satu dari tujuh partisipan laki-laki di SSKR.

“Cukup efektif dengan adanya sekolah ini. Ilmu yang bisa saya dapatkan disini bisa saya di implementasikan sehari-hari dan sangat riil sangat nyata ketika saya dikasih contoh. Itu memang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Banyak dari mereka yang menganggap tabu, tidak layak dibicarakan, ketika menyebutkan organ reproduksi secara benar sedikit gimana. Sepertinya tidak layak untuk dibicarakan. "

Sekolah khusus ini memang sengaja dirancang untuk meningkatkan akses terhadap informasi pengetahuan dan pendidikan mengenai kesehatan reproduksi, seksualitas, gender dan hak-hak perempuan.
Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi yang memfokuskan pada penguatan otoritas tubuh, digagas oleh SAMSARA, sebuah organisasi non profit di Yogyakarta yang fokus pada isu aborsi melalui kerangka seksualitas, kesehatan reproduksi, hak-hak seksual dan reproduksi, budaya, agama dan spiritualitas. Direktur SAMSARA, Inna Hudaya menjelaskan

“Di SSKR ini kita selain berbicara tentang kesehatan seksual dan reproduksi kita juga berbicara tentang hak, kontruksi sosial, agama dan budaya. Kalau kita berbicara tentang hak seksual semua orang rata-rata tahu, pemahaman tentang tubuh ini kan pemahaman paling mendasar sekali. Kalau ini kelewat begitu saja, kita mo omongin tentang hak seksual sama aja bohong. Dari awal yang mereka harus pahami adalah tentang tubuh mereka. Sebagai individu dan hubungannya dengan pengaruh-pengaruh dari luar yang kemudian menciptakan image mereka terhadap tubuh mereka sendiri.”

Menurutnya, dengan adanya pengetahuan ini, maka akan mempunyai kontrol dan otoritas akan tubuhnya sendiri, sehingga akan lebih bijak menentukan keputusan yang berhubungan dengan seksualitas.

Data dari WHO menunjukkan, Jumlah kasus pengguguran kandungan atau aborsi di Indonesia mencapai 2,3 juta per-tahun. 30 persen diantaranya dilakukan oleh remaja, Dengan kecenderungan meningkat. Begitu juga dengan kasus HIV-AIDS.

Sekolah Seksualitas dan Kesehatan reproduksi diharapkan dapat mengubah paradigma tradisional di masyarakat. Sehingga dengan semakin terbukanya akses terhadap informasi dan pendidikan mengenai kesehatan reproduksi, seksualitas, gender dan hak-hak perempuan, angka kematian ibu, kehamilan tidak diinginkan,aborsi, HIV-AIDS, dan javascript:void(0)IMS di Indonesia dapat ditekan.

Demikian kunjungan ke Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi di Yogyakarta. Saya Noni Arni, Salam.

Jumat, 09 April 2010

Kampung Cyber RT.36 Taman Yogyakarta

Deutsche Welle
03.04.2010

Mencerdaskan masyarakat agar melek teknologi informasi bisa dilakukan siapa saja, tak harus menunggu uluran tangan pemerintah. Seperti yang dilakukan warga Kampung Taman, Yogyakarta. Mereka bersama-sama mengejar ketertinggalan belajar mengenal teknologi dengan menggunakan jaringan internet.
Seperti apa mereka belajar? Saya, Noni Arni berkunjung ke kampung yang mendapat sebutan Kampung Cyber.

Sekilas Kampung Taman, tak beda dengan kampung padat penduduk lainnya. Rumah saling berhimpit dan tingkat ekonomi menengah ke bawah.

Tapi terlihat berbeda begitu melongok gardu siskamling berukuran 3 kali 2 meter di tengah kampung.
Seperti yang terlihat sore itu, Titik dan ibu-ibu lainnya tengah asyik mencari ide cara menghias tumpeng lewat internet. Sementara tangan Ira, ibu lainnya, menekan tombol keyboard komputer agar gambar tumpeng yang mereka inginkan muncul di layar.

Bapak-bapak di kampung itu juga tak kalah. Mereka tengah belajar membuat blog.

Beginilah aktifitas warga Kampung Cyber setiap sore. Tepatnya sejak pos siskamling yang biasa disebut ”Cangkruk” terkoneksi jaringan internet gratis sekitar 2 tahun lalu. Mereka bebas menggunakan komputer meja dan satu buah laptop untuk mengakses internet hasil swadaya ini.

Gagasan menciptakan kampung cyber ini tak lepas dari keinginan Heri Sutanto untuk mengenalkan teknologi informasi kepada warganya yang sangat awam dengan teknologi. Ia adalah pengurus kampung yang bekerja di laboratorium komputer di sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta.

”Untuk mengejar ketertinggalan. masa-masa sekarang masih sulit untuk bisa masuk ke perkampungan ke masyarakat yang paling bawah. Bermula dari membuat blog tentang aktifitas kegiatan sosial yang ada di wilayah kami. Kami publikasikan ke warga . Kami ingin ada ketertarikan dari warga akan internet. Kami tayangkan di acara kegiatan sosial di wilayah kami.”

Juga mengenalkan potensi kampungnya kepada dunia luar, ujar Sasongko, yang membantu Heri mewujudkan kampung cyber ini menambahkan,

”Saya pengen mengenalkan kampung saya yang ternyata banyak sekali potensi yang belum digali. Makanya membikin blog untuk menampilkan profil kampung saya. Rasa kekeluargaan disini sangat erat sekali. Gotong royong dan kumpul sama warga intensitasnya tinggi. Kampung seperti ini kayaknya Sudah jarang. saya bikin blog untuk angkat potensi yang bisa digali. Pertama kegiatan RT kita, mesti langsung upload foto dan berita. Ada yang tukang batik, sablon Kita angkat. Jadi menawarkannya lewat situ.”

Heri Sutanto mengatakan, butuh proses panjang mengenalkan teknologi kepada warga, ketika internet masih jauh dari kehidupan sehari-hari warga. Tapi lambat laun, warga mulai berkenalan dengan dunia cyber.

”Yang jelas bahwa internet itu masih jauh dari kebutuhan mereka. buat apa kegunaanya, misalnya seorang pedagang bakso, lalu yang keseharianya cuman batik.”
Pelan-pelan mengenalkan Melalui berbagai macam sosialisasi baik itu dipertemuan , lalu interaksi dari mereka sendiri. Kami juga melakukan pengenalan melalui pelatihan untuk membekali warga menggunakan internet. Tidak dipungut biaya.”

Terlebih lagi latar belakang dari tingkat pengetahuan tentang internet warga masih sangat rendah. Jadi perlu sesuatu lebih dulu yang bisa menarik perhatian warga. Internet bisa digunakan sebagai ajang tukar-menukar informasi.

”Untuk memancing ketertarikan mereka pada awalnya facebook. Kami gunakan untuk menyampaikan kegiatan juga saling tukar informasi pelatihan. Kalau sebelumnya hanya ditempel di papan pengumuman mungkin yang baca hanya beberapa orang yang kebetulan lewat, tapi begitu saya upload ke facebook tanggapannya bisa sampe kemana-mana bisa meluas.”

Awalnya memang tidak mudah. Kebanyakan orang di kampung sudah mengenal televisi, tetapi belum begitu kenal penggunaan komputer. Ini diakui Rujito warga kampung Taman
Oton Rujito_pengalaman pertama
”Jangankan buka komputer, saya aja gak tahu CPU. Komputer saya kira tu layarnya tok nggak tahu ada mesinnya. Saya baru tahu ya itu. Kalau dulu saya ga tahu, komputer saya lihat ya kayak teve. Saya kira cuman itu tok. Perangkat lainnya apalagi yang macem-macem ga tahu sama sekali. Pertama kita bikin email, caranya ngobrol lewat email gimana, terus ada facebook itu rame, kita bikin facebook.”

Akses internet gratis yang disediakan di Cangkruk atau gardu siskamling ini dimanfaatkan sebagai sarana bertukar informasi dan belajar. Dan bisa digunakan warga yang belum memiliki jaringan internet di rumah.

”Akses gratis, kami adakan di pos kampling yang bisa digunakan oleh warga. Dan disitu Tidak semata-mata mengakses internet tapi ada proses pembelajaran , ada interaksi dengan warga yang lain untuk bisa menggali, saling mengajari. Pembelajaran tidak hanya di pos kampling, dimasing-masing rumah warga biasa kumpul-kumpul tanya-tanya. Belajar bareng.

Perlahan kemudian secara swadaya dan gotong royong, rumah warga juga dipasang jaringan internet. Warga cukup membeli perangkat komputer dan berlangganan sebesar 50 ribu rupiah per bulan untuk mendapatkan akses internet tak terbatas. Instalasi jaringan dilakukan secara gotong royong. Mulanya ada 8 rumah yang disambungkan. Sekarang jumlahnya terus bertambah.

Secara bertahap gagasan kampung cyber mendapat respon baik. Wargapun belajar bersama dan mulai merasakan manfaatnya. Mereka yang dulu tidak bisa menggunakan internet sendiri, sekarang sudah bisa berkomunikasi di dunia maya. Seperti pengalaman Titik:

”Kita dikasih tahu sama suami sama anak, gini lho bu caranya buka internet. Dulu dirumah ga ada jadi ditawari kalau kita bikin internet dikampung gimana . Sekarang kita sendiri bisa ga perlu didampingi. Tiap hari kita merlukan apa. Misalnya kita pengen berita yang aktual lihat di detik.com. Yang dulu ga tahu jadi tahu. Kebetulan saya punya soadara di Jerman, jadi kita bisa chating , tanya khabarnya, lihat gambar-gambarnya. Pokoknya manfaatnya banyak sekali. Di internet ibarat mau minta apa aja bisa. Padahal cuman pesawat segitu tapi bisa mencakup seluruh dunia.”

Manfaat juga dirasakan warga yang memiliki usaha rumahan. Mereka bisa mempromosikan produksinya lebih luas lagi. Seperti Puji Astuti yang punya usaha batik tulis.

”Pemasarannya lebih luas (sampe mana saja?) ya.. yang di Jakarta itu juga lihat dari internet. Ada temen lihat dari internet terus pesen. Sekarang lebih meluaslah, harganya juga bisa lebih mahal. Sampe di malaysia, yang pesen sering datang kesini minta gambar macem-macem, motif ini..motif orang mbatik .. kirim fotonya tok. ada frater datang kesini dari Meksiko. Ya lukisan saya banyak di meksiko. Terus ada teman dari Meksiko yang datang ketempatnya frater, dibawa kesini terus pesen. ”

Begitu juga Bonar yang menggeluti usaha sablon. Usaha meningkat dan kerjanya menjadi lebih efisien setelah menggunakan berbagai fasilitas di Internet.

”Pertama diajari bikin blog untuk penawaran produk-produk saya. Kalau ada pemesan yang dari jauh kadang minta desain atau prove-prove yang mau dipesan, nanti dikirim lewat email. Nanti kalau sudah di acc baru dibikin. Produk-produk saya foto nanti Saya upload di blog saya. Relasi-relasi saya beritahu. Sebelum ada internet saya harus kesana dulu atau yang pesan datang langsung itu kan agak repot . diajarin pak RT pertama nyoba Bikin email itu, belajar chating. Diajarin bikin blog untuk usaha.”

Kini sudah 80 persen rumah warga di kampung RT. 36 Taman sudah terkoneksi internet. Sementara yang belum punya akses internet di rumah, tidak menghalangi keinginan mereka untuk belajar, diantaranya Rujito

”Lagi-lagi faktor ekonomi. Saya kebutuhan untuk sekolah anak, makan, kebutuhan lainnya. Ada rencana mudah-mudahan bisa pasang. Saya sudah kepingin pasang. Untungnya disini ada pos ronda yang menyediakan fasilitas gratis. Saya sedikit-sedikit belajar . Pertama berita, berita terkini tu daripada saya berlangganan koran saya membuka itu.”

Meski warga melek teknologi dan menjadikan komunikasi antar warga menjadi lebih mudah, suasana guyup dikampung tetap terjaga. Misalnya mereka masih rutin bermain olah raga voli setiap sore atau melakukan pertemuan warga.

Bagi warga, teknologi internet hanya digunakan sebagai fasilitas untuk mempermudah komunikasi dan berinteraksi dengan dunia luar. Kampung taman bisa menjadi salah satu contoh.

Sepertinya, target Pemerintah agar seluruh desa dan kecamatan di Indonesia terhubung dengan infrastruktur telepon dan internet pada tahun 2010 akan tercapai jika semua warga yang tinggal di kampung bisa seperti mereka.

Pendengar, demikian kunjungan ke kampung cyber RT 36 Taman Yogyakarta, saya Noni Arni, salam.

Senin, 08 Maret 2010

Goethe dan Islam

Publish on Radio International Jerman Deutsche Welle

http://www.dw-world.de/dw/article/0,,5311257,00.html
Sosial Budaya | 02.03.2010



Großansicht des Bildes mit der Bildunterschrift:

Malam pembacaan dan diskusi karya-karya pujangga terbesa Jerman, Goethe, di empat kota Jawa Tengah. Siapa nyana, Goethe ternyata sangat dekat dengan Islam: menyebut Muhammad, Allah, dan Quran dalam banyak sajak,

Pekan lalu, karya-karya raksasa sastra dunia dan sastrawan terbesar Jerman Johan Wolfgang von Goethe, berkeliling Jawa Tengah. Yang membawanya adalah ahli sastra Indonesia Universitas Bonn yang juga penerjemah seri sastra Jerman, Berthold Damshäuser, didampingi sastrawan perempuan yang baru kembali dari Jerman, Dorothe Rosa Herliany, dan penyair Susiawan Leak.

Rangkaian pembacaan dan diskusi sajak-sajak karya Goethe ini dilangsungkan di Universitas Sunan Muria Kudus, Universitas Diponegoro Semarang, Taman Budaya Surakarta Solo dan Pondok Pesantren Tegolrejo. Acara berlangsung sekitar hari Maulud Nabi tempo hari.

Apa hubungannya peringatan Maulud Nabi, pesantren dan penyair Jeman? Simaklah sajak ini:
"Jika ada yang murka karena Tuhan berkenan. Berkati Muhammad kebahagiaan dan lindungan, Sebaiknya dia pasang tambang kasar. Pada tiang rumahnya yang terbesar. Biar ikatkan diri di sana! Tali itu cukup kukuh. Akan ia rasakan murkanya meluruh."

Anda tidak salah. Ini adalah karya penyair Romantik Jerman Johan Wolgang von Goethe, yang lahir tahun 1749, dan meninggal tahun 1832. Judulnya, Sabda Sang Nabi atau Der Prophet Spricht. Dan yang disebut-sebut memang benar adalah Muhammad SAW, nabi umat Islam.

Tanpa banyak kita tahu, Goethe, sastrawan terbesar Jerman adalah manusia yang sangat dekat dengan Islam. Bahkan ia tak menolak ketika orang mengganggapnya sebagai seorang Muslim. Seperti dikatakan penerjemah karya-karyanya, Berthold Damshäuser. Damshäuser menyebut, Goethe pernah mengaku bahwa ia merasa lebih dekat dengan agama Islam daripada agama Kristen.

Damshäuser mengaku bangga bahwa tokoh budaya Jerman adalah seorang seperti Goethe, tapi lebih bangga lagi bahwa bangsa Jerman tidak pernah ada masalah karena Goethe mengaku jauh dari agama Kristen yang dianut sebagian besar rakyat Jerman, dan justru lebih dekat dengan agama "asing". Ini sebuah pertanda baik bagi bangsa Jerman.

Tak sedikit yang menganggap Goethe memang memeluk Islam. Selain dipandang sebagai salah satu perintis utama dialog Islam dan Barat. Tentu bukan oleh satu puisinya Sabda Sang Nabi tadi, melainkan oleh banyak sekali karya, seperti sajak Kitab Kedai Minuman atau Das Schenkenbuch:

"Apakah Al Quran abadi? Itu tak kupertanyakan! Apakah Al Quran ciptaan? Itu tak kutahu!. Bahwa ia kitab segala kitab, sebagai muslim wajib kupercaya. Tapi, bahwa anggur sungguh abadi, Tiada lah ku sangsi; Bahwa ia dicipta sebelum malaikat, mungkin juga bukan cuma puisi. Sang peminum, bagaimanapun juga, Memandang wajahNya lebih segar belia."

Di sajak ini kita menyimak ungkapan penyerahan diri kepada Al Quran sebagai kitab suci umat Islam, sekaligus juga pemujaannya terhadap anggur. Bahkan menyiratkan bahwa penikmatan sejati terhadap anggur, justru mampu membawa pada religiusitas sejati pula. Suatu sikap yang banyak ditemukan dalam sufisme Islam.

Damshäuser juga menegaskan bahwa Islam yang dikenal, didalami dan dikagumi Goethe memang Islam yang damai, sejuk, jernih, terbuka. Bukan jenis yang diperlihatkan oleh kaum yang kaku, radikal, penuh penghakiman dan pemarah sebagaimana banyak muncul beberapa belas tahun belakangan ini.

Islam yang indah, sikap keagamaan yang indah pula. Itulah yang tampak pada Islam dalam sajak-sajak Goethe. Misalnya lagi, sajak Wasiat:

"Tiada makhluk runtuh jadi tiada! Sang abadi tak henti berkarya dalam segala, Pada sang Ada lestarikan diri tetap bahagia! Abadilah ia: karena hukum-hukum suci. Melindungi khasanah-khasanah hayati, Dengan semesta menghias diri. Kebenaran sejak lama silam ditemukan, Telah pula mempertemukan ruh-ruh mulia. Kebenaran azali itu, peganglah dalam genggaman! Kau, putra bumi, bersyukurlah pada sang Bijaksana. Yang tunjukkan jalan bagi bumi tuk kita mentari"

Menurut Damshäuser, Wasiat merupakan salah satu puisi yang cukup sulit dipahami, namun dianggap penting dan mewakili kepemimpinan Goethe. Ditulis ketika di Eropa muncul pemikiran skeptis. Puisi yang mengajak pembaca memasuki segi-segi keimanan dalam diri masing-masing.

Tetapi bisa jadi sebagian besar karya Goethe memang tergolong sulit, jika bicara tentang upaya alih bahasanya. Terlebih penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia, yang berbeda sama sekali akarnya dengan Bahasa Jerman.

"Karya-karya Goethe cukup sulit karena puisinya punya ciri khas metrum jadi irama tertentu dan rima akhir agak sulit. Dan kadang-kadang tidak berhasil untuk mentransfer rama khas itu dengan rima akhir yang sama ke dalam Bahasa Indonesia. Itu pekerjaan yang rumit. Proses yang cukup pelik dan panjang," dikatakan Berthold Damshäuser, mengisahkan perjuangannya mengalihbahasakan karya-karya Goethe ini.

Karya-karya Goethe ini sebetulnya tahun 2009 lalu pernah pula dikelilingkan di beberapa kota lain di Indonesia. Namun kembali ditampilkan, kali ini di Jawa Tengah, karena karya-karya unik Goethe terkait Islam, dan sebagai salah satu perintis dialog Timur Barat, membuatnya selalu perlu untuk terus diperkenalkan ke kalangan lebih luas. Dikatakan Berthold Damshäuser.

Johan Wolfgang von Goethe adalah seorang penyair, penulis prosa, dramawan, bahkan pelukis dan penemu. Dianggap sebagai sastrawan terbesar Jerman, sehingga namanya diabadikan sebagai pusat kebudayaan Jerman di seluruh dunia. Ia juga dianggap salah satu sastrawan periode Romantis zang paling berpengaruh di seluruh dunia.

Perjalanan Goethe melintasi tanah Arab dan Persia membuatnya terpukau pada kebudayaan Timur, dan membawa Goethe pada ketertarikan kuat untuk mempelajari Islam. Hingga di tahun 1815 tercipta kumpulan puisi Diwan Barat Timur. Salah satu karya penting dari sastrawan penting dunia yang mempertemukan Timur dan Barat dalam suatu dialog. Sebagaimana muncul dalam sajak Mukadimah Diwan.

"Yang kenal diri juga sang lain. Di sini pun kan menyadari:Timur dan Barat berpilin. Tak terceraikan lagi. Arif berayun penuh manfaat. Di antara dua dunia; Melanglang timur dan barat. Mencapai hikmah mulia."

"Andai sang mata tiada bersifat mentari, mentari tak sanggup dilihat olehnya; Andai dalam diri tiada daya Ilahi, Bagaimana keilahian sanggup birahikan kita?"

Karya-karya yang dibacakan dan didiskusikan di Jawa Tengah itu dipetik dari terjemahan sajak-sajak pilihan Goethe dengan judul Diwan Barat-Timur. Ini merupakan seri puisi Jerman ke 4 dalam versi Bahasa Indonesia. Sebelumnya telah terbit kumpulan pilihan karya Paul Celas, Rainer Maria Rilke dan Berthold Brecht. Terakhir telah terbit pula kumpulan pilihan karya Hans Magnus Enzensberger, dan sebentar lagi akan terbit kumpulan pilihan karya Nietszche.

Noni Arni
Editor: Ging Ginanjar