|
Jayapura dari Polimak |
Dari balik jendela pesawat, danau
terbesar di Papua dengan gugusan pulau kecil terlihat dengan jelas memesona
menyambut mata kami dari ketinggian. Tujuh
menit sebelum pesawat yang saya tumpangi bersama rombongan mendarat di Bandar
Udara Sentani. ”Itu Danau Sentani,” kata salah seorang teman sambil menunjuk lewat
jendela pesawat.
Panorama seperti ini yang membuat
kami semakin penasaran untuk menyaksikan salah satu keindahan alam Papua dari
dekat ketika menginjakkan kaki di Jayapura.
Meski tak beruntung menyaksikan
Festival Danau Sentani di Kalkote Holiday Resort karena datang bukan pada bulan
Juni, paling tidak saya tetap bisa menikmati pemandangan indah danau yang memiliki
arti “di sini kami tinggal dengan damai” ini. Tidak hanya dari dalam pesawat yang akan
mendarat. Saya pun bisa menyaksikan panorama lanskap danau seperti lukisan
hidup yang terhampar di depan mata dari berbagai tempat.
|
Danau Sentani dr ketinggian |
Tapi mengelilingi
danau yang terbentang antara Kota Jayapura dan dan Kabupaten Jayapura dari dekat tentu tak cukup dalam sehari. Selain
luasnya mencapai 9.360 hektar, danau yang berada di ketinggian 75 mdpl harus
dilalui dengan jalan berliku-liku dan naik turun bukit.
Untuk mempersingkat waktu, kami
memutuskan pergi ke Bukit Makatur. ”Sebenarnya namanya Bukit Mc Arthur, tapi
kami biasa menyebut Bukit Makatur. Lebih mudah,” jelas pemandu sambil tertawa.
Untuk bisa mencapai bukit, tentu
saja mobil yang kami tumpangi harus mendaki. Untung saja walau jalannya kecil,
kondisi jalan relatif mulus.
Dari puncak bukit yang berada di salah satu bukit
di jejeran Pegunungan Cyclops yang menjulang tinggi di pinggiran kota Sentani inilah
pemandangan utuh danau bisa disaksikan dengan jelas. Saking jelasnya, saya bisa
menghitung 21 pulau kecil berpenghuni dengan gunung-gunung kecil berujung yang
lancip yang terserak di sekeliling danau. Bahkan dari puncak Mc Arthur ini bisa
melihat lalu lintas pesawat yang mendarat atau akan terbang di Bandara Sentani
seperti mainan anak-anak.
|
Sentani dari bukit Makatur |
Tak hanya melihat keindahan danau
dan kota Sentani. Sejarah kota ini pun tak kalah uniknya. Di puncak bukit Makatur
ini juga bisa menyaksikan sisa-sisa peninggalan
Perang Dunia II dari jendral McArthur. Salah satu jenderal sekutu yang pernah
mendarat di kota ini sebelum menghancurkan pertahanan dan mengusir Jepang dari
kawasan Pasifik ketika pecah Perang Dunia II. Buktinya, Monumen McArthur yang berdiri kokoh sebagai tugu peringatan, termasuk tugu pendaratan
Jepang. Juga foto-foto McArthur dan berikut barang-barang peninggalannya.
Pertanyaan pun terjawab kenapa ketika
sampai di pintu gerbang menuju puncak bukit ini, kami harus meninggalkan kartu
identitas di pos penjagaan. Ya, lokasi ini adalah bekas basis markas sang Jenderal asal
Australia yang disulap menjadi Kompleks Militer Resimen Kodam Cendrawasih.
Namun Sayang, semua potensi
wisata di sini belum tergarap maksimal dan masih terkesan ala kadarnya. Bahkan pesona
Danau Sentani ramai dikunjungi saat event besar saja. Selebihnya hanya menjadi tempat memancing, latihan para atlet kano dan jet
sky saja.
Hongkong-nya Indonesia
Ciri khas daerah yang berbukit - bukit dengan jalan berliku kami
temui sepanjang jalan menuju Abepura, Entrop hingga kota Jayapura. Perjalanan
memakan waktu sekitar satu jam menuju kota pelabuhan paling sibuk di Papua. Letaknya
di pantai timur laut berbatasan langsung dengan Teluk Yos Sudarso yang ada di
pinggir Samudera Pasifik.
Kota yang paling modern dan
makmur di Papua ini menjadi salah satu tujuan dagang yang terkenal karena melayani
sebagian besar kapal yang berhubungan dengan pelabuhan sentral di pulau Papua
ini.
”Selamat datang di Port Numbay,”
kata Robert, pemandu kami. Ya, nama Jayapura memang berganti menjadi Port
Numbay dua tahun lalu. Kota ini memang berganti nama hingga enam kali dalam
kurun waktu seabad terakhir ini.
Buku ”Ein Gouden Jibeleum 50 yaar Hollandia, van 7
Mart 1910 tot 7 Mart 1960” yang diterbitkan untuk memperingati 50 tahun pendudukan
Belanda di kota ini mengisahkan pergantian nama Numbay menjadi Hollandia (daerah
yang berbukit-bukit dan berteluk) oleh kapten infanteri FJP Sachse yang
ditandai dengan pengibaran bendera tiga warna milik Belanda di Numbay (1910). Namun, nama itu diganti
menjadi "kota baru"(1963), ketika bergabung dengan NKRI. Berganti
lagi menjadi Sukarnopura (1969) dan sejak tahun 1975 diubah menjadi Jayapura (kota
kemenangan).
Kota
ini sungguh indah dengan berbagai sudut pemandangan yang berbeda-beda, mulai
dari perbukitan, danau hingga pantai. Tapi ada satu tempat yang paling cocok
dan selalu disinggahi wisatawan yang datang ke kota ini untuk melihat Jayapura dengan
utuh.
Pemandu
kami mengajak ke Bukit Polimak. Sekali lagi, kami harus mencari lokasi di bukit
paling tinggi di tengah Kota Jayapura yang berada seperti di balik tebing ini. Tapi
tidak perlu khawatir, meski jalan cukup berliku puncak, Bukit Polimak tetap
bisa diakses dengan menggunakan kendaraan. Bukit ini juga seringkali disebut bukit
pemancar karena memang di bukit ini semua menara pemancar televisi berdiri
kokoh.
Di atas
ketinggian ini, saya tak hanya disuguhi bagian kota yang berada di tepi pantai.
Tapi juga hamparan Samudra Pasifik biru, jernih, dan seolah tak berombak. Kota
dengan topografi berbukit-bukit nampak seperti tapal kuda, dengan kedua sisinya
yang berada di ketinggian. Di antara celah pegunungan yang menghadap ke arah
Teluk Yos Sudarso dan Teluk Yotefa.
Panorama Port
Numbay secara utuh bisa terlihat dari sisi kiri. Dan ketika memalingkan muka ke
kanan, Samudra Pasifik berada di depan mata. Di tempat ini juga mempunyai penanda
berlampu ala bukit Hollywood bertuliskan
“Jayapura City” yang menyala di malam hari dan bisa dilihat dari segala
penjuru.
Tak hanya siang
hari, kota Jayapura juga memesona di waktu malam ketika disiram cahaya lampu.
Semua bisa dinikmati ditempat ini. Teluk Yos Sudarso tampak berkilau oleh
lampu-lampu dari kapal yang sedang bersandar, bangunan yang mengitari bibir
pantai sepanjang Teluk, lampu jalan, kendaraan yang lalu-lalang. ”Kota kami
juga mendapat julukan Hongkong-nya Indonesia,”
imbuh Robert.
Memang, jika
menuruni bukit dan melihat dari dekat salah satu ikon kota Jayapura berada di
pantai Dok II, pantai yang berhadapan dengan pusat pemerintahan propinsi Papua tidah
hanya menjadi jalur padat pelayaran kapal besar, tapi juga ruang publik favorit
wisatawan dan masyarakat setempat menghabiskan waktunya.
Dari tempat ini
juga bisa melihat dengan jelas dua pulau mungil di seberang teluk yang menjadi
lambang kerukunan umat beragama kota ini. Salib Kristus berdiri tegak di pulau
paling dekat ke pantai dan satu pulau lagi dihuni umat Muslim.
Oh ya, Kota ini juga bisa
dinikmati dari Bhayangkara (Dok V), Angkasa (sepanjang jalan), pantai Base G, pantai
Hamadi, pelabuhan danau ( Dok VIII), atau pelabuhan danau Yotefa ( pasar baru Abe).
Rupanya masih banyak tempat
menarik dan eksotis lain yang harus dikunjungi dan dinikmati. Benar kata Edo Kondologit
dalam lirik lagunya kalau Papua itu memang seperti ”Surga kecil yang jatuh ke
bumi”.
Tapi jarum jam terus berputar dan
kami harus bergegas kembali ke Sentani sebelum jalur utama dari Abepura-Sentani
sepi. Maklum, dua hari sebelum saya datang ke kota ini terjadi insiden
penembakan dan pembakaran mobil di jalur tersebut. Suhu politik yang memanas
mengharuskan kami berhati-hati.