Pages

Rabu, 27 Maret 2013

Surga Di Perut Bumi



Saya dan rombongan beberapa kali ‘’kesasar’’ karena tak begitu banyak petunjuk jalan menuju ke lokasi cavetubing ketiga di dunia. Selain mengandalkan informasi di persimpangan jalan, kami beberapakali harus bertanya pada warga sebelum tiba ke gua Pindul. Lokasi cavetubing (susur gua dengan perahu karet atau ban dalam) yang terletak di Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Karangmojo, Gunung Kidul. Tepatnya, sekitar tujuh kilometer dari pusat kota Wonosari.
Gua Pindul merupakan satu dari rangkaian tujuh gua horizontal yang dialiri sungai bawah tanah dari sungai Oya di daerah Bejiharjo. Aliran air yang sangat tenang ini memiliki panjang sekitar 350 meter, lebar rata-rata lima meter, dengan kedalaman air antara empat hingga tujuh meter dan permukaan setinggi empat meter. 
Ya, karst di daerah Gunung Kidul ini merupakan satu-satunya wisata cavetubing di Indonesia. Dan satu dari tiga tempat cavetubing populer yang ada di dunia setelah cavetubing Belize di Mexico dan Waitomo yang berada di Pulau Utara Selandia Baru. 
Memang, tak banyak yang tahu karena wisata minat khusus yang memadukan petualangan olahraga rafting (arung jeram), caving dengan tube di gua dengan aliran sungai bawah tanah ini terbilang jarang di Indonesia.
 “Silahkan antri karena semua peralatan masih terpakai,” jelas pengelola sambil menyuguhkan welcome drink segelas jahe hangat. Peminat cavetubing di gua Pindul begitu membludak setiap akhir pekan.  50 set peralatan cavetubing telah habis hingga kami harus rela menunggu giliran sekitar satu jam.
***
Setelah berhasil memakai jaket pelampung dan membawa ban pelampung, kami diajak pemandu menyusuri jalan setapak diantara rumah dan kebun warga menuju lokasi yang berjarak sekitar 100 meter.
Cavetubing di gua Pindul ini cukup mudah. Tidak perlu latihan dan ketrampilan khusus. Kami satu persatu hanya duduk di atas pelampung ban karet jumbo yang  berjejer. Dan si pemandu, akan mengendalikan pelampung dengan menyeret  bagian depan dan belakang. 

 Sambil menikmati pemandangan dan merasakan dinginnya air sungai, kami memasuki di zona terang. Di mulut gua ini, kami disuguhi cerita legenda masyarakat tentang asal-usul penamaan Gua Pindul. Kisah yang bermula dari pengembaraan Joko Singlulung mencari ayahnya. “Ketika menyusuri tujuh gua yang memiliki aliran sungai di bawahnya, kepala Joko terbentur batu besar, kemudian gua ini dinamakan Gua Pindul. Asalnya dari kata pipi gebendul,” cerita Badri, warga setempat yang menjadi pemandu.

Legenda lain di gua ini juga berada di zona remang. Badri dengan fasih menjelaskan ornamen cantik yang ditemui di sepanjang ber-cavetubing seperti moonmilk, stalaktit dan stalagmit yang terlihat dari bias cahaya matahari dan lampu senter. Salah satunya, stalakmit batu perkasa di sisi kanan yang konon bisa menambah “kejantanan” laki-laki yang menyentuhnya. Juga ceruk mini stalaktit di dinding gua yang mengeluarkan tetesan air mutiara dengan khasiat awet muda. Ada pula stalaktit gong yang menghasilkan suara mirip gong saat dipukul. 


Perjalanan dilanjutkan menuju sebuah stalaktit peringkat keempat terbesar di dunia yang berbentuk pilar raksasa. Lebarnya lima rentangan tangan orang dewasa. Ujung stalaktit ini masuk ke dalam sungai bawah tanah dan menutup sebagian rongga gua yang masih aktif hingga kini. Pilar yang terbentuk dari proses pertemuan stalaktit dan stalagmit berusia ribuan tahun ini menjadi batas antara zona remang dan zona gelap abadi. Posisinya menyempit dan hanya bisa dilewati seukuran satu ban karet, kami harus melewati secara bergantian. Dan untuk alasan keselamatan pula, kami dilarang menyentuh dengan keras.



Di lorong gua zona gelap abadi, cahaya matahari tidak terlihat sama sekali. Satu-satunya penerangan hanyalah senter di kepala pemandu yang menyorot ke beberapa ceruk-ceruk di atap gua yang dihuni kelelawar. Stalartit dan stalagmit dengan warna kristal juga terlihat di beberapa sudut. 

Sepuluh menit kemudian, seberkas cahaya terlihat dibalik sebuah tikungan. Ini  menjadi pertanda cavetubing telah memasuki zona terakhir goa vertikal (luweng). Zona  yang menyerupai kolam besar. Biasa digunakan untuk beristirahat, berenang atau ’’aksi’’ meloncat dari atas tebing gua setinggi tiga meter.
Cavetubing berakhir di bendungan Banyomoto. Bendungan yang dibangun sejak jaman Belanda dengan latar belakang perbukitan karst ini menjadi titik poin  terjun bebas para penyusur gua. Tantangannya dengan uji nyali naik ke dinding tebing batu dan menceburkan diri dari ketinggian lima meter. Byuuuurr..!!!

Di lokasi ini pula mobil pick up siap menjemput menuju tempat transit untuk menikmati segelas jahe hangat dan membayar petualangan sepanjang 60 menit. Tarifnya hanya Rp 25 ribu. Harga ini sudah termasuk jasa pemandu, peralatan cavetubing (ban dalam, jaket pelampung, headlamp), dan welcome drink ala desa. 

***
Rasa penasaran menyusuri gua berlanjut dengan mencoba tantangan petualangan ekstrim gua Sioyot. Pengelola sengaja merahasikan kondisi di dalam gua sepanjang hampir satu kilometer ini. Pemandu hanya meminta kami menggunakan helm, sepatu dan menyimpan barang berharga dalam drybox atau menaruh di tempat penitipan barang. 

Gua Sioyot berada berada dibalik rerimbunan pohon perkebunan milik warga. Jaraknya sekitar 100 meter dari pos sekretariat. Saya cukup terperanggah karena tantangan menyusuri gua ini sudah dimulai sejak memasuki bibir gua. “Berjalan sambil jongkok dan kepala menunduk,” jelas Badri, pemandu kami yang  memasuki gua yang dulunya dipenuhi dengan akar ini. 

Lebih kurang 50 meter kami harus berganti posisi dengan merangkak di dasar gua yang beratap rendah. Belum hilang rasa pegal, jalan lumpur dengan batu tajam sudah menanti. “Awas kepala dan hati-hati,”Badri mengingatkan sesering mungkin.
Hanya dengan penerangan lampu senter dan headlamp, kami menyusuri medan gua Sioyot yang penuh lumpur dan air. Hampir sepanjang menyusuri gua kami berjalan menunduk untuk menghindari benturan helm dengan stalaktit. 


Tidak hanya itu, ketahanan fisik dan mental memang diuji karena tantangan melewati genangan air setinggi leher orang dewasa. Ditambah ‘’bergelut’’ dengan lumpur sedalam 30 sentimeter. Di gua ini juga memiliki beberapa cabang dengan aliran air yang cukup deras yang belum pernah disusuri sehingga harus memperhatikan petunjuk dari pemandu. Tidak cukup dengan lumpur dan genangan air, kami sesekali harus menyelinap diantara stalaktit-stalaktit berongga sempit dan tajam seperti gigi hiu.
Merayap, merangkak, atau berjalan jongkok adalah gerakan yang harus dilakukan untuk berkompromi dengan tinggi lorong gua yang kurang dari satu meter. Gerakan itu kami lakukan di atas lantai gua yang ditutupi tanah basah dan dialiri air. 


***
Dua jam berlalu. Kami akhirnya berhasil keluar dari gua dan kembali menghirup udara segar. Menurut pengakuan Bardi, tak banyak pengunjung yang berani menjajal tantangan petualangan ekstrim Sioyot. “Sebagian besar pengunjung menggelengkan kepala karena medannya terlalu berat.”
Setidaknya, rasa haus, lelah, dan  posisi jalan yang membuat kaki serasa ingin ‘’copot’’ saat  menaklukkan gua Sioyot terbayar dengan menyaksikan keajaiban dan keindahan di perut bumi Gunung Kidul ini.
Tapi, bisa jadi tantangan ini belum seberapa karena masih ada 400 lebih lagi gua dan sungai bawah tanah yang belum terjamah.


---------------


Menjadi Ikon Wisata 
 
Seorang laki-laki menyapa dan meyambut kami ketika tiba di depan tugu desa yang berada di jalan utama. “Ke gua Pindul? Mari saya antar,” ujar Nino.
Koordinator keamanan karang taruna Dusun Gelaran mengatakan, menyambut dan mengantar pengunjung yang datang ke objek wisata gua Pindul sudah menjadi bagian dari pelayanan wisata minat khusus yang berada di kampung rintisan desa wisata di Kabupaten Gunung Kidul ini.

Namun, berbeda dengan objek wisata cavetubing Waimoto di Selandia Baru yang dikelola lebih profesional. Potensi wisata gua Pindul yang baru diresmikan tahun 2010 ini sepenuhnya mengerahkan swadaya masyarakat yang dikelola melalui Wira Wisata karang taruna desa.
Mereka berinisiatif mengelola wisata gua Pindul dan menjadikannya sebagai potensi ekonomi. Selain pemasukan kas di dusun, hasil  retribusi dimanfaatkan untuk operasional dan melengkapi fasilitas yang disediakan di objek wisata. Seperti peralatan ban pelampung, jaket pelampung, sepatu karet dan headlamp.  

Meski belum ada pengelolaan, promosi  cukup baik serta keterbatasan akses menuju kawasan ini, tapi pelayanan dan alur untuk menjamu para pengunjung patut diacungi jempol.
Sebenarnya, tidak hanya cavetubing di gua Pindul dan petualangan ekstrim gua Sioyot, wisatawan yang datang juga bisa menikmati wisata minat khusus lainnya seperti petualangan rafting sungai Oya sepanjang 1,5 kilometer lengkap dengan air terjun dan pemandangan tebing-tebing indah diantara perkebunan minyak kayu putih yang alami. 

Tujuh mata air yang mengitari wilayah ini juga menjadi sarana irigasi di lima dusun dan  sumber air bersih yang dikemas menjadi paket wisata outbound jelajah alam Sendang Tujuh. Juga homestay di rumah penduduk. Semua itu diminati wisatawan yang datang tidak hanya dari kota Yogyakarta dan sekitarnya, tapi juga Jakarta dan Surabaya.


Kawasan gua Pindul hanya satu dari sekian banyak potensi gua karst sebagai ekowisata andalan yang bisa dikembangkan sebagai obyek wisata mandiri yang bisa menjadi ikon wisata di Gunung Kidul. Di wilayah ini terdapat lebih dari 400 gua batu kapur dan sungai bawah tanah yang bisa ditawarkan. Dibandingkan Waitomo yang memiliki sekitar 300 gua batu kapur  di bawah bukit-bukitnya. 

Setidaknya, menggarap keunikan karakter kars ini tidak hanya mengenalkan dan mengembangkan objek wisata di Gunung Kidul, tapi juga salah satu cara mengubah citra tandus dan kekeringan yang melekat dari kawasan kars terluas di Pulau Jawa ini.

Rabu, 13 Maret 2013

Senja di Kursi Panjang


berdiri di "kupang" alias kursi panjang


Orang Papua memang pintar memberi nama tempat dengan istilah unik dan membuat penasaran. Jika di Jakarta, SOGO menjadi  mal terkenal kalangan berduit untuk membelanjakan uangnya, di Abepura terkenal dengan mal SAGA. Tidak hanya itu, saya pernah terperangah melihat Tembok Berlin berdiri kokoh di pantai Sorong. 
Tembok pembatas yang mengitari bibir pantai ini memang punya nama yang sama dengan tembok di Jerman yang sudah runtuh puluhan tahun lalu. Lokasi  ini menjadi tempat nongkrong  muda mudi menghabiskan malam sambil menikmati hidangan makanan laut.

Bagaimana di Jayapura? Anak muda di kota ini pun tak kalah. Mereka juga punya tempat wajib untuk cuci mata. Tempat nongkrong favorit yang sangat terkenal di kalangan anak baru gede Jayapura ini ada di kupang.
”Ayo, kamu juga harus ke kupang. Tempatnya asyik,” begitu ajakan Robert Vanwi, kolega yang menemani berkeliling Jayapura.
Memang, warga Kota Jayapura biasa menyebutnya dengan kupang. 

Tapi, kupang yang dimaksud bukanlah Kota Kupang ibukota Nusa Tenggara Timur. Nama ini hanyalah sebuah akronim dari kursi panjang yang menjadi hiburan gratis yang cukup menyegarkan untuk menikmati birunya laut pasifik di kawasan Teluk Humboldt yang ramai dengan pemandangan kapal-kapal besar. 

Kursi yang berada persis di bibir pantai Dok II yang berada di depan kompleks kantor Gubernuran Propinsi Jayapura bukan kursi biasa. Disebut kursi panjang ini karena memang kursi yang terbuat dari beton berlapis keramik warna hijau tua mempunyai panjang  hingga mencapai 500-an meter. Pohon palem berjejer dibeberapa bagian di sepanjang jalur juga mempercantik tempat ini.
Seperti di Gedung Berlian di Jalan Pahlawan Semarang, di halaman Kantor Gubernur di tepi Teluk Yos Sudarso juga menjadi ruang publik dan seringkali diselenggarakan panggung hiburan gratis. Sebagian warga bahkan juga bermain air dan berenang di dinginnya air pantai.


Tempat yang juga dikenal dengan pantai gubernur ini memang sudah terkenal sebagai tempat bersantai menghabiskan senja. Tidak hanya dipadati ketika malam minggu, ketika menjelang sore, banyak pasangan muda, sekumpulanan orang, bahkan ada yang asyik sendirian sedang duduk-duduk santai di kursi panjang ini.  Jadi jangan heran melihat  pemandangan orang duduk berjejer hanya duduk melihat pemandangan dan kapal di sekitar pelabuhan. “Biasanya untuk tempat janjian, ngobrol atau sekadar menikmati pemandangan,” jelas Robert. 
 
Tidak di pungkiri bahwa pantai ini memiliki pemandangan sunset dan sunrise yang di cari para wisatawan ataupun masyarakat lokal. Namun sayang sekali pemandangan indah ini tidak dilengkapi dengan sarana dan prasarana pendukung yang memadai. PKL yang menyediakan jajanan di sekitar kawasan ini tak tertata rapi. Sampah yang berserakan dan bekas botol minuman yang terlihat mengapung disekitar bibir pantai juga dibiarkan membuat pantai indah ini terkesan kotor. 
tempat wisata n berenang
Semoga saja pemerintah tidak bosan menggelorakan kampanye ”Save The Port Numbay Green” di tempat ini.


Si Cantik Kota Tapal Kuda


Jayapura dari Polimak


Dari balik jendela pesawat, danau terbesar di Papua dengan gugusan pulau kecil terlihat dengan jelas memesona menyambut mata kami dari ketinggian.  Tujuh menit sebelum pesawat yang saya tumpangi bersama rombongan mendarat di Bandar Udara Sentani. ”Itu Danau Sentani,” kata salah seorang teman sambil menunjuk lewat jendela pesawat.
Panorama seperti ini yang membuat kami semakin penasaran untuk menyaksikan salah satu keindahan alam Papua dari dekat ketika menginjakkan kaki di Jayapura. 
Meski tak beruntung menyaksikan Festival Danau Sentani di Kalkote Holiday Resort karena datang bukan pada bulan Juni, paling tidak saya tetap bisa menikmati pemandangan indah danau yang memiliki arti “di sini kami tinggal dengan damai” ini.  Tidak hanya dari dalam pesawat yang akan mendarat. Saya pun bisa menyaksikan panorama lanskap danau seperti lukisan hidup yang terhampar di depan mata dari berbagai tempat.
Danau Sentani dr ketinggian
Tapi mengelilingi danau yang terbentang antara Kota Jayapura dan dan Kabupaten Jayapura dari dekat tentu tak cukup dalam sehari. Selain luasnya mencapai 9.360 hektar, danau yang berada di ketinggian 75 mdpl harus dilalui dengan jalan berliku-liku dan naik turun bukit.
Untuk mempersingkat waktu, kami memutuskan pergi ke Bukit Makatur. ”Sebenarnya namanya Bukit Mc Arthur, tapi kami biasa menyebut Bukit Makatur. Lebih mudah,” jelas pemandu sambil tertawa.
Untuk bisa mencapai bukit, tentu saja mobil yang kami tumpangi harus mendaki. Untung saja walau jalannya kecil, kondisi jalan relatif mulus. 
Dari puncak bukit yang berada di salah satu bukit di jejeran Pegunungan Cyclops yang menjulang tinggi di pinggiran kota Sentani inilah pemandangan utuh danau bisa disaksikan dengan jelas. Saking jelasnya, saya bisa menghitung 21 pulau kecil berpenghuni dengan gunung-gunung kecil berujung yang lancip yang terserak di sekeliling danau. Bahkan dari puncak Mc Arthur ini bisa melihat lalu lintas pesawat yang mendarat atau akan terbang di Bandara Sentani seperti mainan anak-anak.
Sentani dari bukit Makatur
Tak hanya melihat keindahan danau dan kota Sentani. Sejarah kota ini pun tak kalah uniknya. Di puncak bukit Makatur ini juga bisa menyaksikan sisa-sisa peninggalan  Perang Dunia II dari jendral McArthur. Salah satu jenderal sekutu yang pernah mendarat di kota ini sebelum menghancurkan pertahanan dan mengusir Jepang dari kawasan Pasifik ketika pecah Perang Dunia II.  Buktinya, Monumen McArthur yang berdiri kokoh sebagai  tugu peringatan, termasuk tugu pendaratan Jepang. Juga foto-foto McArthur dan berikut barang-barang peninggalannya.
Pertanyaan pun terjawab kenapa ketika sampai di pintu gerbang menuju puncak bukit ini, kami harus meninggalkan kartu identitas di pos penjagaan. Ya, lokasi ini adalah  bekas basis markas sang Jenderal asal Australia yang disulap menjadi Kompleks Militer Resimen Kodam Cendrawasih.
Namun Sayang, semua potensi wisata di sini belum tergarap maksimal dan masih terkesan ala kadarnya. Bahkan pesona Danau Sentani ramai dikunjungi saat event besar saja. Selebihnya hanya menjadi  tempat memancing, latihan para atlet kano dan jet sky saja.

Hongkong-nya Indonesia
Ciri khas daerah yang  berbukit - bukit dengan jalan berliku kami temui sepanjang jalan menuju Abepura, Entrop hingga kota Jayapura. Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam menuju kota pelabuhan paling sibuk di Papua. Letaknya di pantai timur laut berbatasan langsung dengan Teluk Yos Sudarso yang ada di pinggir Samudera Pasifik.
Kota yang paling modern dan makmur di Papua ini menjadi salah satu tujuan dagang yang terkenal karena melayani sebagian besar kapal yang berhubungan dengan pelabuhan sentral di pulau Papua ini.
”Selamat datang di Port Numbay,” kata Robert, pemandu kami. Ya, nama Jayapura memang berganti menjadi Port Numbay dua tahun lalu. Kota ini memang berganti nama hingga enam kali dalam kurun waktu seabad terakhir ini. 

Buku ”Ein Gouden Jibeleum 50 yaar Hollandia, van 7 Mart 1910 tot 7 Mart 1960” yang diterbitkan untuk memperingati 50 tahun pendudukan Belanda di kota ini mengisahkan pergantian nama Numbay menjadi Hollandia (daerah yang berbukit-bukit dan berteluk) oleh kapten infanteri FJP Sachse yang ditandai dengan pengibaran bendera tiga warna milik Belanda  di Numbay (1910). Namun, nama itu diganti menjadi "kota baru"(1963), ketika bergabung dengan NKRI. Berganti lagi menjadi Sukarnopura (1969) dan sejak tahun 1975 diubah menjadi Jayapura (kota kemenangan).
Kota ini sungguh indah dengan berbagai sudut pemandangan yang berbeda-beda, mulai dari perbukitan, danau hingga pantai. Tapi ada satu tempat yang paling cocok dan selalu disinggahi wisatawan yang datang ke kota ini untuk melihat Jayapura dengan utuh. 

Pemandu kami mengajak ke Bukit Polimak. Sekali lagi, kami harus mencari lokasi di bukit paling tinggi di tengah Kota Jayapura yang berada seperti di balik tebing ini. Tapi tidak perlu khawatir, meski jalan cukup berliku puncak, Bukit Polimak tetap bisa diakses dengan menggunakan kendaraan. Bukit ini juga seringkali disebut bukit pemancar karena memang di bukit ini semua menara pemancar televisi berdiri kokoh.
Di atas ketinggian ini, saya tak hanya disuguhi bagian kota yang berada di tepi pantai. Tapi juga hamparan Samudra Pasifik biru, jernih, dan seolah tak berombak. Kota dengan topografi berbukit-bukit nampak seperti tapal kuda, dengan kedua sisinya yang berada di ketinggian. Di antara celah pegunungan yang menghadap ke arah Teluk Yos Sudarso dan Teluk Yotefa.

 Panorama Port Numbay secara utuh bisa terlihat dari sisi kiri. Dan ketika memalingkan muka ke kanan, Samudra Pasifik berada di depan mata. Di tempat ini juga mempunyai penanda berlampu  ala bukit Hollywood bertuliskan “Jayapura City” yang menyala di malam hari dan bisa dilihat dari segala penjuru.

Tak hanya siang hari, kota Jayapura juga memesona di waktu malam ketika disiram cahaya lampu. Semua bisa dinikmati ditempat ini. Teluk Yos Sudarso tampak berkilau oleh lampu-lampu dari kapal yang sedang bersandar, bangunan yang mengitari bibir pantai sepanjang Teluk, lampu jalan, kendaraan yang lalu-lalang. ”Kota kami juga mendapat julukan  Hongkong-nya Indonesia,” imbuh Robert.

Memang, jika menuruni bukit dan melihat dari dekat salah satu ikon kota Jayapura berada di pantai Dok II, pantai yang berhadapan dengan pusat pemerintahan propinsi Papua tidah hanya menjadi jalur padat pelayaran kapal besar, tapi juga ruang publik favorit wisatawan dan masyarakat setempat menghabiskan waktunya.

Dari tempat ini juga bisa melihat dengan jelas dua pulau mungil di seberang teluk yang menjadi lambang kerukunan umat beragama kota ini. Salib Kristus berdiri tegak di pulau paling dekat ke pantai dan satu pulau lagi dihuni umat Muslim.

Oh ya, Kota ini juga bisa dinikmati dari Bhayangkara (Dok V), Angkasa (sepanjang jalan), pantai Base G, pantai Hamadi, pelabuhan danau ( Dok VIII), atau pelabuhan danau Yotefa ( pasar baru Abe).
Rupanya masih banyak tempat menarik dan eksotis lain yang harus  dikunjungi dan dinikmati. Benar kata Edo Kondologit dalam lirik lagunya kalau Papua itu memang seperti ”Surga kecil yang jatuh ke bumi”.

Tapi jarum jam terus berputar dan kami harus bergegas kembali ke Sentani sebelum jalur utama dari Abepura-Sentani sepi. Maklum, dua hari sebelum saya datang ke kota ini terjadi insiden penembakan dan pembakaran mobil di jalur tersebut. Suhu politik yang memanas mengharuskan kami berhati-hati.