Pages

Minggu, 07 Agustus 2016

Pesantren itu Ada di Kampung Darat : Jejak Sumir Guru Para Ulama Tanah Jawa (2)

Nama dua ulama ini memang tak setenar Sunan Kudus. Tapi ia tercatat punya pengaruh yang cukup besar dalam syiar Islam. Siapa kedua ulama itu?

Dua nama ulama ini memang tak setenar Sunan Kudus. Namanya The Ling Sing atau akrab disebut Kiai Telingsing dan Kiai Sholeh Darat. Keduanya hidup terpisah. Kiai Telingsing ada di Kudus dan Kiai Sholeh di Semarang. Namun, meski tak setenar Sunan Kudus jejak syiarnya masih bisa kita jumpai di kedua kota itu.

Seperti apa kiprah mereka dalam penyebaran agama Islam di Jawa? Tak banyak yang tahu. Karena itu, tak mudah untuk menelusuri jejak-jejak mereka. Dari yang tak banyak itu, jejak mereka bisa dijumpai pada makam dan masjid Kiai Telingsing di Kudus, dan makam Kiai Sholeh Darat di Semarang, termasuk keluarga keturunannya.

Kami pun mencoba menelusuri jejak kedua ulama itu.

***
Berjarak beberapa abad dengan kehidupan Kiai Telingsing, di Semarang ada nama ulama ternama dalam penyiaran agama Islam di Nusantara, khususnya Jawa. Nama asli lelaki itu KH Muhammad Sholeh Darat bin Umar As-Samarani dan lebih dikenal sebagai Kiai Sholeh Darat. Ia lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara pada sekitar 1820. Sang ayah bernama KH Umar, ulama terkenal yang pernah bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro.

Keinginan untuk meneruskan jejak dakwah sang ayah membuat Sholeh muda berkelana hingga ke Makkah. Di sana ia berguru pada beberapa ulama besar seperti Syaikh Muhammad Almarqi, Syaikh Muhammad Sulaiman Hasballah, Syaikh Sayid Muhammad Zein Dahlan, Syaikh Zahid, Syaikh Umar Assyani, Syaikh Yusuf Almisri, dan Syaikh Jamal Mufti Hanafi. Di kota suci itu pula, Sholeh Darat bertemu dengan santri -santri yang berasal dari Indonesia antara lain KH Nawawi Al Bantani dan KH Muhammad Kholil Al Maduri.

Sekembalinya menimba ilmu di Makkah, Sholeh Darat mengajar di Pondok Pesantren Darat milik sang mertua, KH Murtadlo di Kampung Darat yang kini bernama Dadap Sari, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang. Nama Darat yang disandangnya merupakan sebutan masyarakat yang merujuk pada tempat tinggalnya.

Pondok pesantren berkembang pesat. Santri berdatangan dari berbagai pelosok daerah untuk belajar agama. Sejumlah nama yang kemudian menjadi ulama besar pernah nyantri di situ. Sebut saja pendiri NU KH Hasyim Asy'ari (Ponpes Tebu Ireng), pendiri Muhamadiyah KH Ahmad Dahlan, KH Munawir (Ponpes Krapyak Jogja), KH Mahfudz (Termas Pacitan), Kiai R Dahlan Tremas (seorang Ahli Falak), Kiai Amir Pekalongan yang selanjutnya menjadi menantu Kiai Sholeh Darat, Kiai Idris Solo, dan Kiai Sya'ban bin Hasan Semarang.

Sebagai penyebar Islam di tanah Jawa, nama Sholeh Darat terkenal sebagai guru para ulama di Jawa dan tokoh besar Islam seangkatan dengan Syaikh Muhammad Nawani Al Jawi Al Bantani dan Kiai Kholil bin Abdul Latief atau Mbah Kholil Bangkalan.

Kitab Kiai yang Tersebar
Kebesaran Sholeh Darat lainnya, dia menjadi penulis banyak kitab yang dipakai di banyak pondok pesantren. Dari banyak karya sang kiai, hanya tiga kitab yang masih tersimpan di kotak khusus di rumah takmir masjid KH Sholeh Darat di Kampung Darat. Sayang sekali, ketika saya meminta untuk melihat ketiga kitab itu, Chomsin Basri tidak mengabulkannya. Tentu saja, Ketua Takmir Masjid KH Sholeh Darat punya alasan rasional. Usia kitab yang tua dan ditulis di atas kertas dengan warna tinta tidak begitu cerah itu rentan hancur.

Ya, hanya ketiga kitab yaitu Al Hikam, Pesholatan, dan Tajwit yang disimpan pihak keluarga. "Dulu tersimpan di masjid, tapi karena khawatir diambil orang, lalu disimpan," ujar lelaki yang dipasrahi menyimpan kitab-kitab itu.

Lukman Hakim Saktiawan, cicit Kiai Sholeh Darat menyebutkan kesulitan mengumpulkan kitab-kitab peninggalan kakek buyutnya itu. Apalagi tak sedikit dari kitab-kitab karya Kiai Sholeh Darat tersebar selain di Jawa, juga di Singapura dan Mesir. Bahkan pihak keluarga yakin, banyak manuskrip karya Sholeh Darat juga tersimpan di Leiden Belanda. "Santri-santrinya yang mencari karena kitab tersebar. Tidak hanya di Jawa tapi juga ditulis ulang di Mesir dan Singapura," jelas lelaki yang akrab disapa Gus Lukman.

Salah satu faktor mengapa kitab-kitab itu tersebar adalah kegemaran Kiai Sholeh Darat memberikan kitab karyanya kepada santrinya. "Hampir semua muridnya diberi kitab, jadi tersebar di mana-mana, termasuk yang ada di tangan RA Kartini," ujar Gus Lukman.

Di antara puluhan karya Kiai Sholeh Darat, beberapa sangat populer yaitu Majmu'at al-Syariat al-Syari'at al-Kafiat Li al-Awwan yang merupakan kitab bertuliskan huruf Arab pegon dan berbahasa Jawa. Ada pula yang telah diterbitkan oleh NV Haji Amin Singapura (tahun 1898), termasuk terbitan berangka tahun 1890-1935 oleh penerbit Singapura dan Bombay (sekarang Mumbai). Penerbit lokal yang menerbitkan beberapa karya sang kiai adalah Toha Putra.

Berkaitan dengan penulisan kitab, salah satu perjuangan Kiai Sholeh yang terus dikenang adalah menafsirkan Alquran dalam bahasa Jawa yang ditulis dengan huruf Arab pegon. Ini terbilang istimewa karena hampir semua kitab yang ditulis bertujuan agar mudah dimengerti khalayak.

"Pada zaman itu banyak yang tidak sekolah. Kiai Sholeh Darat ingin agar kaum awam belajar agama sehingga kitab tafsirannya berbahasa Jawa," tandas penulis buku Keajaiban Shalat Menurut Ilmu Kesehatan Cina dan pelatih Shaolin Kung Fu yang berprofesi therapis ini.

Ajarannya pun luas, tak melulu soal syariat, tapi juga karya tasawuf. Bahkan persoalan tentang kesetaraan gender pun sudah didedah sang kiai lewat kitab karyanya. Terkait kesetaraan gender, dia menganjurkan perempuan dan laki-laki sama-sama berkewajiban menuntut ilmu, meskipun perlu pembatasan bagi kaum perempuan. Sang kiai punya alasan mengapa ada pembatasan itu.

Di masanya, menurut Kiai Sholeh Darat, kalau perempuan pandai, dia bisa saja membahayakan dirinya sendiri karena akan dimanfaatkan Belanda. Itu juga alasan mengapa RA Kartini pernah nyantri di pondok pesantren Kiai Sholeh. Perempuan yang dikenal sebagai pejuang kesetaraan gender itu bahkan mendapat hadiah kitab dari sang guru.

Menjaga Ajaran Sang Kiai
Dalam perkembangannya, ajaran Kiai Sholeh Darat sempat mengalami "gangguan". Maksudnya, ada beberapa aspek ajaran yang tak lagi diikuti atau bahkan dihilangkan. Dan itu terjadi di lingkungan internal, atau keluarga keturunan sang kiai.

Perlu diketahui, dzuriyyah atau keturunan Kiai Sholeh Darat memang secara moral adalah kalangan yang menjaga ajaran-ajaran yang dikembangkan sang kiai. Seseorang di antara para dzuriyyah itu didaulat sebagai pemimpin. Hanya saja menurut Chomsin Basri, ketika KH Ali Cholil (cucu Kiai Sholeh dari istri keempat) memimpin, beberapa ajaran sang kiai tak lagi diikuti.

Begitu pula, keturunan sang kiai yang tersebar di banyak tempat pun sempat mengalami "gangguan" saling bersilaturahmi, termasuk kemunculan paham atau aliran lain yang sempat membuat perpecahan. Banyak tradisi keagamaan ajaran Kiai Sholeh yang "hilang". Walhasil, nama dan kiprah sang kiai seolah-olah redup dan tidak populer.

Pada 2012, sepeninggal KH Ali Cholil, pihak keluarga kemudian membulatkan tekad untuk "kembali" ke ajaran Kiai Sholeh Darat. Hal itu ditegaskan oleh Gus Lukman, cicit sang kiai, yang tak lain adalah putra KH Ali Cholil.

"Saya tidak akan mengikuti ajaran bapak tapi saya akan mengikuti ajarannya Mbah Sholeh," ujar Chomsin Basri menirukan penuturan Gus Lukman.

Upaya kembali ke ajaran sang kiai adalah dengan menata kepengurusan masjid. Chomsin Basri, santri yang pernah menimba ilmu di pesantren Kiai Kholil bin Abdul Latief atau Mbah Kholil Bangkalan didapuk menjadi Ketua Takmir Masjid Sholeh Darat yang berlokasi di Jalan Kakap Darat Tirto 212, Kota Semarang.

Pemilihan Chomsin sangat terkait dengan nama Mbah Kholil Bangkalan yang merupakan rekan seperjuangan Kiai Saleh. Ulama lain yang memiliki keterkaitan adalah Syekh Muhammad Nawani Al Jawi Al Bantani dari Banten.

Bahkan, pada masanya ketiganya bak Three Musketeers yang merencanakan dan mengatur cara dakwah melalui strategi penggunaan bahasa lokal dalam tulisan berhuruf Arab pegon. "Orang Belanda tahunya yang digunakan adalah bahasa Arab. Siasatnya begitu," jelas Chomsin yang asal Madura ini.

Spirit dan garis perjuangan agama Kiai Sholeh Darat sedikit demi sedikit mulai dihidupkan kembali, antara lain aktivitas pengajian rutin dan kajian kitab seperti kajian kitab majemuk syariah dan amalan Burdah yang dilaksanakan tiap Sabtu.

Bahkan Jamaah Pengajian Ahad Pagi yang didirikan Kiai Soleh Darat yang membedah kitab-kitabnya pun diaktifkan lagi. Begitu pula haul atau peringatan wafat sang kiai pada 10 Syawal (tepatnya 18 Desember 1903) kembali diselenggarakan.

Chomsin Basri mengatakan, masjid peninggalan Kiai Sholeh yang selama beberapa waktu itu sepi dan nyaris tidak ada aktivitas tersebut kembali "hidup". Nama dan ajaran sang kiai kembali terdengar dan bahkan memotivasi sejumlah akademikus di Semarang dan para santri untuk membentuk Komunitas Pencinta KH Sholeh Darat (Kopi Soda). Itu komunitas yang berfokus mengkaji dan melacak kitab-kitab peninggalan Sholeh Darat.

Ya, meski baru seumur jagung, komunitas tersebut memiliki komitmen membantu menghidupkan ruh Kiai Sholeh Darat dengan menduplikasi kitab-kitabnya agar semakin banyak yang mempelajarinya. Kitab-kitab pun dicetak dalam berbagai versi, termasuk membuat cetakan Kitab karangan Kiai Sholeh Darat yang pernah dihadiahkan kepada RA Kartini, yakni Tafsir Faidhur Rohman setebal 576 halaman dan Kitab Terjemah Al-Hikam setebal 254 halaman dalam keping DVD dan CD.

"Kitab digital itu hasil pemotretan naskah asli tulisan tangan Kiai Sholeh Darat. Selain tebal dan tidak lagi ada cetakannya, juga lebih mudah disebarkan pada para santri," jelas Mohammad Ichwan, sekretaris Komunitas Pencinta Kiai Sholeh Darat (Kopi Soda).
Ada juga yang ditulis ulang dalam teks bahasa Indonesia diberi syarah atau tambahan dari sudut pandang metafisika oleh Gus Lukman, misalnya kitab Lathoifut Thoharoh. "Tujuannya jelas agar generasi sekarang mudah membaca dan mengamalkan ajarannya," kata Ichwan.

Makam dan Foto Palsu
Selain ajaran dan kitab-kitab, sebagai sosok historis dan ulama besar, jejak Kiai Sholeh Darat bisa juga dijumpai lewat makamnya. Hanya saja, soal makam ini sering pula memicu kontroversi seputar makam mana yang benar karena muncul cerita mengenai beberapa makam yang diyakini sebagai tempat bersemayam jasad sang kiai.

Di sekitar Masjid Sholeh Darat, tepatnya di sisi selatan, ada bangunan baru seperti gazebo berlantai keramik. Menurut Gus Lukman, itu adalah bekas makam Kiai Sholeh Darat. Kenapa bekas makam? Muncul cerita bahwa jasad sang kiai dipindah ke kompleks pemakaman Bergota yang terletak di Jl Kiai Saleh Kota Semarang pada tahun 1936 oleh pihak Belanda. Alasan pemindahan sangat politis pada waktu itu. Sepeninggal Kiai Sholeh Darat, masjid peninggalannya kerap dijadikan tempat berkumpul para pejuang.

"Belanda memindah makamnya di Bergota untuk memudahkan pengawasan para pejuang. Tapi saya tetap yakin, yang dipindah ke Bergota hanya kain kafannya saja," ujar Gus Lukman.

Di Bergota, makamnya kini berimpitan dengan ribuan makam lain. Meski begitu, banyak peziarah yang percaya bahwa makam Kiai Sholeh Darat tidak hanya di situ, tapi di beberapa tempat. "Makam Mbah Sholeh ada di Rembang dan Madura. Dalam tradisi NU itu biasa, seperti Sunan Ampel yang diyakini ada di sembilan tempat," imbuh Chomsin Basri.

Itu kemungkinan dikarenakan hidup Kiai Sholeh Darat yang harus berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran Belanda. "Bahkan, rumah asal keluarganya di Jepara juga diobrak-abrik Belanda. Orang tuanya juga DPO dan hingga kini makamnya tidak diketahui keberadaannya," ujar Gus Lukman.

Rasa penasaran ingin merekonstruksi masa lalu Kiai Sholeh Darat juga ditunjukkan Gus Lukman melalui sejumlah foto lawas. Foto masjid lama Kiai Sholeh Darat yang hingga kini masih disimpannya itu merupakan foto masjid sebelum dibongkar pada tahun 1990. Di dalam foto itu tampak bangunan tua terbuat dari kayu yang berada di area tanah yang sangat luas. Kini tanah peninggalan di kompleks masjid hanya tersisa 1200 meter.

"Dulunya ini langgar (musala) turun-temurun dari Kiai Murtadho. Bentuknya panggung terbuat dari kayu jati. Sekarang yang terselamatkan ya ini saja, termasuk kentongan yang masih tersimpan di masjid," ujarnya sambil menunjuk gambar kentongan yang ada di foto.

Jejak bangunan masjid aslinya telah hilang. Masjid memang dipugar karena dimakan usia. Banjir dan rob juga mengancam dan menggerus masjid yang hingga kini terus diuruk dan dinaikkan lantainya untuk menghindari luapan banjir.

Atapnya hanya tinggal setinggi dua meter. "Kami pernah juga terpaksa Salat Jumat di teras karena bagian dalam yang lebih rendah itu diterjang banjir. Tahun lalu lantai bagian dalam juga dinaikkan lagi untuk menghindari banjir," kata Gus Lukman.
Masjid Kiai Sholeh Darat / noni arnee

Bekas makam berada di sebelah masjid / noni arnee
Dari sejumlah foto yang ditunjukkan, tak ada foto Kiai Sholeh Darat. Lalu, seperti apa sebenarnya sosok Kiai Sholeh Darat? Gus Lukman menyebut, hanya santri-santrinya yang tahu persis sosok dan penampilan guru para ulama ini. "Bahkan ayah saya juga tidak tahu seperti apa fisik Mbah Kiai," katanya.

Namun sesaat kemudian, Gus Lukman tersenyum ketika ditunjukkan sebuah foto Kiai Sholeh Darat yang selama ini bisa dengan mudah diakses di dunia maya. Menurutnya, foto yang selama ini diidentifikasi sebagai sosok Kiai Sholeh Darat bukanlah sosok yang sebenarnya. "Kalau foto itu saya tahu persis proses pembuatan dan bagaimana bisa muncul di publik. Saya tahu siapa yang memotret waktu itu," katanya.

Menurut Gus Lukman, foto yang menggambarkan sosok Kiai Sholeh Darat selama ini tidak memiliki kemiripan sedikitpun dengan kakek buyutnya. Foto itu sengaja dibuat dan dipoles. "Nggak mirip, tapi sudah telanjur, ya wislah biarkan tetap begitu," jelas lelaki 44 tahun itu sambil tertawa dan menyebutkan siapa sosok sebenarnya yang ada di dalam foto itu.

Gus Lukman meyakini bahwa pemerintah Indonesia sebenarnya tidak memiliki foto asli Kiai Sholeh Darat. Keterangan itu diperkuat dari informasi yang didapat dari seorang koleganya yang bekerja di KBRI di Belanda. Koleganya itu sempat menunjukkan sosok Kiai Darat dari sebuah foto lama.

"Beda dan tidak mirip. Foto yang di Leiden itu juga foto dari samping seperti foto yang diambil dari jauh," ujar Gus Lukman.
Menurutnya, Kiai Sholeh Darat tidak mengenakan serban dan tidak berkacamata seperti yang tergambar dalam foto yang selama ini tersebar di publik. Bagi pihak keluarga, itu bukan masalah besar.

"Yang jelas, penampilannya menggunakan pakaian lokal, tidak bersorban. Keluarga dan santri-santrinya tidak mempermasalahkan. Yang terpenting kami tahu kebenarannya dan mengikuti semua ajarannya," ujar Gus Lukman.

Chomsin Basri juga mengungkap hal senada. "Sosoknya tinggi, senangnya pakai batik dan peci hitam. Jarang pakai warna putih.


link : https://beritagar.id/artikel/laporan-khas/jejak-sumir-guru-para-ulama-tanah-jawa

Tidak ada komentar: