Pages

Tampilkan postingan dengan label lingkungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label lingkungan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 09 September 2014

Menantang Maut di Sangihe



Perjalanan 90 menit ke pulau Marore tak asing bagi Recksan dan Karce. Sejak kecil mereka hidup di Matutuang, pulau kecil di Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara yang berada di ujung utara Sulawesi dan berbatasan dengan Provinsi Davao del Sur, Filipina.  Kali ini keduanya pergi memenuhi undangan rapat di pulau yang menjadi ibu kota kecamatan.

Seperti biasa, pumpboat, perahu kecil bermesin tempel yang ditumpangi harus melewati Pulau Mamanuk. Perairan yang rawan dengan ombak besar laut Pasifik yang sulit diprediksi.

“Tiba-tiba perahu terhempas dan terbalik. Karce tak bisa berenang. Dia menangis dan banyak minum air hingga stres dan seperti orang gila. Kami sudah putus asa,” kenang Recksan.

Recksan dan Karce berhasil terapung di puing perahu. Mereka terombang ambing ombak di tengah laut tanpa makanan dan minuman selama lima hari dan terseret arus keTarakan. Tapi, mereka berhasil diselamatkan kapal patroli TNI yang kebetulan melintas di sana. Selamat, meski perjalanan itu menyisakan trauma bagi Karce. Dan Recksan butuh dua pekan di rumah sakit untuk memulihkan kulitnya yang mengelupas akibat sengatan matahari.

Tragedi empat tahun lalu yang membuat nyawa nyaris melayang masih membekas. Namun, peristiwa itu tak memupus  Recksan untuk mengabdi sebagai Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) di Pulau Matutuang, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.

Recksan Salur (28) dan Karce Salensehe adalah orang pilihan warga di Kecamatan Kepulauan Marore menjadi Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa PNPM. “Hasil rapat di kampung dipilih kader laki-laki dan Karce terpilih sebagai kader perempuan. Awalnya saya tak tahu PNPM yang masuk ke kampung tahun 2009.”

Selain harus memahami ruh PNPM, penggerak program di daerah perbatasan, seperti di Sangihe, butuh keberanian. Medan yang harus ditempuh dan dihadapinya terbilang sulit. Mereka bahkan rela menantang maut hanya untuk bertemu warga, memimpin pertemuan di desa dan mensosialisasikan program nasional pemberantasan kemiskinan. Keterbatasan transportasi menjadi kendala terbesar.

Pumpboat menjadi moda transportasi andalan warga Matutuang, Marore, dan pulau lain di Kabupaten Sangihe. Dua cadik perahu kecil bermesin biasa digunakan melawan ganasnya ombak. Untuk sampai ke Tahuna, ibu kota Kabupaten Sangihe, harus berperahu hingga enam jam.

Sementara transportasi kapal perintis ke ibu kota kabupaten, hanya beroperasi tiap dua pekan. Di pulau Matutuang juga tak terjangkau sinyal telepon. Urusan antar dokumen ke kecamatan harus menitipkan pada nelayan. “Bahkan tak jarang menguras kantong pribadinya untuk biaya transportasi antar pulau. Ikut berkoordinasi ke Kecamatan Marore memfasilitasi masyarakat yang belum paham program PNPM,” tuturnya.

Selain tak subur, pulau-pulau di Sangihe banyak tak dihuni hingga infrastruktur minim dan kehidupan di wilayah terpencil ini sangat bergantung pada cuaca dan biaya tinggi. Pasokan energi pun menjadi persoalan. “Warga Pulau Matutuang dan Kawio mengusulkan ada generator listrik untuk  menerangi sekitar 100 rumah selama lima jam mulai pukul 18.00 WITA,” tutur lelaki yang hanya mendapat honor fasilitator Rp 200 ribu per bulan.

Selama medio 2009-2012, PNPM Mandiri Perdesaan mengakomodir kebutuhan warga dengan membangun talud pantai di Pulau Matutuang sepanjang 980 meter. pengadaan mesin diesel dan instalasi listrik berkapasitas 22,5 KVA, membangun 18 unit MCK, sumur bor tiga unit, tiga  kamar mandi, dan drainase sepanjang 417 meter.

Kehidupan sosial warga Kabupaten Sangihe yang terpengaruh dengan negara tetangga menjadi tantangan karena Kabupaten dihuni 150 ribu jiwa dan tersebar di 26 dari 105 pulau ini terbiasa hidup bersama.

“Sebagian warga tidak berbahasa Indonesia karena dulu tinggal di Filipina, pendidikan masih rendah. Adaptasi bahasa sering merepotkan. Ya, Kehidupan di sini sulit  tapi harus dijalankan karena ini pengabdian,” kata Recksan.

Lokasi Ekstrem

Dedikasi Jeremia P. Antara (30) selama tujuh tahun terakhir ini sebagai pendamping Lokal PNPM, Kecamatan Tabukan Tengah tak diragukan. Awalnya, dia diangkat menjadi Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) di Desa Bowongkali, Kecamatan Tabukan Tengah, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara dalam sebuah musyawarah desa.

Di daerah berbukit dikelilingi banyak pulau dan dikategorikan lokasi ekstrem dan terpencil ini, tugasnya membantu fasilitator kecamatan melaksanakan kegiatan PNPM. Perencanaan, pelaksanaan, hingga pelestarian program kerja membuatnya berkeliling menapaki perbukitan dan berpindah dari satu desa ke desa lain.

“Saya harus memimpin rapat desa, sosialisasi, menjaring usulan dan ide dari masyarakat. Jarak antardesa sangat jauh.  Terkadang harus naik pumpboat untuk menjangkaunya,” ujar lulusan SMKN 3 Tahuna yang biasa menempuh perjalanan 9 kilometer dari rumahnya di Bowongkali ke sekretariat PNPM Kecamatan Tahuna.

Sejak tahun 2007, kegiatan PNPM di Kecamatan Tabukan Tengah menyerap dana hampir Rp 9 miliar rupiah, yang digunakan untuk pembangunan akses jalan menuju Sekolah Dasar di Desa Bowongkali sepanjang 700 meter, talud pantai, talud sungai, jembatan, jalan desa, sarana air bersih, drainase, tambatan perahu dan bangunan pengolahan sagu yang mesin pencacahnya dirakit sendiri dari mesin perahu.

“Kami punya 12 pengolahan sagu di empat desa Kecamatan Tabukan Tengah. Ini daerah pertama di Sangihe yang punya pengolahaan sagu modern dan bisa mencacah sagu dalam hitungan menit. Warga membayar iuran untuk biaya pemeliharaan aset desa ini,”imbuh Jeremia.

Kegiatan non-fisik program simpan-pinjam perempuan juga digalakkan untuk menambah modal usaha dengan mengalokasikan 15 persen dana PNPM untuk 50 kelompok yang mengajukan pinjaman tanpa agunan dengan bunga 1,5 persen. Tingkat pengembaliannya dalam waktu setahun mencapai  95 persen.  

“Dari perencanaan, pembangunan, hingga pengelolaan dana yang transparan membuat warga antusias. Apalagi warga juga swadaya,” jelas pendamping lokal terbaik nasional untuk wilayah ekstrem dan terpencil dalam PNPM Mandiri Perdesaan 2013 ini.

Ketekunan Jeremia “terbayar” dengan perubahan. Tak hanya jalan mulus menuju sekolah,  ekonomi di wilayahnya juga berkembang. “Sekarang warga punya modal dagang ikan dan punya perahu. Bahkan ada yang punya toko.”

Rabu, 27 Maret 2013

Surga Di Perut Bumi



Saya dan rombongan beberapa kali ‘’kesasar’’ karena tak begitu banyak petunjuk jalan menuju ke lokasi cavetubing ketiga di dunia. Selain mengandalkan informasi di persimpangan jalan, kami beberapakali harus bertanya pada warga sebelum tiba ke gua Pindul. Lokasi cavetubing (susur gua dengan perahu karet atau ban dalam) yang terletak di Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Karangmojo, Gunung Kidul. Tepatnya, sekitar tujuh kilometer dari pusat kota Wonosari.
Gua Pindul merupakan satu dari rangkaian tujuh gua horizontal yang dialiri sungai bawah tanah dari sungai Oya di daerah Bejiharjo. Aliran air yang sangat tenang ini memiliki panjang sekitar 350 meter, lebar rata-rata lima meter, dengan kedalaman air antara empat hingga tujuh meter dan permukaan setinggi empat meter. 
Ya, karst di daerah Gunung Kidul ini merupakan satu-satunya wisata cavetubing di Indonesia. Dan satu dari tiga tempat cavetubing populer yang ada di dunia setelah cavetubing Belize di Mexico dan Waitomo yang berada di Pulau Utara Selandia Baru. 
Memang, tak banyak yang tahu karena wisata minat khusus yang memadukan petualangan olahraga rafting (arung jeram), caving dengan tube di gua dengan aliran sungai bawah tanah ini terbilang jarang di Indonesia.
 “Silahkan antri karena semua peralatan masih terpakai,” jelas pengelola sambil menyuguhkan welcome drink segelas jahe hangat. Peminat cavetubing di gua Pindul begitu membludak setiap akhir pekan.  50 set peralatan cavetubing telah habis hingga kami harus rela menunggu giliran sekitar satu jam.
***
Setelah berhasil memakai jaket pelampung dan membawa ban pelampung, kami diajak pemandu menyusuri jalan setapak diantara rumah dan kebun warga menuju lokasi yang berjarak sekitar 100 meter.
Cavetubing di gua Pindul ini cukup mudah. Tidak perlu latihan dan ketrampilan khusus. Kami satu persatu hanya duduk di atas pelampung ban karet jumbo yang  berjejer. Dan si pemandu, akan mengendalikan pelampung dengan menyeret  bagian depan dan belakang. 

 Sambil menikmati pemandangan dan merasakan dinginnya air sungai, kami memasuki di zona terang. Di mulut gua ini, kami disuguhi cerita legenda masyarakat tentang asal-usul penamaan Gua Pindul. Kisah yang bermula dari pengembaraan Joko Singlulung mencari ayahnya. “Ketika menyusuri tujuh gua yang memiliki aliran sungai di bawahnya, kepala Joko terbentur batu besar, kemudian gua ini dinamakan Gua Pindul. Asalnya dari kata pipi gebendul,” cerita Badri, warga setempat yang menjadi pemandu.

Legenda lain di gua ini juga berada di zona remang. Badri dengan fasih menjelaskan ornamen cantik yang ditemui di sepanjang ber-cavetubing seperti moonmilk, stalaktit dan stalagmit yang terlihat dari bias cahaya matahari dan lampu senter. Salah satunya, stalakmit batu perkasa di sisi kanan yang konon bisa menambah “kejantanan” laki-laki yang menyentuhnya. Juga ceruk mini stalaktit di dinding gua yang mengeluarkan tetesan air mutiara dengan khasiat awet muda. Ada pula stalaktit gong yang menghasilkan suara mirip gong saat dipukul. 


Perjalanan dilanjutkan menuju sebuah stalaktit peringkat keempat terbesar di dunia yang berbentuk pilar raksasa. Lebarnya lima rentangan tangan orang dewasa. Ujung stalaktit ini masuk ke dalam sungai bawah tanah dan menutup sebagian rongga gua yang masih aktif hingga kini. Pilar yang terbentuk dari proses pertemuan stalaktit dan stalagmit berusia ribuan tahun ini menjadi batas antara zona remang dan zona gelap abadi. Posisinya menyempit dan hanya bisa dilewati seukuran satu ban karet, kami harus melewati secara bergantian. Dan untuk alasan keselamatan pula, kami dilarang menyentuh dengan keras.



Di lorong gua zona gelap abadi, cahaya matahari tidak terlihat sama sekali. Satu-satunya penerangan hanyalah senter di kepala pemandu yang menyorot ke beberapa ceruk-ceruk di atap gua yang dihuni kelelawar. Stalartit dan stalagmit dengan warna kristal juga terlihat di beberapa sudut. 

Sepuluh menit kemudian, seberkas cahaya terlihat dibalik sebuah tikungan. Ini  menjadi pertanda cavetubing telah memasuki zona terakhir goa vertikal (luweng). Zona  yang menyerupai kolam besar. Biasa digunakan untuk beristirahat, berenang atau ’’aksi’’ meloncat dari atas tebing gua setinggi tiga meter.
Cavetubing berakhir di bendungan Banyomoto. Bendungan yang dibangun sejak jaman Belanda dengan latar belakang perbukitan karst ini menjadi titik poin  terjun bebas para penyusur gua. Tantangannya dengan uji nyali naik ke dinding tebing batu dan menceburkan diri dari ketinggian lima meter. Byuuuurr..!!!

Di lokasi ini pula mobil pick up siap menjemput menuju tempat transit untuk menikmati segelas jahe hangat dan membayar petualangan sepanjang 60 menit. Tarifnya hanya Rp 25 ribu. Harga ini sudah termasuk jasa pemandu, peralatan cavetubing (ban dalam, jaket pelampung, headlamp), dan welcome drink ala desa. 

***
Rasa penasaran menyusuri gua berlanjut dengan mencoba tantangan petualangan ekstrim gua Sioyot. Pengelola sengaja merahasikan kondisi di dalam gua sepanjang hampir satu kilometer ini. Pemandu hanya meminta kami menggunakan helm, sepatu dan menyimpan barang berharga dalam drybox atau menaruh di tempat penitipan barang. 

Gua Sioyot berada berada dibalik rerimbunan pohon perkebunan milik warga. Jaraknya sekitar 100 meter dari pos sekretariat. Saya cukup terperanggah karena tantangan menyusuri gua ini sudah dimulai sejak memasuki bibir gua. “Berjalan sambil jongkok dan kepala menunduk,” jelas Badri, pemandu kami yang  memasuki gua yang dulunya dipenuhi dengan akar ini. 

Lebih kurang 50 meter kami harus berganti posisi dengan merangkak di dasar gua yang beratap rendah. Belum hilang rasa pegal, jalan lumpur dengan batu tajam sudah menanti. “Awas kepala dan hati-hati,”Badri mengingatkan sesering mungkin.
Hanya dengan penerangan lampu senter dan headlamp, kami menyusuri medan gua Sioyot yang penuh lumpur dan air. Hampir sepanjang menyusuri gua kami berjalan menunduk untuk menghindari benturan helm dengan stalaktit. 


Tidak hanya itu, ketahanan fisik dan mental memang diuji karena tantangan melewati genangan air setinggi leher orang dewasa. Ditambah ‘’bergelut’’ dengan lumpur sedalam 30 sentimeter. Di gua ini juga memiliki beberapa cabang dengan aliran air yang cukup deras yang belum pernah disusuri sehingga harus memperhatikan petunjuk dari pemandu. Tidak cukup dengan lumpur dan genangan air, kami sesekali harus menyelinap diantara stalaktit-stalaktit berongga sempit dan tajam seperti gigi hiu.
Merayap, merangkak, atau berjalan jongkok adalah gerakan yang harus dilakukan untuk berkompromi dengan tinggi lorong gua yang kurang dari satu meter. Gerakan itu kami lakukan di atas lantai gua yang ditutupi tanah basah dan dialiri air. 


***
Dua jam berlalu. Kami akhirnya berhasil keluar dari gua dan kembali menghirup udara segar. Menurut pengakuan Bardi, tak banyak pengunjung yang berani menjajal tantangan petualangan ekstrim Sioyot. “Sebagian besar pengunjung menggelengkan kepala karena medannya terlalu berat.”
Setidaknya, rasa haus, lelah, dan  posisi jalan yang membuat kaki serasa ingin ‘’copot’’ saat  menaklukkan gua Sioyot terbayar dengan menyaksikan keajaiban dan keindahan di perut bumi Gunung Kidul ini.
Tapi, bisa jadi tantangan ini belum seberapa karena masih ada 400 lebih lagi gua dan sungai bawah tanah yang belum terjamah.


---------------


Menjadi Ikon Wisata 
 
Seorang laki-laki menyapa dan meyambut kami ketika tiba di depan tugu desa yang berada di jalan utama. “Ke gua Pindul? Mari saya antar,” ujar Nino.
Koordinator keamanan karang taruna Dusun Gelaran mengatakan, menyambut dan mengantar pengunjung yang datang ke objek wisata gua Pindul sudah menjadi bagian dari pelayanan wisata minat khusus yang berada di kampung rintisan desa wisata di Kabupaten Gunung Kidul ini.

Namun, berbeda dengan objek wisata cavetubing Waimoto di Selandia Baru yang dikelola lebih profesional. Potensi wisata gua Pindul yang baru diresmikan tahun 2010 ini sepenuhnya mengerahkan swadaya masyarakat yang dikelola melalui Wira Wisata karang taruna desa.
Mereka berinisiatif mengelola wisata gua Pindul dan menjadikannya sebagai potensi ekonomi. Selain pemasukan kas di dusun, hasil  retribusi dimanfaatkan untuk operasional dan melengkapi fasilitas yang disediakan di objek wisata. Seperti peralatan ban pelampung, jaket pelampung, sepatu karet dan headlamp.  

Meski belum ada pengelolaan, promosi  cukup baik serta keterbatasan akses menuju kawasan ini, tapi pelayanan dan alur untuk menjamu para pengunjung patut diacungi jempol.
Sebenarnya, tidak hanya cavetubing di gua Pindul dan petualangan ekstrim gua Sioyot, wisatawan yang datang juga bisa menikmati wisata minat khusus lainnya seperti petualangan rafting sungai Oya sepanjang 1,5 kilometer lengkap dengan air terjun dan pemandangan tebing-tebing indah diantara perkebunan minyak kayu putih yang alami. 

Tujuh mata air yang mengitari wilayah ini juga menjadi sarana irigasi di lima dusun dan  sumber air bersih yang dikemas menjadi paket wisata outbound jelajah alam Sendang Tujuh. Juga homestay di rumah penduduk. Semua itu diminati wisatawan yang datang tidak hanya dari kota Yogyakarta dan sekitarnya, tapi juga Jakarta dan Surabaya.


Kawasan gua Pindul hanya satu dari sekian banyak potensi gua karst sebagai ekowisata andalan yang bisa dikembangkan sebagai obyek wisata mandiri yang bisa menjadi ikon wisata di Gunung Kidul. Di wilayah ini terdapat lebih dari 400 gua batu kapur dan sungai bawah tanah yang bisa ditawarkan. Dibandingkan Waitomo yang memiliki sekitar 300 gua batu kapur  di bawah bukit-bukitnya. 

Setidaknya, menggarap keunikan karakter kars ini tidak hanya mengenalkan dan mengembangkan objek wisata di Gunung Kidul, tapi juga salah satu cara mengubah citra tandus dan kekeringan yang melekat dari kawasan kars terluas di Pulau Jawa ini.