Pages

Senin, 08 Maret 2010

Pasar Imlek Semawis

KBR68H

Pasar Imlek Semawis adalah pasar rakyat menyambut tahun baru Cina yang hanya ditemukan di kota lumpia. Di sini tidak hanya perayaan religi tapi juga budaya
Kontibutor KBR68H Noni Arni, mengajak Anda menyaksikan bagaimana kemeriahan pasar tiban ini.

Atraksi barongsai dan liong samsi terdengar di antara kerumunan di kawasan pecinan Semarang. Pernak pernik imlek dan lampion menghiasi tiap jalan, rumah dan klenteng. Suasana malam di pecinan sejak 5 hari menjelang Sin Cia nampak meriah.

Dan orang-orang pun terus berdatangan . Ada yang berbelanja, makan, cuci mata, atau hanya bersendau gurau. Stan aneka makanan khas semarangan, pernak pernik imlek, kerajinan tangan, pakaian hingga promosi berbagai macam produk modern, berjejer disepanjang jalan-jalan sempit yang penuh sesak.

Semua membaur menjadi satu. Beginilah suasana pasar imlek semawis. Pasar tiban khas pecinan Semarang yang hanya bisa ditemui setahun sekali menjelang tahun baru Cina.
Dalam bahasa jawa, semawis berarti Semarang. Artinya pasar ini hanya ada ada di Semarang. Kemeriahan pasar tradisional ini muncul 7 tahun terakhir, seiring dengan lenyapnya diskriminasi terhadap warga keturunan Cina.

Ditempat ini warga Tionghoa di pecinan biasa berbelanja kebutuhan imlek, seperti makanan, buah-buahan, hiasan rumah dan pakaian. Benita Ariani mencari makanan untuk persiapan makan malam.

”Tujuan utamanya untuk berbelanja barang-barang kebutuhan imlek. Katakan biasa makanan itu masing-masing keluarga sendiri-sendiri, tapi kalau di keluarga saya itu menu wajib itu rebung dimasak sampai lunak. Itu merupakan salah satu menu yang dinikmati pada waktu malam tahun baru imlek.”

Warga semarang umumnya pun datang menyaksikan dan menikmati kemeriahan ini. Seperti Entik

”Tiap tahun kesini lihat-lihat pasar semawis, soalnya kan adanya satu tahun sekali ya. Nyari-nyari pernak pernik berbau cina kan lucu-lucu. Selain itu aku juga wisata kuliner, jarang-jarang ada makanan khas gitu yang bikinan asli orang cina juga, kayak wedang tahu, lumpia. Macem-macem lah wisata kuliner gitu sekalian jalan-jalan.”

Pasar imlek semawis bermula dari tradisi lama pasar senggol Gang Baru yang hidup sejak ratusan tahun. Kala itu, pasar dijadikan tempat berkumpul dan berinteraksi warga Tionghoa dan pribumi.
Nafas Tradisi pasar tiban ini kembali dihidupkan melalui pasar imlek semawis,

”Asal mulanya adalah dari tradisi pasar malam Ji Kau Meh di pasar Gang Baru. Jadi masyarakat Tiong hoa di Semarang setiap tanggal 29 bulan 12 imlek itu ngumpul di pasar gang baru malam hari untuk berbelanja barang-barang keperluan untuk sembahyang imlek tanggal 30 nya. Yang kita sebut dengan pasar malam Ji Kau Meh. Itu yang kemudian kita kembangkan sekarang menjadi pasar imlek semawis.”jelas ketua panitia pasar imlek semawis Dharmadi.

Pasar ini dulunya juga dimanfaatkan muda mudi setempat untuk saling melirik dan mencari jodoh.

”Ada suatu tradisi dari masyarakat Tiong hoa, bahwa pada saat malem Ji Kau Meh itu biasanya pada jaman dulu dipake buat cari jodoh. Bagi yang masih jomlo biasanya datang di pasar gang baru untuk berkenalan, untuk cari jodoh disana. Tradisi masa lalu yang bisa kita jaga , bisa kita lestarikan.”

Pada perkembangannya, pasar imlek semawis tampil lebih modern. Tidak hanya kuliner khas, kerajinan, dan aksesoris khas negeri tirai bambu. Pasar Imlek Semawis juga menyajikan berbagai atraksi budaya seperti tarian gambang Semarang dan Barongsai

Atau wayang mandarin dan wayang potehi, seni pertunjukan yang merupakan akulturasi budaya China dengan budaya lokal.

Perpaduan budaya tak lepas dari sejarah pecinan Semarang. Kawasan yang diapit wilayah Kauman dengan budaya Timur tengah, Kota Lama Belanda dan kawasan Jurnatan dengan mayoritas pribumi. Keunikan Ini tidak ditemui di pecinan lain,

”Ji kao meh khas semarang, karena ditempat lain biasanya di tempat lain perayaan imlek cenderung berbeda. semarang ada kekhasan, meskipun kita mengatakan budaya tradisi seni masyarakat sudah membaur dengan budaya setempat dengan budaya jawa, budaya timur tengah kemudian juga budaya barat. Ada perpaduan budaya yang cukup unik. Di kawasan ini ada 9 klenteng yang umurnya ratusan tahun, Ada gereja, ada masjid yang letaknya berdampingan satu sama lain. Kaeneka ragaman itu ada.” kata Dharmadi.

Budaya lokal dan pendatang inilah yang mempengaruhi tolerasi di komunitas pecinan Semarang. Mereka lebih terbuka enerima perbedaan.

Kini, pasar imlek semawis menjadi kegiatan yang ditungggu menjelang tahun baru cina. Ketua Kopi Semawis, komunitas pecinan semarang untuk pariwisata, haryanto halim mengatakan,

”Yang menarik bahwa sekarang dengan adanya pasar imlek semawis ini, yang dulunya tidak pernah ke pecinan sekarang jadi pengen lihat pecinan. Bukan hanya kalangan non Tiong hoa yang pengen, yang Tiong hoa yang ga pernah ke pecinan jadi pengen ke pecinan. Tionghoa tidak semua ke pecinan. Karena buat mereka itu entitas yang tidak mereka kenal. Karena Tiong hoa itu juga beragam. Dengan diangkatnya pasar imlek semawis ini menjadi sesuatu yang menarik. Dan menarik lagi bahwa orang-orang Semarang yang sudah bermigrasi keluar kota yang dulunya ga pernah pulang sekarang saat imlekpun sekarang juga pengen pulang.”

Multi etnis berbaur dipasar itu. Pasar Imlek Semawis pun menjadi peristiwa budaya dan simbol kerukunan umat beragama.

-Non-

Menghilangnya Kesenian Kentrung

Publish on SAGA KBR68H Jakarta
23 Feb'10

Kentrung adalah seni bertutur khas wilayah Pantura Timur Jawa. Mulai dikenal sejak 1900-an, kentrung dimainkan oleh seorang dalang, diiringi tetabuhan rebana. Bercerita tentang kebajikan, yang dijadikan suri tauladan masyarakat. Namun kini kentrung menghadapi senjakala; kehilangan generasi penerus dan peminat. Kontributor KBR68H Noni Arni menelusuri jejak kentrung yang tersisa...

Setelah mengencangkan kulit dua rebananya, Parno Kodri meletakkan satu rebana di pangkuan. Satunya direbahkan di lantai. Lantas ia mulai menabuh, dengan jari dan tangan. Alunan suara rebana mengiringi cerita yang dituturkannya.

”Bunyi trung..tung..tung..tung dari alat musik rebana ini menjadi ciri khas kesenian kentrung. Bunyi in i sangat dominan sejak awal hingga akhir pertunjukan.”

Laki-laki usia 60 tahun ini duduk beralaskan karpet, di teras sebuah rumah. Penampilannya sederhana; kemeja lengan panjang dan sarung lusuh. Ia diundang sebagai dalang kentrung oleh empunya rumah yang sedang ada hajatan.

Malam itu Parno Kodri menyajikan cerita Aji Saka. Cerita soal kepahlawanan seorang ksatria yang jadi raja pertama di tanah Jawa.

Tak mudah menemukan pergelaran kentrung, meski dulu sangat populer di kalangan masyarakat. Ini kali kedua, sang empunya rumah, Ahyar Permana, menggelar pertunjukan kentrung.

"Saya pernah melihat kentrung ketika saya masih usia sekolah dasar. Di kampung saya di Pati itu beberapa orang suka kentrung. Ketika sekarang ini kentrung sudah tidak ada, saya merindukan kesenian kentrung. Karena kebetulan saya punya hajat, maka saya mengundang dalang kentrung yang masih tersisa, Generasi terakhir karena sesudah itu tidak ada lagi."

Kentrung adalah seni bertutur tradisional, perpaduan antara budaya Timur Tengah dan Jawa. Biasanya kentrung dihelat dalam acara pernikahan, syukuran atau sunatan.

Alat musik yang digunakan adalah rebana, sementara ceritanya berasal dari banyak sumber. Selain lakon babad tanah Jawa, bisa juga menggunakan cerita rakyat, hikayat nabi, cerita Wali Songo sampai kisah 1001 malam. Ada nilai-nilai kebaikan yang disampaikan lewat setiap cerita.

”Melihat esensinya sangat berkaitan dengan budaya Islam, ekspresinya yang pakai trebang. Cerita-cerita islam. Cara mendongeng itu, cara yang efektif mentransformasikan nilai, mentransmisikan nilai dari satu generasi ke generasi. Mereka adalah pentransmisi nilai di masyarakat itu. Di waktu itu fungsinya. Kentrung menjadi salah satu ikon yang dibutuhkan di masyarakat waktu itu." jelas Pemerhati seni kentrung Anis Sholeh Ba’asyin.

Kentrung dimainkan oleh seorang dalang. Pertunjukan berlangsung semalam suntuk.

Penonton kentrung dari dalang Parno Kodri itu malam hanya puluhan. Rata-rata usianya 40 tahun. Ada Ahmad, tetangga Ahyar di sana.

”Kalau nonton sudah pernah baru satu kali saja. Di desa saya di Gulungan kurang lebih sudah 10 tahun yang lalu. Hampir semalam. Jadi ceritanya satu cerita nanti selesai cerita yang lain. Bersambung-sambung. Istiahat nanti main lagi."

Sementara Sulihat, meski sudah berusia lebih separuh abad, baru sekali ini menonton kentrung.

”Katanya tradisional di daerah saya Pati, tapi belum pernah. Saya sendiri kurang paham, dulu di belakang rumah itu dulu pernah ”nanggap” itu istilahnya. Belum pernah nonton? Iya, Saya belum pernah ”blas”(belum pernah sama sekali). Dulu orang-orang tua saja yang bilang itu.”

Kalau yang tua saja baru sekali ini nonton kentrung, tak bisa banyak berharap seni bertutur tradisional ini populer di kalangan anak muda.

Parno Kodri, sang dalang kentrung, mengaku makin kekurangan order.
"Sekarang jarang diundang untuk mendalang kentrung. Hanya sesekali saja kalau kebetulan ada orang yang mempunyai hajat tertentu. Hanya kadangkala. Biasanya saya mendalang sampai Margojero, Bakaran, Bajo, Sluke, kemana-mana tapi masih di sekitar Pati saja. Jarang di tanggap, tidak seperti dulu lagi."

Gilasan roda jaman membuat kentrung terpinggirkan. Kalau tak segera diselamatkan, kesenian ini betul-betul bakal musnah.

Kontributor KBR68H Noni Arni menuju Desa Sadang, di Kudus, Jawa Tengah. Mencari Wiryo Sidi, satu dari dua dalang kentrung senior yang tersisa.

Terlambat. Wiryo meninggal sebulan lalu, di usia 102 tahun.

Perjalanan diteruskan ke rumah Kasriyono. Dalang kentrung berusia 86 tahun ini tengah bersantai di teras rumah sambil menghisap rokok kretek. Penampilannya masih bugar. Badannya masih tegap, raut mukanya cerah dan deretan gigi yang masih utuh.

Kematian Wiryo Sidi menjadi awal perbincangan kami.
"Lha itu habis pinjem golek saya karena dia ndak punya golek. Mau ada yang nanggap dia, terpaksa dia pinjem saya. Habis main 3 hari kemudian meninggal. Dia dulu punya golek katanya dijual. (Untuk apa mbah golek kok dijual?)..Saya sakit, golek saya jual untuk berobat... dah pinjem boleh..pinjem golek saya cuma pinjem 10 biji saja..Ya boleh berapa..ya sudah kuate mbah wiryo berapa..50 ribu ya..ya sudah bawa. Ya tinggal saya sendiri, di Kudus enggak ada lagi.”

Kasriyono awalnya adalah dalang wayang golek. Lantaran sepi order, ia menuruti nasihat Mbah Wawing, dalang kentrung yang populer di tahun 1940-an, untuk menjadi dalang kentrung. Ia lantas memadukan bunyi tetabuhan rebana dan aluanan lagu jawa dari kentrung dengan wayang golek yang terbuat dari kayu.

Kalau di Pati tinggal Kasriyono satu-satunya dalang kentrung yang tersisa, maka di Pati, Parno Kodri adalah dalang pamungkas.

”Dalang kentung sudah banyak yang meninggal, di sekitar wilayah Pati sekarang hanya saya.”

Parno sudah 30 tahun lebih merintis kehidupan sebagai dalang kentrung.
“Sudah lama sekali, keturunan dari bapak saya. Dulu sekitar tahun ’55 mulai menemani bapak saya mendalang sampai kemana-mana dan itu akhirnya menurun pada saya sampai sekarang. Saya tidak pernah latihan tapi langsung bisa karena dulu sering mengikuti bapak saya mendalang, lama-lama bisa sendiri. Saya kentrung keturunan.”

Yang tak menurun adalah rejeki jadi dalang kentrung.
”Sebulan bisa lima hingga enam kali jaman bapak saya, sekarang jarang karena banyak kesenian di TV, kaset-kaset tayub. Orang-orang lebih suka lihat itu. Sekarang jarang mendalang karena kalah dengan kesenian sekarang. Jaman dulu laris.”

Tak heran, Kasriyono lantas disibukkan dengan usaha tempat penitipan sepeda, ketimbang melakoni seni bertutur khas Pantura ini.

“Masih kalau ada yang nanggap. Setahun itu paling-paling ya 10 kali itu dah bagus. Sekarang ini sudah setengah tahun tidak ada yang ‘nanggap’. Kalau tahun 80-an itu 150 ribu, kemarin ini yang terakhir sejuta. Itu kan ga bisa untuk makan untuk nyandang. Ini penitipan sepeda untuk karyawan pabrik rokok, pemasukan hampir sama misalnya 60 ribu”

Pengamat kesenian kentrung Anis Sholeh Ba’asyin seolah memprediksi, kematian kentrung tinggal menunggu waktu.

”Lima jari saya ga habis apalagi yang maesto ga ada. Generasi terakhir yang menguasai betul yang ahli sudah habis, bahkan kalau Anda mendengarkan musiknya tanya yang pernah mendengarkan. Beda cara bermain musik mereka, cara mengekspresikan mereka beda sekarang, tampak sekali bahwa bukan tangan pertama, bukan ahlinya.”

Di Kudus, dalang kentrung tinggal Kasriyono. Di Pati tinggal Parno Kodri. Dan keduanya sudah tua.

Tak banyak pula anak muda yang tahu apa itu kentrung.

“Dulu di kampung sering kali orang menanggap dalang kentrung itu sering sekali. Sekarang hampir tidak ada. Bahkan sekarang kalau kita tanya usia di bawah saya sedikit, tanya kentrung itu apa ga tahu. Mereka ga punya referensi untuk itu bahkan banyak orang-orang di desa-desa ga tahu kentrung itu apa.”ungkap Anis Sholeh Ba'asyin.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kudus mengaku sudah mengupayakan pelestarian kentrung.
Menggelar Pertunjukan kentrung 2 bulan sekali di Taman Budaya Kudus, menyertakan dalam agenda budaya hingga menggelar pertunjukan kentrung di desa-desa. Tapi hasilnya nol, kata Kepala Seksi Seni Budaya dan Tradisi, dan Bahasa Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Giyono. Sepi dengan penonton.

“Perkembangannya mengalami kesulitan karena kami mencoba untuk mensosialisasikan. Seni kentrung itu kita pentaskan. Namun kenyataannya, masyarakat belum bisa menerima sehingga pelestariannya atau pewarisannya kepada generasi muda sampai saat ini belum bisa berjalan. Minat dari generasi muda untuk menggeluti seni kentrung ini masih sangat kurang bahkan malah tidak ada.”

Parno Kodri tak bisa mengharapkan keluarganya jadi penerus dalang kentrung di Pati.

”Kalau ada bisa turun temurun. Tapi anak saya perempuan dan kerja di Malaysia. Satunya lagi kerja di Juwana jadi tukang las di perusahaan. (Tidak ada yang ingin jadi dalang?) Tidak ada yang mau mengikuti jejak saya. Habis, sudah tidak ada lagi. (Di daerah bapak ada yang tertarik jadi dalang?)..Tidak ada.”

Mungkin kentrung tengah berhitung mundur. Sebelum benar-bentar punah karena tak ada yang melestarikannya.

”Tidak ada yang nerusin terus gimana? Ya mau gimana lagi, biarin saja. Kalau ada penggantinya bagus, tapi kalau ga ada ya mau gimana lagi. Ya..Nanti di lain desa pasti ada, di desa-desa lain pasti ada...” kata Parno Kodri pasrah.

-non-

Selasa, 16 Februari 2010

Melongok LP Nusakambangan

Radio International Jerman Deutsche Welle

Pulau Nusakambangan adalah sebuah pulau di Jawa Tengah yang lebih dikenal sebagai pulau penjara. Di pulau ini terdapat 7 Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas dengan standar pengamanan ketat yang dihuni 1600-an napi, yakni Lapas Pasir Putih, Batu, Permisan, Narkotika, Besi, Kembangkuning dan Lapas Terbuka.

Penghuninya narapidana berbagai jenis kejahatan dengan masa pidana cukup lama sampai hukuman seumur hidup dan terpidana mati. Saya Noni Arni mendapat kesempatan mengikuti rombongan Kementrian hukum dan HAM mengunjungi Nusakambangan dan melihat aktivitas para napi.

Menjangkau Pulau Nusakambangan kami harus menggunakan kapal Feri kecil dengan jarak tempuh 10 menit dari Pelabuhan Wijaya Pura Cilacap.
Siang itu, bersama rombongan kami langsung menuju Lapas Pasir Putih, yang terletak sekitar 15 kilometer dari dermaga Sodong Nusakambangan.

Dalam perjalanan, kami bertemu dengan Markus yang menjajakan hiasan batu akik hasil kerajinan tangannya kepada pengunjung. Ia adalah napi yang tengah menjalani masa asimilasi. Maksudnya, sudah menjalani dua pertiga masa hukuman sehingga boleh keluar tahanan dan tinggal di Lapas Terbuka.

"Bikin kayak gini agak lama. Satu hari dapet satu cincinnya, itu kalau ada alatnya. Ini juga menggali. Galinya di hutan sana di gunung. Ini dijual berapa? Ada yang 150ribu, ada yang 200. kalau yang ini 200 masih bisa di tawar. Uangnya buat apa? duitnya buat bantu anak dalam gitu, kurang sayur gitu, ada yang pengin jajanin ini ya saya kasih. tidak saya makan sendiri."jelas Markus.

Ketrampilan membuat kerajinan tangan batu akik seperti Markus, juga dipelajari napi lainnya. Kami menuju Lapas Pasir Putih.

Lapas pasir putih rapi dan sangat terawat . Lapas ini beroperasi sejak Juni 2007 dan dihuni 200-an napi. Lokasinya paling jauh diantara 6 lapas lain dan dianggap sebagai penjara paling ketat se-Indonesia. Pengamanannya 7 lapis. Dilengkapi dengan teropong X-Ray dan pengawasan video. Ada penjaga di tiap pintu masuk dan tembok kawat berduri 3 lapis mengelilingi bangunan.

Puluhan napi terlihat berada di luar sel, tengah istirahat dan ngobrol di sekitar halaman Masjid yang berada tepat di tengah bangunan Lapas.

Diantaranya Gunawan Santoso, Terpidana mati kasus pembunuhan Bos PT Aneka Sakti Bakti Asaba. Ia menceritakan keseharianny selama 1,5 tahun di Lapas Pasir Putih.

"Sini aktifitasnya sangat padet, kalau pagi kegiatan olah raga trus saya banyak di gereja hampir seminggu 4 sampe 5 kali lah ibadah. Setelah itu siang olah raga lagi. Sore saya dikasih kebiasaaan hobinya saya dikasih tugas beternak ikan, burung. Malem semua orang masuk sekitar jam 6. Full kegiatan,"ungkap Gunawan.

Tiap lapas di Nusakambangan memiliki bermacam fasilitas olah raga. Dari 7 lapas yang kami kunjungi, Lapas Pasir Putih, Batu, dan Narkotika menyediakan fasilitas olahraga lebih lengkap. Napi tinggal memilih, jenis olah raga yang disukai seperti tenis, bulutangkis, pingpong, atau sepak bola.

Selain fasilitas olahraga, semua Lapas juga dilengkapi dengan sarana ibadah dan televisi sebagai sarana informasi.

”Saya setiap hari pagi jam 4 bangun subuh setelah shalat subuh tidak tidur lagi , melakukan kebersihan masjid aja. Setelah itu shalat dhuha, ngaji sampai jam 9, istirahat, sambung shalat zhuhur. Pembagian tugas ada yang sapu, ngepel biasa saja. Ini inisiatif sendiri. Pagi siang seperti ini. Kami punya jemaah sekitar 40 orang bisa keluar malam Magrib sampai Isya. Setelah itu masuk kamar.

Beribadah menjadi cara untuk menghabiskan hari bagi Raden Ganda, napi narkotik asal Banten yang menjalani pidana 15 tahun. Begitu juga Suparman terpidana kasus pembunuhan yang divonis 15 tahun.

”Lagi sante-sante nuggu shalat. Aktifitasnya apa saja? Main voli main bola, pokoknya permainan. Kita cuman bersih-bersih masjid. Kalau ada kegiatan kursus bahasa inggris ikut-ikutan setiap hari Rabu. Buang-buang waktu supaya cepat sore cepat malem begitu."

Para napi juga dibekali berbagai ketrampilan seperti bengkel, ruang berkarya, dan lahan bercocok tanam. Kata Muhamad Aswan, napi lain dengan hukuman 10 tahun

”Ada macam-macam kadang kita di sini. Kita bikin jala, bikin mebel. Siapa yang ngajari?Ada dari luar. Kayak kita beternak lobster diajari dari luar. Tergantung kesenengan? Tergantung kesenengan masing-masing”

Menurut kepala Lapas Pasir Putih Sutrisman, pemberian fasilitas di semua lapas yang ada di Nusakambangan menjadi bagian dari program pembinaan napi, yakni pembinaan mental dan kemandirian.

”Kita ikuti kegiatan pembinaan mental dan kemandirian. Mental kita ada dari luar pelayanan dari gereja dan dari Basma dari Yayasan Pertamina untuk kegiatan keagamaan. Kemandirian ada pertukangan dan pertanian. Ada perikanan juga.”

Napi dibebaskan memilih ketrampilan yang disukai.

"Aktivitas ada kegiatan ketrampilan, pertukangan kayu misalnya bikin kapal-kapal mebeler, meja kursi dan sebagainya. Olah raga mulai dari futsal dan sepak bola, voli dan tenis meja. Kegiatan keagamaan baik yang islam maupun kristiani,semua ada. Juga hiburan. Ada buku-buku tapi terbatas. Banyak yang punya buku bacaan sendiri. Mereka banyak belajar, baca, tulis itu tidak masalah untuk mengisi waktu mereka. Banyak juga yang bikin lagu, "kata Dwi Haryanto kepala Lapas Permisan.

Para napi diperlakukan sama. Kepala Keamanan Lapas Pasir Putih Yudho Setiono mengatakan, tidak ada yang mendapat keistimewaan.

”Semua kita perlakukan sama.Saat ini masih persuasif, ketika kita tanya punya keluhan apa di tempat lain dia merasa tidak diperlakukan manusiawi. oke you punya bargaining seperti itu, you saya perlakukan manusiawi tapi jangan sekali-kali sentuh masalah kemanan, akan lebih menderita di tempat ini daripada tempat lain. Bargainingnya seperti itu."

Sesuai aturan, Napi dibebaskan beraktivitas mulai pukul 8 pagi hingga pukul 5 sore. Selebihnya, mereka menghabiskan waktunya di kamarnya.

”Kita tetap punya sentuhan yang manusiawi, bagaimanan dia itu savety kita juga savety. Ada keseimbangan antara pola pendekatan persuasif dengan pendekatan keamanan. Ada kesibukan Gunawan disana, misalnya dia punya kandang burung besar isinya banyak burung. Dia juga ngurusi beberapa kolam isinya ikan. Jadi kita kasih aktifitas tapi pemantauan tetep jalan terus 24 jam. Ga masalah kalau jam-jam tertentu kan.”

Meski ada kegiatan dan fasilitas, sebagian napi mengalami depresi. Mereka terutama napi warga negara asing yang sebagian divonis mati karena terlibat perdagangan narkotika. Mereka memilih mengurung diri di kamar tahanan dan enggan bersosialisasi.
Sebabnya, karena tidak pernah dikunjungi keluarga. Proses mengurus izin besuk tidak mudah.

”Kanwil tidak boleh bawa orang asing, orang Afrika kunjungan. Dari kanwil bisa jaminin orang Afrika kunjungan di sini susah, Harus minta surat. kalau di Jakarta tidak minta surat, tidak minta apa-apa. Cuman kalau di Nusakambangan itu minta surat,”Ungkap John Cukuj, napi asal Nigeria

Di Nusakambangan ada 87 napi warga asing dari 19 negara dengan berbagai macam pidana berat. Di sini pernah ditahan trio bom Bali Imam Samudra, Ali Ghufron dan Amrozi. Ada juga 3 warga Nigeria yang akhirnya menjalani eksekusi mati karena terlibat perdagangan Narkotika. Selain itu, raja kayu Bob Hasan dan Tommy Soeharto pernah menghabiskan masa tahanannya di Nusakambangan.

Sekarang ada 52 terpidana mati yang menunggu eksekusi. Mereka punya cara sendiri menjalani dan menghabiskan hari untuk melupakan hukumannya. Antara lain dengan berolahraga.

Nusakambangan Feb'10
Noni Arni

Kamis, 11 Februari 2010

Pengantin Lingkungan....

Publish on KBR68H Jakarta
8 Januari'10

Perayaan pernikahan tak harus dengan pesta dan kemewahan. Sebuah ritual kecil penuh makna yang menggabungkan seni dan kecintaan pada lingkungan, bisa menjadi pilihan. Kontibutor KBR68H Noni Arni, menyaksikan bagaimana pengantin Kreo Siningkir di Semarang, Jawa Tengah melakukannya

Suasana Desa Kandri, yang tenang berbeda dari biasanya. Siang itu terdengar tetabuhan gamelan barongan mengiringi sepasang pengantin yang membawa bibit pohon ditangan.

Mereka berjalan tanpa alas kaki sejauh lima ratus meter menyusuri jalan berlumpur menuju calon lokasi Waduk Jatibarang yang ada di kawasan obyek wisata Goa Kreo Gunungpati Semarang.

Puluhan pria berpakaian kera Hanoman dan Buto Pithi atau Raksasa Bangsawan, anak-anak, sesepuh kampung, dan tamu undangan mengiringi kedua mempelai.

Diresepsi pernikahan, pasangan pengantin Amanda Putri Nugrahanti dan Muhnur Karsono, berdiri dibawah terik matahari dikelilingi seratusan tamu yang datang diperhelatan sederhana itu. Pengantin hanya mengenakan kain batik semarangan yang melilit di tubuh.

”Dimas Munhur Putro Karsono dalasan sliramu Amanda Putri, tresnamu sak kororon dimas, tanda tresna Gusti marang sliramu. Cedakke sliramu marang bantolo iki, cedak koyo alam, cedak koyo ning bantolo tresnamu marang Gusti ngger ugo marang garwamu..”

Sejurus kemudian terdengar suara meluncur dari seorang seniman padepokan Kandang Gunung, ”menikahkan” kedua mempelai dengan syair doa untuk kelanggengan mereka diiringi lantunan tembang Asmaradana yang menceritakan tentang cinta dan kesetiaan pengantin.

”Gusti..namung panjenengan kulo nyuwun Gusti,penganten kekalih saget wilujeng, kebak anugerahan, kebah raos welas asih, kebah raos tresno. Mugo kasembadan sedyamu kamulyaning urip bisa kaleksanan, singneksen bumi pertiwi iki.”

Tubuh Pengantin kemudian dilumuri lumpur yang diambil disekitar lokasi proyek sebagai simbol pengingat bahwa manusia akan kembali ke perut bumi.

”e...ngantene teko..e.. nanduro klopo..e.. ngantene teko..yo nandur..buto dijak konco-kocomu rewondo nandur ning wetan kono.”

Kemudian Mas kawin berupa seribu bibit pohon buah dibagikan kepada semua yang hadir untuk ditanam di lokasi yang nantinya tak terendam air waduk, agar pohon buah itu bisa menghidupi ratusan kera liar di sana. Bibit pohon juga dibagikan sebagai sovenir.

“ehh.. Rewondo..Buto..iki ono perintah soko rojone awake dewe, rojo lemah. Ono perintah awakmu kudu nandur wit-witan mergo ndunyo kentean wit.”

Dalam prosesi pernikahan juga dimainkan teatrikal lakon ’Kreo Siningkir’. Lakon yang bercerita tentang keresahan dan tersingkirnya kera-kera liar di sekitar kawasan Goa Kreo karena kehilangan sumber pangan. Tempat hidup mereka akan berubah menjadi lokasi Waduk Jatibarang.

”Tulung karo nganten munggah buldoser ngeculke barang sing nyaris ra ono. Saiki tugasmu balikke keseimbangan Tulung alap-alap kae di culke sing wis suwe di openi uwong. Elang eling,.elang eling,elang..eling...hooo..

Prosesi puncaknya, dari atas buldoser di lokasi proyek, pasangan pengantin melepas elang jawa sebagai simbol keseimbangan alam.

Tamu undangan bergiliran memberi ucapan selamat dengan mengguyur lumpur di badan dan di kaki mempelai.

Resepsi pengantin Kreo Siningkir itu ditutup dengan jamuan makan hidangan khas desa dibawah pohon rindang. Gendar pecel , es dawet, aneka camilan dari ketela, dan buah rambutan hasil kebun warga.

Ide menggelar resepsi dikemukakan mempelai wanita, Amanda Putri.
”Kami memang menginginkan konsep yang sederhana dan ramah lingkungan dan ternyata itu di apresiasi positif temen-temen Kandang Gunung. Dan jadi semua meminimalkan sampah terutama sampah plastik .”

Ketertarikan dan kepekaan untuk mengusung isu –isu lingkungan dikehidupan kedua pengantin ini tidak terlepas dari keprihatinan terhadap kondisi lingkungan di kawasan Goa Kreo. Mempelai pria, Munhur Putra Karsono mengatakan alasannya.

”Pesan yang sangat bermakna yaitu kita harus melihat bahwa perubahan iklim yang sangat drastis . Kita akan menyampaikan bahwa kita minimal tidak merusak lingkugan, kita minimal bisa menyumbang pohon untuk menghasilkan oksigen.”

Perhelatan pernikahan yang digelar secara sederhana pernikahan di lokasi mega proyek milik pemerintah kota Semarang. Proyek program pengendali banjir dengan dana 1,7 trilyun rupiah hasil kerjasama dengan Japan Bank for In ternational Cooperation dan pemerintah pusat.

Novi, tamu undangan pun terkesan dengan resepsi pernikahan mereka.

” Memberikan inspirasi yang baik, kita bisa lebih cinta lingkungan karena ya dibuktikan dengan..ini dapet pohon, istilahnya buat sovenir ya..ini kan nanti buat penghijauan. Namanya pohon itu juga banyak manfaatnya.”

Sebuah acara resepsi pernikahan yang menginspirasi untuk menggali kearifan lokal dan keseimbangan alam.

Dan dari jauh terdengar sayub-sayub tetabuhan gamelan barongan menyeruak diantara suara buldoser dilokasi proyek

Laporan ini disusun kontributor KBR68H di Semarang, Noni Arni

Kamis, 24 Desember 2009

Ayo ke Q-Tha...

Bagaimana jika sekolah tak mempunyai aturan yang mengikat siswa ? di sekolah alternatif Qariyah Tayyibah semua proses belajar ditentukan berdasarkan hasil kesepakatan. Seperti apa pola pembelajaran sekolah yang punya segudang prestasi ini? kontributor KBR68H Noni Arni mengunjungi sekolah yang terletak di pinggiran Salatiga.

next instruction, pertama dicek sudahkah jumlahnya 7 masing-masing..tar lagi ngitung..aku sudah 6..ada siswa yang nyebutin mata pelajaran,..ga kumpul kelas..ini di dibawa pulang..kumpul aja nanti kalau ada yag sulit bisa tanya..saya anjurkankan ini dikerjakan di luar jam sibuk kalian...kalau sibuk terus gimana..aku ijin pulang..hari kamis di bawa.

Ahmad, pembimbing sekolah alternatif Qariyah Tayyibah membagikan soal Ujian Akhir Semester UAS untuk tujuh siswa kelas satu SMP.
Mereka duduk melingkar beralas tikar di ruangan yang disulap menjadi tempat belajar. Tidak nampak raut muka tegang, mereka justru asyik berdiskusi mengerjakan soal dari Dinas Pendidikan itu.

Para siswa juga bebas memainkan telepon genggam dan ngobrol dengan teman. Pemandangan ini tentu saja tidak akan ditemui pada sekolah formal.

”Mengerjakan soalnya bagaimana?..pasti beda beda. Mereka mau buka buku atau tanya temen atau tanya tetangga, bahkan ngawur saja juga silahkan. kesepakatan gimana? Semua boleh, terserah..kamu mo ngerjain gimana? liat buku,tanya.. Aku ga berusaha dulu kalau ga bisa baru tanya..yang paling antik adi, dia langsung komat kamit...hahaaa.”

Seperti Isma, mengerjakan soal UAS di rumah

”Kerjakan di rumah aja. kalau lagi pengen sama temen. Sudah buka soal..belum. dikasih buku ? cari di situ kalau di sini ga dikasi. Cari taunya? Bisa di internet , buku-buku situ. Penting ga tes ... ga penting.biasanya ga ada tes.. enggak pengaruh.”

Ahmad Darojat, pembimbing di sekolah alternatif Qariyah Tayyibah mengatakan, tidak mewajibkan siswanya ikut UAS maupun ujian nasional UN.

”Tadi saya bilang pada mereka pada prinsipnya ga punya tes macam ginani. Ini yang di minta dinas pendidikan biar kita bisa komunikasi terus dengan mereka kita jalankan ini. nilainya nya jelek atau baik ga ada pengaruhnya. Tinggal mereka kepentingannya dalam tes ini apa, kepentingan untuk berlatih ya dia akan berlatih. Kepentingannya hanya mengerjakan. matematika PPKN diajarkan? Ga diajarkan Yang penting bagaimana mereka mencarinya bukan mendapatkannya. ”

Kepala sekolah yang juga sebagai penggagas sekolah alternatif Qariyah Tayyibah, Achmad Bahrudin punya alasan kenapa membebaskan siswanya mengikuti ujian, baik UAS maupun UN.

”UU Sisdiknas menempatkan UN bukan syarat kelulusan sebenarnya. karena yang punya kewenangan meluluskan masing-masing sekolah. Selama ini ujian nasional menyimpang dari undang-undang Karena disebut bukan satu-satunya syarat, berarti boleh tidak ikut UN. Kita coba praktekkan itu. Kita tidak berani melanggar undang-undang. Ketika anak suka di dunia teater, drama ternyata tidak di apresied. hanya ikut-ikutan karena ”ngemong” orang tua. Apa yang mereka minati betul itu tidak mau di ganggu oleh UN. Sehingga UN dianggap biasa-biasa saja.”

Kata Bahrudin, ujian tidak bisa mengukur dan menfasilitasi perkembangan anak yang punya minat di bidang lain. Contohnya, Alex Arida siswa Madrasah Aliyah Negeri di Kabupaten Semarang yang tak lulus UN. Padahal, ia finalis olimpiade fisika.

Bahkan siswa Qariyah Tayyibah Fina Af'idatussofa dan 2 temannya mengkritik pelaksanaan UN dalam buku yang sudah di terbitkan berjudul ”Lebih Asyik Tanpa UAN”. Dalam bukunya mereka menulis bahwa UN hanya membatasi kemampuan dan perkembangan siswa.

Bahrudin mengakui metode belajar yang di terapkan di sekolah ini sangat berbeda.

"Ketika di desanya ada persoalan tentang alat produksi anak-anak akhirnya belajar tentang land reform. Tidak ada di SMP SMA se Indonesia bahkan se-dunia yang anak sekecil itu bisa membuat kajian land reform. Masalah itu ternyata bisa menjadi resource pembelajaran. apalagi potensi natural resources yang ada di desa ini, ada kebun, ada sawah dan serangkaian permasalahannya. Jadi model pembelajaran yang orang nyebut ”sak karepe dewe” terus dengan sarana yang sangat terbatas, gedung ga ada, kita gunakan cara berpikir mandiri, kita manfaatkan apa yang ada ternyata tonggak awal membangun kretivitas anak, anak di beri kepercayaan untuk menentukan sesuai dengan dirinya,sehingga daya kreasi,inovasi, imajinasi justru berkembang.”

Membebaskan dan memberi kepercayaan kepada siswa menjadi kunci keberhasilan.

”Semakin total membebaskan pada anak, mau apapun yang penting bukan tindak kriminal. Kita selalu dukung.tiba-tiba si anak ingin bikin film. Keinginan apapun. Lebih kayak kegemaran seperti film, musik ada juga yang suka di matematika.”

Ali Muntoha, salah seorang pembimbing sekolah menambahkan tidak ada istilah guru di sekolah ini, tapi teman belajar.

”harus belajar dengan anak-anak kita cari tahu bareng-bareng. jadi kita kayak tim, malah melengkapi. Mereka butuh kita untuk nemeni ketika mereka belajar ya kita upayakan untuk siap. Mereka ya cari buku-buku sendiri dari temennya yang sekolah di luar, kadang belajar sendiri. Butuh kita temeni.. ya kita temeni belajar bareng. Misalnya kita ke sawah belajar kodok, kita teliti kenapa kok kulit kodok selalu basah ya dah kita cari bareng-bareng. Timbul kritis mereka untuk lebih tahu.”

Pada awalnya, Qariyah Tayibah berdiri sebagai bentuk keprihatinan Bahrudin terhadap mahalnya biaya pendidikan. Sekolah alternatif ini menampung anak desa Kalibening Salatiga yang tidak mampu melanjutkan SMP. Sekolah yang mengajarkan kesederhanaan ini memanfaatkan rumah milik Bahrudin sebagai ruang belajar, lingkungan sekitar dan koneksi internet 24 jam sebagai sarana belajar dan pusat informasi. Komputer yang mereka gunakan untuk mengakses internet didapat dari hasil menabung siswa. Biaya operasionalnya ditopang dari sumbangan sukarela dari orang tua siswa.

Pendamping tidak pernah memaksa keinginan siswa. Seperti kata Isma
Dah belajar apa aja?.. Ganti-ganti kalau males. Ga ada yang di wajibkan. Kalau sekarang pengen belajar IPA.
Tergantung moodnya. Belajarnya terkadang di rumah, belajar bersama, di masjid. Kalau ga ngerti tanya orang lain. Kalau bahasa inggris wajib, ada pendampingnya. Kumpul kelas ngobrol-ngobrol. Kalau ga masuk kelas? pernah maen-maen di kali kalau ketemu ijin ga kumpul kelas kalau di tanya terus di denda 5 ribu kesepakatan kelas.”

Penilik Pendidikan Non Formal pada Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Salatiga, Niken Widagdarini menjelaskan, Qariyah Tayyibah memilih tetap mengikuti ketentuan dari Diknas.

”Tetep ada tes semester, ada UN. Terserah anaknya mau ikut UN atau tidak. Kami menyarankan cuman kita harus mengingat akan kepentingan anak. Saat ini anak belum membutuhkan ijasah misalnya tetapi suatu saat ketika terjun ke masyarakat kan legal formal untuk ijasah kan tetap di perlukan. kita hanya ”jagani” anak-anak itu ketika suatu saat terjun di masyarakat butuh satu pekerjaan yang membutuhkan persyaratan tertentu itu dia punya.”

Sejak 5 tahun terakhir, Qariyah Tayyibah keluar dari sistem SMP Terbuka dan beralih menjadi komunitas belajar, di bawah pengawasan Direktorat Jendral Pendidikan non formal. Berubah status karena dianggap lebih fleksibel.Salah satunya tak mewajibkan siswanya mengikuti ujian.

Catatan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah menyebutkan, tiap tahun puluhan ribu siswa tak lulus UN. Tahun 2008 saja, dari total 400 ribuan siswa yang mengikuti UN, 56 ribu lebih siswa tidak lulus. Padahal mereka berasal dari sekolah formal dengan aturan ketat dan kurikulum padat.

Bagi Maia Rosyida, sekolah alternatif Qariyah Tayyibah dianggap tempat menyenangkan untuk belajar dibandingkan sekolah formal. Ia bebas mengembangkan bakat dan kemampuannya. Meski tak memiliki ijasah resmi, ia tetap memiliki prestasi.

”Dulu aku dah mo naik kelas 2 SMA cuman dah ga tahan kalau di konvensional aku ga bisa matematika aku di bilang goblok padahal aku kan bisa nulis novel contohnya. Di bilang goblok aku down terus akhirnya aku putuskan untuk gabung di sini. Waktu itu belum ada SMA nya, ya udah aku turun aja 2 tahun, ga papa. Ga masalah itu nya toh sampai sekarang aku juga masih belajar terus. Kalau di tanya kok ga lulus biarin aja kan belajar terus. Orang tuaku sama sepemikiran. Kayak Einstain belajar dari pamannya, Edison belajar dari ibunya. Sekolah itu ga terbatas bisa siapapun.”

Pengakuan Maia Rosyida, alumni sekolah alternatif Qariyah Tayyibah yang kini menjadi penulis novel.

Sebagian besar Novel karya Maia bercerita tentang dunia pendidikan diantaranya ”Sekolahku Bukan Sekolah”, ” Ekspresi” dan Tarian Cinta”. Ia bertemu tokoh idolanya bekas Presiden Abdurrahman Wahid lewat bukunya berjudul ” Gus Dur Asyik Gitu Loh”.

Maia telah menulis 20 novel, menjadi sutradara film pendek dan berkeliling Indonesia. Kini ia bersama teman se-angkatannya mendirikan Virtual University yang di beri nama Universitas Kehidupan. Tempat belajar dan diskusi lewat dunia maya.

”Mereka masih melihat bahwa kita nongkrong. Padahal dari Nongkrong kita dapat ide. Sekarang bikin universitas. Kebetulan kami angkatan ke tujuh pisah, ada yang di Bandung, di Jobang Pesantren,Solo, Semarang. Pisah, kita bukan sekolahan konvensioanal. Lulus pisah sama temen tidak ada gerakan. Ini kan semacam gerakan revolusi. Akhirnya kita usul namanya UK, Universitas Kehidupan (bacanya UK biar kayak United Kingdom). Biar bersatu kita sepakati dengan online. Persentasi lewat internet. Kita persentasi tentang satu hal.”

Tidak hanya Maia, siswa sekolah ini mempunyai segudang prestasi. Dari juara karya tulis online se-kota Salatiga, lomba karya ilmiah tingkat Jawa Tengah, hingga Winda yang menjadi atlet kejuaraan nasional wushu junior.
Puluhan keping video lagu, film pendek, dan buku cerpen hasil karya mereka juga terpajang di rak sekolah mereka.

Tapi Kepala sekolah alternatif Qariyah Tayyibah Bahrudin punya cara sendiri menilai prestasi siswanya.

”Tidak punya ukuran jelas tentang prestasi. Bagi kami ketika anak menemukan dirinya itu ya prestasi puncak, meski menemukan dirinya dengan kekurangannya. Tidak harus dalam wujud karya. Tidak perlu di tuntut untuk dalam tanda kutip berprestasi, apalagi prestasi itu mendapatkan nilai bagus atas evaluasi yang dilakukan orang lain. Itu sudah bertolak belakang. Kalau tadi menemukan itu sebenarnya diri kemampuan mengevaluasi diri.”

Anak-anak berniat sekolah di Qariyah Tayyibah karena ingin melepaskan diri dari aturan mengikat yang dapat membelenggu kreativitasnya.

Binar Al-Kautsar siswa dari Bangka Belitung, meninggalkan Sekolah Internasional di kampung halamannya. Begitu juga Isma

„ Kalau di sana bangun jam 7 pagi terpaksa kalau disini mau ga… .kadang bagun jam 9, jam 11. Jarang.. Paling ikutnya forum, kelas Senin saja. tergantung kelasnya mau kumpul atau tidak. Di sini free.”

”Pengen suasana yang beda. Kalau lagi males belajar ga usah belajar ga papa. Kalau di formal kan di suruh-suruh gitu kayak wajib. Awalnya sudah daftar di MTS, kayaknya asyik sini. Sebelumnya dah datang kesini. Temenmu komentar apa? Asyik ya sekolah di situ.”

Een siswa asal Bengkulu juga merasakan hal serupa

“Pengen bebas dari peraturan kelas-kelas aja. Disini bebas jadi kita bakan enak gitu lho. kalau keluarga besar juga langsung dukung aja soalnya pamanku sudah pernah kesini pernah lihat kondisinya jadi setuju aja. Jadi disini bebas kalau kita butuh ya kita cari kalau ga butuh ya ga usah. Itu yang bikin aku seneng di sini.“

Orang tua pun yakin dan menyerahkan sepenuhnya pola pembelajaran anaknya pada Qariyah Tayibah, seperti Ridwan

“Saya mantap bahwa pola pembelajaran di Qariyah Tayibah, sangat cocok untuk mengembangkan potensi anak. Dia mau tahu apa saja proses itu dia lakukan apa saja. Memberikan ruang pada anak untuk berkarya,

Pemerhati pendidikan Naswil Idris mengakui konsep pembelajaran di Qariyah Tayyibah sebagai embrio model sekolah yang berhasil. Sekolah alternatif patut mendapat apresiasi

”Melihat nilai mata pelajaran yang diujikan Diknas hasilnya sangat baik, rahasianya mereka bisa mengunakan fasilitas di internet dengan baik. Mereka bisa mengeksplorasi bahan-bahan itudi internet. Murid dihargai sistem sekolah ini dan guru juga di beri kebebasani untuk mencari bahan-bahan di internet.”

Model sekolah ini kata Naswil, sebenarnya bisa di terapkan di sekolah lain.

Lingkungan dan proses belajar dengan suasana menyenangkan menjadi hal yang paling di inginkan semua anak. Dengan begitu, mereka tetap dapat berprestasi.Dimanapun mereka sekolah.