Bagaimana jika sekolah tak mempunyai aturan yang mengikat siswa ? di sekolah alternatif Qariyah Tayyibah semua proses belajar ditentukan berdasarkan hasil kesepakatan. Seperti apa pola pembelajaran sekolah yang punya segudang prestasi ini? kontributor KBR68H Noni Arni mengunjungi sekolah yang terletak di pinggiran Salatiga.
next instruction, pertama dicek sudahkah jumlahnya 7 masing-masing..tar lagi ngitung..aku sudah 6..ada siswa yang nyebutin mata pelajaran,..ga kumpul kelas..ini di dibawa pulang..kumpul aja nanti kalau ada yag sulit bisa tanya..saya anjurkankan ini dikerjakan di luar jam sibuk kalian...kalau sibuk terus gimana..aku ijin pulang..hari kamis di bawa.
Ahmad, pembimbing sekolah alternatif Qariyah Tayyibah membagikan soal Ujian Akhir Semester UAS untuk tujuh siswa kelas satu SMP.
Mereka duduk melingkar beralas tikar di ruangan yang disulap menjadi tempat belajar. Tidak nampak raut muka tegang, mereka justru asyik berdiskusi mengerjakan soal dari Dinas Pendidikan itu.
Para siswa juga bebas memainkan telepon genggam dan ngobrol dengan teman. Pemandangan ini tentu saja tidak akan ditemui pada sekolah formal.
”Mengerjakan soalnya bagaimana?..pasti beda beda. Mereka mau buka buku atau tanya temen atau tanya tetangga, bahkan ngawur saja juga silahkan. kesepakatan gimana? Semua boleh, terserah..kamu mo ngerjain gimana? liat buku,tanya.. Aku ga berusaha dulu kalau ga bisa baru tanya..yang paling antik adi, dia langsung komat kamit...hahaaa.”
Seperti Isma, mengerjakan soal UAS di rumah
”Kerjakan di rumah aja. kalau lagi pengen sama temen. Sudah buka soal..belum. dikasih buku ? cari di situ kalau di sini ga dikasi. Cari taunya? Bisa di internet , buku-buku situ. Penting ga tes ... ga penting.biasanya ga ada tes.. enggak pengaruh.”
Ahmad Darojat, pembimbing di sekolah alternatif Qariyah Tayyibah mengatakan, tidak mewajibkan siswanya ikut UAS maupun ujian nasional UN.
”Tadi saya bilang pada mereka pada prinsipnya ga punya tes macam ginani. Ini yang di minta dinas pendidikan biar kita bisa komunikasi terus dengan mereka kita jalankan ini. nilainya nya jelek atau baik ga ada pengaruhnya. Tinggal mereka kepentingannya dalam tes ini apa, kepentingan untuk berlatih ya dia akan berlatih. Kepentingannya hanya mengerjakan. matematika PPKN diajarkan? Ga diajarkan Yang penting bagaimana mereka mencarinya bukan mendapatkannya. ”
Kepala sekolah yang juga sebagai penggagas sekolah alternatif Qariyah Tayyibah, Achmad Bahrudin punya alasan kenapa membebaskan siswanya mengikuti ujian, baik UAS maupun UN.
”UU Sisdiknas menempatkan UN bukan syarat kelulusan sebenarnya. karena yang punya kewenangan meluluskan masing-masing sekolah. Selama ini ujian nasional menyimpang dari undang-undang Karena disebut bukan satu-satunya syarat, berarti boleh tidak ikut UN. Kita coba praktekkan itu. Kita tidak berani melanggar undang-undang. Ketika anak suka di dunia teater, drama ternyata tidak di apresied. hanya ikut-ikutan karena ”ngemong” orang tua. Apa yang mereka minati betul itu tidak mau di ganggu oleh UN. Sehingga UN dianggap biasa-biasa saja.”
Kata Bahrudin, ujian tidak bisa mengukur dan menfasilitasi perkembangan anak yang punya minat di bidang lain. Contohnya, Alex Arida siswa Madrasah Aliyah Negeri di Kabupaten Semarang yang tak lulus UN. Padahal, ia finalis olimpiade fisika.
Bahkan siswa Qariyah Tayyibah Fina Af'idatussofa dan 2 temannya mengkritik pelaksanaan UN dalam buku yang sudah di terbitkan berjudul ”Lebih Asyik Tanpa UAN”. Dalam bukunya mereka menulis bahwa UN hanya membatasi kemampuan dan perkembangan siswa.
Bahrudin mengakui metode belajar yang di terapkan di sekolah ini sangat berbeda.
"Ketika di desanya ada persoalan tentang alat produksi anak-anak akhirnya belajar tentang land reform. Tidak ada di SMP SMA se Indonesia bahkan se-dunia yang anak sekecil itu bisa membuat kajian land reform. Masalah itu ternyata bisa menjadi resource pembelajaran. apalagi potensi natural resources yang ada di desa ini, ada kebun, ada sawah dan serangkaian permasalahannya. Jadi model pembelajaran yang orang nyebut ”sak karepe dewe” terus dengan sarana yang sangat terbatas, gedung ga ada, kita gunakan cara berpikir mandiri, kita manfaatkan apa yang ada ternyata tonggak awal membangun kretivitas anak, anak di beri kepercayaan untuk menentukan sesuai dengan dirinya,sehingga daya kreasi,inovasi, imajinasi justru berkembang.”
Membebaskan dan memberi kepercayaan kepada siswa menjadi kunci keberhasilan.
”Semakin total membebaskan pada anak, mau apapun yang penting bukan tindak kriminal. Kita selalu dukung.tiba-tiba si anak ingin bikin film. Keinginan apapun. Lebih kayak kegemaran seperti film, musik ada juga yang suka di matematika.”
Ali Muntoha, salah seorang pembimbing sekolah menambahkan tidak ada istilah guru di sekolah ini, tapi teman belajar.
”harus belajar dengan anak-anak kita cari tahu bareng-bareng. jadi kita kayak tim, malah melengkapi. Mereka butuh kita untuk nemeni ketika mereka belajar ya kita upayakan untuk siap. Mereka ya cari buku-buku sendiri dari temennya yang sekolah di luar, kadang belajar sendiri. Butuh kita temeni.. ya kita temeni belajar bareng. Misalnya kita ke sawah belajar kodok, kita teliti kenapa kok kulit kodok selalu basah ya dah kita cari bareng-bareng. Timbul kritis mereka untuk lebih tahu.”
Pada awalnya, Qariyah Tayibah berdiri sebagai bentuk keprihatinan Bahrudin terhadap mahalnya biaya pendidikan. Sekolah alternatif ini menampung anak desa Kalibening Salatiga yang tidak mampu melanjutkan SMP. Sekolah yang mengajarkan kesederhanaan ini memanfaatkan rumah milik Bahrudin sebagai ruang belajar, lingkungan sekitar dan koneksi internet 24 jam sebagai sarana belajar dan pusat informasi. Komputer yang mereka gunakan untuk mengakses internet didapat dari hasil menabung siswa. Biaya operasionalnya ditopang dari sumbangan sukarela dari orang tua siswa.
Pendamping tidak pernah memaksa keinginan siswa. Seperti kata Isma
Dah belajar apa aja?.. Ganti-ganti kalau males. Ga ada yang di wajibkan. Kalau sekarang pengen belajar IPA.
Tergantung moodnya. Belajarnya terkadang di rumah, belajar bersama, di masjid. Kalau ga ngerti tanya orang lain. Kalau bahasa inggris wajib, ada pendampingnya. Kumpul kelas ngobrol-ngobrol. Kalau ga masuk kelas? pernah maen-maen di kali kalau ketemu ijin ga kumpul kelas kalau di tanya terus di denda 5 ribu kesepakatan kelas.”
Penilik Pendidikan Non Formal pada Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Salatiga, Niken Widagdarini menjelaskan, Qariyah Tayyibah memilih tetap mengikuti ketentuan dari Diknas.
”Tetep ada tes semester, ada UN. Terserah anaknya mau ikut UN atau tidak. Kami menyarankan cuman kita harus mengingat akan kepentingan anak. Saat ini anak belum membutuhkan ijasah misalnya tetapi suatu saat ketika terjun ke masyarakat kan legal formal untuk ijasah kan tetap di perlukan. kita hanya ”jagani” anak-anak itu ketika suatu saat terjun di masyarakat butuh satu pekerjaan yang membutuhkan persyaratan tertentu itu dia punya.”
Sejak 5 tahun terakhir, Qariyah Tayyibah keluar dari sistem SMP Terbuka dan beralih menjadi komunitas belajar, di bawah pengawasan Direktorat Jendral Pendidikan non formal. Berubah status karena dianggap lebih fleksibel.Salah satunya tak mewajibkan siswanya mengikuti ujian.
Catatan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah menyebutkan, tiap tahun puluhan ribu siswa tak lulus UN. Tahun 2008 saja, dari total 400 ribuan siswa yang mengikuti UN, 56 ribu lebih siswa tidak lulus. Padahal mereka berasal dari sekolah formal dengan aturan ketat dan kurikulum padat.
Bagi Maia Rosyida, sekolah alternatif Qariyah Tayyibah dianggap tempat menyenangkan untuk belajar dibandingkan sekolah formal. Ia bebas mengembangkan bakat dan kemampuannya. Meski tak memiliki ijasah resmi, ia tetap memiliki prestasi.
”Dulu aku dah mo naik kelas 2 SMA cuman dah ga tahan kalau di konvensional aku ga bisa matematika aku di bilang goblok padahal aku kan bisa nulis novel contohnya. Di bilang goblok aku down terus akhirnya aku putuskan untuk gabung di sini. Waktu itu belum ada SMA nya, ya udah aku turun aja 2 tahun, ga papa. Ga masalah itu nya toh sampai sekarang aku juga masih belajar terus. Kalau di tanya kok ga lulus biarin aja kan belajar terus. Orang tuaku sama sepemikiran. Kayak Einstain belajar dari pamannya, Edison belajar dari ibunya. Sekolah itu ga terbatas bisa siapapun.”
Pengakuan Maia Rosyida, alumni sekolah alternatif Qariyah Tayyibah yang kini menjadi penulis novel.
Sebagian besar Novel karya Maia bercerita tentang dunia pendidikan diantaranya ”Sekolahku Bukan Sekolah”, ” Ekspresi” dan Tarian Cinta”. Ia bertemu tokoh idolanya bekas Presiden Abdurrahman Wahid lewat bukunya berjudul ” Gus Dur Asyik Gitu Loh”.
Maia telah menulis 20 novel, menjadi sutradara film pendek dan berkeliling Indonesia. Kini ia bersama teman se-angkatannya mendirikan Virtual University yang di beri nama Universitas Kehidupan. Tempat belajar dan diskusi lewat dunia maya.
”Mereka masih melihat bahwa kita nongkrong. Padahal dari Nongkrong kita dapat ide. Sekarang bikin universitas. Kebetulan kami angkatan ke tujuh pisah, ada yang di Bandung, di Jobang Pesantren,Solo, Semarang. Pisah, kita bukan sekolahan konvensioanal. Lulus pisah sama temen tidak ada gerakan. Ini kan semacam gerakan revolusi. Akhirnya kita usul namanya UK, Universitas Kehidupan (bacanya UK biar kayak United Kingdom). Biar bersatu kita sepakati dengan online. Persentasi lewat internet. Kita persentasi tentang satu hal.”
Tidak hanya Maia, siswa sekolah ini mempunyai segudang prestasi. Dari juara karya tulis online se-kota Salatiga, lomba karya ilmiah tingkat Jawa Tengah, hingga Winda yang menjadi atlet kejuaraan nasional wushu junior.
Puluhan keping video lagu, film pendek, dan buku cerpen hasil karya mereka juga terpajang di rak sekolah mereka.
Tapi Kepala sekolah alternatif Qariyah Tayyibah Bahrudin punya cara sendiri menilai prestasi siswanya.
”Tidak punya ukuran jelas tentang prestasi. Bagi kami ketika anak menemukan dirinya itu ya prestasi puncak, meski menemukan dirinya dengan kekurangannya. Tidak harus dalam wujud karya. Tidak perlu di tuntut untuk dalam tanda kutip berprestasi, apalagi prestasi itu mendapatkan nilai bagus atas evaluasi yang dilakukan orang lain. Itu sudah bertolak belakang. Kalau tadi menemukan itu sebenarnya diri kemampuan mengevaluasi diri.”
Anak-anak berniat sekolah di Qariyah Tayyibah karena ingin melepaskan diri dari aturan mengikat yang dapat membelenggu kreativitasnya.
Binar Al-Kautsar siswa dari Bangka Belitung, meninggalkan Sekolah Internasional di kampung halamannya. Begitu juga Isma
„ Kalau di sana bangun jam 7 pagi terpaksa kalau disini mau ga… .kadang bagun jam 9, jam 11. Jarang.. Paling ikutnya forum, kelas Senin saja. tergantung kelasnya mau kumpul atau tidak. Di sini free.”
”Pengen suasana yang beda. Kalau lagi males belajar ga usah belajar ga papa. Kalau di formal kan di suruh-suruh gitu kayak wajib. Awalnya sudah daftar di MTS, kayaknya asyik sini. Sebelumnya dah datang kesini. Temenmu komentar apa? Asyik ya sekolah di situ.”
Een siswa asal Bengkulu juga merasakan hal serupa
“Pengen bebas dari peraturan kelas-kelas aja. Disini bebas jadi kita bakan enak gitu lho. kalau keluarga besar juga langsung dukung aja soalnya pamanku sudah pernah kesini pernah lihat kondisinya jadi setuju aja. Jadi disini bebas kalau kita butuh ya kita cari kalau ga butuh ya ga usah. Itu yang bikin aku seneng di sini.“
Orang tua pun yakin dan menyerahkan sepenuhnya pola pembelajaran anaknya pada Qariyah Tayibah, seperti Ridwan
“Saya mantap bahwa pola pembelajaran di Qariyah Tayibah, sangat cocok untuk mengembangkan potensi anak. Dia mau tahu apa saja proses itu dia lakukan apa saja. Memberikan ruang pada anak untuk berkarya,
Pemerhati pendidikan Naswil Idris mengakui konsep pembelajaran di Qariyah Tayyibah sebagai embrio model sekolah yang berhasil. Sekolah alternatif patut mendapat apresiasi
”Melihat nilai mata pelajaran yang diujikan Diknas hasilnya sangat baik, rahasianya mereka bisa mengunakan fasilitas di internet dengan baik. Mereka bisa mengeksplorasi bahan-bahan itudi internet. Murid dihargai sistem sekolah ini dan guru juga di beri kebebasani untuk mencari bahan-bahan di internet.”
Model sekolah ini kata Naswil, sebenarnya bisa di terapkan di sekolah lain.
Lingkungan dan proses belajar dengan suasana menyenangkan menjadi hal yang paling di inginkan semua anak. Dengan begitu, mereka tetap dapat berprestasi.Dimanapun mereka sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar