Pages

Kamis, 24 Desember 2009

Mekanisme REDD akan kuasai hutan Indonesia

Jelang KTT Perubahan Iklim ke -15 Copenhagen

Sejumlah organisasi gerakan lingkungan hidup mengecam kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan negara maju terhadap projek skema pengurangan emisi dari pencegahan penggundulan dan perusakan hutan atau REDD di Indonesia. Salah satunya rencana pemerintah Indonesia dengan Australia dalam mekanisme jual beli karbon melalui program Kalimantan Forest and Climate Parthnership (KFCP). Dalam program tersebut pemerintah Australia menyiapkan anggaran 30 juta dolar Australia, untuk menyewa 100 ribu hektar hutan penyerap karbon selama 4 tahun.

Kecaman terhadap proyek kerjasama pemerintah Indonesia dan negara maju dalam bidang skema pengurangan emisi dari pencegahan penggundulan dan perusakan hutan atau REDD ini dihembuskan, menyusul adanya laporan tentang project REDD yang disinyalir hanya untuk memenuhi tujuan jual beli karbon dengan harga murah, tanpa perlu mengurangi aktivitas industri Australia yang mencemari bumi.

Kepala Departemen Kampanye Walhi Teguh Surya menilai Skema REDD akan memicu konflik agraria dan pelanggaran HAM.

”Kalau melihat kebijakan tentang REDD kecil sekali pengakuan kawasan adat itu memiliki akses dan kontrol sumber daya alam dan memiliki hak untuk memutuskan itu. bahkan bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Jadi ini berimplikasi pada konflik. Hal lainnya Kalau berbicara status legal kepemilikan lahan sampai hari ini yang memiliki adalah perusahaan-perusahaan besar , maka dapat di yakini hanya perusahaan besar yang bisa mengambil keuntungan dari proses ini. Terlepas ada REDD atau tidak akui secara tegas dalam kebijakan nasional secara legal formal hak kepemilikan hak masyarakat adat dan masyarakat lokal atas sumber daya alam. kedua selesaikan konflik-konflik agraria yang terjadi selama ini. Dan kemudian di hitung ulang potensi sumber daya alam indonesia, itu yag harus dilakukan. Jika tidak ga akan merubah apa-apa.”

Selain itu, menurutnya penerapan mekanisme offset untuk mengurangi emisi karbon hanya akan menempatkan Indonesia sebagai “toilet karbon” penampung limbah emisi industri negara maju.

Penolakan skema REDD juga dilakukan Serikat Petani Indonesia. Mereka meminta pemerintah lebih mengedepankan konsep pertanian berkelanjutan yang mengutamakan kepentingan pangan lokal dan nasional di bandingkan kepentingan eksport import lebih di prioritaskan, karena konsep ini mampu mengurangi emisi hinga 50 persen gas rumah kaca. Menurut Staf Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia Elisha Kartini, mekanisme jual beli karbon justru berpotensi meningkatkan perampasan lahan milik warga.

"Land lock suatu kawasan di tutup karena hanya sebagai areal penyerapan karbon saja. Dan hasilnya di hitung sebagai pengurangan emisi yang dilakukan negara yang memiliki konsesi terhadap kawasan itu. Jadi Australia, Inggris mengatakan kami sudah melakuakn pengurangan sekian juta ton melalui skema REDD ini. Dan kami melihat juga sebagai bentuk perampasan teritori bagaimana kawasan hutan di Indonesia sudah di kapling-kapling dan di serahkan di kelola untuk penyerapan karbon bagi negara-negara maju sementara di dalam negaranya mereka sendiri mereka tidak mau sama sekali melakukan penurunan emisi baik dari industri , gaya hidup mereka yang konsumtif dan boros energi.”

Hingga saat ini ada tujuh negara yang memberikan sokongan dana untuk REDD di Indonesia yaitu Australia, Norwegia, Jerman, Inggris, dan Korea Selatan sedangkan dua negara yang memberikan pinjaman lunak yaitu Jepang dan Perancis.

Di Indonesia terdapat 21 proyek REDD baik dalam bentuk sukarela maupun proyek utama yang mencakup kawasan seluas 26,6 juta hektar dengan melibatkan dana hingga 6,3 miliar dollar amerika serikat.

Noni Aernee
Deutsche Welle/ Indonesia preoggrame

Tidak ada komentar: