Pages

Kamis, 24 Desember 2009

Bikin film kampung...kenapa tidak???

Komunitas kampung film Ungaran Semarang, sebuah kampung yang warganya aktif membuat film pendek. Dengan semboyan “jadilah pemain, jangan hanya jadi penonton”, Komunitas ini muncul sebagai sarana hiburan alternatif dan edukasi warga agar kreatif. Seperti apa aktivitas mereka, Kontributor KBR 68H Noni Arni ikut menyaksikan pembuatan film pendek yang sering disebut sebagai film kampung ini.

*****

Pak Budi tengah asyik memunguti ikan di sungai yang telah di racun sebelumnya, meski Feri dan anak-anak lainnya yang tengah memancing protes dengan ulahnya.Pak budi tetap tak perduli.

Adegan syuting film berjudul ”memancing di air keruh, Balada iwak kali” bukan syuting kejar tayang artis ibukota. Pemain adalah Budi dan anak-anak kampung Bulusari Ungaran Semarang. Aksi mereka pun tak kalah dengan para aktris film komersil di layar kaca.
Film yang bercerita tentang pentingnya memelihara lingkungan ini adalah salah satu dari puluhan film pendek garapan komunitas kampung film yang Lahir 5 tahun lalu.

Pembuatan film dilakukan dengan suasana santai penuh canda tawa, hanya berbekal kamera dan kaset mini DV jadilah film cerita berdurasi 10 menit, dengan waktu pengambilan gambar tidak lebih dari satu hari.
Kru tetap yang membesut setiap produksi film ini adalah Yusro, anaknya dan warga kampung. Meski nol pengalaman tak membuat kru mengalami kesulitan, seperti kata Heri, salah satu kru komunitas kampung film

”Mereka improve sendiri kita kasih inti-intinya saja. Trus pemainnya suruh mengembangkan sendiri, nanti dialog seperti apa. Baru pertama biasanya agak susah. Belum menemukan Ekspresi, masih agak grogi. Lebih gampang ke anak-anaknya karena mereka lebih terbiasa.”

Anak-anak dan warga lain seperti Asri dan Feri merasa senang menjadi jadi pemain film, meski kata mereka itu adalah film kampung.

”Malu seneng ya campur aduk.(susah ga?) susahnya ekspresinya itu, trus kalo gampangnya kayak udah kehidupan sehari-hari ceritanya. bagus soale bisa ngelatih anak-anak ngasah ketrampilan. Terus Positif lah buat anak-anak , bisa ngisi waktu luang dari pada buat main-main kan mending kayak gini bisa ngasah ketrampilan trus bisa belajar dunia akting kayak di tv-tv itu. bisa ngerasain artis desa.”

”Pertamanya sedikit grogi tidak pede tapi lama-lama bisa ngikuti. Ya latihan sama produsernya. Asyiknya bisa menjadi sorotan masyarakat sekitar sini. Seneng inikan bisa memotivasi anak-anak.”

Keprihatinan maraknya tontonan tidak bermutu di layar kaca, membuat Yusro Edy Nugroho, seorang pengajar universitas negeri di kota Semarang menggagas ide kampung film. Ia tergelitik untuk menumbuhkan kreatifitas di lingkungan sekitarnya

Tujuan yang paling pokok adalah mendidik.mengajarkan kepada anak-anak disini untuk bisa menjadi Orang yang berproduksi, menjadi pembuat, pelaku. Bukan menjadi penonton. saya prihatin melihat anak-anak bermain nintento di depan televisi berjam-jam. apa yang harus kita selamatkan untuk generasi muda sekarang kalau mereka menjadi penonton. Daripada kita nonton tontonan orang, lebih baik bikin sendiri.

Yusro menambahkan, pada awalnya film garapannya hanya melibatkan anak-anak. Kini hampir 80 persen warga ikut terlibat. Sebagai pemain utama, figuran maupun kru. Lokasi syuting pun hanya di rumah warga, halaman, atau di lingkungan sekitar. Dengan Ide cerita tentang keseharian yang membawa pesan moral.

”Cerita kehidupan mereka. Keseharian, persoalan yang ada di keluarga yang kita angkat sebagai cerita. Bahkan kita tidak mempersulit diri dengan bahasa. pake bahasa mereka sehari-hari. (misalnya apa pak?)..
ada sebuah film yang judulnya ”Balada iwak kali” ceritanya sederhana ketika ada cerita dari warga anaknya pak X itu dia kalo makan tidak mau kalau tidak pake ikan. Akhirnya kita bikin film. Bapaknya orang miskin tapi anaknya minta makan selalu pake ikan, akhirnya bapaknya cari ikan di kali dengan apotas. ternyata dampaknya merusak lingkungan. Cerita soal penyadaran masyarakat bagaimana kita harus memelihara lingkungan.

Hingga kini sudah 30-an film cerita diproduksi Komunitas Kampung Film menjadi tontonan wajib saat kegiatan kampung. Warga Bulusari Bandarjo pun mendukung aktivitas komunitas kampung film, seperti halnya Sumpono dan Tafiq

”Baik ya karena memberikan aktifitas pada anak-anak , lalu juga memberi pembelajaran bagi masyarakat, yang jelas itu memberikan perkembangan yang positif bagi anak-anak, pengalaman bagaimana cara membuat film. Lalu orang-orang film itu bagaimana. Mereka yang diajak maen film itu kan nol semua. Harapan saya tidak sekedar buat pengertian tetapi bisa menghidupi. ”

” untuk menumbuhkan bakat, ya saya mendukung karena terus terang dengan adanya seperti ini kan hal-hal negatif bisa tersingkir. Seperti ini untuk mendidik anak.”

Kini warga kampung Bulusari Bandarjo tidak hanya jadi penonton, namun kini benar-benar menjadi pemain film.

Kontributor KBR68H di Semarang, Noni Arni.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

keren lanjutkan hidup kampung bulusari kebetulan saya adala salah satu wrganya