Pages

Jumat, 21 Mei 2010

Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi

Deutsche Welle
22.05.10

Permasalahan seksualitas dan kesehatan reproduksi masih menjadi topik tabu dan terbatas bagi kalangan tertentu. Tapi, beda dengan sekolah khusus di Yogyakarta ini. Di Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi atau SSKR, justru dipelajari secara terbuka. Sekolah ini adalah semacam pelatihan yang berlangsung selama dua bulan. Saya Noni Arni, berkunjung dan menyaksikan mereka mengikuti pelatihan, yang dirancang untuk memberikan pendidikan dan pengetahuan penguatan otoritas tubuh ini.

Enita dan beberapa orang lain memasuki rumah panggung terbuka di Kedai Hijo milik Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Yogyakarta. Mereka langsung duduk di lantai kayu beralas karpet mengelilingi empat meja besar. Pagi itu, pelajaran tentang seks dan gender akan segera di mulai.

Untuk mendukung proses belajar, sejumlah alat peraga yang terkait dengan seksualitas dan reproduksi disiapkan dekat layar monitor di depan kelas.
Seks dan gender merupakan satu dari sekian banyak materi yang dipelajari di sekolah ini. Sepintas, mungkin anda akan bertanya-tanya bahkan merasa aneh mendengar mata pelajaran yang tidak akan di temui di sekolah pada umumnya.

Ya, di rumah panggung yang di sulap menjadi sarana belajar inilah, Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi (SSKR) berada. Sekolah pertama di Indonesia yang memang khusus mempelajari tentang seksualitas dan reproduksi.
Siswanya berasal dari berbagai kalangan seperti Mahasiswa, pegiat LSM, hingga lulusan sekolah menengah atas. Mereka lebih akrab disebut partisipan dan jumlahnya sangat terbatas. Hanya lima belas orang yang sudah diseleksi ketat. Kata Kepala sekolah SSKR Sartika Nasmar

“Usia yang bisa dijadikan agen dari perubahan untuk memperjuangkan atau mengkampanyekan isu-isu seksualitas dan kesehatan reproduksi.”

Layaknya sekolah, metode pembelajaran tidak hanya teori, tapi juga juga memberikan ketrampilan melalui diskusi hingga simulasi.

”Misalnya kita ada pemeriksaaan fisik langsung. Kita ajarkan bagaimana memeriksakan organ seksual dan reproduksinya itu dan bisa dilakukan sendiri dengan cara yang sederhana. Misalnya pemeriksaaan kesehatan payudara, kita ada praktek bagaimana mereka bisa mengetahui kondisi payudaranya, vaginal exam, pemeriksaan vagina dan servix, memberikan pengetahuan mengetahui pola-pola perubahan tubuh, siklus mentruasi, metode-metode kontasepsi, fertility awarness.”

Sartika yang juga menjadi fasilitator di SSKR menambahkan bahwa seluruh materi di SSKR mempunyai kurikulum terstruktur yang dirancang khusus terkait dengan seksualitas dan reproduksi seperti Hak-Hak Seksual dan Reproduksi, Otoritas Tubuh, Seksualitas Agama dan Budaya, Seks dan Media, Pendidikan Seks, Anatomi dan Fisiologi Organ Seksual dan Reproduksi, Kesehatan Payudara, Kontrasepsi Kehamilan dan Menyusui, Aborsi, Penyakit dan Infeksi Menular Seksual, serta Keragaman Seksual.

Lantas apa yang membuat para partisipan termotivasi untuk belajar tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi?
Yemmestri Enita, aktifis IDEA, sebuah organisasi yang fokus pada advokasi perempuan di Yogyakarta, mengemukakan.

“Saya pikir ini ruang yang bagus untuk berbagi informasi. Harapannya ke depan ini bisa jadi bahan ajar ketika bersinggungan masyarakat langsung. Kesehatan reproduksi bagian dari isu-isu yang urgent karena mereka tidak tahu informasi tentang itu. Saya bersingggungan dengan mereka, karena itu saya kerap kali mendapat PR apa sih kesehatan reproduksi. Ini ruang saya untuk belajar.”

Begitu juga Nurul Humafa, yang baru lulus SMA ini dan ingin mengetahui lebih banyak tentang seksualitas dan kehamilan.

“Saya tertarik soalnya dilingkungan saya itu semua orang menganggapnya semua ini tabu dan nggak penting dipelajari. Rata-rata kita disekolah hanya mendapatkan materi tentang organ reproduksi tapi tidak dijelaskan secara detail. Lagian sekarang marak seks bebas, kematian ibu hamil juga meningkat. Dan mungkin dengan ikut ini kita bisa meminimalisir.”

Meski baru sebulan mengikuti sekolah gratis yang berlangsung selama dua bulan ini, keduanya mengaku sangat terkesan

“Yang menarik kita bener-bener eksplorasi tentang tubuh perempuan dan laki-laki. Inikan hal-hal yang langka yang jarang kita dapatkan. Contohnya ketika sesi tentang pemeriksaan payudara itu bener-bener secara terbuka. kita “telanjang” (dalam tanda kutip) bersama-sama di forum, melihat utuh. O begitu.. o begini. Ini hal menarik bagi saya. Se ekstrem itu ketika ada sdesi pemeriksaan vagina, akan dilihat betul apa sih. Ketika diskusi lain kan tidak secara detail dan melihat betul alat-alat tersebut.”

“Kaget gitu ya, terkejut misalnya kayak ada alat peraganya, wah ini kok bener-bener nyata terus kita pertama, ya gimana agak rishi tapi ya mau gimana lagi. Itu ya itu. ada cerita cara pemakaian alat kontrasepsi misalnya kondom, itu kan dipraktekkan lewat jari jempol ternyata salah. Kemarin itu ada alat peraganya langsung ini digunakan disini seperti itu.”

Tak jauh beda dengan Syaiful Huda, mahasiswa yang juga aktifis PLU, organisasi yang konsen dengan transseksual. Syaiful adalah satu dari tujuh partisipan laki-laki di SSKR.

“Cukup efektif dengan adanya sekolah ini. Ilmu yang bisa saya dapatkan disini bisa saya di implementasikan sehari-hari dan sangat riil sangat nyata ketika saya dikasih contoh. Itu memang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Banyak dari mereka yang menganggap tabu, tidak layak dibicarakan, ketika menyebutkan organ reproduksi secara benar sedikit gimana. Sepertinya tidak layak untuk dibicarakan. "

Sekolah khusus ini memang sengaja dirancang untuk meningkatkan akses terhadap informasi pengetahuan dan pendidikan mengenai kesehatan reproduksi, seksualitas, gender dan hak-hak perempuan.
Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi yang memfokuskan pada penguatan otoritas tubuh, digagas oleh SAMSARA, sebuah organisasi non profit di Yogyakarta yang fokus pada isu aborsi melalui kerangka seksualitas, kesehatan reproduksi, hak-hak seksual dan reproduksi, budaya, agama dan spiritualitas. Direktur SAMSARA, Inna Hudaya menjelaskan

“Di SSKR ini kita selain berbicara tentang kesehatan seksual dan reproduksi kita juga berbicara tentang hak, kontruksi sosial, agama dan budaya. Kalau kita berbicara tentang hak seksual semua orang rata-rata tahu, pemahaman tentang tubuh ini kan pemahaman paling mendasar sekali. Kalau ini kelewat begitu saja, kita mo omongin tentang hak seksual sama aja bohong. Dari awal yang mereka harus pahami adalah tentang tubuh mereka. Sebagai individu dan hubungannya dengan pengaruh-pengaruh dari luar yang kemudian menciptakan image mereka terhadap tubuh mereka sendiri.”

Menurutnya, dengan adanya pengetahuan ini, maka akan mempunyai kontrol dan otoritas akan tubuhnya sendiri, sehingga akan lebih bijak menentukan keputusan yang berhubungan dengan seksualitas.

Data dari WHO menunjukkan, Jumlah kasus pengguguran kandungan atau aborsi di Indonesia mencapai 2,3 juta per-tahun. 30 persen diantaranya dilakukan oleh remaja, Dengan kecenderungan meningkat. Begitu juga dengan kasus HIV-AIDS.

Sekolah Seksualitas dan Kesehatan reproduksi diharapkan dapat mengubah paradigma tradisional di masyarakat. Sehingga dengan semakin terbukanya akses terhadap informasi dan pendidikan mengenai kesehatan reproduksi, seksualitas, gender dan hak-hak perempuan, angka kematian ibu, kehamilan tidak diinginkan,aborsi, HIV-AIDS, dan javascript:void(0)IMS di Indonesia dapat ditekan.

Demikian kunjungan ke Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi di Yogyakarta. Saya Noni Arni, Salam.

Jumat, 09 April 2010

Kampung Cyber RT.36 Taman Yogyakarta

Deutsche Welle
03.04.2010

Mencerdaskan masyarakat agar melek teknologi informasi bisa dilakukan siapa saja, tak harus menunggu uluran tangan pemerintah. Seperti yang dilakukan warga Kampung Taman, Yogyakarta. Mereka bersama-sama mengejar ketertinggalan belajar mengenal teknologi dengan menggunakan jaringan internet.
Seperti apa mereka belajar? Saya, Noni Arni berkunjung ke kampung yang mendapat sebutan Kampung Cyber.

Sekilas Kampung Taman, tak beda dengan kampung padat penduduk lainnya. Rumah saling berhimpit dan tingkat ekonomi menengah ke bawah.

Tapi terlihat berbeda begitu melongok gardu siskamling berukuran 3 kali 2 meter di tengah kampung.
Seperti yang terlihat sore itu, Titik dan ibu-ibu lainnya tengah asyik mencari ide cara menghias tumpeng lewat internet. Sementara tangan Ira, ibu lainnya, menekan tombol keyboard komputer agar gambar tumpeng yang mereka inginkan muncul di layar.

Bapak-bapak di kampung itu juga tak kalah. Mereka tengah belajar membuat blog.

Beginilah aktifitas warga Kampung Cyber setiap sore. Tepatnya sejak pos siskamling yang biasa disebut ”Cangkruk” terkoneksi jaringan internet gratis sekitar 2 tahun lalu. Mereka bebas menggunakan komputer meja dan satu buah laptop untuk mengakses internet hasil swadaya ini.

Gagasan menciptakan kampung cyber ini tak lepas dari keinginan Heri Sutanto untuk mengenalkan teknologi informasi kepada warganya yang sangat awam dengan teknologi. Ia adalah pengurus kampung yang bekerja di laboratorium komputer di sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta.

”Untuk mengejar ketertinggalan. masa-masa sekarang masih sulit untuk bisa masuk ke perkampungan ke masyarakat yang paling bawah. Bermula dari membuat blog tentang aktifitas kegiatan sosial yang ada di wilayah kami. Kami publikasikan ke warga . Kami ingin ada ketertarikan dari warga akan internet. Kami tayangkan di acara kegiatan sosial di wilayah kami.”

Juga mengenalkan potensi kampungnya kepada dunia luar, ujar Sasongko, yang membantu Heri mewujudkan kampung cyber ini menambahkan,

”Saya pengen mengenalkan kampung saya yang ternyata banyak sekali potensi yang belum digali. Makanya membikin blog untuk menampilkan profil kampung saya. Rasa kekeluargaan disini sangat erat sekali. Gotong royong dan kumpul sama warga intensitasnya tinggi. Kampung seperti ini kayaknya Sudah jarang. saya bikin blog untuk angkat potensi yang bisa digali. Pertama kegiatan RT kita, mesti langsung upload foto dan berita. Ada yang tukang batik, sablon Kita angkat. Jadi menawarkannya lewat situ.”

Heri Sutanto mengatakan, butuh proses panjang mengenalkan teknologi kepada warga, ketika internet masih jauh dari kehidupan sehari-hari warga. Tapi lambat laun, warga mulai berkenalan dengan dunia cyber.

”Yang jelas bahwa internet itu masih jauh dari kebutuhan mereka. buat apa kegunaanya, misalnya seorang pedagang bakso, lalu yang keseharianya cuman batik.”
Pelan-pelan mengenalkan Melalui berbagai macam sosialisasi baik itu dipertemuan , lalu interaksi dari mereka sendiri. Kami juga melakukan pengenalan melalui pelatihan untuk membekali warga menggunakan internet. Tidak dipungut biaya.”

Terlebih lagi latar belakang dari tingkat pengetahuan tentang internet warga masih sangat rendah. Jadi perlu sesuatu lebih dulu yang bisa menarik perhatian warga. Internet bisa digunakan sebagai ajang tukar-menukar informasi.

”Untuk memancing ketertarikan mereka pada awalnya facebook. Kami gunakan untuk menyampaikan kegiatan juga saling tukar informasi pelatihan. Kalau sebelumnya hanya ditempel di papan pengumuman mungkin yang baca hanya beberapa orang yang kebetulan lewat, tapi begitu saya upload ke facebook tanggapannya bisa sampe kemana-mana bisa meluas.”

Awalnya memang tidak mudah. Kebanyakan orang di kampung sudah mengenal televisi, tetapi belum begitu kenal penggunaan komputer. Ini diakui Rujito warga kampung Taman
Oton Rujito_pengalaman pertama
”Jangankan buka komputer, saya aja gak tahu CPU. Komputer saya kira tu layarnya tok nggak tahu ada mesinnya. Saya baru tahu ya itu. Kalau dulu saya ga tahu, komputer saya lihat ya kayak teve. Saya kira cuman itu tok. Perangkat lainnya apalagi yang macem-macem ga tahu sama sekali. Pertama kita bikin email, caranya ngobrol lewat email gimana, terus ada facebook itu rame, kita bikin facebook.”

Akses internet gratis yang disediakan di Cangkruk atau gardu siskamling ini dimanfaatkan sebagai sarana bertukar informasi dan belajar. Dan bisa digunakan warga yang belum memiliki jaringan internet di rumah.

”Akses gratis, kami adakan di pos kampling yang bisa digunakan oleh warga. Dan disitu Tidak semata-mata mengakses internet tapi ada proses pembelajaran , ada interaksi dengan warga yang lain untuk bisa menggali, saling mengajari. Pembelajaran tidak hanya di pos kampling, dimasing-masing rumah warga biasa kumpul-kumpul tanya-tanya. Belajar bareng.

Perlahan kemudian secara swadaya dan gotong royong, rumah warga juga dipasang jaringan internet. Warga cukup membeli perangkat komputer dan berlangganan sebesar 50 ribu rupiah per bulan untuk mendapatkan akses internet tak terbatas. Instalasi jaringan dilakukan secara gotong royong. Mulanya ada 8 rumah yang disambungkan. Sekarang jumlahnya terus bertambah.

Secara bertahap gagasan kampung cyber mendapat respon baik. Wargapun belajar bersama dan mulai merasakan manfaatnya. Mereka yang dulu tidak bisa menggunakan internet sendiri, sekarang sudah bisa berkomunikasi di dunia maya. Seperti pengalaman Titik:

”Kita dikasih tahu sama suami sama anak, gini lho bu caranya buka internet. Dulu dirumah ga ada jadi ditawari kalau kita bikin internet dikampung gimana . Sekarang kita sendiri bisa ga perlu didampingi. Tiap hari kita merlukan apa. Misalnya kita pengen berita yang aktual lihat di detik.com. Yang dulu ga tahu jadi tahu. Kebetulan saya punya soadara di Jerman, jadi kita bisa chating , tanya khabarnya, lihat gambar-gambarnya. Pokoknya manfaatnya banyak sekali. Di internet ibarat mau minta apa aja bisa. Padahal cuman pesawat segitu tapi bisa mencakup seluruh dunia.”

Manfaat juga dirasakan warga yang memiliki usaha rumahan. Mereka bisa mempromosikan produksinya lebih luas lagi. Seperti Puji Astuti yang punya usaha batik tulis.

”Pemasarannya lebih luas (sampe mana saja?) ya.. yang di Jakarta itu juga lihat dari internet. Ada temen lihat dari internet terus pesen. Sekarang lebih meluaslah, harganya juga bisa lebih mahal. Sampe di malaysia, yang pesen sering datang kesini minta gambar macem-macem, motif ini..motif orang mbatik .. kirim fotonya tok. ada frater datang kesini dari Meksiko. Ya lukisan saya banyak di meksiko. Terus ada teman dari Meksiko yang datang ketempatnya frater, dibawa kesini terus pesen. ”

Begitu juga Bonar yang menggeluti usaha sablon. Usaha meningkat dan kerjanya menjadi lebih efisien setelah menggunakan berbagai fasilitas di Internet.

”Pertama diajari bikin blog untuk penawaran produk-produk saya. Kalau ada pemesan yang dari jauh kadang minta desain atau prove-prove yang mau dipesan, nanti dikirim lewat email. Nanti kalau sudah di acc baru dibikin. Produk-produk saya foto nanti Saya upload di blog saya. Relasi-relasi saya beritahu. Sebelum ada internet saya harus kesana dulu atau yang pesan datang langsung itu kan agak repot . diajarin pak RT pertama nyoba Bikin email itu, belajar chating. Diajarin bikin blog untuk usaha.”

Kini sudah 80 persen rumah warga di kampung RT. 36 Taman sudah terkoneksi internet. Sementara yang belum punya akses internet di rumah, tidak menghalangi keinginan mereka untuk belajar, diantaranya Rujito

”Lagi-lagi faktor ekonomi. Saya kebutuhan untuk sekolah anak, makan, kebutuhan lainnya. Ada rencana mudah-mudahan bisa pasang. Saya sudah kepingin pasang. Untungnya disini ada pos ronda yang menyediakan fasilitas gratis. Saya sedikit-sedikit belajar . Pertama berita, berita terkini tu daripada saya berlangganan koran saya membuka itu.”

Meski warga melek teknologi dan menjadikan komunikasi antar warga menjadi lebih mudah, suasana guyup dikampung tetap terjaga. Misalnya mereka masih rutin bermain olah raga voli setiap sore atau melakukan pertemuan warga.

Bagi warga, teknologi internet hanya digunakan sebagai fasilitas untuk mempermudah komunikasi dan berinteraksi dengan dunia luar. Kampung taman bisa menjadi salah satu contoh.

Sepertinya, target Pemerintah agar seluruh desa dan kecamatan di Indonesia terhubung dengan infrastruktur telepon dan internet pada tahun 2010 akan tercapai jika semua warga yang tinggal di kampung bisa seperti mereka.

Pendengar, demikian kunjungan ke kampung cyber RT 36 Taman Yogyakarta, saya Noni Arni, salam.

Senin, 08 Maret 2010

Goethe dan Islam

Publish on Radio International Jerman Deutsche Welle

http://www.dw-world.de/dw/article/0,,5311257,00.html
Sosial Budaya | 02.03.2010



Großansicht des Bildes mit der Bildunterschrift:

Malam pembacaan dan diskusi karya-karya pujangga terbesa Jerman, Goethe, di empat kota Jawa Tengah. Siapa nyana, Goethe ternyata sangat dekat dengan Islam: menyebut Muhammad, Allah, dan Quran dalam banyak sajak,

Pekan lalu, karya-karya raksasa sastra dunia dan sastrawan terbesar Jerman Johan Wolfgang von Goethe, berkeliling Jawa Tengah. Yang membawanya adalah ahli sastra Indonesia Universitas Bonn yang juga penerjemah seri sastra Jerman, Berthold Damshäuser, didampingi sastrawan perempuan yang baru kembali dari Jerman, Dorothe Rosa Herliany, dan penyair Susiawan Leak.

Rangkaian pembacaan dan diskusi sajak-sajak karya Goethe ini dilangsungkan di Universitas Sunan Muria Kudus, Universitas Diponegoro Semarang, Taman Budaya Surakarta Solo dan Pondok Pesantren Tegolrejo. Acara berlangsung sekitar hari Maulud Nabi tempo hari.

Apa hubungannya peringatan Maulud Nabi, pesantren dan penyair Jeman? Simaklah sajak ini:
"Jika ada yang murka karena Tuhan berkenan. Berkati Muhammad kebahagiaan dan lindungan, Sebaiknya dia pasang tambang kasar. Pada tiang rumahnya yang terbesar. Biar ikatkan diri di sana! Tali itu cukup kukuh. Akan ia rasakan murkanya meluruh."

Anda tidak salah. Ini adalah karya penyair Romantik Jerman Johan Wolgang von Goethe, yang lahir tahun 1749, dan meninggal tahun 1832. Judulnya, Sabda Sang Nabi atau Der Prophet Spricht. Dan yang disebut-sebut memang benar adalah Muhammad SAW, nabi umat Islam.

Tanpa banyak kita tahu, Goethe, sastrawan terbesar Jerman adalah manusia yang sangat dekat dengan Islam. Bahkan ia tak menolak ketika orang mengganggapnya sebagai seorang Muslim. Seperti dikatakan penerjemah karya-karyanya, Berthold Damshäuser. Damshäuser menyebut, Goethe pernah mengaku bahwa ia merasa lebih dekat dengan agama Islam daripada agama Kristen.

Damshäuser mengaku bangga bahwa tokoh budaya Jerman adalah seorang seperti Goethe, tapi lebih bangga lagi bahwa bangsa Jerman tidak pernah ada masalah karena Goethe mengaku jauh dari agama Kristen yang dianut sebagian besar rakyat Jerman, dan justru lebih dekat dengan agama "asing". Ini sebuah pertanda baik bagi bangsa Jerman.

Tak sedikit yang menganggap Goethe memang memeluk Islam. Selain dipandang sebagai salah satu perintis utama dialog Islam dan Barat. Tentu bukan oleh satu puisinya Sabda Sang Nabi tadi, melainkan oleh banyak sekali karya, seperti sajak Kitab Kedai Minuman atau Das Schenkenbuch:

"Apakah Al Quran abadi? Itu tak kupertanyakan! Apakah Al Quran ciptaan? Itu tak kutahu!. Bahwa ia kitab segala kitab, sebagai muslim wajib kupercaya. Tapi, bahwa anggur sungguh abadi, Tiada lah ku sangsi; Bahwa ia dicipta sebelum malaikat, mungkin juga bukan cuma puisi. Sang peminum, bagaimanapun juga, Memandang wajahNya lebih segar belia."

Di sajak ini kita menyimak ungkapan penyerahan diri kepada Al Quran sebagai kitab suci umat Islam, sekaligus juga pemujaannya terhadap anggur. Bahkan menyiratkan bahwa penikmatan sejati terhadap anggur, justru mampu membawa pada religiusitas sejati pula. Suatu sikap yang banyak ditemukan dalam sufisme Islam.

Damshäuser juga menegaskan bahwa Islam yang dikenal, didalami dan dikagumi Goethe memang Islam yang damai, sejuk, jernih, terbuka. Bukan jenis yang diperlihatkan oleh kaum yang kaku, radikal, penuh penghakiman dan pemarah sebagaimana banyak muncul beberapa belas tahun belakangan ini.

Islam yang indah, sikap keagamaan yang indah pula. Itulah yang tampak pada Islam dalam sajak-sajak Goethe. Misalnya lagi, sajak Wasiat:

"Tiada makhluk runtuh jadi tiada! Sang abadi tak henti berkarya dalam segala, Pada sang Ada lestarikan diri tetap bahagia! Abadilah ia: karena hukum-hukum suci. Melindungi khasanah-khasanah hayati, Dengan semesta menghias diri. Kebenaran sejak lama silam ditemukan, Telah pula mempertemukan ruh-ruh mulia. Kebenaran azali itu, peganglah dalam genggaman! Kau, putra bumi, bersyukurlah pada sang Bijaksana. Yang tunjukkan jalan bagi bumi tuk kita mentari"

Menurut Damshäuser, Wasiat merupakan salah satu puisi yang cukup sulit dipahami, namun dianggap penting dan mewakili kepemimpinan Goethe. Ditulis ketika di Eropa muncul pemikiran skeptis. Puisi yang mengajak pembaca memasuki segi-segi keimanan dalam diri masing-masing.

Tetapi bisa jadi sebagian besar karya Goethe memang tergolong sulit, jika bicara tentang upaya alih bahasanya. Terlebih penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia, yang berbeda sama sekali akarnya dengan Bahasa Jerman.

"Karya-karya Goethe cukup sulit karena puisinya punya ciri khas metrum jadi irama tertentu dan rima akhir agak sulit. Dan kadang-kadang tidak berhasil untuk mentransfer rama khas itu dengan rima akhir yang sama ke dalam Bahasa Indonesia. Itu pekerjaan yang rumit. Proses yang cukup pelik dan panjang," dikatakan Berthold Damshäuser, mengisahkan perjuangannya mengalihbahasakan karya-karya Goethe ini.

Karya-karya Goethe ini sebetulnya tahun 2009 lalu pernah pula dikelilingkan di beberapa kota lain di Indonesia. Namun kembali ditampilkan, kali ini di Jawa Tengah, karena karya-karya unik Goethe terkait Islam, dan sebagai salah satu perintis dialog Timur Barat, membuatnya selalu perlu untuk terus diperkenalkan ke kalangan lebih luas. Dikatakan Berthold Damshäuser.

Johan Wolfgang von Goethe adalah seorang penyair, penulis prosa, dramawan, bahkan pelukis dan penemu. Dianggap sebagai sastrawan terbesar Jerman, sehingga namanya diabadikan sebagai pusat kebudayaan Jerman di seluruh dunia. Ia juga dianggap salah satu sastrawan periode Romantis zang paling berpengaruh di seluruh dunia.

Perjalanan Goethe melintasi tanah Arab dan Persia membuatnya terpukau pada kebudayaan Timur, dan membawa Goethe pada ketertarikan kuat untuk mempelajari Islam. Hingga di tahun 1815 tercipta kumpulan puisi Diwan Barat Timur. Salah satu karya penting dari sastrawan penting dunia yang mempertemukan Timur dan Barat dalam suatu dialog. Sebagaimana muncul dalam sajak Mukadimah Diwan.

"Yang kenal diri juga sang lain. Di sini pun kan menyadari:Timur dan Barat berpilin. Tak terceraikan lagi. Arif berayun penuh manfaat. Di antara dua dunia; Melanglang timur dan barat. Mencapai hikmah mulia."

"Andai sang mata tiada bersifat mentari, mentari tak sanggup dilihat olehnya; Andai dalam diri tiada daya Ilahi, Bagaimana keilahian sanggup birahikan kita?"

Karya-karya yang dibacakan dan didiskusikan di Jawa Tengah itu dipetik dari terjemahan sajak-sajak pilihan Goethe dengan judul Diwan Barat-Timur. Ini merupakan seri puisi Jerman ke 4 dalam versi Bahasa Indonesia. Sebelumnya telah terbit kumpulan pilihan karya Paul Celas, Rainer Maria Rilke dan Berthold Brecht. Terakhir telah terbit pula kumpulan pilihan karya Hans Magnus Enzensberger, dan sebentar lagi akan terbit kumpulan pilihan karya Nietszche.

Noni Arni
Editor: Ging Ginanjar

Pasar Imlek Semawis

KBR68H

Pasar Imlek Semawis adalah pasar rakyat menyambut tahun baru Cina yang hanya ditemukan di kota lumpia. Di sini tidak hanya perayaan religi tapi juga budaya
Kontibutor KBR68H Noni Arni, mengajak Anda menyaksikan bagaimana kemeriahan pasar tiban ini.

Atraksi barongsai dan liong samsi terdengar di antara kerumunan di kawasan pecinan Semarang. Pernak pernik imlek dan lampion menghiasi tiap jalan, rumah dan klenteng. Suasana malam di pecinan sejak 5 hari menjelang Sin Cia nampak meriah.

Dan orang-orang pun terus berdatangan . Ada yang berbelanja, makan, cuci mata, atau hanya bersendau gurau. Stan aneka makanan khas semarangan, pernak pernik imlek, kerajinan tangan, pakaian hingga promosi berbagai macam produk modern, berjejer disepanjang jalan-jalan sempit yang penuh sesak.

Semua membaur menjadi satu. Beginilah suasana pasar imlek semawis. Pasar tiban khas pecinan Semarang yang hanya bisa ditemui setahun sekali menjelang tahun baru Cina.
Dalam bahasa jawa, semawis berarti Semarang. Artinya pasar ini hanya ada ada di Semarang. Kemeriahan pasar tradisional ini muncul 7 tahun terakhir, seiring dengan lenyapnya diskriminasi terhadap warga keturunan Cina.

Ditempat ini warga Tionghoa di pecinan biasa berbelanja kebutuhan imlek, seperti makanan, buah-buahan, hiasan rumah dan pakaian. Benita Ariani mencari makanan untuk persiapan makan malam.

”Tujuan utamanya untuk berbelanja barang-barang kebutuhan imlek. Katakan biasa makanan itu masing-masing keluarga sendiri-sendiri, tapi kalau di keluarga saya itu menu wajib itu rebung dimasak sampai lunak. Itu merupakan salah satu menu yang dinikmati pada waktu malam tahun baru imlek.”

Warga semarang umumnya pun datang menyaksikan dan menikmati kemeriahan ini. Seperti Entik

”Tiap tahun kesini lihat-lihat pasar semawis, soalnya kan adanya satu tahun sekali ya. Nyari-nyari pernak pernik berbau cina kan lucu-lucu. Selain itu aku juga wisata kuliner, jarang-jarang ada makanan khas gitu yang bikinan asli orang cina juga, kayak wedang tahu, lumpia. Macem-macem lah wisata kuliner gitu sekalian jalan-jalan.”

Pasar imlek semawis bermula dari tradisi lama pasar senggol Gang Baru yang hidup sejak ratusan tahun. Kala itu, pasar dijadikan tempat berkumpul dan berinteraksi warga Tionghoa dan pribumi.
Nafas Tradisi pasar tiban ini kembali dihidupkan melalui pasar imlek semawis,

”Asal mulanya adalah dari tradisi pasar malam Ji Kau Meh di pasar Gang Baru. Jadi masyarakat Tiong hoa di Semarang setiap tanggal 29 bulan 12 imlek itu ngumpul di pasar gang baru malam hari untuk berbelanja barang-barang keperluan untuk sembahyang imlek tanggal 30 nya. Yang kita sebut dengan pasar malam Ji Kau Meh. Itu yang kemudian kita kembangkan sekarang menjadi pasar imlek semawis.”jelas ketua panitia pasar imlek semawis Dharmadi.

Pasar ini dulunya juga dimanfaatkan muda mudi setempat untuk saling melirik dan mencari jodoh.

”Ada suatu tradisi dari masyarakat Tiong hoa, bahwa pada saat malem Ji Kau Meh itu biasanya pada jaman dulu dipake buat cari jodoh. Bagi yang masih jomlo biasanya datang di pasar gang baru untuk berkenalan, untuk cari jodoh disana. Tradisi masa lalu yang bisa kita jaga , bisa kita lestarikan.”

Pada perkembangannya, pasar imlek semawis tampil lebih modern. Tidak hanya kuliner khas, kerajinan, dan aksesoris khas negeri tirai bambu. Pasar Imlek Semawis juga menyajikan berbagai atraksi budaya seperti tarian gambang Semarang dan Barongsai

Atau wayang mandarin dan wayang potehi, seni pertunjukan yang merupakan akulturasi budaya China dengan budaya lokal.

Perpaduan budaya tak lepas dari sejarah pecinan Semarang. Kawasan yang diapit wilayah Kauman dengan budaya Timur tengah, Kota Lama Belanda dan kawasan Jurnatan dengan mayoritas pribumi. Keunikan Ini tidak ditemui di pecinan lain,

”Ji kao meh khas semarang, karena ditempat lain biasanya di tempat lain perayaan imlek cenderung berbeda. semarang ada kekhasan, meskipun kita mengatakan budaya tradisi seni masyarakat sudah membaur dengan budaya setempat dengan budaya jawa, budaya timur tengah kemudian juga budaya barat. Ada perpaduan budaya yang cukup unik. Di kawasan ini ada 9 klenteng yang umurnya ratusan tahun, Ada gereja, ada masjid yang letaknya berdampingan satu sama lain. Kaeneka ragaman itu ada.” kata Dharmadi.

Budaya lokal dan pendatang inilah yang mempengaruhi tolerasi di komunitas pecinan Semarang. Mereka lebih terbuka enerima perbedaan.

Kini, pasar imlek semawis menjadi kegiatan yang ditungggu menjelang tahun baru cina. Ketua Kopi Semawis, komunitas pecinan semarang untuk pariwisata, haryanto halim mengatakan,

”Yang menarik bahwa sekarang dengan adanya pasar imlek semawis ini, yang dulunya tidak pernah ke pecinan sekarang jadi pengen lihat pecinan. Bukan hanya kalangan non Tiong hoa yang pengen, yang Tiong hoa yang ga pernah ke pecinan jadi pengen ke pecinan. Tionghoa tidak semua ke pecinan. Karena buat mereka itu entitas yang tidak mereka kenal. Karena Tiong hoa itu juga beragam. Dengan diangkatnya pasar imlek semawis ini menjadi sesuatu yang menarik. Dan menarik lagi bahwa orang-orang Semarang yang sudah bermigrasi keluar kota yang dulunya ga pernah pulang sekarang saat imlekpun sekarang juga pengen pulang.”

Multi etnis berbaur dipasar itu. Pasar Imlek Semawis pun menjadi peristiwa budaya dan simbol kerukunan umat beragama.

-Non-

Menghilangnya Kesenian Kentrung

Publish on SAGA KBR68H Jakarta
23 Feb'10

Kentrung adalah seni bertutur khas wilayah Pantura Timur Jawa. Mulai dikenal sejak 1900-an, kentrung dimainkan oleh seorang dalang, diiringi tetabuhan rebana. Bercerita tentang kebajikan, yang dijadikan suri tauladan masyarakat. Namun kini kentrung menghadapi senjakala; kehilangan generasi penerus dan peminat. Kontributor KBR68H Noni Arni menelusuri jejak kentrung yang tersisa...

Setelah mengencangkan kulit dua rebananya, Parno Kodri meletakkan satu rebana di pangkuan. Satunya direbahkan di lantai. Lantas ia mulai menabuh, dengan jari dan tangan. Alunan suara rebana mengiringi cerita yang dituturkannya.

”Bunyi trung..tung..tung..tung dari alat musik rebana ini menjadi ciri khas kesenian kentrung. Bunyi in i sangat dominan sejak awal hingga akhir pertunjukan.”

Laki-laki usia 60 tahun ini duduk beralaskan karpet, di teras sebuah rumah. Penampilannya sederhana; kemeja lengan panjang dan sarung lusuh. Ia diundang sebagai dalang kentrung oleh empunya rumah yang sedang ada hajatan.

Malam itu Parno Kodri menyajikan cerita Aji Saka. Cerita soal kepahlawanan seorang ksatria yang jadi raja pertama di tanah Jawa.

Tak mudah menemukan pergelaran kentrung, meski dulu sangat populer di kalangan masyarakat. Ini kali kedua, sang empunya rumah, Ahyar Permana, menggelar pertunjukan kentrung.

"Saya pernah melihat kentrung ketika saya masih usia sekolah dasar. Di kampung saya di Pati itu beberapa orang suka kentrung. Ketika sekarang ini kentrung sudah tidak ada, saya merindukan kesenian kentrung. Karena kebetulan saya punya hajat, maka saya mengundang dalang kentrung yang masih tersisa, Generasi terakhir karena sesudah itu tidak ada lagi."

Kentrung adalah seni bertutur tradisional, perpaduan antara budaya Timur Tengah dan Jawa. Biasanya kentrung dihelat dalam acara pernikahan, syukuran atau sunatan.

Alat musik yang digunakan adalah rebana, sementara ceritanya berasal dari banyak sumber. Selain lakon babad tanah Jawa, bisa juga menggunakan cerita rakyat, hikayat nabi, cerita Wali Songo sampai kisah 1001 malam. Ada nilai-nilai kebaikan yang disampaikan lewat setiap cerita.

”Melihat esensinya sangat berkaitan dengan budaya Islam, ekspresinya yang pakai trebang. Cerita-cerita islam. Cara mendongeng itu, cara yang efektif mentransformasikan nilai, mentransmisikan nilai dari satu generasi ke generasi. Mereka adalah pentransmisi nilai di masyarakat itu. Di waktu itu fungsinya. Kentrung menjadi salah satu ikon yang dibutuhkan di masyarakat waktu itu." jelas Pemerhati seni kentrung Anis Sholeh Ba’asyin.

Kentrung dimainkan oleh seorang dalang. Pertunjukan berlangsung semalam suntuk.

Penonton kentrung dari dalang Parno Kodri itu malam hanya puluhan. Rata-rata usianya 40 tahun. Ada Ahmad, tetangga Ahyar di sana.

”Kalau nonton sudah pernah baru satu kali saja. Di desa saya di Gulungan kurang lebih sudah 10 tahun yang lalu. Hampir semalam. Jadi ceritanya satu cerita nanti selesai cerita yang lain. Bersambung-sambung. Istiahat nanti main lagi."

Sementara Sulihat, meski sudah berusia lebih separuh abad, baru sekali ini menonton kentrung.

”Katanya tradisional di daerah saya Pati, tapi belum pernah. Saya sendiri kurang paham, dulu di belakang rumah itu dulu pernah ”nanggap” itu istilahnya. Belum pernah nonton? Iya, Saya belum pernah ”blas”(belum pernah sama sekali). Dulu orang-orang tua saja yang bilang itu.”

Kalau yang tua saja baru sekali ini nonton kentrung, tak bisa banyak berharap seni bertutur tradisional ini populer di kalangan anak muda.

Parno Kodri, sang dalang kentrung, mengaku makin kekurangan order.
"Sekarang jarang diundang untuk mendalang kentrung. Hanya sesekali saja kalau kebetulan ada orang yang mempunyai hajat tertentu. Hanya kadangkala. Biasanya saya mendalang sampai Margojero, Bakaran, Bajo, Sluke, kemana-mana tapi masih di sekitar Pati saja. Jarang di tanggap, tidak seperti dulu lagi."

Gilasan roda jaman membuat kentrung terpinggirkan. Kalau tak segera diselamatkan, kesenian ini betul-betul bakal musnah.

Kontributor KBR68H Noni Arni menuju Desa Sadang, di Kudus, Jawa Tengah. Mencari Wiryo Sidi, satu dari dua dalang kentrung senior yang tersisa.

Terlambat. Wiryo meninggal sebulan lalu, di usia 102 tahun.

Perjalanan diteruskan ke rumah Kasriyono. Dalang kentrung berusia 86 tahun ini tengah bersantai di teras rumah sambil menghisap rokok kretek. Penampilannya masih bugar. Badannya masih tegap, raut mukanya cerah dan deretan gigi yang masih utuh.

Kematian Wiryo Sidi menjadi awal perbincangan kami.
"Lha itu habis pinjem golek saya karena dia ndak punya golek. Mau ada yang nanggap dia, terpaksa dia pinjem saya. Habis main 3 hari kemudian meninggal. Dia dulu punya golek katanya dijual. (Untuk apa mbah golek kok dijual?)..Saya sakit, golek saya jual untuk berobat... dah pinjem boleh..pinjem golek saya cuma pinjem 10 biji saja..Ya boleh berapa..ya sudah kuate mbah wiryo berapa..50 ribu ya..ya sudah bawa. Ya tinggal saya sendiri, di Kudus enggak ada lagi.”

Kasriyono awalnya adalah dalang wayang golek. Lantaran sepi order, ia menuruti nasihat Mbah Wawing, dalang kentrung yang populer di tahun 1940-an, untuk menjadi dalang kentrung. Ia lantas memadukan bunyi tetabuhan rebana dan aluanan lagu jawa dari kentrung dengan wayang golek yang terbuat dari kayu.

Kalau di Pati tinggal Kasriyono satu-satunya dalang kentrung yang tersisa, maka di Pati, Parno Kodri adalah dalang pamungkas.

”Dalang kentung sudah banyak yang meninggal, di sekitar wilayah Pati sekarang hanya saya.”

Parno sudah 30 tahun lebih merintis kehidupan sebagai dalang kentrung.
“Sudah lama sekali, keturunan dari bapak saya. Dulu sekitar tahun ’55 mulai menemani bapak saya mendalang sampai kemana-mana dan itu akhirnya menurun pada saya sampai sekarang. Saya tidak pernah latihan tapi langsung bisa karena dulu sering mengikuti bapak saya mendalang, lama-lama bisa sendiri. Saya kentrung keturunan.”

Yang tak menurun adalah rejeki jadi dalang kentrung.
”Sebulan bisa lima hingga enam kali jaman bapak saya, sekarang jarang karena banyak kesenian di TV, kaset-kaset tayub. Orang-orang lebih suka lihat itu. Sekarang jarang mendalang karena kalah dengan kesenian sekarang. Jaman dulu laris.”

Tak heran, Kasriyono lantas disibukkan dengan usaha tempat penitipan sepeda, ketimbang melakoni seni bertutur khas Pantura ini.

“Masih kalau ada yang nanggap. Setahun itu paling-paling ya 10 kali itu dah bagus. Sekarang ini sudah setengah tahun tidak ada yang ‘nanggap’. Kalau tahun 80-an itu 150 ribu, kemarin ini yang terakhir sejuta. Itu kan ga bisa untuk makan untuk nyandang. Ini penitipan sepeda untuk karyawan pabrik rokok, pemasukan hampir sama misalnya 60 ribu”

Pengamat kesenian kentrung Anis Sholeh Ba’asyin seolah memprediksi, kematian kentrung tinggal menunggu waktu.

”Lima jari saya ga habis apalagi yang maesto ga ada. Generasi terakhir yang menguasai betul yang ahli sudah habis, bahkan kalau Anda mendengarkan musiknya tanya yang pernah mendengarkan. Beda cara bermain musik mereka, cara mengekspresikan mereka beda sekarang, tampak sekali bahwa bukan tangan pertama, bukan ahlinya.”

Di Kudus, dalang kentrung tinggal Kasriyono. Di Pati tinggal Parno Kodri. Dan keduanya sudah tua.

Tak banyak pula anak muda yang tahu apa itu kentrung.

“Dulu di kampung sering kali orang menanggap dalang kentrung itu sering sekali. Sekarang hampir tidak ada. Bahkan sekarang kalau kita tanya usia di bawah saya sedikit, tanya kentrung itu apa ga tahu. Mereka ga punya referensi untuk itu bahkan banyak orang-orang di desa-desa ga tahu kentrung itu apa.”ungkap Anis Sholeh Ba'asyin.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kudus mengaku sudah mengupayakan pelestarian kentrung.
Menggelar Pertunjukan kentrung 2 bulan sekali di Taman Budaya Kudus, menyertakan dalam agenda budaya hingga menggelar pertunjukan kentrung di desa-desa. Tapi hasilnya nol, kata Kepala Seksi Seni Budaya dan Tradisi, dan Bahasa Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Giyono. Sepi dengan penonton.

“Perkembangannya mengalami kesulitan karena kami mencoba untuk mensosialisasikan. Seni kentrung itu kita pentaskan. Namun kenyataannya, masyarakat belum bisa menerima sehingga pelestariannya atau pewarisannya kepada generasi muda sampai saat ini belum bisa berjalan. Minat dari generasi muda untuk menggeluti seni kentrung ini masih sangat kurang bahkan malah tidak ada.”

Parno Kodri tak bisa mengharapkan keluarganya jadi penerus dalang kentrung di Pati.

”Kalau ada bisa turun temurun. Tapi anak saya perempuan dan kerja di Malaysia. Satunya lagi kerja di Juwana jadi tukang las di perusahaan. (Tidak ada yang ingin jadi dalang?) Tidak ada yang mau mengikuti jejak saya. Habis, sudah tidak ada lagi. (Di daerah bapak ada yang tertarik jadi dalang?)..Tidak ada.”

Mungkin kentrung tengah berhitung mundur. Sebelum benar-bentar punah karena tak ada yang melestarikannya.

”Tidak ada yang nerusin terus gimana? Ya mau gimana lagi, biarin saja. Kalau ada penggantinya bagus, tapi kalau ga ada ya mau gimana lagi. Ya..Nanti di lain desa pasti ada, di desa-desa lain pasti ada...” kata Parno Kodri pasrah.

-non-