Pages

Kamis, 12 April 2012

Bertemu Kumbo di Schmutzer





” Wah, seperti di film Jurastic Park!” anak laki-laki disebelah saya menyipitkan matanya dari terik matahari sambil tengadah di pintu gerbang berbentuk kubah kuning keemasan yang menjulang tinggi dihadapannya.
Selain wahana dan koleksi primata, pintu gerbang yang mengingatkan pengunjung pada pintu gerbang taman jurastik di film garapan Steven Spielberg ini memang menjadi daya tarik tersendiri bagi pusat primata terbesar di dunia yang lokasinya menyatu dengan komplek  Taman Margasatwa Ragunan (TMR), Jakarta Selatan. 

Pusat Primata Schmutzer bukanlah kebun binatang biasa, karena di tempat ini pengunjung dipastikan mendapat pengetahuan lengkap tentang primata di dunia termasuk gorila hitam Afrika yang notabenenya bukan primata asli Indonesia, tapi dipercaya pemeliharaannya di tempat ini  untuk ditangkarkan dan diteliti keberadaannya.

Karena itu, saya pun tak sabar memasuki gerbang besar dengan tangga berundak yang kiri kanannya penuh dengan pohon akar menjuntai yang dijaga patung gorila berukuran empat kali tubuh orang dewasa. Patung itu sangat mirip sekali dengan wujud gorila asli yang berada diantara panel-panel berisi informasi lengkap tentang primata dunia.

Tapi, beda ketika memasuki dan menyaksikan aneka satwa di Taman Margasatwa Ragunan alias kebun binatang Ragunan yang bebas membawa bekal makanan. Jangan harap bisa membawa tas ransel penuh makanan karena di sebelah loket pintu masuk ke Pusat Primata Schmutzer, terpampang jelas  tulisan besar berisi larangan membawa makanan, minuman, rokok dan korek api, tas berukuran besar, jaket, senjata api, senjata tajam, bahkan mainan anak sekalipun. Barang bawaan  harus di titipkan di loker yang tersedia dan dapat diambil kembali ketika keluar. Dan jangan pernah coba-coba nekad menyelipkan barang-barang larangan itu karena petugas khusus akan memeriksa satu persatu pengunjung yang masuk. Sebanyak  68 kamera pemantau juga tersebar di setiap sudut untuk melindungi satwa dari tangan jahil para pengunjung. 
Wajar saja, pemberlakukan keamanan yang cukup ketat ini bertujuan untuk menghindari ulah iseng pengunjung yang memberi makan binatang.  Lokasi ini juga sangat dijaga kebersihannya. Bahkan cukup banyak petugas yang bersliweran memperhatikan para pengunjung.

***
Ketika memasuki kubah raksasa itu, tubuh saya sesekali harus menyibak akar-akar yang menjuntai.  Tumbuhan akar yang ada di sekeliling dan tiap sudut bangunan utama seakan membawa saya seperti berada di hutan. Gorilla Walk sudah menanti saya didepan sana. Dinamakan demikian karena begitu memasuki gerbang, pengunjung akan menyusuri jembatan khusus di atas kandang gorila yang biasa disebut enklosur (kandang yang dibuat mirip  habitat asli binatang). Dari jembatan inilah saya  leluasa melihat aktivitas gorila dari ketinggian tanpa harus terbang ke Afrika..hehee

Tepatnya, cukup harus  membayar tiket masuk seharga lima  ribu rupiah untuk dewasa di luar tiket masuk Taman Margasatwa Ragunan seharga Rp 4.500 (plus asuransi). Saya dapat menjelajah tempat seluas 6,2 hektar  yang dibuka setiap hari, pukul 09.00-16.00WIB,

Di sepanjang jembatan ini juga tersedia kursi untuk melihat pemandangan ke bawah, beberapa ubin dari kuningan  berukiran wajah-wajah primata dan panel yang di pajang berderet foto aneka jenis spesies primata disertai keterangan tentang asal,  nama, habitat, makanan hingga status mereka yang sebagian besar terancam punah. Gorila-gorila yang ada di pusat primata ini juga dinamai seperti  Komu dan Kumbo.

Disini juga tertulis kepanjangan dari akronim GORILA, yang berisi trivia tentang Gorila,  yang menjelaskan bahwa gorila di Pusat Primata Schmutzer adalah jenis yang hidup di hutan dataran rendah di Afrika dan  sering disebut King Kong. Cirinya   berambut  keperakan (silver black) di punggungnya. Gorila merupakan salah satu kera terbesar di dunia yang habitatnya terancam hilang karena perburuan ilegal untuk dikonsumsi dagingnya, dan penyakit seperti Ebola.

***
Untuk melihat gorila dari jarak dekat, saya turun dari  Gorilla Walk, dan mendekati enklosur. Di kandang terbuka ini  terdapat empat gorila jantan yang  didatangkan dari Kebun Binatang Howlettes dan Port Lympne, Inggris.

Dan sepeminum teh  saya duduk di kursi taman disekitar enklosur yang sejuk, saya melihat benda hitam bergerak-gerak dan berjalan dengan kedua kaki dan tangannya. Tepat di depan saya Kumbo  berhenti dan duduk seperti sedang memperhatikan sesuatu. Saya sempat terperanggah karena bisa menyaksikan gorila seberat 200 kilogam lebih yang biasa hidup di hutan dataran rendah di Afrika dengan  jarak pandang 10 meter tanpa  harus masuk keluar hutan. Luar biasa..

Puas menyaksikan tingkah laku Kumbo dari enklosur gorila, saya berjalan mengelilingi kawasan ini. Ada beberapa kandang primata lain seperti Ungko, Owa Jawa, Wau-wau, Kera Hitam Sulawesi, Digo, Boti, Kelawat, dan Siamang. Kandang-kandang ini ada yang berupa kerangkeng besi, ada juga yang berupa kerangkeng besi dengan kaca. Enklosur Simpanse, primata tercerdas dikolam dengan ”pulau” ditengahnya. Kemudian terowongan Orangutan yang   mengelilingi enklosur Orangutan yang dapat dilihat dari balik kaca, hingga tembus ke jembatan kanopi dimana kita bisa berjalan di atas jembatan yang dipasang di atas pohon. Di tempat ini juga terdapat fasilitas lainnya seperti  jembatan cantilever dan playground.

Fasilitas untuk satwa di Pusat Primata Schmutzer yang awalnya dikelola The Gibbon Foundation, pimpinan Dr. Willie Smits ini memang dibuat se-alami mungkin seperti habitat aslinya dengan koleksi hewan primata sekitar 25 spesies dari lima famili  ordo primata di dunia yang berasal dari dalam dan luar negeri. Hampir semua primata yang terdapat di lokasi ini merupakan primata yang dilindungi dan  beberapa diantaranya merupakan hasil sitaan atau serahan dari masyarakat.

Saya tak perlu khawatir berada dan mengelilingi kawasan ini karena di banyak sudut di tempat ini tersedia kursi taman untuk istirahat. Suasanapun dijamin teduh dengan 84 jenis pepohonan yang ditanam di kawasan ini. Serasa di hutan tapi tetap nyaman. Jika haus saya cukup minum di pancuran air minum ”niagara” gratis yang tersedia di banyak titik. Tinggal pencet saja air minum seperti air mancur akan keluar otomatis dan saya tinggal menikmati kesegarannya. Namun sayang, ada beberapa fasilitas air minum ini tak bisa digunakan karena rusak.

Pusat primata ini tidak hanya mengoleksi hewan primata, tetapi juga berfungsi sebagai pusat pendidikan dan konservasi lingkungan hidup. Karena itu belum lengkap rasanya berkeliling jika tidak menyambangi museum dan gedung theater yang memutar film dokumenter tentang kehidupan primata. Lokasinya menyatu di sebelah kiri pintu gerbang kubah. Di sini dipamerkan berbagai miniatur primata lengkap dengan penjelasannya yang bisa menjadi wahana edukasi anak. Juga souvenir khas yang bisa dibeli seperti t-shirt bergambar gorila atau satwa lain dan mug.

Oh ya, seperti halnya manusia gorila disini juga makan sehari tiga kali. Jadi jika berkunjung pada jam memberi makan pada pukul 09.00, 12.00 dan pukul 15.00WIB pengunjung dapat menyaksikan petugas memberi makan primata ini di sekitaran enklosur.

Yang menarik, ditempat ini banyak sekali poster maupun karikatur ajakan dan  cermin besar bertuliskan, “ayo, jadi sahabat primata!”, yang berarti ajakan kepada diri kita ketika berdiri di atas cermin tersebut untuk berpartisipasi melestarikan hewan yang terancam punah ini.

--> Puck, Sang Bunda Primata

Kesederhanaan terpancar dari raut wajah bulat perempuan berambut putih belah tengah itu. Meski kanan kirinya diapit gorila dan orangutan, senyumnya nampak sumringah dengan bayi dalam gendongan. Bahkan dibalik rerimbunan pohon, sesekali ia terlihat  tengah mencium bayi orangutan berbulu coklat itu dengan kasih sayang.

Yang jelas perempuan itu bukan pawang gorila atau induk orangutan yang menjadi tontonan dan bagian dari atraksi, meski  ketika berada di Pusat Primata Schmutzer wajahnya nongol dibeberapa sudut areal Schmutzer dan museum. Perempuan yang tergambar dalam bentuk lukisan dan foto terpampang dalam berbagai ukuran  adalah nyonya Pauline. Siapa dia?

Ya, Pusat Primata Schmutzer ini memang tak bisa lepas dari perempuan bernama Pauline Adeline Antoinette Veersteegh. Ia adalah penggagas dan penyandang dana pembangunan pusat primata terbesar di dunia selain pusat primata yang ada di Leipzig, Jerman. Atas usaha dan tekadnya Pusat Primata Schmutzer berdiri megah di komplek Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan.

Puck Schmutzer , sapaan akrab perempuan kelahiran Wonorejo, Jawatengah ini selain punya jika seni yang tinggi dengan koleksi lukisannya, ia seorang penyayang binatang dan dermawan yang mempunyai kepedulian sangat besar pada kelestarian satwa liar yang hampir punah.

Istri pengusaha  Drs. IAM Ignace Schmutzer sering malah melintang keberbagai belahan dunia untuk misi sosial, pelestarian satwa dan lingkungan. Meski berkewarganegaraan Belanda karena dipersunting Schmutzer, tak menyurutkan keprihatinan dan kepeduliannya pada upaya konservasi terhadap primata yang terancam punah di tempat kelahirannya, Indonesia.

Melalui The Gibbon Foundation, Ia mewariskan seluruh harta warisannya untuk pembangunan dan pengelolaan Pusat Primata Schmutzer  yang diresmikan almarhum Presiden Soeharto tahun 2002 lalu dengan menghabiskan dana hingga Rp 44 miliar. Pengelolaannya kemudian  berpindah tangan ke Pemda DKI Jakarta. Puck kemudian mendapat julukan ibu primata.

Atas kecintaannya pada Indonesia, perempuan yang abu jenazahnya ditabur di atas jejak kaki harimau sumatera di kawasan Taman Nasional Berbak, Jambi ini berharap hibah yang diberikan dapat membantu masyarakat Indonesia untuk lebih menghargai dan peduli pada keindahan satwa liar Indonesia, khususnya satwa yang berada dalam ambang kepunahan seperti primata.

Sebuah gagasan besar dan mulia untuk pengembangan dan pelestarian primata yang berawal dari ingatan Puck akan sebuah petuah sederhana tapi luar biasa dari kedua orangtuanya. Ya, sebuah petuah yang juga diperuntukkan bagi kita untuk selalu menghargai dan mencintai semua ciptaan Tuhan, termasuk manusia dan satwa.
Noni Arnee


Rubrik Jalan-Jalan Harian Suara Merdeka



Ketika Wayang Asia Bertemu



Jendela Budaya 
Radio Deutsche Welle / Indonesian Programme
080411

Wayang bukan cuma tumbuh dan berkembang di pulau Jawa dan Bali. Tetapi juga di berbagai belahan dunia lain. Khususnya di kawasan Asia, yang memang secara kebudayaan cukup dekat satu sama lain, dan selama beratus tahun saling mempengaruhi. Hal ini mengemuka dengan jelas dalam Temu Wayang Asia yang diselenggarakan terpadau dengan festival wayang Indonesia ke-2, di Taman Budaya Yogyakarta. Pesta setiap tiga tahun sekali ini diselenggarakan Persatuan Pedalangan Indonesia Pepadi bersama Lembaga Sena Wangi.
Saya Nonie Arni, koresponden Anda di Jawa Tengah, berbagi cerita dalam Jendela Budaya kali ini.

Lakon Abimanyu Ranjab atau tewasnya Abimanyu dalam pakeliran padat selama 1 jam yang disajikan dalang muda asal Jawa Timur Ki Cahyo Kuntadi, begitu menghanyutkan penonton. Wajar saja kalau akhirnya Wayang Kulit Jawa Timuran ini memperoleh predikat penyaji  dan garap sabet atau permainan wayang terbaik.

Selain Abimanyu Ranjab dari Ki Cahyo Kuntadi, tampil 17 dalang dari seluruh Indonesia dengan 17 laokon yang berbeda. Juga dengan berbagai gaya, jenis, dan bahkan aliran wayang yang berbeda.
Gaya utama yang kali ini tampil antara lain Wayang Golek Sunda, Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta, Wayang Kulit Jawatimuran, Wayang Kulit Gaya Yogyakarta, dan Wayang Banjar.

Ketua panitia festival wayang, Ki Ageng Mas’ud Thoyib mengatakan, festival ini  selain untuk  memberi motivasi baru bagi  seniman pewayangan, juga   diupayakan untuk menumbuhkan apresiasi masyarakat lebih luas, khususnya generasi muda, terhadap seni budaya wayang.
“Setelah diakui dunia, maka pertama langkahnya adalah konsolidasi yang diwujudkan dalam bentuk festival yang disebut festival wayang Indonesia 2008. Tapi festival wayang itu sudah dilaksanakan 3 tahun lalu yang pada saat itu pesertanya 10, padahal PEPADI punya Komda di 24 propinsi. 18 mengirimkan berarti di daerah itu sudah tumbuh wayang-wayang itu sendiri. mewakili tingkat propinsi. Sangat dinamis dan tidak didominasi oleh Jawa. Tujuan akhir dengan adanya festival pasti akan lahir dalang baru. Ke depan akan sangat baik sekali potensinya”


Upaya Festival Wayang untuk menjangkau penonton lebih luas tampak dari pertunjukan-pertunjukan yang tidak dilangsungkan semalaman sebagaimana pertunjukan tradisional. Melainkan dengan pertunjukan padat yang berlangsung sekitar 1 jam. Setiap gharinya dalam festival ini ditampilkan lima pakeliran padat oleh lima peserta.

Wayang Indonesia saat ini mencapai lebih dari 50 jenis dan gaya,  yang terbedakan dalam hal bentuk, gaya dan teknik pertunjukan. Bentuk yang nyata terlihat bedanya, misalnya antara wayang kulit, wayang golek, wayang beber, wayang klitik,  bahkan juga wayang orang. Sebagian sudah tak lagi hidup dengan wajar, karena sudah tidak lagi disangga masyarakat pendukungnya. Seperti wayang beber atau wayang klitik.

Yang paling dominan adalah wayang kulit purwa, khususnya gaya Yogyakarta dan Surakarta. Dalam Festival Wayang, pakeliran gagrak wayang purwa begitu mendominasi. wayang gaya Surakarta lebih banyak dipilih peserta dari luar Jawa. Ada juga pakeliran wayang banjar khas Kalimantan Selatan yang disajikan Ki Syaputra.

Namun kata pemerhati wayang asal Yogyakarta, Sumari, festival akan lebih menarik jika jenis dan gaya wayang yang dipertontonkan lebih variatif. “Bagaimana festival ini mencakup berbagai jenis dan gaya  wayang di Indonesia. Tidak hanya wayang kulit gaya surakarta, yogyakarta, tapi mungkin gaya-gaya yang lain seperti wayang Palembang, gaya Banyumasan, gaya Betawi. Itu semua bisa pentas alangkah lebih bagus lagi”

Terlepas dari itu, Festival Wayang selalui dijubeli pengunjung. Dalam setiap pertunjukan, kursi di gedung pertunjukan berkapasitas seribu orang selalu dipadati penonton, siang dan malam. Mungkin kkarena pertunjukan juga digratiskan.

Di antara ribuan penonton terdapat Sartono warga Yogyakarta yang sore itu datang bersama istri dan Bagus anaknya yang berusia lima  tahun.“Pada dasarnya saya sebagai orang tua ingin megenalkan kebudayaan lokal kepada anak, tapi anehnya kejadian kemarin itu justru anak saya yang memberitahukan bahwa disini ada wayang, jadi hari ini saya menyempatkan melihat karena diajak anak saya. Anak saya bilang wah.. kasian ya bapak ga bisa lihat wayang padahal bapak suka wayang. Kemudian anak saya mengajak untuk menonton wayang.”


Festival Dalang disleenggarakan sesudah terhentinya Pesta Wayang yang biasanya diselengagrakan oleh pemerintah. Berbeda denan Pesta Wayang yang biasanya berlangsung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Festival Wayang diselenggarakan secara berpindah-pindah. Upaya ini mendapat dukungan kuat dari para dalang dan seniman seni pewayangan. Seperti dikatakan Ki Cahyo Kuntadi dalang asal Jawa Timur. “Sangat luar biasa, saya sangat mendukung dan menorong adanya festival wayang tingkat nasional seperti ini, karena untuk memacu generasi-generasi penerus untuk mengiprahkan keahlian dan kemampuan dalam berkesenian terutama di wayang. Dengan cara begini temen-temen bisa berpikir oh.. kalau dengan festival seperti ini dengan kriteria seperti ini, nilainya gimana, bobotnya gimana.. lha ini tantangan, itu sangat positif.”


Yang menarik dari ajang ini juga adalah tampilnya peserta dari Papua. Tentu saja bukan wayang Purwa Papua. Melainkan wayang kulit purwa Jawa yang didhidupkan oleh pendatang Jawa di pulau paling timur itu. Ki Toto Handoko, dalang peserta dari Papua, menggambarkan:
“Untuk mengenalkan wayang disana biasanya kita pakai pegelaran padat juga tapi dialognya pakai bahasa Indonesia. Di sana kita mengenalkan anak-anak kadang kita memancing pagelaran pakai doorprize tiap triwulan. kalau frontal langsung susah. Biasanya ada hari-hari penting seperti 17an, satu syuro, tahun baru. Saya pribadi Ingin menciptakan wayang papua mengangkat cerita asli daerah sana tapi ya tetep pakai bahasa Indonesia karena sekitar 300 lebih bahasa disana dan sulit untuk mempelajari.”


Di Papua Ki Toto Handoko berusaha memperkenalkan wayang Jawa. Kendati dengan bahasa Indonesia. Namun di pulau Jawa sendiri, wayang tidak lagi berada di masa kejayaannya. Jumlah dalang jauh berkurang, seiring menurunnya jumlah penonton dan undangan manggung. Pertunjukan wayang kini lebih terbatas kesempatannya. Dan banyak yang harus menyertakan bumbu kesenian populer seperti dangdut, agar bisa tetap bertahan dalam kehidupan masyarakat. Sementara wayang yang murni sebagaimana pakemnya, lebih banyak ditampiulkan dalam acara kebudayaan yang khusus. Pengamat pewayangan Sumari menjelaskan,
“Satu sisi kita prihatin generasi muda kita khususnya diperkotaan itu semakin jauh dari wayang, itu kita akui.  Tapi kalau kita petakan di pedesaaan daerah-daerah tertentu seperti Jawa timur khususnya itu masih tinggi sekali. Ya ini tantangan bagi semua yang ngurusi wayang ini. Kendalanya banyak anak muda kita jauh dari wayang itu karena dari sisi bahasa mereka kurang paham. Kedua memang munculnya pesaing media lain seperti media elektronik.“


Kondisi yang sama dialami wayang lain di berbagai negara Asia. Sebagaimana terungkap dalam Temu Wayang Asia zang diikuti 13 negara.
.Kali ini sebagian peserta berasal dari Asia Tenggara. Namun wayang atau teater boneka dalam berbagai bentuknya, juga tersebar di hampir semua wilayah Asia
Sekretaris Jendral Asosiasi Wayang ASEAN, Tupuk Sutrisno mengatakan, dalam temu Wayang Asia itu para delegasi menyepakati beberapa hal.
“Melestarikan dan mengembangan wayang diseluruh sub region, itu antara lain tukar 
 menukar pagelaran, tukar menukar ahli untuk saling membantu agar wayang ini tumbuh. Ke dua adalah membuat dimasing-masing Negara itu sanggar wayang tradisional dan tidak membutuhkan banyak biaya. Disanggar itu akan dipelajari filosofi dari masing-masing wayang. Wayang Indonesia, Thailand, Myanmar dan sebagainya. Nantinya akan tumbuh kualitas dalang dan SDM  lainnya secara lebih meningkat kualitas nya.”

Dalam pertemuan tersebut juga digagas pembuatan buku Wayang ASEAN sebagai  referensi Wayang  di negara-negara ASEAN.

Terdesaknya seni tradional wayang oleh berbagai tradisi kesenian dan kebudayaan baru, juga diderita negara-negara Asia lain.  Di Thailand misalnya.  Ketua delegasi Thailand, Siriporn Theopipithporn menjelaskan, untuk bisa bertahan, seni wayang Thailand yang disebut ‘hun’, bahkan dikemas dalam bentuk mini konser yang lebih modern.

“Teater boneka tradisional Joe Louise, misalnya,  sangat terkenal nasional dan internasional. Bahkan mendapatkan  2 penghargaan best performance dalam festival teater boneka internasional di Praha pada tahun 2006 dan tahun ini. Tahun depan berencana ikut festival di Prancis. Pada dasarnya teater boneka tradisional di dunia punya masalah yang sama dalam hal penyajian dan bagaimana mempertahankan.”


Teater boneka tradisional Thailand dari kelompok Joe Louise bisa terus bertahan, karena mereka berkompromi dengan kebudayaan dan kenyataan baru dan modern. Kini mereka berencana membuat sekolah khusus mengenai teater boneka ini. Di Indonesia pun banyak kelompok dan dalang yang bertahan dan memperoleh tempat khusus justru karena mereka berkompromi dengan selera baru masyarakat. Seperti tampak dari wayang golek Asep Sunarya, dalang Ki Narto Sabdo, dalang wayang Kulit Tegal  Enthus Sismono, dan lain-lain.
Sementara wayang dalam bentuk aslinya hanya bisa hidup jika disangga dengan peristiwa dan dana kebudayaan yang besar. Masalahnya, kesenian bukan merupakan prioritas dalam anggaran pemerintah Indonesia. Kendati justru kesenian merupakan salah satu unggulan dan kebanggaan Indonesia di dunia internasional.

Pendengar demikian jendela budaya kali ini. Saya Noni Arni.

Rabu, 16 Maret 2011

Syahwat Keabadian...

Budaya dan gaya
Radio Deutsche Welle Jerman
15.03.11



Syahwat Keabadian Friedrich Nietzsche :

Lewat karya fenomenalnya Sabda Zarathustra, Friedrich Wilhelm Nietzsche begitu populer sebagai filsuf Jerman yang sangat berpengaruh dan berdampak besar pada jagat filsafat dan perkembangan pemikiran di dunia.

Namun, belum lama ini, melalui tur di beberapa kota di Jawa Tengah, Berthold Damnhauser, ahli sastra dari Universitas Bonn bersama penyair Sosiawan Leak dan Dorothea Rosa Herliany, justru memperkenalkan sosok Nietzsche yang berbeda, yakni sebagai salah satu penyair besar pada zamannya. Dalam rubrik budaya kali ini, Saya, Noni Arni mengikuti tur Syahwat Keabadian di 3 kota di Jawatengah.

”Oh, bagaimana aku tak syahwatkan keabadian, dan cincin kawin segala cincin, cincin Sang Keberulangan! Tak pernah kutemukan perempuan, yang ingin kujadikan ibu anak-anakku, kecuali perempuan yang kucintai ini: karena kucintai kau, oh Keabadian!.”

Penggalan sajak ”Tujuh Materai” yang dibaca penyair Sosiawan Leak merupakan salah satu sajak dalam kumpulan puisi Syahwat Keabadian yang termaktub dalam buku Nietzsche Also Sprach Zarathustra. Ini buku keenam dari Seri Puisi Jerman yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia.

Benarlah, Nietzsche memang lebih dikenal sebagai filsuf bukan penyair. Karena itu, dalam rangkaian pembacaan dan diskusi sajak-sajak karyanya yang dilangsungkan di Universitas Negeri Semarang, Balai Soedjatmoko Solo, dan Rumah Buku Dunia Tera Magelang, Nietzsche diperkenalkan ke kalangan lebih luas. Begitu penjelasan Berthold Dams-hauser.

”Yang kita sebarkan terutama melalui buku puisi tentulah puisi, estetika. Karena itu puisi-puisi besar saya kira itu bisa dirasakan sebagai puisi saja. Itu sebenarnya bukan tujuan menyebarkan pikiran Nietzsche, tapi memperkenalkan puisi indah Nietzsche dalam bahasa Indonesia yang juga indah. Ada pertimbangan estetika sebenarnya.”

Sebagai penyair, Nietzsche bahkan dianggap sebagai salah seorang pembaharu pada sastra Jerman. Sajak-sajaknya menunjukkan kebebasan berbahasa, metafora-metaforanya demikian kaya yang banyak diikuti oleh penyair sesudahnya.

”Penyair seperti Rilke, Trackel, mereka semua membaca Nietzsche. Tidak dibaca pada zamannya. Baru setelah meninggal dia dibaca, ramai dibaca. Di Jerman dipengaruhi baik oleh pemikiran Nietzsche maupun oleh bahasanya. Metafora-metafora itu terlihat muncul pada bentuk yang sedikit diubah pada cukup banyak puisi. Itu penuh patos. Saya kira patos itu juga bisa dirasakan dalam terjemahannya. Jadi semangat yang ada di puisi Nietzsche juga suka ditiru, cara metaforis dan mereka juga angkat ide-ide dari filosofinya. Terutama pada awal abad yang lampau di situ pengaruh bisa dilihat bahkan dalam bentuk puisi. Ketika perang dunia pertama, banyak tentara membawa dua buku. Alkitab dan Zarathustra. Alkitab oke tapi Zarathustra juga dibawa, yang sebenarnya sangat bertentangan.”

Dams-hauser juga mengatakan adanya pengaruh metafora Nietzshe pada sajak-sajak karya para penyair yang hidup di era tahun 1844 hingga tahun 1900 ini.

’’’Palsu dengan diri sendiri’. Bukankah itu luar biasa palsu pada diri sendiri. Gamang. ’Di tengah ratusan kenangan, lelah di tiap luka’, itu sebuah metafora bagamana kita bisa lelah di tiap luka. ’Gigil di tiap kedinginan tercekik pada tali sendiri’.

Itu ide-ide luar biasa. Bayangkan yang terjadi di sini. Menggali-gali diri sendiri. Menggali diri itu sebuah metafora. Hal-hal yang tidak terjadi dalam kehidupan sehari-hari. ‘Kau dibungkukkan di antara dua tiada’. Yang satu tiada adalah Tuhan, yang lain adalah setan.”

Namun, menurut Dams-hauser, 60 puisi karya Nietzsche itu memuat pemikirannya. Buku Syahwat keabadian dipilih dan diambil dari sejumlah karya Nietzsche dalam periode yang merepresentasikan gagasan dan kegelisahan jejak pemikiran Nietzsche yang ditulis pada puncak kreativitasnya di usia 45 tahun.

”Latar belakang dari kebanyakan puisi adalah filosofinya. Karena banyak puisi yang kita bacakan diambil dari karya Demikian Sabda Zarahustra. Tapi bisa juga dari puisi Nietzsche lain yang tidak demikian jelas berkaitan dengan filosofinya.”

Salah satu puisi yang cukup dianggap penting dan mewakili pemikiran Nietzsche adalah ”Cuma Pandir! Cuma Penyair.”

’’kerinduan yang berlumur ribuan larva,/bersifat rajawali, bersifat macan kumbang,/kau yang pandir! Kau yang penyair!//Kau yang menemukan manusia/sebagai dewa maupun domba,/mencabik dewa dalam manusia/dan terbahak dalam bahak men-cabik,/Itu, itulah bahagia-mu,/bahagia macan kum-bang dan rajawali,/bahagia penyair dan si pandir!”

Lantas, bagaimana cara penyair Sosiawan Leak Sosiawan membaca Nietzsche yang telah dialih bahasakan?

”Sedahsyat apa pun proses penerjemahan selalu ada jarak. Nggak cukup dari terjemahannya saja. proses terjemahan adalah proses menyaring kembali. Kesulitannya ada tapi tidak begitu masalah. Saya kemudian baca waktu dia nulis ini, kegelisahannya pada wilayah di mana, ideloginya, kegelisahan temanya, pengolahannya, pengembaraan estetikanya. Harus mengungkap lebih banyak tentang itu daripada tentang puisinya. Gaya baru yang style dia. Terjemahan itu selalu lebih sulit daripada karya aslinya.”

Dams-hauser menegaskan, puisi Nietzsche mencerminkan dirinya sebagai seorang nihilistik yang mempertanyakan nilai kebenaran seraya terus mencari kebenaran itu sendiri yang kerap dianggap kontradiksi.

“Tetapi toh cuma ilusi. Ini harus dipahami sebagai puisi, bukan sebagai keterangan logis filosofis. Itu penuh dengan absurditas, dan sebagian dari Itu adalah dialog dalam diri Zarathustra. Asosiasi-asosiasi ini sangat penting untuk memahaminya karena logika kadang putus karena sekian banyak pikiran ada di benak Zarathustra. Ada yang menginterpretasikan puisi itu sebagai skitzophrenia Nietzsche sendiri.”

Dari Syahwat Keabadian yang sarat makna itulah kini publik Indonesia bisa melihat sosok lain Nietzsche. Bahkan, Jonuary Ari, penonton yang menyaksikan pembacaan puisi Nietzsche mengaku terkesan.

”Aku sedikit tergerak oleh pemikiran-pemikiran Nietzsche. Jadi sejauh Zarathustra, aku baca bukunya sama beberapa artikel pelengkap. Suka dengan pemikirannya tentang ‘amor fati’ kita mencintai takdir kita sendiri. Ternyata Nietzsche punya walaupun dibukunya itu cukilan-cukilan dari Zarathustra. Yang aku lihat Nietzsche ”nakal” dalam memilih kata-kata. Menggunakan kata-kata yang lugas tapi mengena. Kalau dari terjemahannya kata-katanya biasa saja tapi langsung menusuk memberikan arti yang dalam.

Yang judulnya ”Cuma Pandir! Cuma penyair!. Itu aku suka banget. Lebih baik jadi orang bodoh tapi sadar daripada orang pintar tapi lupa daratan.”

Seperti sudah disebutkan, kumpulan puisi pilihan Nietzsche dengan judul Syahwat Keabadian ini merupakan Seri Puisi Jerman ke-6 dalam versi bahasa Indonesia. Sebelumnya telah terbit kumpulan pilihan karangan Paul Celan, Rainer Maria Rilke, Berthold Brecht, Johan Wolfgang von Goethe dan Hans Magnus Enzensberger. Yang dialihbahasakan bersama penyair Agus Sarjono sebagai penerjemah pendamping.

Demikian sekilas tentang sajak-sajak Nietzsche...

http://www.dw-world.de/popups/popup_single_mediaplayer/0,,4128430_type_audio_struct_11583_contentId_2934131,00.html

Minggu, 13 Februari 2011

Warok Suromenggolo-Suminten Edan

Deutsche Welle
15.12.10

Kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Lewat kethoprak

Pagelaran kethoprak yang digagasi Aliansi We Can ini mengusung judul “Warok Suromenggolo-Suminten Edan”. Sebuah metode kampanye yang digagas pegiat isu perempuan. Tujuannya, untuk mendorong perubahan sikap dan perilaku setiap individu secara berantai untuk menghasilkan sebuah gerakan sosial yang mampu menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Pelaksana Program Kampanye We Can, Ninik Jumoenita  mengatakan, kentalnya budaya di masyarakat juga menjadi penyebab masih banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan dimasyarakat. Data Komnas Perempuan tahun 2009 menyebut, terjadi kenaikan angka kasus kekerasan terhadap perempuan hingga 260 persen lebih, dari 54 ribu menjadi 140 ribu kasus. Karena itu, diperlukan kampanye aktif dalam bentuk apa pun, termasuk kampanye melalui jalur budaya.

”Kita tidak akan memerangi pelaku dalam konteks secara frontal, tapi kita lebih melakukan dengan pendekatan positif. Kami melihat bahwa budaya itu mempunyai posisi yang sangat strategis dalam mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Budaya itu juga berkontribusi untk melanggengkan budaya patriarki. Ketika misalnya kepercayaan yang mereka anut perempuan itu adalah makluk sub ordinat berdampak pada terjadinya kekerasan. Kalau saja budaya ini yang digemari masyarakat bisa mempengaruhi perspektif  cara berpikir masyarakat harapannya bisa berefek domino. Melalui pagelaran-pagelaran seperti ini kampanye We Can  atau nilai-nilai untuk hentikan  kekerasan terhadap perempuan ini akan tertular lebih banyak dalam tingkat pembangunan awarness.”

Sanggar  ketoprak Widya Budaya tampil bersama pegiat isu perempuan dalam ketophrak “Warok Suromenggolo-Suminten Edan”. Ketophrak ini antara lain bercerita tentang nasib dua perempuan. Cempluk Warsiyah, yang mengalami kekerasan fisik dari Surogentho karena menolak diperistri dan Suminten yang mengalami kekerasan secara psikis. Dia menderita hingga hilang ingatan karena rencana pernikahannya dengan anak adipati Trenggalek, Raden Mas Subrata dibatalkan secara sepihak. Calon suami yang dijodohkan kedua orangtuanya itu lebih memilih Cempluk, sepupunya. Anak dari warok Suromenggolo.

Lakon ”Warok Suromenggolo-Suminten Edan” diadaptasi dari babad atau cerita tutur masyarakat yang sering dimainkan dalam kesenian tradisional yang masih relevan dengan kondisi saat ini. Isinya kritik atas berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dimasa lalu, baik kekerasan fisik maupun psikis.

Lakon ini mengisahkan masih kentalnya budaya patriarki kala itu, yang digambarkan dari sikap para warok atau tokoh masyarakat yang disegani, yakni suromengolo dan surobangsat.  Mereka sering bersikap sewenang-wenang, termasuk merenggut hak atas diri anak perempuan mereka Suminten dan Cempluk untuk menentukan hidupnya.

Kisah ini sebenarnya ingin menuturkan masih banyak kekerasan fisik dan psikis terhadap perempuan. Sehingga dengan menunjukkan pesan moral tersebut, penonton menyadari segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Setidaknya itu pesan yang ingin disampaikan Rakun, sutradara ”Warok Suromenggolo-Suminten Edan”.

Ada kaitan dengan ”We Can Indonesia” seperti ketika adipati Trenggalek mencoba pemaksaan anaknya untuk dinikahkan, bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Kedua, Suminten yang sudah diberitahu akan dinikahkan ternyata tidak jadi, kita anggap satu tindakan kekerasan psikis. Adegan Surogentho yang sekarang ini juga sering terjadi bahwa kekerasan dilakukan oleh orang terdekat. Cempluk Warsiyah dan Gentho.  Dari teman sepermainan itu mencoba melakukan pemerkosaan. Jadi gambaran itulah diharapkan tidak harus terjadi dan perlu dicegah. Kita munculkan solusi. Jadi ketika ada adegan kekerasan ada yang menjelaskan Itu adalah pelanggaran. Disitulah pesan kepada masyarakat. ”

Pagelaran ketoprak selama dua setengah jam, memukau penonton. Salah satunya Dyah Ayu, mahasiswi Universitas Diponegoro Semarang.

”Sumintennya itu, dia aktingnya total banget, semua bagus. Kayak kethoprak, wayang orang, sebetulnya aku dari kecil suka. Banyak pelajaran, pesen tapi tidak terkesannya menggurui, daripada baca teks buku, apalagi dengerin orang pidato kayak gitu males. Kayak gini kayaknya lebih mengena. Oh yaa..yaa.. jadi mikir. Jadi kalau pesen-pesen yang diselipin kayak kekerasan terhadap perempuan, kadang kita tidak menyadari perempuan jadi kayak benda, tidak berkuasa atas dirinya sendiri. Jadi semua tergantung dari orang tua, dari orang-orang disekitarnya.  Tidak bisa independen.”

Direktur lembaga bantuan hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan LBH APIK Semarang, Soka Hardinah Katjasungkana menilai, pesan yang disampaikan melalui seni pertunjukan lebih mudah diserap sehingga cukup efektif sebagai alat  kampanye. Termasuk dalam kampanye yang mengangkat isu perempuan.

”Media kesenian tradisional ini sangat efektif untuk bisa menyasar kepada masyarakat. Karena selama ini kesenian tradisional ternyata masih dipilih sebagai hiburan mereka. Jadi kalo  materi pesannya dimasukkan kesenian yang masih dimnati oleh masyarakat, kami anggap ini nanti  akan bermanfaat untuk penyebaran nilai-nilai anti kekerasan terhadap perempuan.”

Sabtu, 12 Februari 2011

Milas: Mimpi Lama Sekali

Politik dan Masyarakat
Radio Deutsche Welle / Indonesian Programme
12.02.2011

Milas: Alternatif Pengentasan Pengangguran

Jumlah anak jalanan dan remaja putus sekolah terus meningkat di kota-kota besar Indonesia. Data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional kerjasama BPS dan pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Pusdatin Kesos tahun 2002 menyebut, jumlah anak jalanan hampir 95 ribu anak. Meningkat 100 % lebih dibandingkan angka tahun 1998.

Tidak mudah mengentaskan mereka lepas dari kemiskinan dan hidup dijalan. Tapi inilah yang dilakukan Milas Yogyakarta, sebuah inisiasi sekumpulan orang yang menyediakan ruang bagi mereka untuk mendapat kehidupan lebih baik. Salah satu caranya dengan pemberdayaan melalui pelatihan ketrampilan di sanggar kerajinan Milas.

Dalam Politik dan Masyarakat kali ini, saya, Noni Arni, berkunjung ke Prawirotaman Yogjakarta untuk melihat seperti apa aktivitas Milas, yang lebih dikenal masyarakat sebagai tempat makan yang menyajikan menu khusus vegetarian.

”Lulus SMP nggak punya biaya, dulu sempet kerja di rumah tangga, ikut sales. Pengen cari uang, udah capek nggak dapet duit.Sehari cuman dikasih 3 ribu. Terus ada yang nyari anak-anak putus sekolah, mau nggak kalau kursus kerajinan. Terus aku ikut di lembaga itu. Programnya udah selesai, terus ditawari gimana kalau masuk ke milas aja ikut belajar lagi. Ingin mendalami kerajinan,.”

Ana mengingat pertemuannya dengan sanggar kerajinan Milas 6 tahun lalu, ketika ia putus asa dengan kehidupan yang dilakoninya. Tawaran belajar ketrampilanpun diterima.

”Belajar tapi dikasih transport. Banyak sekali, macem-macem pelajarannya. Bisa cari uang sendiri. Kalau dulu cuman maen, sekarang disini kalau udah satu tahun udah produksi. Temen-temen masih belajar pertama dikasih transport 10 ribu, nanti beberapa bulan tambah lagi. Bikin buku, atau map. Kamu harus belajar caranya mengukur yang bener, nge-lem yang bener. Nanti kalau kualiti kontrol udah bagus bisa tingkat tinggi lagi. Sudah bisa produksi nanti transportnya ditambah 20 ribu, itu yang digaleri udah bisa bikin. Jadi kalau belajar harus telaten. ”

Kini Ana tidak hanya mahir membuat barang kerajinan tangan, tapi juga mendampingi mereka yang belajar di sanggar Milas. Bahkan Kegiatannya ini menghasilkan rupiah untuk menghidupi suami dan anaknya yang berusia 3,5 tahun.

Selain Ana, ada Febri. Siang itu, ia sedang asyik membuat mainan anak sambil ditemani suara gesekan amplasnya yang beradu dengan merdu Katon Bagaskara dari sebuah radio kecil. Remaja berusia 17 tahun ini tak mampu melanjutkan sekolah.
”Udah nggak sekolah. Ya tertarik dari pada dirumah nggak ada hiburan, cuman main-main di rumah.“

Meski baru 3 bulan, ia merasa betah bergabung di sanggar kerajinan yang terletak di bagian belakang restoran vegetarian Milas. “Suasananya enak. Ada temen-temen nanti kalau nggak bisa bisa dibantu, nanya. Hasilnya ini dimasukan ke galeri. Diajarin bikin tempelan kulkas, gantungan kunci.”

Salah satu pengelola Milas, Kartika Wijayanti mengatakan, mereka dibimbing agar produktif dan menghasilkan berbagai kerajinan berkualitas. Hasilnya dijual di galeri milik Milas yang berada di satu lokasi dengan sanggar dan restoran.

”Ada temen-temen yang kasih materi. Bikin kertas daur ulang, kerajinan kalung, tas jahit dan itu dijual ke galeri. Sejak dulu galeri berfungsi untuk menjual barang-barang kerajinan hasil temen-temen yang disanggar itu. Akhirnya berubah bentuk. Bukan rumah singgah tapi sanggar. Sanggar produksi, sanggar bikin kerajinan tapi dari temen-temen yang dulu di jalan. Temen-temen yang putus sekolahpun diajakin kesini bisa.”

Sebenarnya tidak hanya Ana dan Febri. Di sanggar kerajinan Milas ini juga terdapat puluhan orang yang belajar ketrampilan membuat barang kerajinan tangan. Belajar 4 hari dalam seminggu, mulai pukul 9 hingga 4 sore.

Mereka ini adalah penghuni sanggar Milas. Sebuah tempat yang menampung anak jalanan dan remaja putus sekolah yang tertarik untuk belajar berbagai ketrampilan. Diantaranya membuat aneka mainan anak, figura, aksesoris, tas, dompet dan kerajinan daur ulang.

Sanggar kerajinan Milas terbentuk melalui proses yang panjang. Kartika Wijayanti menjelaskan, gagasan awal pendirian Milas bermula dari kepedulian sekumpulan orang terhadap nasib anak-anak jalanan dan remaja putus sekolah di Yogjakarta.

”Dulu Sebenarnya rumah singgah, pendirinya aktif di pendampingan anak jalanan. Rumahnya dibuka, anak-anak jalanan silahkan dateng. Memang disediain sarana mandi, cuci, kasus, untuk membersihkan diri.“

Selain mendapatkan pelatihan ketrampilan disanggar Milas, seperti menjahit dan membuat kerajinan tangan, mereka juga mendapat pendampingan berupa pengetahuan tentang kesehatan, ketrampilan hidup, dan konseling informasi.

”Selain mereka datang untuk mandi, membersihkan diri, mencuci baju, ikut workshop aids, ikut tes hiv aid juga, mereka juga diajari workshop kerajinan. Terus ada workshop kerajinan yang akhirnya berkembang menjadi bengkel kerajinan. Supaya mereka tahu ada cara hidup lain yang tidak hanya dijalan. ”

Mereka belajar ketrampilan tanpa dipungut biaya, dengan jangka waktu maksimal 2 tahun.

”Kalau kelamaan disini juga ke-enakan, terlalu nyaman disini karena bisa langsung dijual disini, kalau diluar mereka harus berjuang kan. Barangnya bisa masuk ke tempat jualannya, misalnya jualan ke galeri mana ke tempat turis mana kan harus dilihat dulu.”

Yang sudah selesai belajarpun dibebaskan untuk berkembang dan membuka usaha sendiri. Sejak Milas berdiri tahun 1997, sudah tak terhitung lagi mereka yang berhasil mengembangkan diri.

” Dalam tanda kutip lulusan sanggar sudah ada yang menikah, punya usaha sendiri. Ikut sanggar dari dia masih muda sampai sekarang, dia sudah bisa jahit. Mereka memasarkan, diajari supaya setelah dari milas mereka bisa jualan sendiri, cari celah sendiri.”

Milas singkatan dari ”Mimpi Lama Sekali”. Mimpi para pendirinya, untuk mewujudkan seluruh ide membangun "Dunia yang Lebih baik" yang fokus pada pendidikan, kesehatan dan lingkungan.

Selain sanggar dan galeri kerajinan, ide Milas dikembangkan melalui usaha restoran vegetarian dan sekolah hijau untuk anak-anak pra-sekolah.

”Visi misinya Milas, lingkungan, pendidikan, kesehatan. Untuk lingkungan adalah dengan adanya dunia yang serba cepat dunia fast food atau apapun namanya juga harus diimbangi dengan model yang lebih pelan. Yang Milas bisa ya seperti ini, makananya juga dimasak lama sekali. Kalau di restonya pengejawantahannya dari sisi kesehatan adalah dengan memperkenalkan menu vegetarian itu nggak hanya makan sayur dan sayur dan tidak menarik. Dari sisi kesehatan, dari sekolah adalah memperkenalkan bahwa makanan-makanan yang dikonsumsi anak-anak sekarang itu nggak bagus, dari sisi lingkungan disini bisa anda temui misalnya kalau makan disini tidak ada pipet, tidak ada plastik, diganti dengan tas. Itu juga nanti mengerucut di bengkel produksi itu, penghasilannya dari itu, misalnya salah satu permainan harganya bisa seratusan lebih karena handmade.”

Berbeda dengan sebuah lembaga, pengelolaan Milas dilakukan secara swadaya dan donasi dari orang-orang yang peduli dengan aktivitas Milas.

”Dana swadaya dari para pendiri, jadi modelnya saling mendonasi, apalagi setelah ada resto keuntungan restonya itu juga dibagi, disisihkan untuk mensuplai. Dari teman, uangnya dari temen ke temen, jadi lewat programnya, misalnya orang selalu datang kesini boleh nggak kalau saya donasikan ke Milas karena saya suka dengan kegiatannya Milas. Seperti itu sebenarnya.”

Karena itu, Milas menjalankan prinsip nirlaba. Keuntungan dari restoran dan penjualan kerajinan termasuk donasi digunakan untuk mendukung program peningkatan kesadaran lingkungan, kesehatan dan pendidikan.

Tujuannya, tak lain untuk membangun kesadaran dan menawarkan pilihan yang lebih baik pada lingkungan sekitar.

Sanggar Milas memang bisa menjadi salah satu alternatif untuk mengajak anak jalanan dan remaja putus sekolah menjadi produktif sehingga meningkatkan taraf hidupnya. Upaya semacam ini sudah selayaknya diikuti siapa saja yang peduli dengan generasi muda yang kurang beruntung.

Pendengar, demikian kunjungan ke sanggar Milas di Prawirotaman Yogyakarta, saya Noni Arni, salam.