Pages

Selasa, 16 Mei 2017

Mimpi Lima Generasi

Hidup dari tembakau bagi keluarga Kunadi Ahmad (46) sangat menguntungkan. Dia ingat saat ia bersama kedelepan saudaranya ikut merawat sumber penghidupan keluarga sebagai petani tembakau di Desa Karangmulyo, Kecamatan Pegandon, Kabupaten Kendal, sekitar sekitar 30 tahun lalu. “Selain sekolah, ya, membantu orang tua di kebun, mengurus mbako. Dari menyiram, menyemprot, merawat, semualah sampai panen,” cerita Kunadi Ahmad (46) kepada Independen.
Desa Kunadi dahulu dikenal sebagai salah satu sentra tembakau di Kendal selain di Kecamatan Ngampel, Gemuh, Patebon, Kangkung, Weleri, dan Ringinarum. Tembakau daerah ini menjadi komoditas primadona dan terserap di sejumlah pabrik rokok besar di Jawa.
Pada kurun 1990-2005, petani masih merasakan kejayaan tembakau. Bahkan yang tak memiliki lahan pun berani menyewa lahan karena hasilnya memang menggiurkan, meski hanya menyewa satu tahun. “Misalnya modal dan tenaga habis Rp6 juta, kalau panen bisa dapat dua kali lipat. Bahkan pada 2000-an lahan 0,25 hektare bisa menghasilkan Rp 20 jutaan,” jelas anak terakhir dari 9 bersaudara ini.
Dia mengaku sempat mengikuti jejak kedua orang tua. Tapi semua berubah ketika petani di desanya tidak lagi mendapat jaminan hidup dari mata pencaharian utama sebagai petani tembakau. Dulu, kata Kunadi, pengepul utusan pabrik dulu siap beli tembakau dari petani. “Sekarang yang beli siapa belum jelas. Akhirnya petani malas menanam dan lahan mangkrak,” ujarnya.
Terbukti lahan perkebunan tembakau di desanya menurun drastis hingga 70 persen. Dari 100 hektar tersisa 30 hektar. Kini, hanya kedua kakaknya yang masih bertahan. Warga desa lainnya beralih menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri dan buruh pabrik.
Berbeda dengan Kunadi, Kusumaadmadja Agung (69) sejak usia belia, sudah digembleng sang kakek dan ayahnya mewarisi bisnis tembakau. Kedekatan emosional Yap Sing Tjay terhadap sang cucu membuatnya ingin melibatkan Agung dalam urusan pertembakauan. “Saya masih ingat tembakau Boyolali ‘ting trecep’ rasanya kayak ditusuk jarum tapi ada rasa manisnya. Yang jelas rasanya nggakkeruan. Kalau malam saya sampai nangis karena hampir setiap hari disuruh mencicipi tembakau,” kenang lelaki yang dekat dengan sang kakek.
Agung terbiasa mencium berbagai aroma daun tembakau dari berbagai daerah yang tersimpan di gudang lantai dua. Sejak belia sudah mengikuti kebiasaan Yap pergi ke daerah tembakau.   Sesekali dia mengaku dipaksa untuk mencium dan mencicipi satu per satu aroma tembakau yang ada di gudang.
Ia belajar mengidentifikasi kualitas daun tembakau di setiap urutan tangkainya sehingga hafal jenis dan kualitas tembakau terbaik. “Hanya melihat bentuk, warna, dan bau, saya sudah tahu. Setiap tembakau mempunyai ciri sendiri. Beda warna dan kalau dipegang ada yang memeskemresek, lembut,” katanya.
Bahkan pada usia 11 tahun, Agung sudah mengisap kretek lintingan buatan leluhurnya dan mencicipi cerutu pertama ketika usia 14 tahun. Tidak biasa untuk anak seumurannya, tapi itu wajar bagi keluarganya. “Dulu rumah jadi gudang dan toko tembakau. Istilahnya lahir dan sejak kecil saya ini sudah dibacem denganmbako. Jadi darah saya sudah menyatu dengan tembakau,” katanya.
Sebagai pedagang yang mahir meracik berbagai tembakau Nusantara, Yap mendirikan toko tembakau bernama “Soei An Tabaks” di kawasan Pecinan Semarang pada 1958. Sebelumnya, dia menjajakan tembakau eceran yang diletakkan dalam bumbung bamboo ini dengan berjalan kaki. Lelaki asal Xiamen, Tiongkok itu mengeluti bisnis tembakau sejak 1903 dengan berkeliling dari kampung ke kampung.
Yap mewariskan toko pada anaknya Bram Mukti Agung yang lalu mengganti nama menjadi Toko Mukti pada pertengahan 1930-an. Agung sebagai generasi ketiga dipercaya meneruskan usaha tembakau eceran sejak berumur 20 tahun.

Tak Selalu Mulus
Bisnis keluarga yang dijalankan hampir setengah abad itu tidak selalu berjalan mulus. Berbagai regulasi pada setiap rezim pemerintahan kerap menggoyang denyut bisnis warisan keluarganya, termasuk kemunculan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), badan kesehatan dunia WHO, yang membatasi konsumsi tembakau.
Kondisi ini sempat membuat Agung frustasi. Dia ingin melepas semua aset bisnisnya untuk beralih usaha yang lebih menguntungkan, termasuk menerima tawaran menggiurkan sebagai expert tobacco di Bremen. Sebuah perusahaan asal Amerika bahkan sempat akan membeli toko dan kafe tembakau berlantai dua serta gudang tembakau di Weleri.
“Kalau memikirkan itu saya tidak bisa tidur, apalagi kalau ingat kawan yang bisnis tembakaunya ambruk dan stres. Sulit, sempat berpikir jual semua aset, bayar hutang bank, selesai. Tapi mungkin sudah garis tangan saya disuruh meneruskan,” ujarnya sambil menerawang.
Sejarah keluarga menguatkan Agung untuk bertahan. Pesan ayahnya  untuk meneruskan usaha keluarga selalu terngiang. Meski mengaku sulit, Agung bertekad tidak akan menghapus garis tangan keluarga untuk bertahan di bisnis tembakau.
Sekarang ini, pada usia yang tak lagi muda, ia mencari pewarisnya mewujudkan mimpi “five generation one family tobacconist legacy”. Dia merangkul anak satu-satunya dan kedua cucunya. Dia juga mengaet anak-anak muda untuk berkiprah di kafe tembakaunya.
Keahlian yang didapat karena faktor keturunan itu ia tularkan. Jalan panjang melintasi zaman dalam menjaga warisan sang kakek dilalui demi tumpuan bisnis keluarga. “Anak sekarang tidak sabar, misal meracik masih kurang harus ditambahi, kurang apa tambahi. Kalau tidak ulet, ya sulit,” katanya.
Ia melabeli satu produk cerutunya Khansa, gabungan nama dua cucunya yang masih berusia 9 tahun dan 4 tahun. “Kalau tidak keturunan sepertinya sulit, untuk mempelajarinya juga susah. Saya coba ajak cucu cium tembakau ternyata bisa membedakan.”
Sementara itu Heru Karyanto, pengusaha asal Kudus mengatakan tidak mudah mencari generasi penerus usaha kretek. “Tidak semua generasi penerus siap,” katanya saat bedah buku “Djamhari Penemu Kretek” di Kafe Pustaka John Dijkstra Institute, Semarang, (25/3) lalu.
Prinsipnya orangtua atau pendiri perlu melatih dan membina dengan etos kerja. Ia mengatakan keberhasilan bisnis tembakau secara turun temurun terbukti dalam regenerasi pabrik rokok besar seperti Djarum, Noroyono dan Sukun.

Berharap pada Distributor
Masalah sulitnya membentuk generasi penerus juga dterjadi pada jaringan distributor kretek, seperti yang disampaikan Slamet, Kepala Bagian Keuangan TMPT Taru Martani Yogyakarta. Ia mengungkap pabrik penghasil cerutu ini hidup dengan mengandalkan jaringan distributor yang makin menciut jumlahnya.
Tidak banyak distributor yang melakukan regenerasi meski bisnis ini masih cukup menjanjikan. Banyak yang tidak mendidik anak-anak untuk meneruskan bisnisnya. Distributor yang dimaksud adalah para distributor lama yang dibina puluhan tahun.
“Seperti distributor di Lampung dan Palembang, anaknya yang meneruskan. Di Amerika dan Bandung sudah tua tapi anaknya tidak mau melanjutkan,” katanya.
Padahal bisnis ini lebih mengutamakan sisi kepercayaan dan kehati-hatian agar jalur distribusi lebih tertata sehingga tidak merusak harga cerutu yang diproduksi. Harga jual menjadi mekanisme pasar. “Kita mau mendidik calon distributor satu saja harus hati-hati. Jadinya tidak maksimal. Mau percaya siapa kita tidak tahu dan pada akhirnya pasar kosong dan jadi liar,” ujarnya.
Pada 1994-2009, Taru Martani mempunyai 11 distributor atau importir yang tersebar di berbagai negara seperti Tobacco Service Holland, CVJ Switzerland, Tobaccos Lebanon and Middle East, Havana Tropical, Sal Dubai and Iraq, Birlesik Tutun Turkey, Indo Worldwide Horizon USA and China, Java Royale, Nguila France, Universal Praha Czech &Slovakia, Phoenicia Trading Afro-Asia Sal Cyprus, dan Russia Taekwondo Association.
Kini, jaringan distribusinya menyusut. Hanya enam distributor yang beroperasi di Amerika, Jepang, Swiss, Turki, Georgia (Imeri), dan Jerman (Surya Kretek). Jumlah ekspornya kecil, hanya satu kontainer senilai Rp 700 juta.
Sedangkan distributor lokal ada 18 yang tersebar antara lain di Lampung, Palembang, Pangkalpinang, Jambi, Tembilan, Pekanbaru, Tanjungpinang, Bengkalis, Medan, Jakarta, Bandung, DIY, Bali, Pontianak, Merauke, dan Serang.
Bagi Taru Martani, jaringan distributor yang diwariskan turun-temurun menjadi prioritas sehingga penting membina hubungan baik dengan para jaringan distributor dan berharap ada regenerasi karena pasar tembakau lokal masih potensial. Ia mengakui belum mempunyai sistem agar distributor bisa langgeng. "Mungkin dengan cara memberi bonus dan diskon akan efektif. Tapi yang terpenting bahwa cerutu Taru Martani enak, tanpa itu sulit berjualan,” tandasnya.

Noni Arnee

http://independen.id/read/khusus/387/mimpi-lima-generasi/

Jurus Sakti Bernama Inovasi

Jajaran toples-toples bening berisi tembakau berbagai ukuran di atas meja pajang dua susun di sisi kiri pintu masuk seolah menyambut pengunjung yang memasuki Kafe Mukti di Jalan Wahid Hasyim No 2A Kota Semarang. Di badan masing-masing toples tertempel kertas bertulis tangan yang menyebutkan jenis tembakau rajangan di dalamnya.
Sedikitnya 50 jenis tembakau dipamerkan dan ditawarkan kafe itu. Dari tembakau lokal seperti Srinthil Temanggung, Besuki Jember, Paiton, Bojonegoro, Madura, Maesan, Lombok, Soppeng hingga tembakau mancanegara seperti Virginia danHavana dengan berbagai varian. Juga koleksi tembakau tertua yang tersimpan selama 35 tahun.
Sementara di sisi kanan, kotak kaca menempel di dinding berisi beragam cerutu dari beberapa negara. Dipajang sebagai koleksi bersanding dengan koleksi cerutu produksi Kusumaatmadja Agung (69), si pemilik kafe.
Khusus cerutu buatan Agung, jangan bayangkan sebuah gulungan daun tembakau kering yang dilinting padat dan halus dengan daun Besuki itu menebar aroma khas tembakau yang “anthep” atau “berat” dan pahit  saat dibakar dan diisap. “Agung Cigar” kualitas premium dengan varian lightoriginal dan dark ini beraroma lain, seperti kopi, cokelat, vanila, dan berbagai aroma buah.
“Cerutu umumnya berasa berat dan pahit. Pengisapnya kebanyakan orang dewasa atau orang tua. Saya bikin yang ringan dengan memberi rasa yang umumnya mereka sukai,” ujar Agung sembari memperlihatkan beberapa cerutu produknya kepadaIndepeden.
Rasa yang jadi varian cerutunya juga bisa dicecap lidah si pengisap. Begitu juga dengan produk varian dari tembakau linting (rolling tobacco) dan tembakau linting (roll your own tobacco) yang dapat dinikmati dengan rasa green tea, mocca, cherry, mint hingga bubble gum. Atau rokok kretek (clove cigarette) merek Kentana dan Macona yang diracik dari beberapa jenis tembakau dan cengkeh asal Menado.
Agung memang harus bekerja keras menciptakan inovasi dalam peracikan produk olahan tembakaunya untuk merebut pasar. Terutama “pasar baru” cerutu yang menyasar anak-anak muda. Sebagai produsen cerutu, dia terbilang baru. Tapi kemampuan meracik melahirkan inovasi kreatif di tahun 2010 tekanan yang dihadapi “pemain tembakau” ini.
Sebelumnya, seperti yang dilakukan kakek dan ayahnya setengah abad lalu, Agung  hanya berjual-beli tembakau dan memasok pabrik-pabrik rokok kelas menengah dan kecil. Usahanya berkembang hingga mempunyai jaringan petani tembakau yang setiap panen siap menjual tembakau kepada dirinya.
“Terus terang hampir frustrasi. Bisnis tembakau sama sekali tidak jalan. Teman-teman juga mengeluh sama. Kalau tidak salah itu mulai tahun 2005. Baru lima tahun kemudian saya utak-atik memproduksi tembakau yang saya punya,” katanya.
Meski “pemain tembakau” kawakan, Agung mengaku nekat menjajaki pasar cerutu sebagai usaha kerasnya berinovasi menyasar pelanggan muda. Ia menwarkan tembakau bercita rasa “ngepop” dengan variasi rasa.
Meskipun lebih banyak berjual-beli tembakau, Agung punya kemampuan meracik rokok yang didapat dari leluhurnya. Kalau ayah dan kakeknya lebih banyak memakai bumbu dan rempah sebagai saus rokok, Agung memodifikasinya dengan aneka varian buah. Seperti tembakau berasa buah yang terbilang unik ini.  “Saya ambil stroberi yang paling bagus dari Lembang, Bandung karena stroberi sana berasa manis. Saya ekstrak dengan cara tradisional, dipotong, dikukus, diperas, dan diambil air sari buahnya.”
Agung juga berinovasi dalam kemasan bungkusan yang cenderung berwarna pastel, warna yang menurutnya disukai anak muda. Tak hanya itu, dia juga membuat cerutu kecil yang disebutnya mini-cigar dalam kemasan satu bungkus berisi lima dan dua.
Bagaimanapun juga, kreativitas tersebut menyelamatkan Agung dari rasa frustrasi untuk alih profesi. Inovasi yang dikembangkan dalam produk cerutu, tingwe, dan tembakau cangklongnya telah menuai hasil. Lebih-lebih, proyeksi pasarnya terpenuhi. Kafenya hampir setiap malam, anak-anak muda berkumpul menikmati tembakau khas dari Agung.

Taru Martani Bangkit dari Keterpurukan
Apa yang dialami Agung boleh disebut tak seberat yang dialami Taru Martani, pabrik cerutu legendaris di masanya yang berlokasi di Baciro, Yogyakarta. Perusahaan cerutu milik Pemerintah Daerah (Pemda) Yogyakarta ini bahkan hampir gulung tikar.
Taru Matani yang berdiri sejak 1918 itu dihantam badai krisis keuangan. Bahkan performa perusahaan dinilai meragukan sehingga tidak layak mendapat pinjaman untuk membayar cukai. Tanpa cukai, Tara Martani tidak bisa menjual produknya.
“Kami nekat menelepon distributor dan memberi diskon dengan harga cukai lama. Meski menjanjikan produk yang belum diproduksi akhirnya dapat dana segar dari distributor dan dipakai untuk bayar cukai agar bisa berproduksi,” kata Slamet, Kepala Bagian Keuangan TM PT Taru Martani.
Kesulitan keuangan itu terjadi selepas Yogyakarta mengalami gempa tahun 2004. Banyak piutang tak bisa ditarik dan utang perusahaan tak terbayar. Bahkan, pada tahun 2013, Pemda Yogyakarta membantu beban utang yang ditanggung perusahaan.
Dalam terpaan krisis, muncul gagasan inovatif di tahun 2010 dengan menciptakan tembakau iris baru pengganti dua jenis tembakau impor yang tak mampu dibeli. Yakni Mundi Victor pengganti Van Nelle dan Violin pengganti Drum. Tembakau iris ini melengkapi varian cerutu lokal milik Taru Martani seperti merek Mundi Victor,Senator, Adipati Corona, Ramayana Corona dan varian produk ekspor Long Filler.
Untuk bangkit dari keterpurukan, Taru Martani melakukan segmentasi pasar dengan pembedaan cita rasa. Tembakau iris Mundi Victor untuk segmen kelas, sedangkanCountry Man untuk kelas menengah, dan Violin untuk target pasar anak muda.
Tembakau iris ini mempunyai pasar terbesar di Sumatra, Jawa, Bali dan Kalimantan. Taru Martani juga membuat sendiri cerutu flavour untuk mengetatkan biaya produksi. “Buat sendiri ternyata jauh lebih murah,” kata Slamet dengan tersenyum.
Dari Laporan Keuangan Taru Martani menyebutkan, penjualan produk cerutu sebelumnya berada di titik terendah antara tahun 2006-2009. Kejayaan Taru Martani yang dikenal dengan ekpor cerutu ke mancanegara hingga 70 persen dari total poduksi harus beralih pada pasar lokal. Sebabnya penjualan cerutu ekspor dalam 10 tahun terakhir kurang menggembirakan.
Di tahun 2006 penjualan cerutu ekspor mencapai Rp1,19 miliar dan mengalami titik terendah di tahun 2012 yang hanya menghasilkan Rp649 juta. Angka penjualan tertinggi ada di tahun 2009 sebesar Rp4,73 miliar dan tahun 2013 sebesar Rp3,59 miliar. Tahun 2016 hanya mampu menghasilkan Rp601 juta. Penjualan cerutu lokal stagnan dengan kisaran Rp 2 miliar- Rp2,68 miliar.
Produk tembakau iris Mundi Victor mampu mengangkat penjualan hingga Rp3,28 miliar, dan tahun 2016 mencapai Rp7,61 miliar. Sedangkan penjualan Country mancenderung stagnan. Tapi di tahun 2016 nilai penjualan tercatat naik menjadi Rp5,19 miliar dari tahun sebelumnya senilai Rp3,834 miliar. Sedangkan Violin dari tahun 2010 sebesar Rp139 juta menjadi Rp 953 juta di tahun 2016.
Ya, beberapa strategi Taru Martani memang berhasil membuat perusahaan cerutu itu tetap berproduksi. Laba perusahaan meningkat meski tidak cukup signifikan. Setidaknya perusahaan ini bisa bangkit dari titik terendah pada 2012. Laba perusahaan hanya hanya Rp16 juta dengan kontribusi pendapatan asli daerah Rp9 juta. Laba terus meningkat hingga di tahun 2016 menjadi Rp2,03 miliar dan mampu menyumbang pada kas daerah sebesar Rp1,01 miliar.
Slamet mengatakan ketika ramai kampanye antirokok dan Taru Martani terpuruk. DPRD pun mengusulkan menutup perusahaan karena tidak untung. Tapi perusahaan ini bertahan dan bangkit. “Setidaknya bisa nguripi (menghidupi) pekerja dan menghindari PHK. Berat karena harus memikirkan setoran ke pemda dan biaya cukai yang setiap tahun naik,” katanya.

Noni Arnee

http://independen.id/read/khusus/386/jurus-sakti-bernama-inovasi/














Bertahan dari Himpitan Regulasi Kretek

Regulasi ketat pembatasan konsumsi tembakau dan produk olahannya memengaruhi  bisnis pertembakauan berskala menengah dan kecil. Sebagian besar dari mereka gulung tikar. Sebagian bertahan karena pintar berinovasi dan menyiapkan regenerasi.  Independen menurunkan laporan bersambung tentang dinamika perusahaan kretek lokal dari berbagai sisi.

-----------
Kusumaadmadja Agung (69) masih ingat kejayaan usaha tembakau orang tuanya. Saat itu, di lantai dua gudang  toko tembakau ayahnya di Jl Wahid Hasyim 2A, Kota Semarang, bronjong-bronjong tembakau bertumpukan. Daun tanaman bernama Latin Nicotiana tobacco  itu dibeli ayahnya dari para petani di berbagai daerah di Jawa.
Sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, Agung diandalkan meneruskan bisnis tembakau keluarga yang dirintis Yap Sing Tjay, sang kakek yang berasal dari Xiamen, Tiongkok. Sejak usia belia, aroma tembakau sudah akrab tercium hidungnya. Lebih-lebih Bram Mukti Agung, sang ayah, kerap mengajaknya berkeliling daerah untuk membeli tembakau dari para petani.
Ketika ayahnya memproduksi rokok, Agung kecil pun membantunya. “Kakek hanya jualan tembakau. Lalu Ayah mulai memproduksi rokok kretek cap Lelo-lelo Ledung. Bikinnya di gudang Weleri, Semarang, Pekalongan, dan Tegal. Saya masih kecil tapi sudah ikut bikin dan jualan berkeliling naik sepeda di Semarang,” katanya ketika ditemui koresponden Independen saat di Kafe Mukti, miliknya, akhir Maret 2017.
Bisnis tembakau pada masa-masa itu begitu menjanjikan. Hari-hari Agung banyak dihabiskan di daerah-daerah tembakau. Relasinya dari kalangan petani tembakau sangat banyak. Tak mengherankan saat musim panen banyak pabrik rokok memintanya membelikan tembakau dengan komisi 5 persen dari harga pembelian.
Ketika tak banyak memiliki stok tembakau dan kondisi semakin sulit, kini, ruangan di lantai dua toko disulap menjadi kafe. Selain menyediakan pelbagai minuman dan penganan ringan, pengunjung bisa membeli tembakau iris  dan menikmati tembakau lintingan berbagai jenis. Ada juga cerutu produksi Agung, ciri khas dagangnya.
Dia tetap melanjutkan usaha yang sudah dirintis kakeknya. Sebuah pilihan yang tak terelakkan ketika tak lagi kerap berkeliling ke daerah tembakau, karena tak banyak tembakau yang bisa dibeli. Di gudangnya di kawasan Weleri, tembakau tersisa sekitar 80 ton. “Ya, saya rasa banyak yang meninggalkan bisnis ini. Alih usaha. Ada yang stres, sakit. Ngeri ceritanya,” katanya.
Hal itu terjadi karena kondisi saat ini berbeda dibandingkan masa jaya jual beli tembakau periode 1997-2000. Mencari jalan bertahan dengan produksi sendiri harus terus dilakukan jika tak ingin gulung tikar. Seperti yang ia lakukan dengan memproduksi cerutu tahun ini. “Urusan merek dan perizinannya sudah beres. Paling tidak bisa untuk produksi dua atau tiga tahun,” cerita Agung.
Noni Arnee

http://independen.id/read/khusus/385/bertahan-dari-himpitan-regulasi-kretek/