Pages

Senin, 24 Agustus 2009

Ayooo..Tanam Mangrove...



Publish on Radio International Jerman Deutsche Welle / Indonesian Programme
By. Noni Arnee

Mangrove sebagai benteng alami penahan laju abrasi di wilayah pesisir Jawa kini dalam kondisi memprihatinkan akibat konversi lahan. Dampaknya, ratusan hektar tambak dan pemukiman pun tenggelam karena tingginya laju abrasi atau pengikisan daratan oleh laut.

Berbagai upaya penanganan seperti membangun fasilitas pelindung pantai dan gerakan penanaman kembali mangrove terus di gerakkan untuk menyelamatkan wilayah pesisir dari abrasi.
Seperti yang dilakukan ratusan relawan Indonesia dan asing dalam Jambore Mangrove Internasional di Semarang Jawa Tengah. Dalam Politik dan Masyarakat kali ini dari Semarang saya Noni Arni, mengajak Anda mengikuti jalannya Jambore Mangrove Internasional yang digelar awal Agustus lalu.

”kalau begini kan nanti numbuh daunnya. Ya di tancepin kurang lebih ga sampai roboh. Dah di ajarin gimana buka bijinya. Proses secara alami ini kan menjatuhkan dirinya sendiri. Yang lancip ini langsung nancep, secara otomatis dia numbuh sendiri. Ini sebenarnya ada bijinya tapi lama kelamaan ini mendorong supaya bijinya lepas. Kalau tidak dibantu manusia kan bisa lama numbuhnya. itu kita bantu lepasin biar cepet..”

Sambil menanam batang mangrove dalam lumpur dan kecipak air tambak, Lintang dan teman-temannya menjelaskan kepada saya proses tumbuhnya batang mangrove yang baru di tanamnya di bibir tambak warga.
Mahasiswi perguruan tinggi swasta di Jawa Tengah ini adalah bagian dari 350 lebih relawan Indonesia dan asing yang mengikuti Jambore Mangrove Internasional.
Sebuah kegiatan solidaritas penyelamatan lingkungan, yang digagas Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Pesisir LEPAAS bersama Indonesia Internasional Work Camp.
Berlokasi di kawasan Tempat Pelelangan Ikan pesisir Mangunharjo Semarang Jawa Tengah, puluhan tenda menjadi tempat para relawan berkumpul dan tidur dengan semangat kebersamaan.

Selain Lintang, ada juga Sebastian dan Gerro relawan asing asal Jerman. Selama 2 hari mereka bahu membahu bersama relawan lain, menanam 60 ribu lebih bibit mangrove di tambak dan bibir pantai tak jauh dari tenda mereka.

Kegiatan untuk menunjukkan solidaritas global terhadap pentingnya pelestarian mangrove bagi ekosistem pantai ini, juga di ikuti masyarakat setempat dan relawan dari sejumlah negara lain seperti Belanda, Perancis, Spanyol, Jepang dan Korea.

Selain penanaman bibit mangrove, para relawan juga melakukan serangkaian kegiatan edukasi tentang mangrove seperti observasi, diskusi interaktif, lomba presentasi pengetahuan mangrove dan pentas seni.
Jambore Mangrove Internasional baru digelar pertama kalinya.

”Karena wilayah kami terkena dari dampak abrasi adanya pembangunan industri besar di sebelah barat yang menjorok ke tengah dari bibir pantai kurang lebih sejauh 1 kilometer sehingga mempengaruhi proses dari lajunya abrasi. Tahun 96 kita sudah mulai abrasi sampai sekarang. Yang terparah mulai tahun 2000. Tambak petani hilang menjadi lautan sampai sejauh 2 kilometer mendekati perkampungan. Dari luas tambak 226 hektar yang produktif masih 75 hektar dan sisanya tambak tenggelam. ”Kata Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Pesisir sekaligus penggagas Jambore Mangrove Internasional di Semarang, Abdul Azis

Azis menambahkan, kegiatan dengan tema Persaudaraan global dalam menghadapi dampak perubahan iklim melalui pelestarian mangrove, sengaja dikemas dalam bentuk jambore dengan melibatkan relawan asing, untuk menunjukkan semangat kebersamaan dan kepedulian menyelamatkan lingkungan. Dan permasalahan mangrove di pesisir mendapat perhatian masyarakat internasional.

Tambak dan bibir pantai di Mangunharjo Semarang yang mereka tanami mangrove ini, hanyalah sebagian kecil dari 96 persen hutan mangrove di wilayah pesisir pantai utara Jawa Tengah, yang saat ini kondisinya memprihatinkan.

”Kami yang melakukan penelitian itu hanya tinggal 3,05 persen dari seluruh areal mangrove yang ada di Jawatengah habis, padahal luas total potensinya 95.338,03 hektar. Ini pemanfaatan yang berlebihan terutama untuk konversi menjadi kawasan lain. untuk tambak rakyat mereka babat. membuat perkampungan nelayan itu dibangun dengan mengkonversi sekian banyak mangrove untuk pemukiman. Selain itu ya memang akibat perubahan iklim.”Direktur Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sumberdaya Pembangunan, Indra Kertati menjelaskan.

Sebenarnya berbagai upaya nyata penanganan laju abrasi, baik fisik maupun alami telah dilakukan. Namun Kepala Badan Lingkungan Hidup Jawa Tengah Joko Sutrisno mengakui, sulit menangani kerusakan yang sudah terjadi sejak hampir 30 tahun yang lalu. Butuh dana besar dan waktu lama.

”kita bangun sabuk pantai pakai bis beton, sejak 2002 sampai masih eksis. Ada 3 lapis, batu, bis beton, tanah, baru mangrove. Biayanya mahal bis betonnya, belum tentu teknologi yang sederhana ini mampu. Kemudian vegetatifnya di mulai menanam mangrove. Yang paling baik mengatasi ini hanya mangrove, perakaran mampu melindungi pesisir dari abrasi. tapi ya itu syaratnya mangrovenya harus sudah rapat. Kalau rapat mampu membentengi pantai dari abrasi.”

Badan Lingkungan Hidup Jawa Tengah mencatat kerusakan hutan mangrove terjadi merata di sepanjang pesisir pantai. Dan menyebabkan abrasi hingga 115 kilometer di sepanjang bibir pantai dengan luas mencapai sekitar 5700 hektar.

Indra Kertati menambahkan, Sebenarnya, cara paling efektif mencegah laju abrasi adalah dengan penanaman mangrove. Tapi tidak adanya sinergi dan waktu lama yang dibutuhkan, menyebabkan penanganan tersebut tidak menjadi prioritas.

”Menurut saya sekarang ini pada upaya melakukan pencegahan. bagaimana membangun atau membuat mangrove tidak sekedar di tanam. Beberapa aktifitas yang dilakukan pemerintah menanam asal tanem aja, akibatnya seminggu sudah habis. mentreatment Tetapi belum tepat. Yang ke dua pelibatan masyarakat sangat rendah. Jadi Bagaimana sebetulnya masyarakat diajak untuk mengamankan itu jauh lebih penting. Karena menanam itu lambat sekali. Tetapi itu pada akhirnya yang harus kita ambil. Jadi Kalau suatu saat mangrove berusia 10-15 tahun dengan kerapatan 1 meter itu sudah luar biasa.”

Kegiatan penanaman mangrove dalam jambore ini sebenarnya merupakan rangkaian program penanaman yang sudah dilakukan sejak tahun 2002. Jika program penanaman mangrove ini berhasil, dalam dua sampai tiga tahun mendatang kawasan ini diharapkan menjadi ”mangrove center” yang berfungsi sebagai pusat observasi dan rehabilitasi ekosistem hutan mangrove terbesar di Jawa Tengah. Karena menurut Abdul Azis, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, tanah di kawasan tersebut masih subur dan layak menjadi mangrove center.

Para relawanpun berharap jambore mangrove ini dapat menjadi gerakan masif bagi semua pihak. Seperti diungkapkan Tival Godoras relawan dari Semarang.

”Ini kan namanya re-planting, bukan sekedar nanam saja tapi ada pemeliharaan atau maintenence nya. Itu lebih penting jika di bandingkan hanya sekedar nanam saja. Jadi untuk berapa persennya mangrove itu berhasil tergantung pemeliharaannya. Yang lebih di harapkan lagi, masyarakat di sekitar sini sebagai subjek untuk bisa merawat mangrove yang telah kita tanam hari ini.”

Begitu juga harapan Gerro Peter, relawan asal Jerman

”Saya tertarik dengan proyek lingkungan, ini baru pertama kali saya ikut. Menurut saya proyek ini sangat bagus dan berharap proyek seperti ini bisa bertahan lama, sehingga petani tambak dan nelayan bisa mengambil keuntungan dari kegiatan ini. Ini proyek bagus. jadi mereka harus menjaganya.”

Penyelenggaraan Jambore Mangrove Internasional hanya momentum untuk menunjukkan adanya perhatian masyarakat internasional terhadap permasalahan mangrove di wilayah pesisir.
Meski butuh waktu, pihak penyelenggara berharap kegiatan tersebut dapat di tindak lanjuti dengan dukungan nyata.

Demikian pendengar Politik dan Masyarakat kali ini tentang Jambore Mangrove Internasional di Semarang.
Noni Arni koresponden DW di Semarang.

August 2009

Tidak ada komentar: