Pages

Jumat, 07 Agustus 2009

Millenium Development Goal (8)



MDG in Indonesien: Globalen Partnerschaft für Entwicklung

Publish on Radio International Jerman Deutsche Welle /Program Indonesia

Noni Arni /Bearb: Edith Koesoemawiria

Sasaran Pembangunan Millenium atau Millenium Development Goal – MDG mencatat butir ke-delapan sebagai kemitraan global dalam pembangunan. Yang dimaksudkan dengan itu, adalah kerjasama nasional dan internasional yang berpotensi mendorong tercapainya semua butir MDG.
Di dalam kerjasama itu, terdapat hal-hal seperti pengembangan komitmen terhadap pemerintahan yang baik melalui transparansi dalam pengambilan keputusan dan prosedur sistem keuangan, penghapusan diskriminasi dan peningkatan perdagangan yang terbuka. Juga penyerapan keuntungan dari teknologi-teknologi baru, serta pembebasan utang bagi negara-negara miskin yang berhutang besar.

Selain itu di tingkat internasional, penambahan dana bantuan pembangunan resmi negara-negara donor yang berkomitmen mengurangi kemiskinan.
Lalu di Indonesia, sudah sejauh manakah berkembangnya butir ke-8 MDG yang menyorot kerjasama internasional ini? Saya, Noni Arni, koresponden DW di Jawa Tengah melaporkan.

Menurut Erna Witoelar, duta besar luar biasa PBB untuk kampanye MDGs di Asia Pasifik, masyarakat internasional selalu memfokus pada isu-isu yang dinilai berpengaruh besar pada pelaksanaan pembangunan, seperti peningkatan kuantitas dan kualitas bantuan pembangunan resmi atau ODA, pengurangan utang luar negeri, alih teknologi, investasi dan perdagangan. Namun seperti di bidang perdagangan, ia menilai, pelaksanaannya seringkali tidak optimal

“perdagangan masih menerapkan aturan-aturan yang tidak adil buat produk-produk negara berkembang, itu harus dihilangkan. Kemudian hutang-hutang, kalau sudah lama terbayar itu harus dibebaskan atau dihilangkan atau di tukar debt swap, juga kerjasama-kerjasama itu bukan hanya dalam bentuk dana tapi juga IT teknologi dan lapangan pekerjaan. itu semua adalah goal 8.”

Erna Witoelar berpengalaman luas dalam kerjasama internasional. Kritiknya tak beda jauh dari kritik yang tertuang dalam laporan PBB. Terkait perdagangan misalnya, tercatat bahwa di luar perdagangan minyak bumi dan senjata, akses negara-negara berkembang ke pasar-pasar negara industri masih sama dengan situasi tahun 2004. Meski begitu, ini bukan berarti bahwa sama sekali tidak ada kemajuan.

Ketua Kamar Dagang dan Industri KADIN Jawatengah, Solichedi menyebutkan kemitraan global dengan lembaga asing bisa dijadikan sarana untuk menembus pasar global, misalnya dengan berpameran di pekan-pekan raya internasional.

“Central Java business forum kita sudah menyelenggarakan 3 kali dan disitu ada lembaga Jerman yang selalu ikut dengan kita, yaitu DIHK,GTZ, dan IFC. Jadi kita mencoba menjual jawatengah dimana project ownernya adalah 35 kabupaten/kota.”

Dengan adanya otonomi daerah, tercatat di Jawa Tengah sampai tahun 2007 ada 33 negara yang bekerjasama dengan pemerintah daerah. Demikian ungkap Slamet Budi Prayitno. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jawa Tengah menjelaskan, bahwa kemitraan global berlangsung dengan melibatkan swasta maupun pemerintahan di kawasan ini. Slamet Budi Prayitno memberikan contoh kerjasama dengan Lembaga Bantuan Teknik Jerman, GTZ.

“Biasanya kerjasama privat dengan government yang kita lihat adalah kerjasama sister cities dalam pengembangan wilayah G to G, antar daerah. Kemudian muncul investasi dari negara-negara, contohnya dengan Cina dan Korea industri rambut. GTZ menyangkut banyak hal mulai dari good governance, economic development, saya kira cukup banyak.”

Dalam kerjasama G to G atau antar pemerintah, Indonesia juga merupakan salah satu negara yang mengenyam keuntungan dari pengalihan utang. Erna Witoelar mengatakan, Debt swap for Achieving MDG atau mekanisme pengalihan utang untuk mendukung pencapaian MDG dialami Indonesia sehubungan dengan kredit yang diberikan Jerman.

“Jerman semakin aktif mengembangkan dept swap atau pertukaran hutang dengan program-program untuk mencapai MDGs. Jadi hutang kita ke Jerman itu ditukar dengan program-program, ada yang program lingkungan hidup, pendidikan, kesehatan. Upaya-upaya ini memang memerlukan dua sisi dari negara pemberinya itu. Ini yang paling awal-awal susah banget diperjuangkan di Indonesia.”

Dari segi pembangunan, proses yang dilalui sampai diberlakukannya debt swap bagi Indonesia menunjukan aspek positif tersendiri di dalam negeri. Untuk memperjuangkannya, LSM dan masyarakat sipil sempat bergandengan dengan pemerintah Indonesia, dan bekerja keras untuk menggolkannya. Bagi Erna Witoelar debt swap merupakan solusi yang bagus bagi kedua belah pihak,

„Sekarang semakin ada kemungkinan untuk melakukan hal itu. Untuk memungkinkan negara-negara berkembang mencapai MDGsnya dan untuk negara-negara maju tidak perlu capek-capek menagih hutangnya.”

Namun sejauh apa pelaksanaan program-program hasil debt swap itu? Hal ini dapat diteliti seiring dengan tingkat good governance atau baik-buruknya sebuah pemerintahan diselenggarakan. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jawa Tengah, Slamet Budi Prayitno, Berbicara mengenai prestasi Jawa Tengah di bidang ini,

"tahun 2008 saja kita menjadi propinsi yang kinerja nya terbaik, artinya kalau kita bicara good governance dalam tahapan tertentu, dalam aspek pelaporan, perencanaan, pengendalian, evaluasi, mendapatkan penghargaan. Ini contoh yang terkait dengan MDGs"

Namun penelitian PATTIRO, sebuah organisasi independen yang bertujuan mendorong good governance dan partisipasi publik, menemukan, konsep good governance hingga kini belum diimplementasikan, baik di tingkat nasional maupun di daerah. Project Officer PATTIRO, Dini Inayati menyebutkan, kondisi ini bisa dilihat dari penerapan transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat yang masih rendah.

“hampir terjadi di seluruh kabupaten kota, partisipasi masyarakat belum optimal, karena masih sulit melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah. Kalau 3 aspek good governance masih rendah, itu kan rawan KKN. Contohnya pungli, proses perijinan, tidak ada yang berpartisipasi dalam pengawasan.“

Hingga kini lebih dari 10 ribu Peraturan Daerah dari seluruh wilayah Indonesia masih bermasalah, tumpang tindih dengan peraturan yang telah ada. Kepala laboratorium studi kebijakan ekonomi pembangunan Universitas Diponegoro Semarang, FX Sugianto mengemukakan, Kerumitan yang menyebabkan banyaknya ketidak jelasan ini juga berlaku bagi pelaksanaan sejumlah program pembangunan.

“Kadang-kadang karena masing-masing sumber anggaran tidak bisa di identifikasi dengan baik, kadang tumpang tindih, ini yang menjadi problem, kenapa begitu sulit melakukan koordinasi.”

Harlan M. Fahra aktifis LSM Gerakan Rakyat Anti Korupsi GERAK juga mengatakan, dalam 5 tahun terakhir dalam soal keterbukaan keuangan publik ada beberapa daerah yang sudah berupaya untuk transparan, namun secara nasional jumlahnya terlalu kecil.

“upaya kearah sana baru berdasarkan political will pemimpin yang berkuasa saja, tapi belum ada jaminan bahwa ketika pemimpin diganti system anggaran yang transparan akan tetap berjalan.”

Duta besar luar biasa PBB untuk kampanye MDGs di Asia Pasifik, Erna Witoelar menilai tujuan MDGs hanya akan tercapai jika ada kerjasama, komitmen penuh dan pembagian peran yang memadai antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat.

“perbaikan governance atau tata pemerintahannya itu bisa lebih banyak digunakan untuk anggaran pembangunan, kita lihat ada daerah yang mempermudah perijinan usaha, mengurangi pemborosan pegawainya, mendisiplinkan korupsi, mampu mendorong partisipasi masyarakat dsb. itu lebih maju dalam pencapaian mdgsnya. jadi yang lebih tanggap terhadap masyarakatnya. meyakini sangat terkait pencapaian mdgs dengan good governance, kemitraan maupun tanggung jawab bisa diharapkan dari masyarakat.“

Menurut Erna Witoelar, dalam menyelenggarakan pemerintahan yang baik, para pendukung MDG harus pintar menggalang rasa tanggung jawab semua pihak.

Maret 2009

Tidak ada komentar: