Pages

Senin, 24 Agustus 2009

Melongok Tradisi Dugderan



Publish on KBR 68H Jakarta
By. Noni Arnee

Ramadhan disambut penuh suka cita di Kota Semarang, Jawa Tengah. Ada tradisi ’dugderan’ yang digelar tiap tahun, meski kini sudah mengalami perubahan. Kata ’dugderan’ diambil dari bunyi bedug dan tembakan meriam: dug dan der. Kontributor KBR68H di Semarang Noni Arni mengajak Anda melongok tradisi dugderan yang berlangsung akhir pekan lalu.

Ratusan warga tampak memadati halaman Masjid Agung Kauman Semarang. Mereka menanti pengumuman pembacaan hasil halaqah, yaitu hasil musyawarah para ulama Semarang untuk menentukan 1 Ramadhan sebagai awal puasa.

Pembacaan qalaqah di sertai bunyi bedug dan meriam ini adalah prosesi terpenting dalam tradisi dugderan khas Semarang. Catatan sejarah menunjukkan, tradisi ini dimulai sejak dua abad silam. Lewat prosesi pembacaan halaqah dan kemeriahan dugderan, seluruh masyarakat Semarang punya waktu yang sama untuk memulai puasa. Tidak ada yang lebih dulu, atau lebih lambat. Sama.

Saat dugderan berlangsung, digelar pula Pasar Megengan. Di sana masyarakat menjual aneka makanan dan mainan anak-anak tempo dulu. Salah satunya Muji yang sudah 16 tahun menjual gerabah di arena dugderan.

Ya dari dulu pertama babat alas.. jualan. (Yang di jual)..Gerabah dan mainan anak-anak.Rame dulu dari pada sekarang. Hari-hari bagus kemarin kalo sekarang dugdere tok yang bagus. Dulu bagus rame terus. Dulu saya tok yang jual , sekarang banyak yang jual

Tradisi dugderan selalu dijaga dengan terus dijadikan agenda tahunan Semarang. Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Semarang, Agung Priyo Utomo melihat ada potensi wisata di balik tradisi dugderan.

“Nilai-nilai budaya yang ada di kegiatan ini sangat agung dan luhur. Jadi ruhnya dugderan tidak boleh mati. Kami melihat suatu peluang bahwa even budaya ini bisa di kemas untuk menjadi daya tarik wisata. Jadi desatinasi wisata yang di jual tidak hanya obyek. Kegiatan ini bisa di kemas untuk menarik wisatawan domestik maupun asing untuk datang, melihat.”

Dugderan, bagi budayawan asal Semarang, Djawahir Muhammad, punya nilai lebih besar ketimbang sekadar kemeriahan, ajang interaksi warga atau wisata. Ini adalah upaya menjaga kearifan lokal warga Semarang, kata dia.

”Semarang ini sebagaimana masyarakat pantai yang religius islaminya lebih mayoritas di bandingkan mayarakat lain, Selalu mempunyai otoritas Untuk menjaga eksistensinya termasuk eksistensi budaya, tradisi dan kearifan lokal. Jadi kalau mayarakat Semarang memelihara tradisi dugderan itu urgensinya adalah dalam rangka menjaga tradisi yang secara kebetulan dianut kelompok mayoritas supaya tradisi ini berlanjut.”

Meski selalu diadakan tiap tahun, warga mulai merasakan ada perubahan dari tradisi dugderan kali ini. Kata Aliyah dan sejumlah ibu lainnya, dugderan sekarang terasa kurang ramai.

”Nonton lha ini menyambut puasa. Tradisi Semarang kuno. Kalau dulu..ya lebih ramai, dulu ada di sini dulu di alun –alun ada (nyebutin jenis permainan macem-macem tradisional jaman dulu ) sekarang tidak ada. Kurang meriah ya. Dulu mainannya macem-macem. Dolanan gerabah, warag ngendok, sekarang yang banyak jajanan. Nunggu mercon.. dulu kan pakai bom udara sekarang mercon sampai menggetar..wah..seneng. Yang di tunggu kan dugderannya arak-arakannya ini. Tiap arak-arakan sini pasti rame.”

Kalau dulu dugderan identik dengan tradisi religius, sekarang rupanya bergeser menjadi acara seremonial belaka , kata budayawan Semarang, Djawarih Muhammad. Ada semangat yang hilang dari dugderan.

”Pada tahun 1976 ketika dugderan di ambil alih pemkot Semarang dari masjid agung ke balaikota. Kelihatan sekali kegiatan dugder yang tadinya bersifat religius lokal itu sudah menjadi bagian kegiatan ceremonial sebagai salah satu upaya menjaga kewibawaan pemerintah. Dilengkapi dengan adanya karnaval dan upacara-upacara kenegaraan dan masjid sudah tidak berfungsi lagi. Masjid hanya menjadi pendengar atau penonton. Itu sungguh-sungguh terkuptasi dengan spirit birokrasi. Kemandirian dugder sudah tidak utuh lagi.”

Kalaupun makna kearifan lokal tak lagi nampak, dugderan tetap dinanti warga Semarang. Paling tidak ini jadi penanda, kemeriahan bulan suci Ramadhan sudah tiba.

duug..duug..duug..deeerrrr...

Kontributor KBR68H , Noni Arni.

August 2009

Tidak ada komentar: