Pages

Tampilkan postingan dengan label travel writing. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label travel writing. Tampilkan semua postingan

Jumat, 22 Januari 2016

Menjaga “Surga” di Bibir Pasifik


Angin selatan di bulan Agustus menghempas kapal kami hingga terseret di bibir Pulau Mioskon, Raja Ampat, Papua Barat. Penyelaman di site Mioskon Ref pun urung. Memang bukan bulan baik untuk diving, hingga nyaris tak ada aktivitas para penyelam di kawasan selatan Waigeo ini. Kami memilih beristirahat dan menikmati keindahan alam di pulau berbentuk hati yang menjadi tempat transit para penyelam di spot penyelaman Mioskon Reef dan Blue Magic. 

Sembari melepas lelah, kami melihat sejumlah orang tengah sibuk membangun rumah-rumah kecil. Nampak seorang laki-laki muda menghampiri dan menyapa ramah. Namanya, Steve Wawiyai, suku asli Raja Ampat, pemilik tanah adat Pulau Mioskon yang mendiami Kampung Friwen, tak jauh dari Mioskon. “Kami sedang membangun homestay,” Steve menjelaskan rasa penasaran kami dengan logat khas Papua.
Steve lantas menceritakan rencana pengelolaan dan pengembangan usaha pariwisata yang muncul seiring dengan menjamurnya resort dan homestay di pulau-pulau di kawasan Raja Ampat yang lebih banyak dikelola warga asing.  
Pembangunan homestay di Mioskon / nonie
Menurutnya, usaha yang akan dikelola masyarakat adat itu tidak akan mengedepankan sisi industri. Tapi lebih pada pembelajaran bagi wisatawan yang datang ke Raja Ampat.  Dengan konsep Etnobotani dan sentral budaya, ia ingin menonjolkan nilai edukasi. Jadi, setiap tamu yang datang dapat menikmati alam, mengenal laut, serta belajar tentang budaya dan kehidupan masyarakat Raja Ampat. 

“Mereka punya kearifan, mereka jaga mereka punya laut, makanya saya ingin transfer pengetahuan dan pemberdayaan masyarakat untuk keanekaragaman hayati.  Turis datang ada beli kerajinan tapi tidak tahu proses pembuatan seperti apa. Wisatawan tidak hanya datang, nginap, pulang tapi juga berinteraksi dengan masyarakat. Mama punya ketrampilan khusus anyaman, mereka sama-sama dengan masyarakat diajak belajar menganyam hingga mengenal tanaman endemik. Itu yang saya mau kembangkan.”

Gagasan Steve sangat menjanjikan. Apalagi pulau yang pernah menjadi sengketa dan di tawar warga Eropa hingga Rp 67 miliar itu  merupakan salah satu pulau strategis dan  terindah di Raja Ampat yang dikelilingi gugusan terumbu karang dan pasir putih. “Dulu kosong tidak berpenghuni dan masuk wilayah adat kami. Pulau ini strategis, dekat dengan kabupaten, transit dari resort-resort  di Mansuar, dari Waiwo dan dekat dengan bandara kedepannya,” ungkap lelaki yang pernah bekerja di TNC ini.

Ya, industri pariwisata di Raja Ampat ibarat jamur dimusim hujan. Itu peluang besar dan masyarakat tidak ingin hanya menjadi penonton.

Jika Mioskon baru mengawali. Kampung Arborek yang terletak di Meos Mansar sudah menjadi kampung wisata dan menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi ketika menyusuri Raja Ampat. 
Papua Explorers Resort di Pantai Pinsilim, Yenwaupnor, Kec. Meos Mansar, Raja Ampat / nonie


Raja Ampat Dive Lodge di Pulau Mansuar / nonie
Menari Bersama Manta
Dari 30 lebih spot penyelaman di Raja Ampat, pulau yang berada di antara Pulau Mansuar dan Pulau Gam ini adalah tempat transit para penyelam yang ingin bertemu dan menari dengan Manta Ray (Pari manta) di Manta Sandy atau Manta point yang berjarak satu kilometer dari kampung.

Di sini, penyelam dapat menyaksikan Manta Ray menari meliuk-liukkan tubuhnya sepanjang 7 meter dan berbobot hingga 2 ton. Mamalia raksasa pemakan plankton dan ubur-ubur ini terbiasa memamerkan aksi akrobatiknya di depan para penyelam. Bahkan jika beruntung, salah satu spesies ikan pari terbesar di dunia ini juga bisa disaksikan di sekitar jetty (dermaga) Kampung Arborek.
Chasing Manta Ray @ Manta Point / Mayang Putranto
Kampung yang dihuni 30 KK memang menjamin kelangsungan dan keberadaan populasi dan kehidupan Manta birostris hingga tempat ini menjadi habitat nyaman Manta Ray dan biota endemik lainnya. “Di sini andalannya pantai, kebersihan kampung, yang spesial  Manta yang ada di bawah jetty,” kata Nommenson Mambraw, warga Arborek yang menyambut kedatangan kami.
Kampung Wisata Arborek / nonie
 
Perempuan Arborek membuat kerajinan tangan /nonie
Kondisi ini jauh berbeda ketika Arborek belum dikenal wisatawan. Dulu mereka sangat menggantungkan hidup dari laut. “Kita di sini bilang buang lanjar cari ikan garam, kerapu terus drop ke sorong. Mata pencaharian nelayan,” imbuhnya.

Tak hanya itu, pasar sirip ikan hiu yang sangat menggiurkan membuat masyarakat berpaling dari Kerapu dan berburu hiu. Perburuan hiu marak hingga menyebabkan populasi hiu Raja Ampat turun drastis. “Kalau dulu di tempat ini tempat hiu juga, di depan-depan sini saja orang-orang bisa dapat. Ikan hiu banyak dipantai dan besar-besar. Yang nangkap masyarakat tapi mereka cari pakai alat tradisional. Dulu harganya Rp.  50 ribu/kg. Kalau sekarang sampai 1 juta ke atas. Harganya beda tergantung jenisnya. Paling mahal Hiu Lontar sampai Rp. 3 juta/ kg. Dijual ke Sorong dan nanti ada yang ambil sendiri,” Pak Mambraw menceritakan kondisi laut kala itu.

Ditambah lagi aktivitas mencari ikan dengan bom dan potasium yang berkeliaran di perairan Raja Ampat karena tidak ada aturan yang membatasi penangkapan ikan. Hingga akhirnya Pemda Raja Ampatpun menerbitkan Perda nomor 9 tahun 2012 tentang larangan penangkapan seperti Hiu, Pari Manta, Dugong, Penyu dan sejumlah ikan-ikan endemik Raja Ampat tak boleh ditangkap. Pelanggar dikenakan sanksi kurungan enam bulan penjara atau denda Rp50 juta.

“Dulu banyak yang cari ikan dengan bom dan potassium. Lama-lama laut dan terumbu karang hancur. Mulai dari situ masyarakat makin mengerti cara menjaga laut sehingga jangan ada kerusakan terumbu karang dan habitat ikan. Pemerintah kasih aturan ke masyarakat supaya ikan jangan di tangkap. Kita punya daerah bisa berubah. Masyarakat bisa jaga lingkungan daerah ini jadi tidak ada perahu bom, potas,” jelasnya bersemangat. 

Sejak tahun 2003, pemda setempat juga  mulai menginisiasi kampung wisata. Ada lima kampung yang dibina pemerintah kabupaten menjadi desa wisata untuk mengangkat potensi dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Kelima Kampung Wisata adalah Arborek, Sawinggrai, Yenbuba, Yenwoubnor, dan Sawandarek. Mereka mengawali dengan membangun home stay dan membentuk kelompok sadar wisata.
“Pemerintah mulai memperhatikan kampung, Ada penyuluhan antara masyarakat dan pemerintah sedikit demi sedikit mulai mengerti, bertahap, tidak sekaligus. Kami mencari ikan sekadar untuk makan, cuman cari ikan hidup seperti kerapu. Dijual juga. Masyarakat kerja sambil monitoring laut dan masyarakat berhenti cari hiu,” Pak Mambraw menjelaskan awal mula kampungnya menjadi rintisan kampung wisata.
Perempuan Arborek membuat kerajinan topi sari daun pandan / nonie

Bibir pantai Kampung Arborek /nonie
Dan mereka tak lagi menangkap ikan sembarangan. Bahkan di beberapa tempat di sekitar laut lepas yang dangkal terpasang papan larangan menangkap jenis-jenis hasil laut di kawasan tertentu untuk mendukung konservasi laut berbasis masyarakat.  Kini, tak melulu melaut, mereka mendapatkan penghasilan dari pawisata seperti menjadi guide, mengelola homestay dan kerajinan tangan. 

Jadi tak hanya transit, wisatawan bisa membeli kerajinan tangan yang terpajang di galeri dekat pintu masuk kampung atau menyaksikan aktivitas penduduk lokal membuat kerajinan tangan. “Abis dari manta point pasti lari ke jetty. Bisa membeli topi, tas, anyaman, noken dari daun pandan sambil lihat ibu-ibu bikin kerajinan dan membeli ikan segar hasil tangkapan.”

Pak Mambraw menambahkan, warga makin sadar wisata. Mereka terbuka menggalakkan dan mengembangkan Kampung Arborek dengan membangun homestay sendiri. “Lebih baik bikin sendiri. Biasanya nginap semalam tarip Rp 500 ribu. Kalau dikelola sendiri lebih menguntungkan. Daripada bekerja di homestay milik orang,” jelasnya sambil menunjukkan beberapa homestay. 

“Sejak banyak wisatawan datang bikin kerajinan. Sehari bisa bikin tikar panjang 1,5 meter. Ada wisatawan datang bisa langsung beli tikar sagu, topi, noken, tas,” ungkap Emi Dimara, perempuan pembuat kerajinan topi.

Tak Memancing di Jetty
Hal serupa juga bisa di saksikan di Kampung Wisata Yenbuba yang berada di dekat Pulau mansuar yang dihuni 70an KK. Pak Marcell, warga kampung menyambut kedatangan kami di jetty bercerita tentang perubahan yang terjadi di kampungnya. 

“Kita merasa ada perubahan. Tidak seperti dulu cari uang susah harus tangkap ikan. Sekarang uang cari kita di kampung. Orang datang kesini, ada perlu ini itu. Tidak seperti dulu lagi. jangankan 10 ribu, kita mau cari 5 ribu saja susah. Tidak seperti sekarang uang gampang.” 
Pintu masuk Kampung Yenbuba
Dermaga Kampung Yenbuba /nonie
Dermaga Kampung Yenbuba /nonie
Pak Marcell mengaku bahwa semua warga kampung punya kesadaran dan sangat paham menjaga alam dan lautnya. Pun dengan anak-anak yang belajar dari orangtua dalam memperlakukan kekayaan laut mereka.
“Tidak boleh ada aktifitas memancing sembarangan. Kami sudah deklarasikan itu jadi semua orang tahu dan paham cari harus beberapa mill baru bisa mancing. Ada tempat khusus untuk mancing. Anak kecil mengerti kalau orangtua kasih tahu tidak boleh jadi sampai sekarang tidak ada anak-anak yang mancing. Di atas jembatan sepi. Sebelum ada larangan anak-anak setiap hari ramai mancing di jembatan.”

“Kita tak boleh tangkap ikan di sini, harus ke tengah laut,” kata salah satu anak yang tengah asyik bermain di sepanjang jetty.

Kini, setiap pengunjung yang datang ke Raja Ampat tak hanya menemukan “surga” di bawah laut tapi juga “surga” di daratan. Dan setiap saat mereka selalu siap menunggu pengunjung dari seluruh dunia untuk menikmati keindahan Pulau Surga di bibir Pasifik ini. (Noni Arnee)

Minggu, 28 Juni 2015

Fenghuang, Mesin Waktu di Kota Perbatasan


Dalam teks religius Book of the Dead (Kitab Kematian) Mesir kuno yang ditulis 200SM, Sang Phoenix berkata, "Aku adalah penjaga catatan takdir, buku tentang hal yang telah terjadi dan akan terjadi."
Ungkapan burung phoenix yang melambangkan perjalanan waktu dan simbol kehidupan abadi hingga kini masih bisa dilihat dan dinikmati di salah satu kota tua tersohor di China. Kota Fenghuang namanya. Letaknya berada di sebelah barat Propinsi Hunan dan berbatasan dengan propinsi GuiZhou. Jaraknya sekitar 10 kilometer dari Great Wall, atau 430 km dari Changsa, ibukota Provinsi Hunan.
sumber:willomegumi.blogspot.com
Kota kuno berpenduduk 300 ribu jiwa yang didirikan era pemerintahan Kaisar Kangxi, Dinasti Qing, dinasti terakhir dalam sejarah Tiongkok ini memang tak lepas dari kisah legenda pengembaraan sepasang burung phoenix ketika “feng” (phoenix jantan) dan “huang” (phoenix betina) singgah dan mengakhiri pengembaraannya di lembah yang indah ini. Simbol penyatuan keduanya nampak dari gunung Nanhua di sebelah barat daya kota yang berbentuk seperti seekor phoenix sedang terbang. Sejak itu, Kota Phoenix yang berusia 1.300 tahun dan dikelilingi pegunungan lebih familiar di sebut Kota Fenghuang.

“Keabadian” Kota Fenghuang seolah menjadi mesin waktu melihat peradaban masyarakat Tiongkok kuno. Patung perunggu burung Phoenix (Hong) berukuran besar menyambut pengunjung yang datang untuk menikmati keindahan kota. Tak perlu menekan tombol waktu, pengunjung cukup membayar tiket masuk ke kota ini sebesar  148 Yuan (Rp 295 ribu) sebelum melintasi North and East City Gate Tower. Jembatan dari tonggak-tonggak batu di bawah gerbang utara kota lama yang membelah Sungai Tuojiang yang dangkal dan jernih. Sungai ini pula menjadi pemisah antara kota baru dan kota lama dan yang dibangun di tepi Sungai Tuojiang. Dan selepas melintasi Jambatan Hong, imej Kota Fenghuang sebagai kampung air di selatan terhampar di depan mata.

Jelajah Kota Kuno
Kota Fenghuang merupakan satu diantara  24 kota sejarah dan budaya terkenal di China. Sejumlah site wajib dikunjungi ketika berada di kota ini. Selain Fenghuang Ancient City, North and East City Gate Tower, banyak tapak peninggalan sejarah yang masih terpelihara dengan baik, antaranya kuil sastra yang dijaga keasliannya dengan mengawetkan bangunan pada zaman Dinasti Ming dan Dinasti Qing, Gua Qiliang bernama "Istana Seni bawah Tanah", kota purba Huangsiqiao pada zaman Dinasti Tang, dan dermaga "Tembok Besar di selatan".

Kota Fenghuang dapat dijelajahi hanya dalam waktu 30 menit. Meski tampak tua dimakan usia, 200 rumah kayu kuno dengan tembok batu merah masih nampak utuh menampilkan tata ruang kota tradisional tiongkok abad ke-13. keunikan terlihat dari rumah kayu beratapkan genting hitam, berbentuk segitiga/nok dengan ujungnya berbentuk kepala burung Hong atau Naga.  Bangunannya bertingkat dan  bersusun-susun sepanjang tepian sungai berdinding kayu warna cokelat berjajar-jajar rapi. Sedangkan kedua sisi rumah-rumah tua itu terdapat 20 jalan kecil dari lempeng batu warna merah tua yang belum berubah sejak zaman Dinasti Ming. Bukan cuma itu, berbagai peninggalan sejarah Dinasti Qing yang ada sejak abad ke-17 juga masih terjaga dengan rapi di sana.
Selain itu nampak kemegahan benteng kota sepanjang dua kilometer dengan dinding setinggi 5,7 meter dan tebal 3,7 meter yang dibangun dinasti Ming sekitar tahun 1800-an untuk melindungi kota dari serangan suku Hmong (etnis Miao) yang kini menjadi penduduk mayoritas selain etnis Tujia. Keindahan lain adalah menara lonceng, dermaga, kelenteng dan kuil kuno yang dibangun di dekat gunung, town gate, serta rainbow bridge. Serta sebuah jalan membujur dari barat ke timur bak sebuah serambi panjang yang hijau.

Tata kota ini sangat teratur. Rumah yang berada di pinggir jalan sebagian besar dimanfaatkan sebagai toko atau kedai arak yang pemiliknya berdandan dengan pakaian tradisional.
Sedangkan di tepi sungai dipenuhi rumah panggung antik tampak seperti burung jenjang yang mendongak berbaris berjajar-jajar.
Rumah panggung beratap melengkung ke atas dengan genteng berlapis-lapis bak sisik ikan ini menjadi ciri khas bangunan yang sebagian besar terbuat dari kayu yang “menggantung” di atas sungai dengan penyangga pasak-pasak yang menancap di dasar sungai. Struktur bangunan masih lengkap dengan khas gaya Ming dan Qing yang mewakili dua etnis yang menempati kota ini.

Meski dalam setengah abad terakhir kota ini terhindar dari gilasan ekonomi besar besaran di China, kota ini sempat mengalami kerusakan di jaman Miao tahun 1795 sampai pemberontakan Getun 1937. namun Fenghuang mampu menjaga harmoni manusia, pegunungan, air dan kota, kebudayaan dan adat istiadat setempat, hingga dijuluki The Chinese Most Beautiful Town.
sumber:topikwisata3
Cahaya Phoenix di Waktu Malam
Kabut melintasi gunung dan kota bak barisan peri putih menambah keindahan cantiknya suasana Fenghuang di pagi hari. Dan ketika matahari menampakkan diri, warna gunung gelap mengeluarkan semburat cahaya.
Sebagai salah satu kota wisata, di kota ini juga bermunculan hotel kecil dengan balkon dan kafe yang menghadap langsung ke Sungai TuoJiang dan melihat pemandangan alam serta kehidupan alami penduduk setempat.
Sungai yang membelah kota kuno ini memang menjadi urat nadi kehidupan kota. Ritme kehidupan warga Fenghuang terlihat di bibir sungai sejak pagi. Mereka mencuci pakaian, sayuran, menjaring ikan, termasuk pemandangan wisatawan saat menikmati keindahan kota ini dengan tur perahu Flou ala Gondola di Venice Italia di sepanjang sungai sembari mendengarkan kisah burung phoenix.
Dan ketika beranjak rembang petang, Kota Fenghuang seolah menjelma bak wujud burung phoenix yang tengah memamerkan keindahan warna merah keemasan bulu yang sangat indah dengan sayap berwarna warni serta kaki ungu dan mata biru laut. Semburat cahaya indah dari lampu warna warni di dinding-dinding seluruh kota dan rumah penduduk di tepi sungai yang memantul bak cermin di tepi sungai  Tuojiang seperti keindahan warna phoenix.
Fenghuang malih rupa dengan gemerlap lampu yang menghiasi tempat ini menjadi sebuah tempat baru yang jauh berbeda menyemarakkan iringan musik dan tarian dari para wisatawan yang bersantai menikmati keindahan kota atau makan malam sambil menyimak kisah Sheng Cong-wen dari penduduk lokal.

Menjenguk Shencongwen
Kota Fenghuang dikenal dunia lewat imajinasi Sheng Congwen yang dituangkan dalam novel berjudul Frontier City. Ia begitu mahir melukiskan keindahan kota kuno yang unik dan indah yang menjadi kampung halamannya. Selain sebagai penyair,  Sheng Congwen juga seorang arkeolog dan sejarawan terkenal zaman modern Tiongkok.
Dan bekas rumah Shen Congwen terletak di sebuah gang Jalan Zhongying di bagian selatan dari kota tua Fenghuang menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi. Hingga kini rumah berstruktur batu dan kayu, bergenting biru dan tembok putih, serta jendela kayu yang terukir terawang dengan dua pekarangan yang berkonfigurasi mirip Siheyuan Beijing (rumah tradisional yang pekarangan di tengah) masih terawat keasliannya. Halaman luas bergaya tektonik dari dinasti Ming dan Qing terdapat teras kecil dan 10 kamar yang kecil tapi dihiasi oleh jendela kayu berukir indah. Halaman ini dibangun kakek Shen  pada tahun 1866.
Shencongwen lahir dan menghabiskan masa kecilnya di sini. Namun, saat berusia 15 tahun, Shen berkelana meninggalkan keluarga dan bergabung dengan tentara, petani, pekerja dan melihat kegetiran hidup rakyat kecil hingga kemudian memutuskan singgah ke Beijing dan menghabiskan hidupnya untuk menulis hingga meninggalkan banyak warisan karya sastra.
Buah Tangan dari Fenghuang 
Seiring dengan meningkatnya wisatawan yang datang ke kota ini. Kiri kanan rumah kuno berjejer yang membelah jalan kini banyak berubah menjadi toko yang menjual aneka cindera mata dari kulit, perhiasan/pernak-pernik dari silver, barang-barang tenunan dan anyaman, guntingan kertas, batik dan batik ikat.
Selain cinderamata, buah tangan khas yang banyak dijumpai di antara toko-toko di kota Fenghuang adalah toko pembuat permen jahe. Salah satu yang terkenal renyah dan harum permen jahe "Zhang" milik Zhang Lanqing yang diwariskan turun temurun sejak tahun 1896 pada zaman Dinasti Qing. Permen yang berkhasiat menghangatkan lambung, memperlancar sirkulasi darah, dan menyembuhkan batuk terbuat dari gula merah, bijan, jahe dan air sumber. Fenghuang juga dikenal sebagai daerah penghasil jahe dan kiwi terbanyak di seluruh China. Karena itu, setiap toko juga menyediakan manisan kiwi kering.

Kota Fenghuang memang ditakdirkan untuk hidup dengan keasliannya seperti burung phoenix yang ditakdirkan hidup kembali. Setidaknya begitulah kisah burung phoenix yang ditulis Publius Ovidius Naso, seorang penyair Romawi “… Lalu ia berbaring di wewangian yang memabukkan itu dan mati dan bangsa assyria berkata dari tubuh itu bangkit kembali phoenix kecil yang ditakdirkan untuk hidup lima abad lagi.”

Kamis, 31 Oktober 2013

Cinta dari Wamena

remember the moments when i was in the land of paradise

they alway call you to be back again....and i believe it!

fly to Wamena...





stay at Baliem Pilamo..its very comfortable place..


they call it taxi...used this "cap" to drift to cartenz pyramid






u see...its honai, n look at how they care of the family




I was met Pastor Frans Lashout OFM...he talk a lot bout the history of Wamena

Hipere...n it very delicious. defferent the "hipere" in Java. "lol"



one of the best coffee in the world..Wamena coffee..


Rabu, 27 Maret 2013

Surga Di Perut Bumi



Saya dan rombongan beberapa kali ‘’kesasar’’ karena tak begitu banyak petunjuk jalan menuju ke lokasi cavetubing ketiga di dunia. Selain mengandalkan informasi di persimpangan jalan, kami beberapakali harus bertanya pada warga sebelum tiba ke gua Pindul. Lokasi cavetubing (susur gua dengan perahu karet atau ban dalam) yang terletak di Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Karangmojo, Gunung Kidul. Tepatnya, sekitar tujuh kilometer dari pusat kota Wonosari.
Gua Pindul merupakan satu dari rangkaian tujuh gua horizontal yang dialiri sungai bawah tanah dari sungai Oya di daerah Bejiharjo. Aliran air yang sangat tenang ini memiliki panjang sekitar 350 meter, lebar rata-rata lima meter, dengan kedalaman air antara empat hingga tujuh meter dan permukaan setinggi empat meter. 
Ya, karst di daerah Gunung Kidul ini merupakan satu-satunya wisata cavetubing di Indonesia. Dan satu dari tiga tempat cavetubing populer yang ada di dunia setelah cavetubing Belize di Mexico dan Waitomo yang berada di Pulau Utara Selandia Baru. 
Memang, tak banyak yang tahu karena wisata minat khusus yang memadukan petualangan olahraga rafting (arung jeram), caving dengan tube di gua dengan aliran sungai bawah tanah ini terbilang jarang di Indonesia.
 “Silahkan antri karena semua peralatan masih terpakai,” jelas pengelola sambil menyuguhkan welcome drink segelas jahe hangat. Peminat cavetubing di gua Pindul begitu membludak setiap akhir pekan.  50 set peralatan cavetubing telah habis hingga kami harus rela menunggu giliran sekitar satu jam.
***
Setelah berhasil memakai jaket pelampung dan membawa ban pelampung, kami diajak pemandu menyusuri jalan setapak diantara rumah dan kebun warga menuju lokasi yang berjarak sekitar 100 meter.
Cavetubing di gua Pindul ini cukup mudah. Tidak perlu latihan dan ketrampilan khusus. Kami satu persatu hanya duduk di atas pelampung ban karet jumbo yang  berjejer. Dan si pemandu, akan mengendalikan pelampung dengan menyeret  bagian depan dan belakang. 

 Sambil menikmati pemandangan dan merasakan dinginnya air sungai, kami memasuki di zona terang. Di mulut gua ini, kami disuguhi cerita legenda masyarakat tentang asal-usul penamaan Gua Pindul. Kisah yang bermula dari pengembaraan Joko Singlulung mencari ayahnya. “Ketika menyusuri tujuh gua yang memiliki aliran sungai di bawahnya, kepala Joko terbentur batu besar, kemudian gua ini dinamakan Gua Pindul. Asalnya dari kata pipi gebendul,” cerita Badri, warga setempat yang menjadi pemandu.

Legenda lain di gua ini juga berada di zona remang. Badri dengan fasih menjelaskan ornamen cantik yang ditemui di sepanjang ber-cavetubing seperti moonmilk, stalaktit dan stalagmit yang terlihat dari bias cahaya matahari dan lampu senter. Salah satunya, stalakmit batu perkasa di sisi kanan yang konon bisa menambah “kejantanan” laki-laki yang menyentuhnya. Juga ceruk mini stalaktit di dinding gua yang mengeluarkan tetesan air mutiara dengan khasiat awet muda. Ada pula stalaktit gong yang menghasilkan suara mirip gong saat dipukul. 


Perjalanan dilanjutkan menuju sebuah stalaktit peringkat keempat terbesar di dunia yang berbentuk pilar raksasa. Lebarnya lima rentangan tangan orang dewasa. Ujung stalaktit ini masuk ke dalam sungai bawah tanah dan menutup sebagian rongga gua yang masih aktif hingga kini. Pilar yang terbentuk dari proses pertemuan stalaktit dan stalagmit berusia ribuan tahun ini menjadi batas antara zona remang dan zona gelap abadi. Posisinya menyempit dan hanya bisa dilewati seukuran satu ban karet, kami harus melewati secara bergantian. Dan untuk alasan keselamatan pula, kami dilarang menyentuh dengan keras.



Di lorong gua zona gelap abadi, cahaya matahari tidak terlihat sama sekali. Satu-satunya penerangan hanyalah senter di kepala pemandu yang menyorot ke beberapa ceruk-ceruk di atap gua yang dihuni kelelawar. Stalartit dan stalagmit dengan warna kristal juga terlihat di beberapa sudut. 

Sepuluh menit kemudian, seberkas cahaya terlihat dibalik sebuah tikungan. Ini  menjadi pertanda cavetubing telah memasuki zona terakhir goa vertikal (luweng). Zona  yang menyerupai kolam besar. Biasa digunakan untuk beristirahat, berenang atau ’’aksi’’ meloncat dari atas tebing gua setinggi tiga meter.
Cavetubing berakhir di bendungan Banyomoto. Bendungan yang dibangun sejak jaman Belanda dengan latar belakang perbukitan karst ini menjadi titik poin  terjun bebas para penyusur gua. Tantangannya dengan uji nyali naik ke dinding tebing batu dan menceburkan diri dari ketinggian lima meter. Byuuuurr..!!!

Di lokasi ini pula mobil pick up siap menjemput menuju tempat transit untuk menikmati segelas jahe hangat dan membayar petualangan sepanjang 60 menit. Tarifnya hanya Rp 25 ribu. Harga ini sudah termasuk jasa pemandu, peralatan cavetubing (ban dalam, jaket pelampung, headlamp), dan welcome drink ala desa. 

***
Rasa penasaran menyusuri gua berlanjut dengan mencoba tantangan petualangan ekstrim gua Sioyot. Pengelola sengaja merahasikan kondisi di dalam gua sepanjang hampir satu kilometer ini. Pemandu hanya meminta kami menggunakan helm, sepatu dan menyimpan barang berharga dalam drybox atau menaruh di tempat penitipan barang. 

Gua Sioyot berada berada dibalik rerimbunan pohon perkebunan milik warga. Jaraknya sekitar 100 meter dari pos sekretariat. Saya cukup terperanggah karena tantangan menyusuri gua ini sudah dimulai sejak memasuki bibir gua. “Berjalan sambil jongkok dan kepala menunduk,” jelas Badri, pemandu kami yang  memasuki gua yang dulunya dipenuhi dengan akar ini. 

Lebih kurang 50 meter kami harus berganti posisi dengan merangkak di dasar gua yang beratap rendah. Belum hilang rasa pegal, jalan lumpur dengan batu tajam sudah menanti. “Awas kepala dan hati-hati,”Badri mengingatkan sesering mungkin.
Hanya dengan penerangan lampu senter dan headlamp, kami menyusuri medan gua Sioyot yang penuh lumpur dan air. Hampir sepanjang menyusuri gua kami berjalan menunduk untuk menghindari benturan helm dengan stalaktit. 


Tidak hanya itu, ketahanan fisik dan mental memang diuji karena tantangan melewati genangan air setinggi leher orang dewasa. Ditambah ‘’bergelut’’ dengan lumpur sedalam 30 sentimeter. Di gua ini juga memiliki beberapa cabang dengan aliran air yang cukup deras yang belum pernah disusuri sehingga harus memperhatikan petunjuk dari pemandu. Tidak cukup dengan lumpur dan genangan air, kami sesekali harus menyelinap diantara stalaktit-stalaktit berongga sempit dan tajam seperti gigi hiu.
Merayap, merangkak, atau berjalan jongkok adalah gerakan yang harus dilakukan untuk berkompromi dengan tinggi lorong gua yang kurang dari satu meter. Gerakan itu kami lakukan di atas lantai gua yang ditutupi tanah basah dan dialiri air. 


***
Dua jam berlalu. Kami akhirnya berhasil keluar dari gua dan kembali menghirup udara segar. Menurut pengakuan Bardi, tak banyak pengunjung yang berani menjajal tantangan petualangan ekstrim Sioyot. “Sebagian besar pengunjung menggelengkan kepala karena medannya terlalu berat.”
Setidaknya, rasa haus, lelah, dan  posisi jalan yang membuat kaki serasa ingin ‘’copot’’ saat  menaklukkan gua Sioyot terbayar dengan menyaksikan keajaiban dan keindahan di perut bumi Gunung Kidul ini.
Tapi, bisa jadi tantangan ini belum seberapa karena masih ada 400 lebih lagi gua dan sungai bawah tanah yang belum terjamah.


---------------


Menjadi Ikon Wisata 
 
Seorang laki-laki menyapa dan meyambut kami ketika tiba di depan tugu desa yang berada di jalan utama. “Ke gua Pindul? Mari saya antar,” ujar Nino.
Koordinator keamanan karang taruna Dusun Gelaran mengatakan, menyambut dan mengantar pengunjung yang datang ke objek wisata gua Pindul sudah menjadi bagian dari pelayanan wisata minat khusus yang berada di kampung rintisan desa wisata di Kabupaten Gunung Kidul ini.

Namun, berbeda dengan objek wisata cavetubing Waimoto di Selandia Baru yang dikelola lebih profesional. Potensi wisata gua Pindul yang baru diresmikan tahun 2010 ini sepenuhnya mengerahkan swadaya masyarakat yang dikelola melalui Wira Wisata karang taruna desa.
Mereka berinisiatif mengelola wisata gua Pindul dan menjadikannya sebagai potensi ekonomi. Selain pemasukan kas di dusun, hasil  retribusi dimanfaatkan untuk operasional dan melengkapi fasilitas yang disediakan di objek wisata. Seperti peralatan ban pelampung, jaket pelampung, sepatu karet dan headlamp.  

Meski belum ada pengelolaan, promosi  cukup baik serta keterbatasan akses menuju kawasan ini, tapi pelayanan dan alur untuk menjamu para pengunjung patut diacungi jempol.
Sebenarnya, tidak hanya cavetubing di gua Pindul dan petualangan ekstrim gua Sioyot, wisatawan yang datang juga bisa menikmati wisata minat khusus lainnya seperti petualangan rafting sungai Oya sepanjang 1,5 kilometer lengkap dengan air terjun dan pemandangan tebing-tebing indah diantara perkebunan minyak kayu putih yang alami. 

Tujuh mata air yang mengitari wilayah ini juga menjadi sarana irigasi di lima dusun dan  sumber air bersih yang dikemas menjadi paket wisata outbound jelajah alam Sendang Tujuh. Juga homestay di rumah penduduk. Semua itu diminati wisatawan yang datang tidak hanya dari kota Yogyakarta dan sekitarnya, tapi juga Jakarta dan Surabaya.


Kawasan gua Pindul hanya satu dari sekian banyak potensi gua karst sebagai ekowisata andalan yang bisa dikembangkan sebagai obyek wisata mandiri yang bisa menjadi ikon wisata di Gunung Kidul. Di wilayah ini terdapat lebih dari 400 gua batu kapur dan sungai bawah tanah yang bisa ditawarkan. Dibandingkan Waitomo yang memiliki sekitar 300 gua batu kapur  di bawah bukit-bukitnya. 

Setidaknya, menggarap keunikan karakter kars ini tidak hanya mengenalkan dan mengembangkan objek wisata di Gunung Kidul, tapi juga salah satu cara mengubah citra tandus dan kekeringan yang melekat dari kawasan kars terluas di Pulau Jawa ini.