Petualangan sejarah bisa diawali dari ketidaksengajaan.
Seperti yang dilakukan penyanyi kondang Trie Utami ketika melakukan pemotretan di sebuah situs purbakala dan
merangkumnya dalam sebuah buku fotografi “Abhayagiri Keraton Ratu Boko-Matahariku Rembulan”
Buku “based on” sejarah ini bercerita misteri
dan pesona Candi Ratu Boko melalui penyajian prosa dan
fotografi yang dikemas unik dan eksotis
sehingga mampu menggugah rasa penasaran untuk mengulik sejarah situs purbakala yang berada di selatan Candi Prambanan
ini.
Buku inilah yang menuntun Saya menuju perjalanan menikmati kesejukan
dan keindahan senja di Ratu Boko, sebuah situs bernilai sejarah tinggi di bukit Boko.
***
Meski tak setenar Candi
Borobudur atau Prambanan, situs Ratu Boko
memiliki keunikan tersendiri. Tidak hanya pesona panorama dari ketinggian tapi
juga arsitektur berbeda ditiap bangunan yang hingga kini menyimpan tanda tanya.
Situs
Ratu Boko terletak diatas bukit
Boko, sekitar 18 kilometer timur Kota Yogyakarta diantara
desa Dawung dan Sambirejo. Lokasinya mudah
dijangkau, hanya berjarak lebih kurang tiga kilometer arah selatan Candi Prambanan.
Selain menggunakan kendaraan pribadi, paket wisata Prambanan Boko dengan
fasilitas
shuttle bus menjadi alternatif
transportasi yang bisa dipilih menuju ke tempat ini. Atau
menggunakan ojek dari terminal Prambanan.
Suara rekaman dari pengeras suara bercerita tentang sejarah situs Ratu Boko menggema
disekeliling membuat Saya tak sabar memasuki “kediaman” Rakai Panangkaran ini. Saya
langsung membeli tiket seharga Rp 10 ribu. Berbeda ketika berkunjung di Candi
Borobudur atau Prambanan, pengelola rupanya cukup jeli menangkap peluang dari
wisatawan dengan mengenakan
charge lima ribu rupiah untuk
sebuah kamera yang saya bawa.
Dari petunjuk pintu masuk di samping batu berundak, Saya berjalan sepanjang
100 meter menuju bangunan.
Disisi kanan
nampak lima
ekor rusa tengah asyik merumput menjadi “among tamu” wisatawan memasuki gerbang
utama.
Situs Ratu Boko terdiri atas beberapa kelompok bangunan yang
saat ini hanya berupa reruntuhan. Sepintas
memang tidak menarik, tapi sebagai sebuah bangunan peninggalan, situs Ratu Boko
memiliki keunikan dibanding peninggalan lain. Bukan candi atau kuil, sesuai
namanya situs ini menunjukkan ciri-ciri sebagai tempat tinggal.
Situs diatas areal seluas 250ribu meter persegi
yang terletak diketingian 196 meter di atas
permukaan laut terbagi menjadi empat, yaitu bagian tengah yang terdiri dari
bangunan gapura utama, lapangan, Candi Pembakaran, kolam, batu berumpak, dan
Paseban. Bagian tenggara meliputi Pendopo, Balai-Balai, tiga candi, kolam, dan
kompleks Keputren. Sementara disisi timur terdapat kompleks gua, Stupa Budha,
dan kolam. Sedangkan bagian barat hanya berupa perbukitan.
Dua buah gapura tinggi nan megah didepan Saya ini menjadi pintu gerbang
utama. Gapura pertama memiliki tiga pintu gerbang yang saling berdekatan, bagian
tengah yang besar berada diantara dua gerbang pengapit yang membujur dari utara
ke selatan. Di gerbang ini terdapat tulisan '
Panabwara'. Berdasarkan prasasti Wanua Tengah III, ini adalah
tulisan dari
Rakai Panabwara, (keturunan
Rakai Panangkaran) yang mengambil alih istana untuk melegitimasi kekuatan. Sedangkan
gapura kedua yang berada di belakangnya
memiliki lima
pintu, sama seperti sebelumnya tapi diapit empat gerbang.
|
gapura utama |
Menoleh kearah kanan, bangunan Candi Pembakaran nampak tengah direnovasi.
Candi itu berbentuk bujur sangkar dan memiliki dua teras digunakan untuk
pembakaran jenasah. Tak jauh dari situ terdapat sebuah batu berumpak dan sumur.
Konon, sumur tersebut bernama
Amerta
Mantana (air suci yang diberikan mantra) diyakini masyarakat setempat
dapat membawa keberuntungan. Kini, airnya
masih digunakan umat Hindu untuk Upacara Tawur agung karena dipercaya dapat mensucikan
diri kembali dan mengembalikan harmoni bumi isinya. Kalau ingin melihat prosesi
upacara pengambilan air ini biasanya pengunjung datang kesini sehari sebelum
Nyepi. Sedangkan disebelah barat gerbang utama terdapat sebuah benteng yang
terbuat dari batu kapur (Temple
of Limestone).
Setelah puas berkeliling, penyusuran saya lanjutkan ke bagian kedua disisi
tenggara. Disini
terdapat sisa
peninggalan berupa Pendopo (Ruang Pertemuan) dengan panjang 20 meter yang
dikelilingi pagar dengan tangga di tiga gerbang beratap disebelah utara,
selatan, dan barat.
Mungkin saja dari sini Rakai Panangkaran memantau aktivitas permaisuri dan
putrinya. Pasalnya, dari atas Pendopo ini, pemandangan komplek pemandian yang
berada di sisi timur dapat terlihat jelas meski dikelilingi pagar tinggi.
Ada
tiga kolam yang terpisahkan gerbang. Dua di antaranya memanjang dari utara
sampai selatan, dan satu kolam lainnya terdiri dari delapan kolam bundar.
Di teras ini, juga terlihat sisa-sisa bangunan diantara reruntuhan gerbang
dan landaian yang disebut Paseban (Ruang Resepsi) yang membujur dari utara ke
selatan dan Keputren (tempat tinggal putri).
Sebenarnya, masih banyak sisa reruntuhan di Ratu Boko yang bisa ditelusuri.
Seperti Gua disisi timur. Gua Wadon (Female
Cave) dan Gua Lanang (Male Cave)
yang didepannya terdapat sisa sebuah kolam dan temuan tiga stupa yang merupakan
Aksobya, salah satu Pantheon Budha.
***
Sebagai sebuah peninggalan bersejarah, Ratu Boko meninggalkan banyak temuan.
Keramik, artefak lima fragmen prasasti berhuruf Pranagari dan berbahasa
Sansekerta, tiga prasasti berhuruf Jawa Kuno dalam bentuk Syair Sansekerta, Arca
Hindu (Durga, Ganesha, Garuda, lingga, dan yoni), dan Buddha (tiga Dhyani
Buddha yang belum selesai) serta prasasti
Siwagraha
yang menceritakan peperangan antara Raja Balaputradewa dan Rakai Pikatan.
Namun, begitu banyak dan beragamnya sisa kepingan sejarah ditempat ini masih
sulit direkatkan hingga sekarang, karena tidak ada prasasti yang secara
eksplisit menterjemahkan fungsi setiap bangunan. Persepsi dan temuan tetap membuat
sejarah Boko sulit terpecahkan.
Beberapa temuan hanya mencatat Ratu Boko dibangun abad ke-8 Masehi. Ini berdasarkan
prasasti
Abhayagiri Vihara beraksara
pranagari ditahun 746-784 Masehi yang
menyebutkan bahwa Raja Tejapurnama Panangkarana, yang diperkirakan adalah Rakai
Panangkaranlah (keturunan Wangsa Syailendra) yang membangun tempat ini. Menurut
para pakar,
Abhayagiri Vihara (berarti biara di bukit yang penuh
kedamaian)
didirikan untuk tempat
menyepi dan memfokuskan diri pada kehidupan spiritual.
Temuan ini mengingatkan Saya pada tulisan Trie Utami
yang menuliskan pesona Abhayagiri
atau bukit yang penuh kedamaian dan menyimpan kisah luhur yang di dalamnya
tersembunyi sebuah kisah Rakai
Panangkaran yang mengajarkan "Boddhicitta", sebuah ajaran yang dibawa
Atisha sampai ke Tibet dan masih diajarkan Dalai Lama kepada para bhiksu hingga
kini.
Meski periode berikutnya, Abhayagiri Vihara difungsikan sebagai Keraton
Walaing oleh Rakai Walaing Pu Khumbayoni yang beragama Hindu. Tidak
mengherankan bila unsur Hindu dan Budha bercampur di bangunan ini.
Arkeolog asal Belanda, HJ De Graaf yang menemukan Situs Ratu Boko pertama
kali di abad ke-17. Van Boeckholtz menemukan kembali reruntuhan bangunan kuno ini
tahun 1790 hingga
seratus tahun
kemudian, FDK Bosch mengadakan penelitian dan mempublikasikan dalam tulisan berjudul
Keraton Van Ratoe Boko.
Kata keraton berasal dari kata Ke-Ratu-an yang artinya
istana atau tempat tinggal raja, sedangkan Boko berarti bangau. Namun hal ini
juga tak menjelaskan siapa sebenarnya raja Bangau, apakah penguasa pada zaman
itu, atau ini merupakan istana Ratu
Boko, ayah Lara Jonggrang, atau nama burung dalam arti sebenarnya yang dahulu
sering hinggap di kawasan perbukitan Ratu Boko? Entahlah…
Yang jelas, senja di bukit Boko yang dipadu Panorama Kota
Yogyakarta dan Candi Prambanan ini tak kalah menakjubkan dengan cerita yang
melingkupinya.
****
Momen Abadi dibalik Eksotika
Sore itu, sesosok perempuan bergaun ungu menapaki tangga berundak menuju
Situs Ratu Boko. Tangan kanannya memegang buntut gaunnya yang menjuntai
panjang. Sesekali ia melempar senyuman kepada laki-laki berjas hitam
disampingnya. Sementara beberapa orang mengiringi dibelakang
dengan membawa peralatan fotografi dan baju
ganti.
Tak lama kemudian dibagian tenggara Situs Ratu Boko, tepatnya di komplek
Pemandian, sejoli itu tanpa canggung tengah beradu mesra didepan jepretan
kamera sang fotografer dan pengarah gaya.
Rupanya mereka tengah melakukan sesi pemotretan untuk foto
Pre-wedding.
Suasana
old-fashion begitu kental
terasa. “Saya suka karena pemandangannya bagus dan bangunannya unik, makanya kami
ingin mengabadikan foto pre-wedding disini,” jelas mereka beralasan.
Meskipun kini tinggal reruntuhan, eksotika Situs Ratu Boko yang memberikan
kesan special dan romantis mistis ternyata tidak hanya mengundang pesona untuk
dinikmati, tapi juga diabadikan dalam momen tak terlupakan seperti yang
dilakukan sepasang calon pengantin asal Yogyakarta itu.
|
pre-wed |
Tidak hanya sesi pemotretan Pre-wedding saja, Objek Wisata Ratu Boko menyediakan
berbagai fasilitas pendukung di
Plaza
Andrawina.
Selain restoran, tempat ini
juga multifungsi untuk berbagai kegiatan seperti gathering, ulangtahun, pesta
pernikahan, malam keakraban, atau temu relasi. Panggung terbuka berkapasitas
500 orang ini juga berfungsi sebagai gardu pandang untuk menikmati panorama
alam nan indah Kota Yogyakarta yang dibelah sungai Opak dan Candi Prambanan
dengan gunung Merapi
sebagai latar
belakangnya.
Pengelolaan objek wisata Situs Ratu Boko memang cukup diacungi jempol dengan
menawarkan berbagai paket wisata edukasi kepada wisatawan. Diantaranya paket
petualangan budaya dengan merasakan Boko Camping di bumi perkemahan terasering
dan Boko Trekking dini hari untuk menyaksikan
out standing views of silk sunrise di bukit Boko.
Sementara wisatawan yang berminat khusus pada arkeologi, pengelola juga
menyediakan beberapa alternatif kegiatan berunsur edukasi seperti
paket Boko eskavasi (penggalian), restorasi (perbaikan)
dan konservasi (perawatan).
Memang, gabungan pemandangan alam dan peninggalan masa
lampau membuat Situs Ratu Boko layak masuk daftar tempat wisata yang patut
dikunjungi.
(Non)