Pages

Senin, 20 Juli 2009

Bertemu Dinosaurus Terakhir



Pesawat yang saya tumpangi bersama tim dari WWF harus berputar-putar di udara hingga beberapa waktu. Cuaca buruk sempat menghadang sebelum akhirnya mendarat di Bandara Udara Domine Edward Osok, Sorong.

Kesempatan menginjakkan kaki ke tanah Papua di pertengahan tahun 2009  memang membuat tubuh rasanya ingin  melompat ke udara karena tawaran yang datang tak terduga. Ya, ini bukan perjalanan sembarangan. Selain ini kali pertama menghirup usara Papua, saya berkesempatan pergi bersama tim konservasi penyu WWF di Abun, Papua untuk memantau siklus peneluran dan mengamati proses pelestarian Penyu Belimbing. Satu dari spesies endemik yang kini terancam punah.
Penyu Belimbing
Trip panjang dan melelahkan harus kami lalui. Tantangan tidak hanya menyiapkan kondisi fisik, tapi juga cuaca lautan Pasifik yang sulit diprediksi. Belum tentu juga bertemu dengan ’’dinosaurus terakhir’’ dari Papua ini. Ya, penyu merupakan salah satu spesies satwa warisan zaman purbakala yang sudah ada sekitar 220 juta tahun yang lalu di zaman Triassic, sebelum zaman Jurassic.

Kami datang ke Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Abun Papua Barat bertepatan dengan musim peneluran. Tepatnya, di Pantai Jamursbamedi dan Pantai Warmon. Dua kawasan yang menjadi pantai peneluran terbesar di Pasifik Barat.
***
Pukul 07.00 WIT, tiga speedboad yang kami tumpangi menuju Abun sudah siap di Pelabuhan Perikanan Sorong. Cuaca cerah. Ini pertanda baik mengingat perjalanan yang kami lalui sangat jauh dan penuh resiko. Perjalanan pagi menjadi pilihan. Kami harus berpacu mengarungi besarnya ombak lautan Pasifik dari Sorong hingga Abun sejauh 200 kilometer lebih. 
Sebelum berangkat menuju Abun
Ya, perjalanan menuju lokasi pusat peneluran Penyu Belimbing kami lalui dengan jalur laut dengan menyusuri bentang laut Kepala Burung Papua. Puluhan lumba-lumba yang mengikuti dan hamparan biru lautan menjadi hiburan selama perjalanan. 10 jam berada di laut bukan waktu yang sebentar untuk dilewati dengan cuaca panas dan bau solar yang menyengat.
Perjalanan menuju Abun
 Ombak besar bahkan sempat membuat satu dari tiga speadboad yang kami tumpangi terbalik. Tapi kami akhirnya berhasil merapat di Kampung Wau. Lokasi terdekat dengan pantai Warmon dan Jamursba Medi.

Tapi perjalanan harus dihentikan. Tak mungkin melanjutkan perjalanan karena hari menjelang senja. Kami beristirahat dan bermalam di rumah Mama Thabita,  salah satu tetua kampung dan pemilik tanah adat Pantai Jamursbamedi.  Perjalanan bersama Tim pengamatan konservasi penyu yang terdiri dari anggota LSM Lingkungan WWF, Universitas Papua dan Universitas Udayana Bali berlanjut esoknya. 
***
Misi ke Pantai Warmon yang berjarak lebih kurang 30 kilometer dari sisi timur Pantai Jamursbamedi terpaksa dibatalkan karena beresiko. Ombak terlalu besar. Sayang sekali, tapi kami harus berkompromi dengan alam dan melanjutkan rute perjalanan menuju Pantai Jamurbamedi dengan jarak tempuh sekitar dua jam. 
Tenda di Pantai Jamursba
Ya, Pantai Jamursbamedi masih alami, berpasir putih dan suhu  panas. Sangat cocok untuk tempat peneluran penyu hingga menetas dan menjadi tukik. Masyarakat Kampung Wau mengaku bahwa penyu-penyu itu sudah singgah dan bertelur di sini sejak ratusan tahun yang lalu.

Kami bergegas mendirikan tenda untuk bermalam. Ya, harus bersabar menunggu malam untuk mencari keberadaan dan mengamati penyu yang naik ke darat dan bertelur. Meski  musim peneluran berlangsung antara bulan April hingga September, penyu-penyu ini sekarang tak mudah ditemukan.

***
Sekitar pukul 22.00 WIT, kami berkumpul dan membuat kelompok atau tim. Pencarian pun dimulai dengan panduan para patroler. Kami menyusuri pasir putih yang halus di bibir pantai sepanjang 18 kilometer. Tanpa alas kaki dan hanya membawa lampu senter untuk penerangan. Cahaya bintang dan debur ombak berirama mengiringi percakapan.

Untuk memudahkan pencarian, tim menyebar di beberapa lokasi peneluran penyu di sepanjang lima kilometer pertama. Menelusuri jejak penyu ketika naik ke darat maupun kembali ke laut adalah cara yang efektif untuk menemukan keberadaan penyu.

Sekitar dua jam kami menyusuri pantai, tiba-tiba terdengar suara salah seorang patroler dari walki talkie. ”Bisa di copy..tim menemukan Penyu Lekang sedang naik.”
Kami pun langsung merapat menuju partoler yang berhasil mengidentifikasi jejak Penyu Lekang.

Penyu Lekang (dengan ’e’ di ’kentut’), jenis penyu terkecil yang terancam punah karena perburuan telurnya. Warnanya hijau tentara dan  memiliki enam pasang lempang pada tiap cangkangnya. Dibeberapa wilayah di Indonesia penyu ini masih bisa ditemui, meski populasinya kecil.

Kami pun mulai mengamati pergerakan Penyu Lekang seberat 70 kilogram yang akan bertelur. Penyu berjalan dengan sirip depan menjauhi bibir pantai untuk menentukan lokasi sarang. Kemudian dengan sirip belakang penyu mulai menggali lubang sarang sedalam 60 hingga 80 sentimeter.

Kami tak boleh berisik ketika mengamati proses peneluran sekitar 40 menit karena spesies ini sangat sensitif dengan cahaya dan suara. Makanya, selama mengamati proses peneluran, kami hanya menggunakan pencahayaan minim dan tak bersuara. Ya, saya jadi tahu kebiasaan penyu ketika membuat lubang sarang yang berbentuk bulat dan mengeluarkan telur  sebesar bola tenis meja ini. Jumlahnya berkisar antara 80 hingga 110 butir.

Penyu kemudian menutup sarang dengan pasir dengan sirip belakangnya, lalu menimbun badan dengan keempat siripnya. Tak lama kemudian,  mulai membuat sarang kamuflase atau sarang tipuan untuk mengelabuhi para predator. Manusia, biawak, anjing dan babi hutan adalah musuh mereka. Sarang penyamaran ini sebenarnya hanya berupa bekas gerakan memutar sirip depannya yang berjarak sekitar dua meter dari sarang asli.

Nah, setiap sarang ini akan ditandai tenaga patroli untuk mengetahui berapa jumlah penyu yang datang dan bertelur. Sarang ini juga dijaga dari predator alias pemangsa. Kalau perlu, sarang akan dipindahkan agar telur aman. Yang pasti, semua harus dilakukan dengan sangat hati-hati.

“Kalau galian lubang sarang tidak terlalu dalam akan direlokasi karena rentan predator. Apalagi Penyu Lekang yang baru pertama kali bertelur. Ukuran sarang tidak standar dan jumlah telur sedikit,”jelas William Iwanggin, salah satu tim konservasi penyu dari Universitas Negeri Papua.
menghitung telur penyu Lekang
Tak lama kemudian, penyu’’diamankan’’ sebelum kembali ke laut. Bukan bermaksud jahat. Tim memberi penanda dengan metal tag dengan menempelkan lempengan logam berkode berukuran dua sentimeter pada bagian sirip depan. Mengambil contoh  kulit untuk dijadikan sampel genetika. Ini salah satu upaya konservasi untuk  mengetahui pergerakan dan persebaran penyu.

Pencarian berakhir dengan membawa Penyu Lekang betina ke pos pemantauan untuk pemasangan alat pemancar. Namanya Transmiter atau satelit tag. Beratnya 500 gram. Bentuknya persegi mirip dengan tikus yang dilengkapi dengan saklar otomatis yang direkatkan pada punggung penyu. Fungsinya, untuk memantau habitat penyu di daerah peneluran maupun pakannya.

***
Esoknya, anggota tim Konservasi penyu Universitas Udayana, I Made Jaya Ratha memasang transmitter di punggung Penyu Lekang untuk mengetahui jalur migrasi penyu di pantai Jamursbamedi dan Warmon.
Metode penempelan dilakukan dengan menggunakan alat perekat fiberglass atau resin. Sebelum dipasang, karapas diamplas terlebih dahulu agar bebas dari algae atau lumut. Setelah itu atasnya baru ditutup dengan resin dan fiberglass sebelum dipasang transmiter dengan menggunakan Q-cell. Pemasangan satelit ini tidak akan bertahan selamanya di punggung penyu. Biasanya hanya mampu bertahan hingga 1,5 tahun. Tapi dari situ, tim bisa mendapat banyak data sebagai pedoman. 
Setelah memasang transmitter
Menurut Jaya Ratha, penyu naik ke permukaan di spot-spot tertentu akan mengirimkan sinyal. Lokasi itu lah yang kemudian saling dihubungkan untuk dijadikan satu track atau jalur migrasi penyu hingga bisa memberikan gambaran habitat penyu.
Memang unik karena  penyu memiliki habitat pakan yang jaraknya ribuan kilometer dari pantai peneluran. ”Misalnya penyu dari Papua ini, dia cari makannya dimana, terus dia lewat jalur mana, apakah itu juga merupakan jalur penangkapan ikan. Nah, pemasangan satelit ini juga menjadi salah satu cara untuk mengidentifikasi bahaya yang ditemui penyu di perairan yang tidak bisa dipantau kasat mata,” jelas Spesialis pemasang transmitter dari Tim Konservasi Penyu Universitas Udayana ini.
Tim Konservasi Penyu Universitas Udayana menyebut,  sejak 2003 sebanyak 13 Penyu Lekang terpasang alat pemancar satelit dan mengirimkan sinyal setiap kali muncul ke permukaan.
Dari hasil pemantauan itu pun diketahui identifikasi pakan Penyu Lekang yang habitat penelurannya di Pantai Jamursbamedi dan Warmon bermigrasi atau mencari pakan di sekitar Laut Arafura, dan perairan Sulawesi.

Usaha konservasi penyu ini mulai aktif dilakukan LSM Lingkungan WWF bersama masyarakat lokal yang mendiami kawasan yang didatangi penyu-penyu untuk bertelur sejak tahun 1993.
Mama Rebeca dengan transmitter di punggung
Selama musim peneluran, 40 patroler (petugas patroli) melakukan pengamatan penyu. Mereka warga kampung Wau dan Saubeba, dua kampung terdekat dengan pantai peneluran yang dilatih untuk menjaga dan mengawasi penyu dengan imbalan insentif  sebesar Rp 1,5 juta perbulan.

Salah satunya David, warga kampung Saubeba yang berjarak sekitar 15 kilometer dari Pantai Jamursbamedi. Tugasnya menyusuri bibir pantai sepanjang musim peneluran untuk mengambil data. Setiap pagi dan malam dengan berjalan kaki.  “Kami menghitung jejak penyu yang naik dan  bertelur. Juga menghitung sarang penyu yang berhasil bertelur, dirusak predator atau hanya jejaknya saja.” 
Partoler dan penyu Lekang
***
Tak hanya itu, kami juga mengamati Penyu Belimbing. Jenis spesies endemik penyu terbesar dengan panjang mencapai 1,8 meter yang masuk dalam daftar merah IUCN. Artinya statusnya amat langka. Populasinya turun drastis dalam 50 tahun terakhir ini dengan jumlah penyu betina yang bertelur diperkirakan hanya tersisa  ribuan  ekor saja. Hanya sedikit tempat di dunia yang dipilihnya untuk bertelur. Pengamatan pun kami lakukan di sepanjang pantai Jamursba medi.

Pencarian berlanjut. Seperti malam sebelumnya, kali ini kami menyusuri sisi timur Pantai Jamursbamedi dan berharap bertemu Penyu Belimbing. Penyu yang biasa dijuluki ’dinosaurus terakhir’. Ya, tak seperti penyu lainnya, penyu belimbing satu-satunya penyu terbesar yang tak memiliki cangkang. Kulit punggung tanpa cangkang bergaris-garis, menonjol, menyerupai buah belimbing. Tak heran jika penyu ini dinamai dengan nama buah. Hanya saja warnanya hitam bercak putih.

Kami menuju ke arah timur Jamursbamedi, tepatnya di kawasan Warmamedi. Jalur yang kami lalui lebih sulit karena melintasi bibir hutan. Setelah menempuh jarak sekitar lima kilometer dari pos pengamatan,  kami melihat Penyu Belimbing berukuran besar sedang naik ke pantai.

Kami menemukan satu Penyu Belimbing yang akan bertelur. Proses peneluran tidak jauh beda dengan Penyu Lekang. Sungguh pengalaman yang luar biasa dan tak terlupakan bisa menyaksikan penyu belimbing yang beratnya diperkirakan hampir setengah ton dengan telur seukuran bola biliar.
Menimbang dan mengukur tubuh Penyu Belimbing
Namun kami hanya menyaksikan proses peneluran saja karena pemasangan satelit pemancar butuh peralatan yang lebih khusus. Juga sabuk khusus yang melingkari tubuh ’’raksasanya’’. Sejak 2003, tercatat sebanyak 22 Penyu Belimbing telah dipasang transmitter.
Jenis penyu ini mempunyai kemampuan jelajah terjauh ke segala arah dalam kurun waktu setahun. Mereka bermigrasi menempuh jarak hingga enam ribu mil dari habitat asalnya di Papua.  Menyusuri Papua hingga Kepulauan Solomon, ke selatan hingga Kepulauan Kei di Maluku Tenggara, ke utara melampaui Filipina hingga ke Jepang, dan menyeberang Samudera Pasifik hingga pantai barat California.
***
Menjaga Ekosistem
Konservasi dan monitoring penyu di Papua ini tentu saja sangat penting dilakukan karena kawasan ini menjadi tempat peneluran untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Dua pantai yang terletak di utara Papua ini merupakan satu-satunya tempat dengan jumlah populasi tertinggi dengan pantai peneluran yang cukup panjang. Beda dengan pantai peneluran penyu di Amerika dan India yang populasinya relatif kecil.
Sebenarnya upaya konservasi penyu di Papua ini bermula dari survei udara di Pantai Jamursbamedi di tahun 1980-an yang menemukan 250 ekor lebih penyu Belimbing dan Lekang betina datang bertelur setiap malam pada puncak musim peneluran di sepanjang 20 kilometer garis pantai. Ini menjadi titik awal betapa pentingnya pantai tersebut bagi habitat penyu.

Ya, selama 20 tahun terakhir, jumlah populasi penyu di kawasan Pasifik yang merupakan jalur padat reptil ini diperkirakan mencapai 30 ribu ekor penyu. Tapi terus menyusut hanya 13 ribu saja yang ditemukan di tahun 1984. Populasinya menurun drastis.
Dari catatan WWF Indonesia, sepanjang 2008 memperkirakan di kawasan ini hanya sekitar tiga ribuan penyu diantaranya penyu belimbing betina dewasa yang bertelur. 
Pantai peneluran
Yang jelas banyak faktor yang mengancam keberlanjutan populasi Penyu Belimbing dan Penyu Lekang di pantai utara Papua. Penyebab utamanya perburuan liar dan penggunaan jaring penangkap ikan di kawasan laut lepas. Selain itu juga predator alami penyu seperti biawak, anjing dan babi hutan. Abrasi alias pengikisan pantai, juga berperan terhadap menurunnya jumlah spesies endemik ini.

Tapi yang bikin saya terkejut bahwa ancaman terbesar keberadaan penyu adalah manusia yang mengambil telur, memakan dagingnya serta merusak wilayah pantai tempat penyu bertelur sehingga telur penyu gagal menetas.

Kepala Kampung Saubeba yang berjarak sekitar 15 kilometer dari jamursba medi, Damianus Yesawen mengaku, selain penangkapan liar yang sering terjadi di kawasan laut lepas, telur  dan penyu dimanfaatkan  masyarakat setempat sebagai bahan makanan dan mata pencaharian. Warganya masih kerap mengkonsumsi telur penyu, atau ditukar dengan kain sarung, celana. Ini dilakukan karena belum paham pentingnya pelestarian penyu.
Chistopher warga Kampung Wau juga bercerita jika dirinya sering memakan telur penyu dan menjualnya. “Untuk makan dan beli kebutuhan, tapi tidak banyak paling hanya 1 atau 2 sarang. Ambil secukupnya saja.”
“Telurnya enak bisa buat campuran makanan. Semua orang juga suka makan telur karena di daerah lain tidak ada. Kalau dijual bisa dapat Rp 500 ribu kalau di jual ke Sorong atau Manokwari. Tapi kalau di sini tidak mahal, satu atau dua butir hanya seribu,”  timpal August Yesnat.
Juga Martina Yaum masyarakat di Kampung Wau yang berada sekitar 40 kilometer dari Jamursbamedi. “Di makan dan jual. Ada yang satu noken dapat Rp 30 ribu.  Untuk beli sabun atau gula.  Ada juga kapal perintis yang datang membawa dan menjual telur,” ujarnya dengan logat khasnya.

Karena itulah Penyu Lekang dan Penyu Belimbing ditempatkan sebagai penyu laut yang paling terancam populasinya di dunia. Penyu Belimbing bahkan masuk daftar merah Serikat Internasional untuk Konservasi Sumber Daya Alam, IUCN. Masuk ke daftar ini berarti memiliki resiko punah paling tinggi. Banyaknya ancaman dalam kehidupan penyu menyebabkan tingkat keberhasilan penetasan telur penyu sangat rendah. Dari sekitar seribu telur penyu, hanya satu yang selamat hingga dewasa. Begitu juga dengan penyu Lekang yang saat ini statusnya terancam punah. 
Padahal, kawasan pantai di sepanjang kepala burung Papua merupakan salah satu tempat peneluran terakhir Penyu Lekang dan Belimbing. Di kawasan lainnya seperti Malaysia dan Meksiko tercatat makin sedikit penyu betina yang kembali ke kawasan pantai untuk bertelur.
***
Kawasan Khusus
Pelestarian Penyu Belimbing dan Penyu Lekang tidak hanya punya arti penting bagi ekosistem laut, tapi juga manusia dan industri nelayan. Sebagai pemangsa ubur-ubur, kedua  penyu ini dianggap mampu mengatur keseimbangan populasi ubur-ubur di laut. Bayangkan, jika populasi ubur-ubur berlebih ini memangsa larva ikan. Dampaknya tentu saja akan mengancam populasi ikan.
Karena itu untuk menjaga habitat penyu agar tetap lestari, pemerintah setempat sepakat untuk menjadikan dua situs peneluran  yakni Jamursbamedi dan Warmon sebagai kawasan khusus yang penting bagi keberlanjutan penyu dengan membentuk Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Abun yang secara admintratif terletak dalam wilayah Distrik Sausapor dan Distrik Abun, Kabupaten Sorong, Papua Barat.
Penetapan ini diperkuat dalam SK Bupati Sorong No.142/ 2005 yang menetapkan kawasan laut dan pesisir Distrik Abun sebagai KKLD dengan luas pantai mencapai 169 ribu hektar, dan lima kilometer dari garis pantai ke darat.

Di KKLD Abun
Kawasan yang sebelumnya masuk dalam ranah Sub-Balai Konservasi Sumber Daya Alam BKSDA Papua I Sorong sebagai kawasan suaka margasatwa ini menjadi  salah satu KKLD di pulau Papua yang memiliki spesifikasi khusus,  yakni penetapan kawasan peneluran penyu Belimbing terbesar di Pasifik. Dengan begitu, perlindungan terhadap kawasan perairan sebagai rute migrasi dan perlindungan terhadap kawasan pantai dan hutan disekitarnya menjadi prioritas.
“Untuk memastikan perlindungan pantai peneluran agar populasi penyu di Pasifik tetap stabil atau meningkat,” jelas Kasi Konservasi dan Pesisir pada Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong, Linder Rouw.

Bahkan untuk mencuri perhatian dan mencari dukungan internasional terhadap pelestarian tempat hidup Penyu Lekang dan Penyu Belimbing, KKLD Abun, Papua Barat dideklarasikan saat Konferensi Kelautan Dunia World Ocean Conference (WOC) di Manado pertengahan Mei 2009 lalu.  Sehingga masyarakat internasional bisa melihat pentingnya Kawasan Konservasi Abun di Papua sebagai salah satu kawasan peneluran penyu terbesar di pasifik. Tujuannya agar semua ikut menjaga dan melestarikan jenis penyu dari kepunahan.

“Penyu di Jamursbamedi cukup banyak, tapi satu tahun bisa kehilangan ribuan tukik karena yang selamat hanya 10 atau 15 tukik.  Kalau tidak diperhatikan lama-lama bisa punah.  Jadi bagaimana bisa selamat, semua bisa ikut menyelamatkan tukik supaya berkembang disini,” ungkap Kepala Kampung Saubeba Daminaus Yesawen.

Ya, Pantai Jamursbamedi dan Warmon menjadi harapan untuk mempertahankan keberlanjutan penyu dari kepunahan. Semoga saja upaya ini terus berlangsung hingga berdampak pada perubahan perilaku dan kesadaran masyarakat untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut dunia.
Dan perlindungan tidak  hanya bagi Penyu Lekang dan Penyu Belimbing saja karena sebenarnya Indonesia juga menjadi rumah bagi enam dari tujuh spesies penyu yang ada di dunia. 


Jadi, mari kita lindungi!!

Behind the scenes
greattraveling 
Its me, kecoak pengembara
Nggak melewatkan pemandangan
Bersama anak-anak Kampung Wau
Ini nih penyu Lekang
bayangin tuh segede apa telurnya
Nemu cangkang penyu
santapan malam, baby gurita
Menunggu daging rusa matang di Sausapur


mari makan baby gurita bakar, maknyuus

mengikuti Rebeca kembali ke laut
dengan Om Bethuel, bapak penyu
Post by Non
pics from personal n WWF team

Rabu, 24 Juni 2009

Sanitasi Ramah Lingkungan

Publish on Radio International Jerman Deutsche Welle/ Indonesian Programme

by. Noni Arni

Penyediaan fasilitas mandi, cuci, dan kakus MCK yang representatif bukanlah persoalan sederhana bagi kota besar. Dengan penduduk yang padat, lahan yang semakin sempit, persediaan air bersih juga semakin terbatas. Karenanya tak jarang warga memilih memanfaatkan sungai sebagai MCK. Aktivitas ini tentu saja membuat sungai tercemar. Meskipun selama ini banyak program sanitasi yang macet, tapi upaya perbaikan program sanitasi tetap dilaksanakan. Misalnya dengan MCK Ramah Lingkungan. Inilah tema Politik dan Masyarakat kali ini bersama Noni Arni, Koresponden DW dari Semarang

Pagi itu Muktiah dan anaknya tengah asyik mandi bersama di salah satu sungai yang bersebelahan dengan jalur utama pantura timur Jawatengah. Tak ketinggalan Munawaroh yang mencuci baju dan Rusdi yang asyik memandikan domba-domba peliharaannya. Air sungai yang dangkal karena musim kemarau tak mengurangi aktifitas keseharian mereka.

Begini lah potret warga Demak Jawatengah yang hingga kini masih mengalami kesulitan air bersih untuk memenuhi kebutuhan MCK.
Munawaroh dan Rusni mengaku Meski dianggapnya lebih praktis dan murah, memanfaatkan air sungai untuk MCK merupakan keterpaksaan karena sulitnya mendapatkan air bersih. Terlebih lagi saat memasuki musim kemarau.

“(sambil nyuci) ya memang cepet, kalau ini ada kotorannya anak-anak (bekas BAB bayi-red)dibuang disitu, langsung mengalir. Ya terpaksa, dari segi ekonomi kan lebih ngirit. Resikonya ya itu dari kotorannya sana terus kesni. Apa boleh buat . Gimana lagi, airnya adanya ini saja. adanya ini ya dipakai ini, cepet kok, enak.”

“Nyuci piring, mandi disini. Punya sumur tapi kalau musim kemarau kering dan asin airnya.ini sedikit kan seger.tidak ada airnya tapi karena adanya ini, ya dipakai ini. udah dari dulu sebelum saya lahir. Kalau yang alergi gatal tapi yang sudah biasa tidak. Adanya ini ya dipakai ini.”Rusni menambahkan.

Mereka adalah bagian dari hampir 69 juta orang di Indonesia yang hingga kini masih tidak memiliki akses terhadap fasilitasi sanitasi dasar. Lebih dari 30 ribu desa di Indonesia kondisi sanitasinya sangat memprihatinkan.

Memang, kenyataan tak banyak warga yang bisa berbuat untuk perbaikan sanitasi di lingkungannya. Selain itu mengubah perilaku hidup masyarakat bukan pekerjaan mudah. Butuh kerja keras dan berkesinambungan

Warga kampung Bustaman, kampung padat dan miskin di kota Semarang Jawa Tengah ini mampu memberikan contoh sadar lingkungan. Bahkan sanitasi yang dibangun dengan nama sanimas Pangrukti Luhur ini menjadi salah satu daerah percontohan dan pilot project di Indonesia yang berhasil mengembangkan sanitasi berbasis masyarakat.

Pengelola sanimas Pangrukti luhur, Wahyuno bercerita, sebelum berdiri sanimas, warga kampung Bustaman biasa memanfaatkan sungai Semarang untuk buang air besar, karena MCK umum yang ada tak mampu menampung kebutuhan warga.

“Perkembangan lahan penduduknya semakin padat, lahan tidak ada.larinya dulu ke MCK atau ke kali(sungai kecil) semarang samping perkampungan ada kali semarang kalau malam berjejer…hehe.kayak buang air besar gitu..hehehe.”

Namun kini tak lagi, meskipun melewati proses panjang. Sanimas yang menelan dana 235 juta rupiah. Berkat bantuan dari LSM Jerman Bremen Overseas and Development Association Borda , pemda , dan warga berhasil dibangun

“Alhamdulillah ada program sanitasi sanimas ini yang dibawa pak Ibnu BORDA . Orang Jerman kesini datang terus dilihat. Sering ditinjau karena saya sering mengajukan ke kelurahan, pemkot bantuan-bantuan untuk MCK. Tapi nyata cuman ditinjau sudah tidak ada kelanjutannya lagi, sampai warga berpikir paling-paling dibohongin lagi . BORDA datang ya dicuekin orang kampung. Saya yang menemui . Kalau memang betul kita mau kita garap bareng-bareng. Akhirnya untuk mengumpulkan wargapun sulit. Masalah MCK sudah pada pesimis lagi.percuma lah.”

Tak mudah menyulap MCK peninggalan kolonial belanda yang sebelumnya ada dan kumuh menjadi MCK plus yang nyaman. Keberhasilan ini tak lepas dari keterlibatan seluruh warga. Dari mulai pembangunan hingga menejemen pengelolaan sanimas. Disebut MCK plus karena dilengkapi dengan instalasi pengolahan air limbah

“Kita yang mengerjakan semua warga, memang betul bantuan ini tepat sasaran. Tidak ada campur tangan dengan kelurahan, pemkot tidak ada. Murni warga kita. Jadi Yang desain warga. 6 WC, 4 kamar mandi dan 1 tempat cucian. Terus ditawari untuk biogas warga bersedia. Sekarang buat masak juga sudah bisa.”

Kasubdin Praskim Dinas Kimtaru Jawatengah, Dharma Gunadi menyatakan masalah sanitasi merupakan masalah krusial yang menjadi tanggung jawab semua pihak tanpa terkecuali.Namun kenyataannya banyak yang tak menyadari hal itu.

“ Kesulitannya sanitasi itu tidak dianggap penting oleh penentu kebijakan termasuk politisi. Itu intinya, menurut saya. Sanitasi itu ga keliahatan tapi tahu-tahu meninggal.Menggalakkan terus meners dengan melakukan sosialisasi. Setiap Dana sekecil apapun kita upayakan masyarakat terlibat. Tahun 2006 orang kena diare itu hampir 500 ribu jiwa belum yang penyakit kulit lainnya . Orang tidak pernah menyadari itu.”

Peran masyarakat sebagai subyek pun dilalaikan pemeritah. Ini salah satu kegagalan.
“Dulunya salah. Pemerintah dulu kurang percaya dengan warga. Dikit-dikit kelurahan ada bantuan 10 juta terus dibangunkan saja. Keinginan warga apa tidak di kasih. Umpama bangun MCK dah dibangunkan, dipakai suka atau tidak.kalau sekarang tidak. Ini betul-betul warga yang nyeleksi. Warga suruh memilih. Bangun Menghadap kemana, cat warna apa jadi antusias.betul-betul transparan baru kali ini ga ada campur tangan pemerintah. Pak lurah saja tidak tahu.”ungkap Wahyuno.

Pengguna MCK plus Pangrukti luhur memang dikenakan biaya. Uang tersebut dikelola dan dimanfaatkan untuk peningkatan sarana. Sanimas Pangrukti luhur dimanfaatkan sekitar 200 orang, dengan Pemasukan perbulan mencapai 2,5 juta rupiah. Ini Angka tinggi untuk sebuah sanimas di Indonesia.

Ainun dan Amri mengaku tak keberatan jika harus membayar. Yang terpenting menurutnya MCK tersebut nyaman digunakan.
“Memang dari dulu tidak punya MCk karena rumah kecil.Dulu ada tapi kumuh kalau buang air besar kalau tidak dibesihin kan kotorannya banyak. Mau tidak mau jongkoknya disini. Sekarang lebih enak lebih bersih.Cuman 600 rupiah satu paket. Mandi dan buang air besar.”


“Tiap hari kalau bayar 500 sudah bersih. mencari kemudahan saja. Air sudah disiapkan.tidak sulit. Dulu lain dengan sekarang. Dulu tidak ada air.air ledeng”tambah Amri.

Koordinator sanimas regional jateng DIY dan Kalimantan Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan yang menjadi perwakilan Borda di Indonesia, Ibnu Singgih pranoto mengungkapkan, sanimas Pangrukti luhur ini merupakan satu dari 200 lokasi di 118 kabupaten di Indonesia yang berhasil menerapkan program perbaikan sanitasi

“Jawatengah kebetulan sebagi projek desingasi sanimas pertama di Jawa dan Denpasar. Program ini dinilai PU pusat itu pas karena dulu banyak proyek sanitasi dan gagal banyak yang gagal, dulu sekitar ribuan yang harganya tahun 1990 sekitar 15 juta. Malah punya sebutan MCK sebagai monumen cipta karya. Meski agak mahal karena kita ingin mengembalikan bawa MCK itu atau sanitasi itu tidak bau, tidak becek dan itu menjadi tempat yang bisa dikatakan sebagai open space.”

Namun Ibnu menambahkan, menejemen pengelolaan sanimas hingga kini masih menjadi kendala. Sehingga meski banyak proyek sanitasi di gelontorkan. Hanya sedikit yang berhasil.

2008

Senin, 15 Juni 2009

TKI.. oh..TKI..

Publish on Radio International Jerman Deutsche Welle / Indonesian Programme

by. Noni Arni / 2008

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang mengadu nasib di luar negeri berharap pulang dengan membawa segepok uang. Mereka memiliki cita-cita tinggi untuk memperbaiki tingkat ekonominya.Bahkan mereka di klaim sebagai penghasil devisa negara, meski hingga kini keberadaan mereka di negeri orang kerap kali mendapat perlakuan tak manusiawi, seperti, gaji tak layak, penganiayaan dan kekerasan.

Tapi ini adalah cerita sukses di salah satu kantong TKI di Jawatengah yang berhasil merantau di negeri orang. Tepatnya di Kampung Pegandon Kendal Jawa Tengah. Para TKI di wilayah ini mampu menghasilkan devisa hingga 250 miliar rupiah pertahunnya.

Saya akan berbagi cerita kepada anda...

Tidak begitu ramai, hanya sesekali lalu lalang kendaraan bermotor melintas diruas jalan ber aspal. Diantara areal persawahan, disela-selanya nampak deretan bangunan rumah yang cukup besar, mewah dengan lantai keramik. Salah satunya milik Suyatmi.

Inilah wujud hasil jerih payah Suyatmi di negeri orang selama 11 tahun.
Tekatnya untuk merubah ekonomi keluarga membuahkan hasil cukup menggiurkan. Rumah, kendaran dan warung telekomunikasi sebagai tempat usahanya. Tapi kini Ia memilih menjadi trainer di PJTKI di Kampungnya.

“Untung-untungan ya kebetulan pas saya dapat agen yang lumayan. Alhamdulilah saya bisa sukses. Jaman sekarang kan PJTKI sangat banyak jadi harus hati-hati memilih, kadang-kadang ada yang illegal. Jadi Pastikan dulu PT nya resmi bonfit disana agennya juga baik nah baru kita masuk. jangan salah memilih” demikian ungkap Suyatmi.

Demikian juga dengan Umi Hanik yang sudah 4 tahun merasakan hidup dinegeri orang, ketagihan ingin mengulang suksesnya. Meski banyak cerita pahit , tekat telah mengalahkan ketakutan.

“nggak semua orang kan gitu, saya mantep saja. Niat baik insyaallah berhasil lah. ya memang banyak tetangga bilang. tetapi kalau saya niatnya baik ya mungkin Allah melindungi lah saya kan pasrah saja. Pasti takutlah Kalau denger sana sini sana sini pasti ragu”, cerita Umi Hanik.

Nuryahmat, staf PT. Ficotama Bina Trampil Pengusaha Jasa Penempatan TKI di Kendal memastikan,selama TKI berada dalam prosedur yang benar, mereka tidak akan bermasalah. Karena selama kontrak ,PJTKI akan menjamin mereka.

“Ada masalah apapun nanti agency atau PT yang memberangkatkan dari Indonesia. Gampang sekali nanti kalau sudah sampai disana anak-anak yang sudah kerja disuruh telepon keluarganya masing-masing. Keadaannya bagaimana.. kondisinya gimana jadi tahu keluarganya yang ada di Indonesia. Jadi, Disamping itu PJTKI juga selalu memantau anak ini sampai mendapat perlakuan yang tidak bagus, nanti kita urus sampai masalah gaji sampai tidak di bayar itu sudah ada yang mengurus semua dari PJTKI yang memberangkatkan”

Pengawasan terhadap penempatan TKI yang dilakukan PJTKI, kata dia, juga mudah. Menurutnya, setiap PJTKI tersebut mengurusi paspor calon TKI, maka selanjutnya mereka harus dituntut menunjukkan daftar TKI yang telah dikirim ke negara yang disebutkan dalam setiap paspor yang diajukan.

Kepala Badan Penempatan Pengawasan dan Perlidungan TKI Jateng, AB rahman mengungkapkan, Sebenarnya kesulitan memonitor para TKI ini karena kebijakan pemerintah yang tidak merata. TKI ke Timur Tengah kepegurusan dilakukan di Jakarta, berbeda dengan penempatan lain yang bisa dilakukan didaerah masing-masing.

“Tentunya persoalan-persoalan itu kan bisa di indoor.pengurusan administrasi untuk ke arab Saudi sampai KPKLN bisa diurus di daerah masing-masing. pembuatan paspor bisa di daerah masing-masing. Kemudian sampai kompetensi di daerah masing-masing, kemudian dia dikasih kartu kemudian dikasih bebas fiscal untuk daerah dan berangkat lewat Jakarta. tapi kepengurusan administrasinya tetap di sini mungkin itu bisa dimonitor dari awal .Tapi kita tidak tahu TKI diberangkatkan ke jakarta oleh perusahaan mana. Ini tidak hanya dialami jawatengah tapi hampir semua. Ga tahu kok dibikin begini memang kebijakannya dari dulu”

Padahal menurutnya, tiap tahun Jawatengah memberangkatkan TKI hingga 30 ribu lebih. bahkan mentargetkan pengiriman TKI meningkat hingga 10 persen per tahunnya.

Contoh kasus, Eli Anita. Satu dari ribuan TKI yang harus menelan pahit merantau di negeri orang karena terjebak di Irak. Dengan iming-iming akan mendapat perkerjaan di negara makmur, mereka diangkut ke Kurdistan, bagaikan budak belian.

“mereka mau ambil saya 85 persen mereka mau bikinkan saya visa.Tapi agen saya bilang kalau kamu tidak mau tidur sama aku, aku nggak akan lepasin kau. Jadinya saya sudah tidak ada pilihan . ada tiga pilihan. satu pulang ke Indonesia , kedua tidur dengan saya, ketiga ada Negara baru katanya Kurdistan Negara baru masih part of Itali. saya percaya aja . jadinya saya berangkat. saya sudah terlalu nekat” kenang Eli.

Setelah melalui perjuangan panjang,dan perlakuan yang tidak semestiya dari agency yang menaunginya, Eli bersama temannya Darmianti dan Siti Julaeha akhirnya dipulangkan ke Indonesia bantuan organisasi internasional, Organization for Migration (IOM). Sementara beberapa TKI saat ini tengah menunggu jadwal kepulangan.

“Kita dipanggil ke IOM terus tandatangan kalau kita mo pulang. Saya ditanyain keadaan kamu gimana saya critain semua saya pernah di cekik, sering tak dikasih makan, di siksa dengan pegawai-pegawai disitu. Dia minta beberapa identitas temen-temen saya disana kebetulan saya selalu catet temen-temen saya.saya baru bener-bener percaya kita di kirim pulang kita dikirim ke bandara Erbil International Airport. Ke luar dari kantor itupun saya sudah diancam kalau sampai di Dubai kamu macem-macem, Aku bisa tarik kembali kamu ke Erbil. Kita dapet probem juga sampai di Dubai kita harus cari-cari sendiri. jadi saya sempet kebingungan akhirnya tanggal 7 desember kita sampai di bandara sukarno hatta,” tambahnya.

Banyaknya kasus TKI berasalah ini terjadi karena pemerintah ternyata tidak melakukan apapun, khususnya untuk memulangkan buruh-buruh migran Indonesia yang saat ini terperangkap di wilayah konflik.

Namun Anis Hidayah Direktur Eksekutif organisasi MigrantCare atau Perhimpuan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat mengungkapkan, pemerintah hingga kini masih sangat tidak serius dalam melindungi para pekerja migran.

“Kita sih menilai pemerintah masih menggunakan kerangka advokasi yang lama. Jadi Merespon perkasus. ada kasus di respon, ditanggapi bahkan beberapa kasus mereka lebh reaktif . ini tidak akan memperbaki birokrasi yang ada.Seharusya yang harus dilakukan pemerintah segera mungkin membangun satu mekanisme yang sistematis habis juga energi pemerintah . Saya kita tidak akan selesai masalah TKI. Ini kelemahan paling besar.Dan ada BNP2TKI, saya kira birokrasi untuk menyelesaikan masalah semakin tak pasti.selama ini kasus-kasus yang kita ajukan untuk proses penyelesaian sangat lambat proses penyelesaiannya.”

Data Migran care menyebutkan, akhir tahun lalu TKW asal Indonesia yang berada di negara dilanda konflik itu sekitar 70 orang, tapi baru 29 orang yang teridentifikasi. Dari jumlah itu lima di antaranya sudah dipulangkan ke Indonesia.
Sementara, untuk memperkecil peluang TKW asal Indonesia jadi korban trafficking, tambah Nur, pemerintah perlu memperketat pengawasan terhadap PPJTKI yang akan memberangkatkan buruh migrant.

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia Deplu Teguh Wardoyo mengakui , situasi dan kondisi di wilayah konflik tidak normal. Ada ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi untuk alasan keamanan mereka sendiri.

Menurut Teguh, pihaknya memang bertugas memberikan perlindungan kepada WNI di luar negeri. Meski demikian, pihaknya tetap bersikukuh instansinya tidak bertanggung jawab atas segala permasalahan WNI.

“Ya karena uang mereka mau cari duit. Mereka dalam kondisi kesulitan ya Kita nggak tahu. Cuman pemerintah menghimbau kalau cari uang ke tempat lebih baik . kalau mereka kemana-mana sapa yang bisa cegah gitu masalahnya . departemen luar negeri hanya menghimbau untuk melapor ini. tapi nyatanya mereka tidak melapor.jadi pemerintah bisa berbuat apa”

Penempatan TKI memang sepenuhnya merupakan tanggung jawab Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).

Ditengah banyaknya tragedi yang menimpa para TKI di negeri orang dan ketidak seriusan pemerintah dalah menangani kasus –kasus TKI bermasalah. Menjadi TKI tetap menjadi pekerjaan yang menggiurkan bagi mereka yang tak mengenyam pendidikan tinggi. Para pemasok devisa Negara tetap yakin akan mereguh keuntungan besar secara materi dengan bekerja di luar negeri sebagai buruh migran.

Dari Kendal, Jawa Tengah. Noni Arnee

Sabtu, 06 Juni 2009

Pemakaman


sebuah upacara pemakaman yang tampak rumit, karena tanah pekuburan sudah sangat becek oleh lumpur basah, akibat hujan dan banjir rob sebelumnya. Pemakaman ini memang masih bisa digunakan. Namun sepertinya, tak lama lagi nasibnya akan serupa dengan pemakaman desa tak jauh dari tempat itu. Tertelan air, menjadi bagian dari laut, dan berubah sebagai habitat ikan mujair.

Abrasi Pantai Utara Jawa

Publish on Radio International Jerman Deutsche Welle/ Indonesian Programme
KBR 68 H Jakarta

by. Noni Arni feat. Ging Ginanjar

Kerusakan lingkungan yang dialami pesisir utara pulau Jawa, main lama makin parah. Yang jadi musabab terutama adalah abrasi, pengikisan daratan oleh laut. Berbagai nfrastruktur rusak, lingkungan ahncur, ekosistem berubah. Dan secara sosial dan ekonomi juga menciptakan bencana terhadap penduduk. Sayung, Tanggul Tlare dan Bulak merupakan contoh nyata tentang ancaman abrasi laut.

Namun pemerintah masih belum menaruh perhatian yang memadai. Memang mulai dibangun sejumlah fasilitas pelindung pantai, seperti beton-beton penjinak gelombang. Juga dijalankan program penanaman kembali pohon bakau atau mangrove di berbagai kawasan pantai. Tapi berbagai upaya itu terkesan setengah-setengah. Keterbatasan dana selalu jadi alasan tidak optimalnya penanganan melalui bangunan fisik. Sementara penanganan secara alami, agar mencapai kerapatan yang cukup untuk menahan laju abrasi, pohon bakau memerlukan waktu setidaknya 25 tahun. Separah apa ancaman abrasi ini?

“Terhampar pasir putih meski tak begitu bersih, hempasan ombak dan angin juga bertiup tidak begitu kencang, di depan sana adalah keluasan laut jawa. tapi siapa nyana, sekitar 4 kilometer dari tempat saya berdiri hingga ke laut lepas, dulunya adalah pemukiman. Kampung Bulak namanya. Kami tengah berdiri di atas puing-puing masjid utama kampung Bulak, bersama kami adalah pak Sumadi, warga kampung Bulak yang terpaksa harus terusir oleh abrasi pantai utara pulau Jawa.“

Sumadi juga bercerita soal puing masjid,
“Lokasi masjid, bekas masjid. bekas tampungan air .Masjidnya ya di tengah situ. Ini bekas pondasi, dihancurkan ombak ini. pagarnya hancur,Ini udah masuk ke tengah situ, sudah diterjang ombak pondasinya kocar kacir.“

Masjid yang ditunjukan Sumadi ini, merupakan satu-satunya jejak Kampung Bulak yang masih bisa dilihat. Lain dari itu, seluruh kampung Bulak kabupaten Jepara sudah musnah. Lenyap ditelan abrasi, atau pengikisan daratan oleh Laut Jawa. Sumadi bahkan sudah tak bisa lagi mengira-ngira lokasi bekas rumahnya dulu.

“Sudah jadi lautan tidak ada bekasnya. masih ke barat lagi pokoknya kurang lebih 4 kilo kalo dari sini, malah 5 kilo ada, jauh amat. Air pasang kalo bercampur angin dan air cepet menelan daratan. Kalo diceritakan ya ngeri sekali..menangis...“

Kampung Bulak merupakan satu dari dua daerah pertama yang habis ditelan abrasi pantai Utara Jawa. Satunya lagi adalah kampung Tanggul Tlare.

Berjarak sekitar 5 kilometer dari Bulak, inilah Tanggul Tlare. Di sini sudah tidak ada sama sekali yang tersisa di daratan. Satu-satunya yang masih menunjukan jejak adalah tiga pilar jembatan desa, yang masih menyembul di permukaan laut, sekitar 400 meter dari pantai.

Bulak dan Tanggul Tlare lenyap sepenuhnya seperempat abad yang lalu. Tapi perluasan laut itu bermula bertahun-tahun sebelumnya, sedikit demi sedikit.
Saadah adalah seorang perempuan tua warga Tanggul Tlare yang mengalami peristiwa itu sejak awal sekali.

“Gelombang dan angin. Jadi mumbul-mumbul gitu sampe rumah-rumah roboh. Yang di pinggiran laut roboh semua. Jadi tanahnya hilang sedikit demi sedikit hilang. Tapi air pasang itu campur angin dan air. Ya ketakutan. cari selamat saya lari terbirit-birit. Sama emak saya. Anak saya tuntun dan gendong. Saya sama neneknya lari dikejar ombak angin gemuruh nggak karu-karuan gitu..“

Dari tahun ke tahun, kata Saadah, keluarganya bersama warga lain, memindahkan rumah menjauhi pantai. Sampai tiga kali. Akhirnya, pada tahun 1983, Desa Tanggul Tlare dan Bulak ditinggalkan sepenuhnya. Wargapun mendirikan kampung baru, sekitar 5 kilometer dari lokasi semula. Bulak dan Tanggul Klare yang asli, sekarang sudah terbenam air, jauh di tengah lautan sana.

Warga Bulak dan Tanggul Tlare tidak sendirian. Puluhan tempat lain di sepanjang pantai utara Pulau Jawa terancam lenyap oleh abrasi pantai. Seperti Sayung, sebuah kecamatan di kabupaten Demak, yang dari sana berjarak sekitar 50 kilometer ke arah barat.

Kecamatan Sayung memang belum sepenuhnya lenyap. Namun salah satu desanya yakni Desa Sriwulan yang terdiri dari 7 dusun, sudah ditinggalkan oleh hampir seluruh penduduknya. Seperti dusun Senik.

“Tak mudah lagi memang memasuki dusun Senik yang terletak di kecamatan sayung demak. Jalanan sudah hancur dan penuh dengan lumpur, meski ada juga motor yang lewat dan nekat menembus lumpur dengan sesekali harus didorong. Kiri kanan di jalan ini adalah tambak ikan bandeng yang tepiannya baru-baru ini ditanami pohon bakau untuk mengurangi dampak abrasi.“

„“Naik perahu tu. Kalo nggak punya motor, terpaksa naik sepeda. Kalau jalan becek diangkat sepedanya. „“

Begitulah Ashadi, seorang warga, menggambarkan susahnya hidup mereka sekarang. Kami berjalan terus menelusuri jalan desa yang hancur oleh Rob atau air pasang Laut Jawa yang tak henti menerjang. Sore itu dusun Senik terasa sepi. Maklum, hanya tinggal 13 rumah yang masih dihuni warga di dusun ini. Sementara 1250 keluarga lain sudah pindah ke lokasi baru, sekitar 5 kilometer ke arah dalam. Tanahnya disediakan pemerintah seluas 60 meter persegi untuk tiap keluarga. Sadjimin, Kepala Kelurahan Bedono yang membawahi dusun Senik menceritakan.

“Mulai tahun 2000 kita coba perbaiki sedikit demi sedkit. Tetap airnya semakin tinggi dan abrasinya juga semakin berat. Tambak yang hancur itu kurang lebih 300 hektar. Kategori sudah rusak parah dan hilang. Tambak habis terkena air pasang dan ombak, jadi sekarang tidak berupa tambak tapi lautan, jadi tambak-tambak dan jalan desa yang membentang dari Rejosari Senik ke Tonosari sudah menjadi bibir pantai. Kalau air pasang datang kelihatan ditengah laut. „“

Dalam catatan sementara, di wilayah Sayung, abrasi telah melanda lahan seluas 8.670 hektar. Penelitian Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, FPIK Undip, kehancuran kawasan Sayung, diakibatkan oleh pembangunan fisik di Semarang. Dekan FPIK Undip, Johanes Hutabarat.

“Setelah adanya reklamasi pantai marina yang di semarang, satu kilometer tegak lurus garis pantai, sehingga terjadi penambahan kecepatan arah dan arus. yang seharusnya bergerak sejajar atau searah garis pantai, akibat adanya tanah yang menjorok yang berupa reklamasi tadi, maka akan terjadi perubahan kecepatan dan perubahan arah . sehingga yang menjadi korban adalah pantai sayung.““

Pakar kelautan ini juga menjelaskan, secara umum abrasi di pantai utara disebabkan turunnya permukaan daratan dan naiknya ketinggian permukaan laut. Turun atau amblesnya daratan di sebagian kawasan Pantura, berkaitan dengan tingginya pembangunan fisik yang dibarengi kegiatan penyedotan air tanah. Daratan pun ambles dengan laju rata-rata 20 sentimeter per tahun. Sedangkan naiknya permukaan air laut, sekitar seperempat sentimeter per tahun, lebih terkait dengan pemanasan global.

Djoko Sutrisno, kepala badan pengendali dampak lingkungan Jawa Tengah menambahkan alasan lain kerusakan pantai utara.

“Booming tambak udang tahun 70-an hingga 80-an . Waktu itu besar-besaran mengembangkan tambak udang mangrove di babat. Yang selamat itu petani tradisional yang mengembangkan bandeng saja yang mangrovenya tidak dibabat. Di Pantai-pantai yang petaninya tidak budidaya udang selamat.“

Indra Kertati, direktur lembaga pengkajian dan pengembangan sumberdaya pembangunan menyebut. “Data saya di beberapa tempat abrasi mulai sangat kencang tahun 1986 menghebat mulai tahun 1990. Tapi sebelum itu sebetulnya sudah tahun 1963 sudah mulai, tapi begitu menghebat tahun 1980an-1991 sudah sangat terasa. itu seiring dengan tingkat kepadatan penduduk.“

Kembali ke dusun Senik Kecamatan Sayung. Kami berpapasan dengan Sumanah. Ibu itu tengah menuntun sepedanya menembus jalan setapak pinggir kali, yang rusak berat dan digenangi air semata kaki.

“Biasanya hujan-hujan dulu lama kelamaan tanah amblas, terus lama kelamaan terjadi banjir karena tanah longsor. Kebanjiran terus bertahun-tahun sudah 9 tahun. Tingginya sampai seperempat rumah, terus menerus, paling tinggi 1,5 meter. Lautnya semakin deket, pohon-pohon di pinggir laut tercerabut.“

Kami terus berjalan memasuki pedukuhan. Sore itu angin menderu kencang. Sesekali muncul kilat dan guruh di kejauhan. Hujan tak lama lagi akan turun. Namun suami istri petani tambak asal desa mondoliko, Jumiatun dan Basyir, belum beranjak dari tambak ikan bandengnya. Dalam kecipak air tambak, keduanya melayani obrolan kami:

“Kalau ada air dari laut, musim kemarau atau musim hujan sama saja timbul rob, jadi bandeng sering hilang. Kami menabur benih 7 ribu mustinya bisa dapat 7 kuintal tapi sekarang tidak bisa panen paling cuman dapat 1 kuintal. Bandeng kualitasnya juga jelek dan kecil-kecil. Ini karena pengaruh air dari laut yang terlalu besar dan tinggi.““

Suwarno warga senik menemani kami menjelajahi desa. Ia menunjukan berbagai lokasi yang sudah terendam. Rumah-rumah yang sudah runtuh, juga kuburan desa yang kini telah menjadi habitat ikan mujair.

„“Kuburan semua. Ini lokasi kuburan, dulu kalau ada yang meninggal harus nunggu surut, dikuras sambil menggali liang kubur. Kuburan sudah tenggelam semua patok nisan sudah tidak terlihat lagi, sekarang di buat rumah ikan mujair dan kepiting,“ jelas Warno.

Dalam perjalanan pulang, kami melewati sebuah pekuburan lain. Kami menyaksikan sebuah upacara pemakaman yang tampak rumit, karena tanah pekuburan sudah sangat becek oleh lumpur basah, akibat hujan dan banjir rob sebelumnya. Pemakaman ini memang masih bisa digunakan. Namun sepertinya, tak lama lagi nasibnya akan serupa dengan pemakaman desa yang ditunjukkan Suwarno sebelumnya. Tertelan air, menjadi bagian dari laut, dan berubah sebagai habitat ikan mujair.

Nov 2007 / pesisir utara Jawa Tengah