Pages

Senin, 03 Oktober 2016

Kisah Mbah Gotho, pria yang diduga manusia tertua di dunia

Tangan Sodimedjo meraba-raba bangku yang ada di sisi kanannya dengan gerakan lambat. Penglihatannya sudah kabur. Pada usia yang menurut pengakuannya telah menginjak hampir 146 tahun , jarak pandangnya tak sampai satu meter. Tapi ia bisa merasakan keberadaan orang-orang di sekitarnya.
“Aku mau minum dingin,” katanya berulang kali dengan logat bahasa Jawa kental.
Dalam hitungan menit, Suwarni, istri salah seorang cucunya, datang membawa sebotol minuman soda dingin. “Ini dingin, Mbah. Enak, coba minum,” kata Suwarni sambil menyorongkan botol minuman tersebut ke mulut Sodimedjo.

Berdasarkan pengakuan Sodimedjo alias Mbah Gotho yang lantas dimasukkan pada Kartu Tanda Penduduk (KTP), dirinya lahir di Klaten, Jawa Tengah, 31 Desember 1870 lampau. Artinya, jika pengakuan Mbah Gotho benar, dia hampir berusia 146 tahun, melampaui rekor manusia tertua dari Jepang yaitu 112 tahun.

Namun, umur tak membatasi Mbah Gotho untuk hal-hal tertentu. Pria itu masih bisa menikmati es krim, es teh, dan rokok filter yang diisapnya setiap hari. Ingatannya bahkan masih cukup kuat ketika bercerita tentang peristiwa lalu, antara lain keberadaan Pabrik Gula Gondang Winangoen di kota kelahirannya, Klaten, Jawa Tengah, yang semula bernama Suikerfabriek Gondang Winangoen semasa penjajahan Belanda.
“Kalau musim giling itu suara mesinnya keras terdengar sampai ke kampung. Dulu saya suka main di pabrik. Jaman dulu itu jalan besar tidak ada kendaraan, motor, bus. Tidak seperti sekarang," ungkap Mbah Gotho saat diwawancarai wartawan Nonie Arnee.

Sebagai catatan, Pabrik Gula Gondang Winangoen didirikan pada 1860 oleh NV Klatensche Cultuur Maatschappijpabrik dan Pabrik Gula Mojo Sragen pada 1860. Pabrik tersebut masih beroperasi pada era 1930-an hingga 1942. Tak bisa dipastikan pada periode mana Mbah Gotho mengingat masa-masa pabrik gula itu, yang bisa menunjukkan kebenaran pengakuan usianya. Masalahnya, tak ada sumber lain yang bisa mengukuhkan pengakuannya.

Selain pabrik gula, hal lain yang diingatnya ketika dia dan warga kampung mencegat dan membakar tank tentara Belanda saat melintas di jembatan kampung. "Ambil kayu di hutan, disiram bensin terus dinyalakan. Tank Belanda datang, dicegat terus, duuaar," serunya, menirukan suara ledakan.
Cara bertuturnya masih runut, meski sesekali berbicara tak tentu arah, kerap berganti -ganti topik pembicaraan.

Ketika ditanya tentang pendamping hidup, Gotho tak mampu mengingatnya dengan pasti. "Istriku banyak, ada anak Wedana Gondang, ada anaknya Demang di kampung sini. Dulu belum cerai saja saya sudah punya istri lagi. Tapi istriku sudah meninggal semua, anakku empat, yang masih hidup hanya saya,” ujar Mbah Gotho.

Nama asli Mbah Gotho adalah Sodimedjo. Namun, nama itu baru disandangnya setelah menikah.
“Aku lahir Bulan Sapar, makanya orangtuaku memberi nama Suparman.”

Dirawat cucu
Tak banyak informasi yang bisa digali tentang kehidupan Mbah Gotho yang lahir dari pasangan Setrodikromo dan Saliyem. Sepeninggal anaknya pada 1993, cucu dari istrinya yang keempat yang merawatnya. Nama sang cucu adalah Suryanto.
Suryanto sendiri baru mengenal sosok Mbah Gotho karena tak pernah berinteraksi sebelumnya. “Dulu Mbah ikut ibu saya yang bernama Sukinem, karena tidak ada sanak saudara akhirnya saya ambil. Saya sebelumnya tidak mengenal, “ujar Suryanto.

Kini, Mbah Gotho tinggal bersama pasangan Suryanto dan Suwarni di Dusun Segeran, Desa Cemeng, Sragen Jawa Tengah. Menurut Suryanto, Mbah Gotho dikenal sebagai sosok yang rajin bekerja dan penyabar. “Dari dulu sehat, tidak bisa diam di rumah. Mencangkul, mencari rumput. Ia punya kebiasaan bangun pagi dan tidak pernah menggunakan alas kaki. Keluhannya hanya meriang dan dikerokin saja pasti sembuh.”

Suryanto juga mengaku jika Mbah Gotho tidak pantang terhadap jenis makanan apapun. “Tidak pernah mengeluh. Jadi ngurusin nggak susah.”
Kondisi fisik Mbah Gotho memang menurun sejak enam bulan terakhir, sehingga aktivitasnya kini terbatas. Pria itu hanya duduk di teras dan ketika merasa lelah akan kembali ke tempat tidur.
“Jalan harus dibantu, makan disuapi dan dimandikan sehari dua kali. Tapi itu wajar karena usianya.”

Kebenaran usia Mbah Gotho
Namun, benarkah usia Sodimedjo setua itu?Keabsahan identitas yang merujuk pada waktu  kelahirannya memang bisa dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) yang menginduk pada Suryanto, sebagaimana diterangkan Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sragen, Wahyu Lwyanto.
Namun, Mbah Gotho tidak memiliki akta kelahiran sehingga tahun dia dilahirkan hanya berdasarkan pengakuannya. “Identitas seseorang harus ditunjukkan dengan akta kelahiran, tapi dia tidak punya karena waktu itu memang belum ada. Data berdasarkan informasi dan pengakuan yang bersangkutan ketika masih lancar berkomunikasi, sehingga kemudian diterbitkan identitas resmi.,” kata Wahyu.
KTP Sodimedjo masih KTP reguler karena pada saat perekaman e-KTP tahun 2012 lalu, ia tidak ikut dengan alasan identitas yang dimiliki berlaku seumur hidup.
Pembuatan e-KTP bagi Mbah Gotho, menurut Wahyu memiliki kendala. “Sistem yang ada hanya bisa membaca tahun kelahiran yang dimulai tahun 1990 dan sulit deteksi iris mata karena tidak jelas. Nanti diusahakan dengan sidik jari.”

Siapkan pemakaman
Walau berpotensi memecahkan rekor sebagai manusia tertua di dunia, nyatanya Mbah Gotho tak suka  dengan umur panjangnya. Dia pun sudah menyiapkan pemakamannya sejak jauh hari.Bahkan, nisan bertuliskan namanya telah bercokol di samping rumah. “Kematian itu hal yang saya inginkan. Nisan itu untuk jaga-jaga, beli sendiri. Sudah komplet, rumah kuburan dan cungkup sudah siap, tinggal menunggu dipanggil. Kalau saya meninggal harus cepat dimandikan, didandani, pakai baju, celana, kaos tangan komplet, dasi, dan kacamata. Terus dibawa ke makam dan ditidurkan dengan petinya. Dicor biar tidak longsor,” ujarnya sambil menunjuk nisannya.

Keinginan Mbah Gotho itu sempat membuat was-was Suryanto. “Persiapan Mbah Gotho terlalu lama, sejak tahun 1993 sampai sekarang. Awalnya takut dan khawatir itu firasat, tapi lama-lama jadi biasa saja.”

di muat di BBC Indonesia
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/09/160902_indonesia_mbah_gotho_manusia_tertua

Kiai Budi dan Romo Budi: 'Perbedaan justru memperkaya kita'

Bertemu 12 tahun lalu, Kiai Budi dan Romo Budi di Semarang cepat akrab dan menjadi sahabat. Perbedaan, kata mereka, tak menjadi penghalang tetapi sebuah resep agar hidup 'semakin kaya.'
Hari raya Idul Fitri menjadi hari spesial bagi Aloysius Budi Purnomo, yang biasa dikenal dengan nama Romo Budi.
Walau beragama Katolik, dia selalu menyempatkan diri berkunjung ke Pondok Pesantren Al-Ishlah, Semarang, untuk bertemu sahabatnya, Amin Maulana Budi Harjono atau akrab disapa Kiai Budi.
Sejak bertemu 12 tahun lalu, Romo Budi dan Kiai Budi hingga kini terus bersahabat.
Gereja Ismail di Alor dibangun atas inisiatif warga Muslim
Ketika perempuan berkerudung Muslim dan Kristiani menyerukan persahabatan dan toleransi
Mayoritas siswa SMA negeri 'toleran tapi ada potensi radikal'
"Saya memandang orang lain bukan selubung labelnya, tapi hatinya karena Tuhan bersemayam di hati manusia. Gereja dan masjid itu sarana, karena itu memanusiakan manusia itu bagian dari misi agama yang hakiki,” kata Kiai Budi.

'Memperkaya'
Tak cuma saat Lebaran dua Budi ini bertemu. Ketika Kiai Budi mengunduh mantu salah satu santrinya, kedatangan Romo Budi tak sekadar tamu, tapi didapuk memberi doa dan petuah pernikahan bagi kedua mempelai yang sungkem.
"Saya dianggap orang tua dan saya satu-satunya Katolik di situ dan seorang Romo. Jadwalnya nggak cocok pun dicocok-cocokkan supaya bisa ketemu. Apalagi pada saat kangen ngobrol atau sekadar bermain gitar di pondok," ujar Romo Budi.
Juga ketika salah satunya berulang tahun, atau ketika Kiai Budi dan para santrinya diundang ke gereja.
"(Dia) langsung bersedia ketika diminta mempersembahkan tarian mengiringi kepergian Uskup Agung Semarang yang meninggal tahun lalu. Apa yang dilakukan itu lebih dalam dari toleransi. Saya sangat dimuliakan dengan tindakan kasih dan tidak berpikir bahwa imamat saya direndahkan."
Bagi keduanya, ini adalah tindakan sederhana diyakini bisa membawa pesan damai dan kerukunan.
"Kendati berbeda, talenta (Kiai Budi) untuk membangun persaudaraan dengan perspektif positif sangat luar biasa. Perbedaan itu justru memperkaya kita," ujar Romo yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi Hubungan Antaragama Keuskupan Agung Semarang (KAS).

Ketika tarian sufi dibawa ke gereja
Tapi kegiatan antar agama yang mereka lakukan kadang mendatangkan kontroversi, misalnya ketika Kiai Budi membawa tarian sufi ke gereja.
“Sufi diasumsikan Islam dan ketika dibawa ke gereja jangan dikira tanpa masalah. Tarian dihentikan dengan alasan aneh dan menyalahi aturan karena tidak sesuai dengan sunah Rasul. Konflik itu muncul karena kurang memahami,” jelas Kiai Budi.
Tarian Sufi digunakan oleh Kiai Budi dalam beberapa tahun terakhir di berbagai kesempatan sebagai pesan persaudaraan dan ungkapan iman sekaligus cinta pada kepada Tuhan.
Romo Budi mengakui bahwa pro-kontra semacam ini pasti terjadi, tetapi itu tidak menyurutkan langkah mereka mempromosikan perdamaian melalui dialog dan perjumpaan antar umat.
“Saya semakin menjadi Katolik dalam perjumpaan dengan beliau sebagai seorang Kiai," katanya.
"Kami bisa menerima tanpa curiga ketika Bu Sinta Wahid datang ingin berbuka puasa di gereja. Tidak perlu curiga saya di-Islam-kan, dan (takut) jika tausiyahnya akan membuat umat lain kepincut."
Dan sebagai imam, Romo Budi menganggap bahwa tugasnya tidak hanya pelayanan sakramental di altar tapi juga bergerak di 'semak belukar', di seluruh segmen kehidupan untuk mewujudkan persaudaraan dan perdamaian.
“Kami ingin menjadi kaum berjubah yang berjiwa inklusif dan pluralis, maksudnya kaum berjubah yang merangkul siapa saja dalam semangat keberagaman," kata Romo.
“Makanya saya sering menyebut bahwa kamu adalah aku. Dan aku adalah kamu yang lain,” tandas Kiai Budi. 

Dimuat di BBC Indonesia di rubrik trensosial

http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/07/160708_trensosial_budi

Minggu, 07 Agustus 2016

Kisah di Tahun 1965 : "Mereka Ditembak di Dalam Lubang"

“Kekerasan dan kerja paksa yang tidak mengenal lelah. Itu hujan, itu panas. Kalau perlu ada hukuman kerja malam. Semua pukulan dengan kayu pete yang besar. Bengkak-bengkak semuanya. Ini ada bekas tusukan militer yang sampai sekarang walaupun setengah abad ya, itu ada bekas bayonet kena begini di belakang ada,” tutur Supardi dengan nanar kala mengisahkan apa yang dialaminya setengah abad silam di tanah pembuangan, Pulau Buru.

Sesekali, ia mendongak ke langit-langit rumahnya, mencoba menahan amarah. Pasalnya, ingatan pria berusia 76 tahun tersebut akan siksaan dan kerja paksa, masih mencengkeram kuat.

“Pantat hilang dagingnya, tinggal tulang. Makan juga terbatas. Betul-betul rekoso (susah payah-red). Segala sesuatu terbatas, tidak bisa bergerak dan dicurigai. Omong bahasa Jawa saja dipukul. Barisan salah dipukul. Kerja salah dipukul. Kalau lihat orang tapol dikata itu bukan manusia.”

Supardi adalah bekas tahanan politik peristiwa 1965. Ia ditangkap dan dipenjara tanpa proses pengadilan karena disangka menjadi anggota Pemuda Rakyat –organisasi kepemudaan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Bahkan saat ditahan di Polres Pati dan Baperki, Pardi –begitu ia disapa, dipaksa terlibat aksi G30S.

Ia sempat menolak tuduhan tersebut, tapi yang ia terima justru siksaan hingga akhirnya ditahan. Selama 14 tahun, Pardi pindah dari satu penjara ke penjara lain. Dari lapas di Pati sampai ke Nusakambangan. Dan pada September 1971, lelaki berkacamata itu diboyong ke Pulau Buru.

“Saya nggak tahu Pemuda Rakyat, saya ditanya pimpinan tidak tahu menahu, tidak kenal. Saya ditangkap, saya wajib lapor ke kepolisian atas nama calon sukarelawan. Setelah itu hanya kira-kira 10 hari absennya dihentikan dan saya dibawa ke Polres Pati. Di Polres baru semalam, sehari pindah ke Baperki. Pindah lagi langsung ke penjara Nusakambangan. Bulan September dibawa ke Pulau Buru,” ucapnya lirih.

Tak hanya Pardi yang bernasib sial. Dua bulan pasca ditahan Polres Pati, ayah dan sejumlah kerabatnya ditodong dengan sangkaan serupa. Mereka, kata Pardi, ditahan setahun.
Supardi dan para korban 65 di Pati / noni arnee
Supardi berasal dari Desa Bulu Mulya, Kecamatan Batangan, Pati, Jawa Tengah. Dahulu, wilayah di pantura timur ini terkenal “merah” atau menjadi salah satu basis Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kasus yang menimpa Supardi, berawal tatkala bekas seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) –organisasi underbow PKI tersebut hendak menjadi calon sukarelawan “Ganyang Malaysia”. Waktu 1964, Indonesia tengah berkonfrontasi dengan Malaysia. Usianya 25 tahun.

Akan tetapi ia malah ditahan gara-gara sang komandan relawan “Ganyang Malaysia” merupakan anggota PKI asal Situbondo, Jawa Timur.

“Pada 1964 Soekarno menyiarkan pada rakyat yang peduli jadi surelawan Ganyang Malaysia. Saya termasuk calon sukarelawan Ganyang Malaysia. Kebetulan komandan sukarelawan saya itu orang PKI dari Situbondo Jawa Timur. Setelah 1965, saya dilibatkan.”

Dalam laporan hasil penyeldikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atas peristiwa 1965/1966, telah terjadi pelanggaran HAM berat di Pulau Buru.

Di mana mereka dipaksa bekerja untuk proyek-proyek pemerintah atau tentara dengan tak diberi makan yang memadai atau bekerja di rumah-rumah pejabat militer.

Hingga pada Juni 1979, Supardi dan belasan ribu tahanan politik dilepaskan dengan cap ET alias eks tapol. Sial karena detik ini belum ada rehabilitasi nama dari pemerintah.

http://kbr.id/saga/06-2016/_saga__radimin__mereka_ditembak_di_dalam_lubang/82493.html

Kisah di Tahun 1965 : Kuburan Massal di Hutan Jeglog

Suara gerisik daun Jati kering di Hutan Jeglog, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, mengiringi perjalanan saya dan Supardi, pengurus Yayasan Korban Pembunuhan 1965/1966 Cabang Pati. Juga Radimin –warga Desa Sidoluhur.

Di lahan milik Perhutani tersebut, ada jejak pembantaian orang-orang yang dituduh sebagai anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tempat yang kami tuju itu berada di sisi timur pinggiran Kota Pati. Di sana, Radimin menunjuk gundukan tanah di antara semak belukar dan ilalang –yang diyakini sebagai kuburan massal.

“Kalau yang 15 lubang yang timur. Mereka (korban-red) lari-lari dari mobil, tahu-tahu masuk ke lubang, tembak di dalam lubang,” ungkap Radimin.

Radimin, masih ingat betul peristiwa yang terjadi di bulan Desember 1965. Setengah abad silam, lelaki berusia 81 tahun itu dipaksa menjadi saksi mata aksi keji para pemuda dan tentara pada para tawanannya.

“Saat itu saya pulang lalu disuruh lihat langsung. Dipaksa, tidak bisa menolak.”

Di hadapan saya, Radimin memeragakan posisi para korban. Kata dia, ketika hendak dieksekusi, orang-orang itu berjongkok dengan kedua tangan diletakkan di belakang leher dalam keadaan terikat.

Sedang yang lain, dipaksa berlari dari mobil menuju sebuah lubang yang disiapkan untuk proses eksekusi; ditembak. “Saya tahu persislah. Itu dibondo (diikat-red), diangkat ke belakang. Di pinggir makam, ditembak di tengkuk dan ditendang masuk ke lubang."

Radimin bahkan sempat mengenali salah satu korban yang ketika itu adalah calon relawan “Ganyang Malaysia” –dimana Indonesia terlibat konfrontasi dengan Malaysia pada 1964.

“Satu yang ditembak namanya Jaiz dari Kecamatan Batangan, Desa Tanggulangin. Yang nembak itu ya seragamnya kalau namanya dulu ya Pemuda Garuda Pancasila. Sandangane (seragamnya-red) kuning-kuning.” Warga Desa Sidoluhur ini juga mengatakan, mereka yang “dihabisi”, dituduh sebagai pemberontak atau penjahat yang kala itu ditujukan pada orang-orang PKI.

Di Hutan Jeglog, ada 25 orang terkubur dalam tiga lubang yang terpisah. Menurut Radimin, sebetulnya ada 10 lubang yang digali. Tapi tiga lainnya dibiarkan menganga hingga sekarang. Sedangkan empat lubang lagi ditanami pohon pisang oleh warga.

“Ini kan lubang ada 10, di sana empat, di sini tiga. Sebenarnya ada masih ada lubang lagi tiga. Ini bukti bahwa ini kubur dan ini ada saksinya,” imbuh Supardi, pengurus Yayasan Korban Pembunuhan 1965/1966 Cabang Pati.
Radimin menunjuk lokasi kuburan masal korban 65 / noni arnee

Supardi dan Radimin menunjuk lokasi kuburan masal korban 65 / noni arnee

Supadi adalah bekas seniman di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) –organisasi underbow PKI. Ia bercerita, ketika awal tahun 2000-an, ia dan sejumlah korban 65 asal Pati, tergerak melacak lokasi pembantaian itu.

Hingga kemudian, mereka mendirikan organisasi YPKP 1965/1966. Hasilnya, di wilayah tersebut, setidaknya ada delapan kuburan massal. “Setelah lepas dari Pulau Buru, saya mencari kuburan masal. Ketemu tiga lubang untuk mengubur jumlah 25 orang. Lubang pertama 15, lubang kedua lima, lubang ketiga lima. Ini ada harapan dipasang prasasti atau tanda. Beluma da uang.”

Temuan Supardi diperkuat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang pada 2008 datang ke Hutan Jeglog. Di sana, Komnas HAM menyelidiki peristiwa kekerasan pasca 1965.

Jejak pembantaian orang-orang yang dituduh PKI tak hanya ada di Hutan Jeglog, YPKP juga menemukan tujuh titik lain yang diduga bekas kuburan massal. Yakni di Hutan Regaloh, Kecamatan Tlogowungu; dua titik di Hutan Brati, Kecamatan Kayen; dan di Kecamatan Dukuhseti di antaranya Grogolan, Sumber Lamen, Puncel dan Kalitelo.

Semua itu adalah bukti bahwa tragedy 1965/1966 tak sekecil seperti yang diklaim bekas komandan pasukan TNI AD –yang membasmi gerakan PKI, Sintong Pandjaitan.

Dalam simposium nasional, Sintong berkilah jika yang mati di Jawa Tengah tak sampai 19 orang.

“Kita menuntut kebenaran. Benarkah orang yang dibunuh itu orang jahat? Benarkah orang yang dibunuh itu orang salah? Harap ada penyelesaian yang benar terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Apabila ada ketentuan bahwa kita tidak bersalah harap itu  dibongkar dan tulang-tulang dikembalikan ke masyarakat," kata Supardi penuh harap.

http://kbr.id/saga/06-2016/_saga__radimin__mereka_ditembak_di_dalam_lubang/82493.html

Pesantren itu Ada di Kampung Darat : Jejak Sumir Guru Para Ulama Tanah Jawa (2)

Nama dua ulama ini memang tak setenar Sunan Kudus. Tapi ia tercatat punya pengaruh yang cukup besar dalam syiar Islam. Siapa kedua ulama itu?

Dua nama ulama ini memang tak setenar Sunan Kudus. Namanya The Ling Sing atau akrab disebut Kiai Telingsing dan Kiai Sholeh Darat. Keduanya hidup terpisah. Kiai Telingsing ada di Kudus dan Kiai Sholeh di Semarang. Namun, meski tak setenar Sunan Kudus jejak syiarnya masih bisa kita jumpai di kedua kota itu.

Seperti apa kiprah mereka dalam penyebaran agama Islam di Jawa? Tak banyak yang tahu. Karena itu, tak mudah untuk menelusuri jejak-jejak mereka. Dari yang tak banyak itu, jejak mereka bisa dijumpai pada makam dan masjid Kiai Telingsing di Kudus, dan makam Kiai Sholeh Darat di Semarang, termasuk keluarga keturunannya.

Kami pun mencoba menelusuri jejak kedua ulama itu.

***
Berjarak beberapa abad dengan kehidupan Kiai Telingsing, di Semarang ada nama ulama ternama dalam penyiaran agama Islam di Nusantara, khususnya Jawa. Nama asli lelaki itu KH Muhammad Sholeh Darat bin Umar As-Samarani dan lebih dikenal sebagai Kiai Sholeh Darat. Ia lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara pada sekitar 1820. Sang ayah bernama KH Umar, ulama terkenal yang pernah bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro.

Keinginan untuk meneruskan jejak dakwah sang ayah membuat Sholeh muda berkelana hingga ke Makkah. Di sana ia berguru pada beberapa ulama besar seperti Syaikh Muhammad Almarqi, Syaikh Muhammad Sulaiman Hasballah, Syaikh Sayid Muhammad Zein Dahlan, Syaikh Zahid, Syaikh Umar Assyani, Syaikh Yusuf Almisri, dan Syaikh Jamal Mufti Hanafi. Di kota suci itu pula, Sholeh Darat bertemu dengan santri -santri yang berasal dari Indonesia antara lain KH Nawawi Al Bantani dan KH Muhammad Kholil Al Maduri.

Sekembalinya menimba ilmu di Makkah, Sholeh Darat mengajar di Pondok Pesantren Darat milik sang mertua, KH Murtadlo di Kampung Darat yang kini bernama Dadap Sari, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang. Nama Darat yang disandangnya merupakan sebutan masyarakat yang merujuk pada tempat tinggalnya.

Pondok pesantren berkembang pesat. Santri berdatangan dari berbagai pelosok daerah untuk belajar agama. Sejumlah nama yang kemudian menjadi ulama besar pernah nyantri di situ. Sebut saja pendiri NU KH Hasyim Asy'ari (Ponpes Tebu Ireng), pendiri Muhamadiyah KH Ahmad Dahlan, KH Munawir (Ponpes Krapyak Jogja), KH Mahfudz (Termas Pacitan), Kiai R Dahlan Tremas (seorang Ahli Falak), Kiai Amir Pekalongan yang selanjutnya menjadi menantu Kiai Sholeh Darat, Kiai Idris Solo, dan Kiai Sya'ban bin Hasan Semarang.

Sebagai penyebar Islam di tanah Jawa, nama Sholeh Darat terkenal sebagai guru para ulama di Jawa dan tokoh besar Islam seangkatan dengan Syaikh Muhammad Nawani Al Jawi Al Bantani dan Kiai Kholil bin Abdul Latief atau Mbah Kholil Bangkalan.

Kitab Kiai yang Tersebar
Kebesaran Sholeh Darat lainnya, dia menjadi penulis banyak kitab yang dipakai di banyak pondok pesantren. Dari banyak karya sang kiai, hanya tiga kitab yang masih tersimpan di kotak khusus di rumah takmir masjid KH Sholeh Darat di Kampung Darat. Sayang sekali, ketika saya meminta untuk melihat ketiga kitab itu, Chomsin Basri tidak mengabulkannya. Tentu saja, Ketua Takmir Masjid KH Sholeh Darat punya alasan rasional. Usia kitab yang tua dan ditulis di atas kertas dengan warna tinta tidak begitu cerah itu rentan hancur.

Ya, hanya ketiga kitab yaitu Al Hikam, Pesholatan, dan Tajwit yang disimpan pihak keluarga. "Dulu tersimpan di masjid, tapi karena khawatir diambil orang, lalu disimpan," ujar lelaki yang dipasrahi menyimpan kitab-kitab itu.

Lukman Hakim Saktiawan, cicit Kiai Sholeh Darat menyebutkan kesulitan mengumpulkan kitab-kitab peninggalan kakek buyutnya itu. Apalagi tak sedikit dari kitab-kitab karya Kiai Sholeh Darat tersebar selain di Jawa, juga di Singapura dan Mesir. Bahkan pihak keluarga yakin, banyak manuskrip karya Sholeh Darat juga tersimpan di Leiden Belanda. "Santri-santrinya yang mencari karena kitab tersebar. Tidak hanya di Jawa tapi juga ditulis ulang di Mesir dan Singapura," jelas lelaki yang akrab disapa Gus Lukman.

Salah satu faktor mengapa kitab-kitab itu tersebar adalah kegemaran Kiai Sholeh Darat memberikan kitab karyanya kepada santrinya. "Hampir semua muridnya diberi kitab, jadi tersebar di mana-mana, termasuk yang ada di tangan RA Kartini," ujar Gus Lukman.

Di antara puluhan karya Kiai Sholeh Darat, beberapa sangat populer yaitu Majmu'at al-Syariat al-Syari'at al-Kafiat Li al-Awwan yang merupakan kitab bertuliskan huruf Arab pegon dan berbahasa Jawa. Ada pula yang telah diterbitkan oleh NV Haji Amin Singapura (tahun 1898), termasuk terbitan berangka tahun 1890-1935 oleh penerbit Singapura dan Bombay (sekarang Mumbai). Penerbit lokal yang menerbitkan beberapa karya sang kiai adalah Toha Putra.

Berkaitan dengan penulisan kitab, salah satu perjuangan Kiai Sholeh yang terus dikenang adalah menafsirkan Alquran dalam bahasa Jawa yang ditulis dengan huruf Arab pegon. Ini terbilang istimewa karena hampir semua kitab yang ditulis bertujuan agar mudah dimengerti khalayak.

"Pada zaman itu banyak yang tidak sekolah. Kiai Sholeh Darat ingin agar kaum awam belajar agama sehingga kitab tafsirannya berbahasa Jawa," tandas penulis buku Keajaiban Shalat Menurut Ilmu Kesehatan Cina dan pelatih Shaolin Kung Fu yang berprofesi therapis ini.

Ajarannya pun luas, tak melulu soal syariat, tapi juga karya tasawuf. Bahkan persoalan tentang kesetaraan gender pun sudah didedah sang kiai lewat kitab karyanya. Terkait kesetaraan gender, dia menganjurkan perempuan dan laki-laki sama-sama berkewajiban menuntut ilmu, meskipun perlu pembatasan bagi kaum perempuan. Sang kiai punya alasan mengapa ada pembatasan itu.

Di masanya, menurut Kiai Sholeh Darat, kalau perempuan pandai, dia bisa saja membahayakan dirinya sendiri karena akan dimanfaatkan Belanda. Itu juga alasan mengapa RA Kartini pernah nyantri di pondok pesantren Kiai Sholeh. Perempuan yang dikenal sebagai pejuang kesetaraan gender itu bahkan mendapat hadiah kitab dari sang guru.

Menjaga Ajaran Sang Kiai
Dalam perkembangannya, ajaran Kiai Sholeh Darat sempat mengalami "gangguan". Maksudnya, ada beberapa aspek ajaran yang tak lagi diikuti atau bahkan dihilangkan. Dan itu terjadi di lingkungan internal, atau keluarga keturunan sang kiai.

Perlu diketahui, dzuriyyah atau keturunan Kiai Sholeh Darat memang secara moral adalah kalangan yang menjaga ajaran-ajaran yang dikembangkan sang kiai. Seseorang di antara para dzuriyyah itu didaulat sebagai pemimpin. Hanya saja menurut Chomsin Basri, ketika KH Ali Cholil (cucu Kiai Sholeh dari istri keempat) memimpin, beberapa ajaran sang kiai tak lagi diikuti.

Begitu pula, keturunan sang kiai yang tersebar di banyak tempat pun sempat mengalami "gangguan" saling bersilaturahmi, termasuk kemunculan paham atau aliran lain yang sempat membuat perpecahan. Banyak tradisi keagamaan ajaran Kiai Sholeh yang "hilang". Walhasil, nama dan kiprah sang kiai seolah-olah redup dan tidak populer.

Pada 2012, sepeninggal KH Ali Cholil, pihak keluarga kemudian membulatkan tekad untuk "kembali" ke ajaran Kiai Sholeh Darat. Hal itu ditegaskan oleh Gus Lukman, cicit sang kiai, yang tak lain adalah putra KH Ali Cholil.

"Saya tidak akan mengikuti ajaran bapak tapi saya akan mengikuti ajarannya Mbah Sholeh," ujar Chomsin Basri menirukan penuturan Gus Lukman.

Upaya kembali ke ajaran sang kiai adalah dengan menata kepengurusan masjid. Chomsin Basri, santri yang pernah menimba ilmu di pesantren Kiai Kholil bin Abdul Latief atau Mbah Kholil Bangkalan didapuk menjadi Ketua Takmir Masjid Sholeh Darat yang berlokasi di Jalan Kakap Darat Tirto 212, Kota Semarang.

Pemilihan Chomsin sangat terkait dengan nama Mbah Kholil Bangkalan yang merupakan rekan seperjuangan Kiai Saleh. Ulama lain yang memiliki keterkaitan adalah Syekh Muhammad Nawani Al Jawi Al Bantani dari Banten.

Bahkan, pada masanya ketiganya bak Three Musketeers yang merencanakan dan mengatur cara dakwah melalui strategi penggunaan bahasa lokal dalam tulisan berhuruf Arab pegon. "Orang Belanda tahunya yang digunakan adalah bahasa Arab. Siasatnya begitu," jelas Chomsin yang asal Madura ini.

Spirit dan garis perjuangan agama Kiai Sholeh Darat sedikit demi sedikit mulai dihidupkan kembali, antara lain aktivitas pengajian rutin dan kajian kitab seperti kajian kitab majemuk syariah dan amalan Burdah yang dilaksanakan tiap Sabtu.

Bahkan Jamaah Pengajian Ahad Pagi yang didirikan Kiai Soleh Darat yang membedah kitab-kitabnya pun diaktifkan lagi. Begitu pula haul atau peringatan wafat sang kiai pada 10 Syawal (tepatnya 18 Desember 1903) kembali diselenggarakan.

Chomsin Basri mengatakan, masjid peninggalan Kiai Sholeh yang selama beberapa waktu itu sepi dan nyaris tidak ada aktivitas tersebut kembali "hidup". Nama dan ajaran sang kiai kembali terdengar dan bahkan memotivasi sejumlah akademikus di Semarang dan para santri untuk membentuk Komunitas Pencinta KH Sholeh Darat (Kopi Soda). Itu komunitas yang berfokus mengkaji dan melacak kitab-kitab peninggalan Sholeh Darat.

Ya, meski baru seumur jagung, komunitas tersebut memiliki komitmen membantu menghidupkan ruh Kiai Sholeh Darat dengan menduplikasi kitab-kitabnya agar semakin banyak yang mempelajarinya. Kitab-kitab pun dicetak dalam berbagai versi, termasuk membuat cetakan Kitab karangan Kiai Sholeh Darat yang pernah dihadiahkan kepada RA Kartini, yakni Tafsir Faidhur Rohman setebal 576 halaman dan Kitab Terjemah Al-Hikam setebal 254 halaman dalam keping DVD dan CD.

"Kitab digital itu hasil pemotretan naskah asli tulisan tangan Kiai Sholeh Darat. Selain tebal dan tidak lagi ada cetakannya, juga lebih mudah disebarkan pada para santri," jelas Mohammad Ichwan, sekretaris Komunitas Pencinta Kiai Sholeh Darat (Kopi Soda).
Ada juga yang ditulis ulang dalam teks bahasa Indonesia diberi syarah atau tambahan dari sudut pandang metafisika oleh Gus Lukman, misalnya kitab Lathoifut Thoharoh. "Tujuannya jelas agar generasi sekarang mudah membaca dan mengamalkan ajarannya," kata Ichwan.

Makam dan Foto Palsu
Selain ajaran dan kitab-kitab, sebagai sosok historis dan ulama besar, jejak Kiai Sholeh Darat bisa juga dijumpai lewat makamnya. Hanya saja, soal makam ini sering pula memicu kontroversi seputar makam mana yang benar karena muncul cerita mengenai beberapa makam yang diyakini sebagai tempat bersemayam jasad sang kiai.

Di sekitar Masjid Sholeh Darat, tepatnya di sisi selatan, ada bangunan baru seperti gazebo berlantai keramik. Menurut Gus Lukman, itu adalah bekas makam Kiai Sholeh Darat. Kenapa bekas makam? Muncul cerita bahwa jasad sang kiai dipindah ke kompleks pemakaman Bergota yang terletak di Jl Kiai Saleh Kota Semarang pada tahun 1936 oleh pihak Belanda. Alasan pemindahan sangat politis pada waktu itu. Sepeninggal Kiai Sholeh Darat, masjid peninggalannya kerap dijadikan tempat berkumpul para pejuang.

"Belanda memindah makamnya di Bergota untuk memudahkan pengawasan para pejuang. Tapi saya tetap yakin, yang dipindah ke Bergota hanya kain kafannya saja," ujar Gus Lukman.

Di Bergota, makamnya kini berimpitan dengan ribuan makam lain. Meski begitu, banyak peziarah yang percaya bahwa makam Kiai Sholeh Darat tidak hanya di situ, tapi di beberapa tempat. "Makam Mbah Sholeh ada di Rembang dan Madura. Dalam tradisi NU itu biasa, seperti Sunan Ampel yang diyakini ada di sembilan tempat," imbuh Chomsin Basri.

Itu kemungkinan dikarenakan hidup Kiai Sholeh Darat yang harus berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran Belanda. "Bahkan, rumah asal keluarganya di Jepara juga diobrak-abrik Belanda. Orang tuanya juga DPO dan hingga kini makamnya tidak diketahui keberadaannya," ujar Gus Lukman.

Rasa penasaran ingin merekonstruksi masa lalu Kiai Sholeh Darat juga ditunjukkan Gus Lukman melalui sejumlah foto lawas. Foto masjid lama Kiai Sholeh Darat yang hingga kini masih disimpannya itu merupakan foto masjid sebelum dibongkar pada tahun 1990. Di dalam foto itu tampak bangunan tua terbuat dari kayu yang berada di area tanah yang sangat luas. Kini tanah peninggalan di kompleks masjid hanya tersisa 1200 meter.

"Dulunya ini langgar (musala) turun-temurun dari Kiai Murtadho. Bentuknya panggung terbuat dari kayu jati. Sekarang yang terselamatkan ya ini saja, termasuk kentongan yang masih tersimpan di masjid," ujarnya sambil menunjuk gambar kentongan yang ada di foto.

Jejak bangunan masjid aslinya telah hilang. Masjid memang dipugar karena dimakan usia. Banjir dan rob juga mengancam dan menggerus masjid yang hingga kini terus diuruk dan dinaikkan lantainya untuk menghindari luapan banjir.

Atapnya hanya tinggal setinggi dua meter. "Kami pernah juga terpaksa Salat Jumat di teras karena bagian dalam yang lebih rendah itu diterjang banjir. Tahun lalu lantai bagian dalam juga dinaikkan lagi untuk menghindari banjir," kata Gus Lukman.
Masjid Kiai Sholeh Darat / noni arnee

Bekas makam berada di sebelah masjid / noni arnee
Dari sejumlah foto yang ditunjukkan, tak ada foto Kiai Sholeh Darat. Lalu, seperti apa sebenarnya sosok Kiai Sholeh Darat? Gus Lukman menyebut, hanya santri-santrinya yang tahu persis sosok dan penampilan guru para ulama ini. "Bahkan ayah saya juga tidak tahu seperti apa fisik Mbah Kiai," katanya.

Namun sesaat kemudian, Gus Lukman tersenyum ketika ditunjukkan sebuah foto Kiai Sholeh Darat yang selama ini bisa dengan mudah diakses di dunia maya. Menurutnya, foto yang selama ini diidentifikasi sebagai sosok Kiai Sholeh Darat bukanlah sosok yang sebenarnya. "Kalau foto itu saya tahu persis proses pembuatan dan bagaimana bisa muncul di publik. Saya tahu siapa yang memotret waktu itu," katanya.

Menurut Gus Lukman, foto yang menggambarkan sosok Kiai Sholeh Darat selama ini tidak memiliki kemiripan sedikitpun dengan kakek buyutnya. Foto itu sengaja dibuat dan dipoles. "Nggak mirip, tapi sudah telanjur, ya wislah biarkan tetap begitu," jelas lelaki 44 tahun itu sambil tertawa dan menyebutkan siapa sosok sebenarnya yang ada di dalam foto itu.

Gus Lukman meyakini bahwa pemerintah Indonesia sebenarnya tidak memiliki foto asli Kiai Sholeh Darat. Keterangan itu diperkuat dari informasi yang didapat dari seorang koleganya yang bekerja di KBRI di Belanda. Koleganya itu sempat menunjukkan sosok Kiai Darat dari sebuah foto lama.

"Beda dan tidak mirip. Foto yang di Leiden itu juga foto dari samping seperti foto yang diambil dari jauh," ujar Gus Lukman.
Menurutnya, Kiai Sholeh Darat tidak mengenakan serban dan tidak berkacamata seperti yang tergambar dalam foto yang selama ini tersebar di publik. Bagi pihak keluarga, itu bukan masalah besar.

"Yang jelas, penampilannya menggunakan pakaian lokal, tidak bersorban. Keluarga dan santri-santrinya tidak mempermasalahkan. Yang terpenting kami tahu kebenarannya dan mengikuti semua ajarannya," ujar Gus Lukman.

Chomsin Basri juga mengungkap hal senada. "Sosoknya tinggi, senangnya pakai batik dan peci hitam. Jarang pakai warna putih.


link : https://beritagar.id/artikel/laporan-khas/jejak-sumir-guru-para-ulama-tanah-jawa