Angin selatan di bulan
Agustus menghempas kapal kami hingga terseret di bibir Pulau Mioskon, Raja
Ampat, Papua Barat. Penyelaman di site Mioskon Ref pun urung. Memang bukan
bulan baik untuk diving, hingga nyaris tak ada aktivitas para penyelam di
kawasan selatan Waigeo ini. Kami memilih beristirahat dan menikmati keindahan
alam di pulau berbentuk hati yang menjadi tempat transit para penyelam di spot
penyelaman Mioskon Reef dan Blue Magic.
Sembari melepas
lelah, kami melihat sejumlah orang tengah sibuk membangun rumah-rumah kecil. Nampak
seorang laki-laki muda menghampiri dan menyapa ramah. Namanya, Steve Wawiyai, suku
asli Raja Ampat, pemilik tanah adat Pulau Mioskon yang mendiami Kampung Friwen,
tak jauh dari Mioskon. “Kami sedang membangun homestay,” Steve menjelaskan rasa
penasaran kami dengan logat khas Papua.
Steve lantas menceritakan
rencana pengelolaan dan pengembangan usaha pariwisata yang muncul seiring dengan
menjamurnya resort dan homestay di pulau-pulau di kawasan Raja Ampat yang lebih
banyak dikelola warga asing.
Pembangunan homestay di Mioskon / nonie |
Menurutnya, usaha
yang akan dikelola masyarakat adat itu tidak akan mengedepankan sisi industri. Tapi
lebih pada pembelajaran bagi wisatawan yang datang ke Raja Ampat. Dengan konsep Etnobotani dan sentral budaya,
ia ingin menonjolkan nilai edukasi. Jadi, setiap tamu yang datang dapat menikmati
alam, mengenal laut, serta belajar tentang budaya dan kehidupan masyarakat Raja
Ampat.
“Mereka punya
kearifan, mereka jaga mereka punya laut, makanya saya ingin transfer pengetahuan
dan pemberdayaan masyarakat untuk keanekaragaman hayati. Turis datang ada beli kerajinan tapi tidak tahu
proses pembuatan seperti apa. Wisatawan tidak hanya datang, nginap, pulang tapi
juga berinteraksi dengan masyarakat. Mama punya ketrampilan khusus anyaman, mereka
sama-sama dengan masyarakat diajak belajar menganyam hingga mengenal tanaman
endemik. Itu yang saya mau kembangkan.”
Gagasan Steve
sangat menjanjikan. Apalagi pulau yang pernah menjadi sengketa dan di tawar
warga Eropa hingga Rp 67 miliar itu merupakan salah satu pulau strategis dan terindah di Raja Ampat yang dikelilingi
gugusan terumbu karang dan pasir putih. “Dulu kosong tidak berpenghuni dan masuk
wilayah adat kami. Pulau ini strategis, dekat dengan kabupaten, transit dari
resort-resort di Mansuar, dari Waiwo dan
dekat dengan bandara kedepannya,” ungkap lelaki yang pernah bekerja di TNC ini.
Ya, industri
pariwisata di Raja Ampat ibarat jamur dimusim hujan. Itu peluang besar dan masyarakat
tidak ingin hanya menjadi penonton.
Jika Mioskon baru mengawali. Kampung Arborek yang
terletak di Meos Mansar sudah menjadi kampung wisata dan menjadi salah satu
tempat yang wajib dikunjungi ketika menyusuri Raja Ampat.
Papua Explorers Resort di Pantai Pinsilim, Yenwaupnor, Kec. Meos Mansar, Raja Ampat / nonie |
Raja Ampat Dive Lodge di Pulau Mansuar / nonie |
Menari Bersama Manta
Dari 30 lebih spot penyelaman di Raja Ampat, pulau
yang berada di antara Pulau Mansuar dan Pulau Gam ini adalah tempat transit para
penyelam yang ingin bertemu dan menari dengan Manta Ray (Pari manta) di Manta
Sandy atau Manta point yang berjarak satu kilometer dari kampung.
Di sini, penyelam dapat
menyaksikan Manta Ray menari meliuk-liukkan tubuhnya sepanjang 7 meter dan
berbobot hingga 2 ton. Mamalia raksasa pemakan plankton dan ubur-ubur ini terbiasa
memamerkan aksi akrobatiknya di depan para penyelam. Bahkan jika beruntung, salah
satu spesies ikan pari terbesar di dunia ini juga bisa disaksikan di sekitar jetty
(dermaga) Kampung Arborek.
Chasing Manta Ray @ Manta Point / Mayang Putranto |
Kampung yang
dihuni 30 KK memang menjamin kelangsungan dan keberadaan populasi dan kehidupan
Manta birostris hingga tempat ini menjadi habitat nyaman Manta Ray dan biota endemik lainnya.
“Di sini andalannya pantai, kebersihan kampung, yang spesial Manta yang ada di bawah jetty,” kata Nommenson
Mambraw, warga Arborek yang menyambut kedatangan kami.
Kampung Wisata Arborek / nonie |
Kondisi ini jauh
berbeda ketika Arborek belum dikenal wisatawan. Dulu mereka sangat menggantungkan
hidup dari laut. “Kita di sini bilang buang lanjar cari ikan garam, kerapu
terus drop ke sorong. Mata pencaharian nelayan,” imbuhnya.
Tak hanya itu, pasar sirip ikan hiu yang sangat menggiurkan
membuat masyarakat berpaling dari Kerapu dan berburu hiu. Perburuan hiu marak hingga
menyebabkan populasi hiu Raja Ampat turun drastis. “Kalau dulu di tempat ini
tempat hiu juga, di depan-depan sini saja orang-orang bisa dapat. Ikan hiu
banyak dipantai dan besar-besar. Yang nangkap masyarakat tapi mereka cari pakai
alat tradisional. Dulu harganya Rp. 50
ribu/kg. Kalau sekarang sampai 1 juta ke atas. Harganya beda tergantung
jenisnya. Paling mahal Hiu Lontar sampai Rp. 3 juta/ kg. Dijual ke Sorong dan
nanti ada yang ambil sendiri,” Pak Mambraw menceritakan kondisi laut kala
itu.
Ditambah lagi aktivitas mencari ikan dengan bom
dan potasium yang berkeliaran di perairan Raja Ampat karena tidak ada aturan
yang membatasi penangkapan ikan. Hingga akhirnya Pemda Raja Ampatpun
menerbitkan Perda nomor 9 tahun 2012 tentang larangan penangkapan seperti Hiu, Pari
Manta, Dugong, Penyu dan sejumlah ikan-ikan endemik Raja Ampat tak boleh
ditangkap. Pelanggar dikenakan sanksi kurungan enam bulan penjara atau denda
Rp50 juta.
“Dulu banyak yang
cari ikan dengan bom dan potassium. Lama-lama laut dan terumbu karang hancur. Mulai
dari situ masyarakat makin mengerti cara menjaga laut sehingga jangan ada
kerusakan terumbu karang dan habitat ikan. Pemerintah kasih aturan ke
masyarakat supaya ikan jangan di tangkap. Kita punya daerah bisa berubah. Masyarakat
bisa jaga lingkungan daerah ini jadi tidak ada perahu bom, potas,” jelasnya
bersemangat.
Perempuan Arborek membuat kerajinan topi sari daun pandan / nonie |
Dan mereka tak
lagi menangkap ikan sembarangan. Bahkan di beberapa tempat di sekitar laut
lepas yang dangkal terpasang papan larangan menangkap jenis-jenis hasil laut di
kawasan tertentu untuk mendukung konservasi laut berbasis masyarakat. Kini, tak melulu melaut, mereka mendapatkan
penghasilan dari pawisata seperti menjadi guide, mengelola homestay dan kerajinan
tangan.
Jadi tak hanya transit,
wisatawan bisa membeli kerajinan tangan yang terpajang di galeri dekat pintu
masuk kampung atau menyaksikan aktivitas penduduk lokal membuat kerajinan
tangan. “Abis dari manta point pasti lari ke jetty. Bisa membeli topi, tas,
anyaman, noken dari daun pandan sambil lihat ibu-ibu bikin kerajinan dan membeli
ikan segar hasil tangkapan.”
Pak Mambraw menambahkan,
warga makin sadar wisata. Mereka terbuka menggalakkan dan mengembangkan Kampung
Arborek dengan membangun homestay sendiri. “Lebih baik bikin sendiri. Biasanya
nginap semalam tarip Rp 500 ribu. Kalau dikelola sendiri lebih menguntungkan.
Daripada bekerja di homestay milik orang,” jelasnya sambil menunjukkan beberapa
homestay.
“Sejak banyak
wisatawan datang bikin kerajinan. Sehari bisa bikin tikar panjang 1,5 meter. Ada
wisatawan datang bisa langsung beli tikar sagu, topi, noken, tas,” ungkap Emi
Dimara, perempuan pembuat kerajinan topi.
Tak Memancing di Jetty
Hal serupa juga bisa
di saksikan di Kampung Wisata Yenbuba yang berada di dekat Pulau mansuar yang
dihuni 70an KK. Pak Marcell, warga kampung menyambut kedatangan kami di jetty bercerita
tentang perubahan yang terjadi di kampungnya.
“Kita merasa ada
perubahan. Tidak seperti dulu cari uang susah harus tangkap ikan. Sekarang uang
cari kita di kampung. Orang datang kesini, ada perlu ini itu. Tidak seperti
dulu lagi. jangankan 10 ribu, kita mau cari 5 ribu saja susah. Tidak seperti sekarang
uang gampang.”
Pintu masuk Kampung Yenbuba |
Dermaga Kampung Yenbuba /nonie |
Dermaga Kampung Yenbuba /nonie |
Pak Marcell
mengaku bahwa semua warga kampung punya kesadaran dan sangat paham menjaga alam
dan lautnya. Pun dengan anak-anak yang belajar dari orangtua dalam memperlakukan
kekayaan laut mereka.
“Tidak boleh ada
aktifitas memancing sembarangan. Kami sudah deklarasikan itu jadi semua orang
tahu dan paham cari harus beberapa mill baru bisa mancing. Ada tempat khusus
untuk mancing. Anak kecil mengerti kalau orangtua kasih tahu tidak boleh jadi sampai
sekarang tidak ada anak-anak yang mancing. Di atas jembatan sepi. Sebelum ada larangan
anak-anak setiap hari ramai mancing di jembatan.”
“Kita tak boleh tangkap ikan di sini, harus ke
tengah laut,” kata salah satu anak yang tengah asyik bermain di sepanjang
jetty.
Kini,
setiap pengunjung yang datang ke Raja Ampat tak hanya menemukan “surga” di
bawah laut tapi juga “surga” di daratan. Dan setiap saat mereka selalu siap
menunggu pengunjung dari seluruh dunia untuk menikmati keindahan Pulau Surga di
bibir Pasifik ini. (Noni Arnee)