Dusun Tambaksari nampak dari kejauhan, terisolasi karena abrasi / nonie arnee |
Ketika menyusuri Dusun Senik, Sayung, Demak bersama Nurohman, saya
teringat ketika kali pertama menjejakkan kaki di dusun ini. Tepatnya, delapan
tahun silam. Dusun ini sudah lama diterjang abrasi. Separuh rumah di dusun ini
sudah ditinggal penghuninya karena rusak, tinggal puing-puing dan terendam termakan
abrasi.
Meski begitu sebagian warga masih nampak beraktivitas senormal mungkin.
Mereka masih mencari ikan di laut sebagai mata pencaharian utama. Kegiatan
ekonomi masih hidup. Dan jalan utama dusun
masih bisa dilalui kendaraan roda empat. Bahkan saya masih bisa menyusuri jalan setapak menuju
ujung dusun.
Tapi kini, di atas sampan, saya dan warga Dusun Senik itu hanya bisa berbagai kenangan tentang dusunnya. Semua yang pernah saya lihat di Dusun Senik delapan tahun silam tak lagi berbekas. Yang
nampak hanya sisa-sisa bangunan dan rimbunan pohon mangrove yang menjadi
habitat burung kuntul.
Ya, ternyata kemampuan beradaptasi warga tak sebanding dengan masifnya
bencana di depan mata mereka sehingga membuat kehidupan ratusan kepala keluarga
di
Dusun Rejosari Senik tenggelam. Bencana abrasi tidak hanya membuat rumah-rumah hancur,
tapi juga terpuruknya perekonomian warga,
hilangnya mata pencaharian dan ikatan hubungan
sosial.
Pemerintah menganggap relokasi menjadi pilihan terakhir
dari ancaman abrasi hingga kemudian warga Senik dipindahkan ke Desa Gemulak dan
Sidogema di Kecamatan Sayung.
Tapi benarkah itu solusi terbaik? Saya kembali teringat
pada Sumadi. Warga Tanggultlare, Jepara yang saya temui di bibir pesisir pantai
utara Jepara. Ia berkisah beratnya beradaptasi di tempat baru karena di relokasi
setelah desanya habis dilalap abrasi. Tak cukup sekali relokasi, keganasan
abrasi membuat warga relokasi hingga tiga kali. Tapi itu delapan tahun silam.
Entah sekarang.
Abrasi yang
terjadi di kawasan Sayung, Desa Bedono selama 20 tahun terakhir diperkirakan
yang terbesar di kawasan pantai utara Jawa bahkan di Indonesia. Luas kawasan
yang terkena erosi mencapai 2 ribu hektar lebih yang menyebabkan garis pantai
mundur sepanjang 5 kilometer dari garis pantai di tahun 1994 lalu.
Berbagai
upaya dilakukan. Mulai dari penanaman dan pemeliharaan mangrove, pembuatan
green belt, talut pemecah ombak dari beton, revitalisasi tambak untuk kegiatan
budidaya ramah lingkungan. Hingga peraturan desa (perdes) tentang perlindungan
kawasan pesisir dengan membagi tiga zona utama yaitu area mangrove, area
rehabilitasi dan area larang tangkap.
Pemerintah juga
tak mau dianggap hanya berdiam diri. Sembari menunggu hasil
revitalisasi ekosistem mangrove yang dianggap menjadi solusi terbaik. Direktorat
Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) memprioritaskan penanganan pesisir di pantura Jawa
khususnya Demak dengan merealisasikan pilot project restorasi pesisir melalui
Program Membangun Bersama Alam, melalui pembangunan struktur pelindung pantai
konstruksi pemerangkap sedimen berstruktur hybrid yang terbuat dari kumpulan
ranting dan kayu.
Teknologi ramah lingkungan pemasangan alat pemecah
ombak berbasis alam yang disebut hybrid
engineering hasil adopsi dari Belanda ini diyakini mampu mengurangi laju abrasi
dan menstabilkan garis pantai dengan membalikkan proses hilangnya sedimen.
Tapi, jika ditilik ke belakang, faktor alam hanya menyumbang
kecil munculnya abrasi. Naiknya permukaan air laut yang masif itu justru lebih lebih
besar disebabkan oleh ulah manusia. Tidak hanya karena masifnya penyedotan air tanah
yang menyebabkan land subsidence hingga 13 sentimeter per
tahun tapi juga karena pembangunan yang tak ramah lingkungan. Bangunan yang
menjorok ke pantai dan proyek reklamasi jelas nyata memberi andil terbesar
bencana abrasi.
Abrasi
sudah terjadi puluhan tahun. Bencana itu sebenarnya ada di depan mata kita dan
sudah seharusnya hal itu tidak dianggap sebagai hal biasa.
Selama
pembangunan tidak berpihak dengan alam, maka ada dampak yang akan selalu muncul.
Dan selama pemerintah selaku pemegang otoritas tidak tegas memberi regulasi dengan
mengedepankan pembangunan berperspektif lingkungan, maka pada akhirnya itu justru
menjadi bumerang.
Alam akan
selalu mencari keseimbangan. Dan seperti kata pepatah bijak “Ketika alam sudah
mulai tidak bersahabat, maka manusia harus siap menerima derita.” Tapi apakah
adil jika yang akan menui derita justru orang-orang yang selama ini hidup
harmonis berdampingan dengan alam?