Pages

Kamis, 25 Oktober 2012

Menuju Pulau Burung

jalur yang harus dilalui


Tak sulit menuju Pulau Burung. Hanya dengan petunjuk seadanya, kami menemukan desa yang hanya dihuni 6 kepala keluarga ini. Dari Semarang kami menuju jalur pantura, tepatnya di jalan raya Semarang-Demak km 10. Kami dapat melihat dengan jelas papan petunjuk menuju obyek wisata Pantai Morosari. Dengan memasuki gerbang perkampungan jalan aspal berlubang sejauh 4 kilometer dari jalan raya, kami sudah berada di loket obyek wisata dengan tiket masuk Rp. 3 ribu per-orang dan parkir kendaraan seharga Rp. 7 ribu.

Dari Pantai Morosari, Pulau Burung dapat terlihat dengan jelas. Untuk menjangkaunya kami sengaja menyewa sampan bermotor milik nelayan yang disewakan untuk pengunjung. Tawar menawar harga bisa dilakukan, meski biasanya para nelayan mematok harga Rp.20 ribu/orang untuk sekali antar.

Namun, jika tak ingin merogoh kantong, sebenarnya kami juga bisa melalui jalur lain menuju Dusun Tambaksari, yakni dengan cara menyusuri Desa Pandansari dan Dusun Senik, yang letaknya berada di sisi timur Pantai Morosari. Jarak tempuh tentunya lebih lama karena harus berjalan kaki melewati jalan setapak sepanjang lebih kurang 1 kilometer dengan koral tajam yang hanya cukup untuk melintas satu orang saja. Melewati jalur ini juga harus ekstra hati-hati karena licin. Ditambah lagi dengan hempasan air laut yang tiba-tiba bisa naik ke permukaan. Yang pasti dijalur ini kami harus berhitung dengan waktu jika tak ingin terjebak dalam rob.

Meski cukup menguras energi, semua itu terbayarkan dengan pengalaman menyaksikan keganasan air laut mengikis daratan Sayung dan sensasi petualangan menyusuri jalan lorong ditengah rimbunan bakau yang diiringi deburan ombak serta sesahutan burung kokokan laut.

non

Benteng Terakhir dari Gerusan Abrasi



"Dulu di situ permukiman dan area tambak. Sisanya tinggal yang di sana itu,'' ujar Bobi sambil menunjuk ke rimbunan pohonan. 
Dari tepian pantai Morosari, Sayung, Demak, tempat yang ditunjuk pemuda 19 tahun itu mirip sebuah pulau kecil yang memanjang. Warnanya hijau pudar dan seperti tengan mengapung di atas air.
menuju Tambaksari
''Sekarang, orang menyebutnya Pulau Burung. Nanti saya antar ke sana pakai perahu,'' ujar Bobi lagi.
Siang itu, matahari tak begitu cerah. Langit tergayuti kabut. Angin hangat begitu kencang menampari muka kami. Laut belum pasang dan ombak tampaknya sedang bersahabat. Jadi, kami terima tawaran nelayan muda tersebut setelah bertransaksi soal harga sewa sekaligus jasa panduan di lokasi yang kami tuju.

Bersama kawannya, dia merapatkan sebuah perahu kecil ke dermaga kayu di pantai itu. Bentuknya seperti perahu ketinting bermesin diesel. Perahu itu sudah berayun-ayun dengan bibir nyaris menyentuh permukaan air ketika dua nelayan itu bergerak di atasnya. Sejenak kami berdua keder membayangkan kemungkinan perahu itu tak bisa dimuati empat penumpang. Apalagi, kami tak bisa berharap diberi pelampung.

Kami kembali memandangi hamparan air yang memisahkan Pantai Morosari dengan Pulau Burung yang hendak kami tuju. Jaraknya tak jauh. Hanya sekira dua kilometer. Dan di tengah perairan itu, kami melihat seorang nelayan tengah mencari udang dengan alat menganco yang diseret di dalam air. Air hanya menyentuh tubuhnya sebatas pusar. Artinya perairan yang bakal disisir perahu tidak dalam. Apalagi kata Misbah, teman Bobi, area perairan yang bakal dilalui perahu dulunya hunian yang telah ludas tergerus abrasi.

Kami jadi mantap menjejaki lantai perahu. Setidak-tidaknya, kalau di tengah perjalanan perahu terbalik, paling-paling hanya badan dan pakaian kami yang basah, juga kamera dan ponsel kami.

Perahu langsung bergoyang-goyang sehingga kami harus duduk di tempat-tempat yang disarankan Bobi untuk menjaga keseimbangan. Diesel dinyalakan dan perahu mulai bergerak. Cukup 15 menit, perahu sampai di tepian hamparan pasir yang mirip sebuah tanjung kecil.

***
PULAU Burung itu sebenarnya sepetak hamparan tanah yang tersisa dari proses abrasi yang menggerus Dusun Tambaksari, Desa Bedono, Sayung, Demak, beberapa tahun lalu. Di reranting mangrove dan brayu, beberapa jenis burung seperti kokokan laut, kuntul kerbau, atau blekok sawah itu bertengger. Asyik bercereceh seolah-olah menciptakan sebuah orkestrasi bersama deru angin laut.

Tak jauh dari habitat burung itu, enam rumah dan sebuah masjid, sebagian didirikan di atas beton yang menancap ke tanah berlumpur sisa-sisa. Tinggal enam dari 266 kepala keluarga yang masih bertahan. Dan seperti itulah rupanya area yang kami lihat dari tepi Pantai Morosari seperti pulau kecil yang terapung.

Untuk sampai ke wilayah pemukiman tersisa itu, dari tempat perahu ditambatkan kami harus menyusuri hamparan pasir di tengah perairan. Di situ, pecahan kerang putih yang disebut penduduk setempat disebut patang berserakan.
''Penduduk sering mengambili pecahan kerang itu untuk bikin manik-manik dan perhiasan,'' tutur Misbah.

Di tengah hamparan pasir yang memanjang itu, kami seperti dikepung air. Panorama di sekitar kami begitu eksotis: kapal-kapal yang terlihat begitu kecil, jauh di utara; camar-camar dan burung kokokan laut yang beterbangan tak jauh dari permukaan air untuk mencari ikan.

Berada di situ, di antara pecahan karang dan sesekali telapak kaki dibelai tempiasan ombak, saya membayangkan, orang-orang berjalan-jalan menikmati suasana pantai, atau mencari kerang yang berada di dalam pasir, dan ketika menengok ke arah selatan, matanya bersirobok dengan hunian dan area tambak. Beginilah dahsyatnya sebuah abrasi. Ia menenggelamkan apa saja yang tergerus. Ya, sebelum abrasi itu, hamparan pasir tempat kaki kami menapak dulunya adalah sebuah pantai.

''Belum lama dari sekarang, hamparan pasir ini menjelujur sampai ke tepi kafe itu,'' cerita Misbah. Kafe yang dia maksud adalah sebuah resto seafood yang masih kokoh berdiri di kawasan lokawisata Pantai Morosari, di dekat dermaga sebelum kami menumpang perahu tadi. Saya memperkirakan hamparan pasir ini sepanjang dua kilometer. Tapi kini, yang tersisa tinggal sekitar 200 meter.

***
DARI hamparan pasir itu, kami pergi ke makam Syekh Abdullah Mudzakir terlebih dahulu sebelum menelusuri Dusun Tambaksari. Kami harus mencebur ke air sedalam lutut sebelum naik ke jembatan beton selebar satu meter yang menghubungkan area pemukiman dengan kompleks makam tersebut. Di situ kami berpapasan dengan beberapa peziarah yang baru keluar dari area makam. Beberapa saat kami berada di makam sebelum menapaki jembatan beton, dilanjutkan pada titian bambu, lalu menyusuri satu-satunya jalan setapak di Dusun Tambaksari.




Penelusuran kami diiringi celoteh burung-burung. Kami harus berhati-hati ketika melangkah di jalanan dari batu koral. Begitu juga ketika sampai di jalan beton yang dibangun swadaya oleh enam kepala keluarga yang tersisa. Jalannya licin karena mulai ditumbuhi lumut. Jalan itu tersangga oleh tumpukan batu koral, mangrove dan pohon brayu di tepi-tepinya. Sepi sekali ketika itu, seolah-olah rumah-rumah di situ tak berpenghuni. Siang hari seperti itu, para kepala keluarga pasti tengah mencari ikan dengan perahu ketinting. Sebab, itulah pekerjaan utama mereka.

Kami berpapasan dengan seorang anak perempuan kecil berseragam sekolah. Sang ibu yang keluar dari rumah menyambutnya. Kami bercakap-cakap sebentar dan dari percakapan itu, kami tersadar, anak kecil tadi baru saja menyusuri jalan setapak sejauh sekitar satu kilometer dari sekolahnya di Dusun Pandansari. Betul, itu bukan jarak yang panjang. Tapi jangan membayangkan sebuah jalan beton seperti yang tengah kami susuri. Sebab, hanya sekitar 300 meter, jalan beton itu terputus oleh gerusan air. Yang ada lebih tampak sebagai tumpukan batu koral tak beraturan. Bahkan, bila air pasang, anak itu pasti harus menjinjing sepatunya. Dan  arena sekarang dia kelas dua SD, setidaknya dia sudah melakoni itu selama dua tahun.

Kami menuju rumah Pak Muhamad Fauzan (55), tetua dusun dan juru kunci Makam Syekh Abdullah Mudzakir. Kami melewati sebuah masjid, satu-satunya masjid di situ yang seolah-olah mengapung di atas kubangan lumpur. Dan pada satu kubangan lumpur lainnya, di antara mangrove dan brayu, sebuah dinding berlumut bekas rumah masih kokoh berdiri. Itu bekas rumah sang Syekh yang dibiarkan sebagai sejenis ''monumen abrasi''.

Pak Fauzan bercerita banyak pada kami mengenai kisah Dusun Tambaksari sebelum dan sesudah abrasi. Tentu saja, dia juga banyak bercerita mengenai sang Syekh yang tak lain adalah kakek buyutnya sendiri. Tapi yang menurut kami paling penting dicatat adalah keyakinannya, juga keyakinan semua kepala keluarga yang tersisa di situ, bahwa ''Kami tak akan meninggalkan dusun ini. Sebab, rumah-rumah kami ini serupa benteng terakhir. Kalau kami pergi, pasti wilayah ini habis tergerus abrasi.''

Ya, Dusun Tambaksari atau Pulau Burung adalah jejak sebuah tragedi. Perjalanan ke tempat seperti itu mungkin tak memberi kita pesona dan ketakjuban sebuah lokawisata. Tapi tragedi pun bisa membuat kita belajar. Setidaknya, tempat itu bisa menjadi wahana wisata edukasi. Kita bisa belajar mengenai keganasan abrasi atau burung-burung di situ. Itu sebabnya, tak seorang pun, baik penduduk setempat maupun pelancong diperbolehkan menangkap atau membunuh burung di situ. Sebuah kearifan yang pantas juga menjadi bahan studi.


Jalan utama diantara pohon brayu



Rabu, 10 Oktober 2012

Jangan Lupa “Selingkuh” Dulu…



Setelah check-in di hotel kita langsung ke Restoran S Mas Budi. Kita “selingkuh“dulu.“ Pernyataan Mas Dewanto yang menjadi pemandu kami selama di Wamena sangat mengejutkan. Bagaimana tidak, baru saja kendaraan yang kami tumpangi keluar dari Bandar Udara Wamena, dia sudah menawarkan sesuatu yang membuat Saya dan rombongan menyerngitkan dahi.

Dia terbahak melihat raut wajah saya yang penuh tanda tanya dan curiga. “Jangan khawatir, maksudnya kami mengajak makan siang di restoran Mas Budi. Ada makanan khas Lembah Baliem yang wajib dinikmati kalau datang ke sini.“

Makanan khas? Ternyata yang dimaksud adalah menu makanan bernama “udang selingkuh“ (cherax albertisii).
Makanan ini sangat terkenal. Di sejumlah restoran, hidangan udang selingkuh menjadi hidangan utama yang paling diburu para wisatawan yang datang ke Wamena.

Disebut demikian karena menu khas santapan di Wamena ini mempunyai bentuk badan seperti udang, tapi bercapit layaknya seekor kepiting. Kulitnya juga lebih keras dibanding udang biasa. Masyarakat di Wamena menyebut udang jenis lobster air tawar ini dengan nama udang selingkuh karena dianggap sebagai hasil “perselingkuhan“ antara udang dan kepiting.

Tidak hanya dilihat dari bentuk dan ukurannya yang lebih besar. Udang jenis ini begitu spesial karena hanya hidup di air tawar di Sungai Baliem dan disalah satu bagian di Australia.

** 
Dan hidangan udang selingkuh goreng saus mentegapun siap di meja untuk disantap. “Rasanya lezat.
Dagingnya lebih kenyal dan manis,“ kata salah seorang rombongan kami.
Tidak hanya di masak saus mentega, udang selingkuh juga lezat dengan berbagai pilihan dan selera seperti saus asam manis, rica-rica, atau disajikan dengan woku (masakan Menado). Dinikmati dengan nasi putih yang hangat bersama sayuran seperti cap cay, ca cangkung dan ca bunga pepaya yang berasal dari perkebunan organik di Wamena.. Hidangan inipun lebih lengkap lagi dengan sajian minuman jus terong Belanda yang segar.



Di restoran Mas Budi, seporsi udang selingkuh dipatok dengan harga Rp 90 ribu, cukup untuk dua orang dewasa.
Jumlah isi dalam setiap porsi tergantung dari ukuran udangnya. Jika udangnya besar, satu porsi hanya berisi dua ekor saja. Tapi belum tentu juga hidangan ini bisa ditemui sewaktu-waktu.

Udang selingkuh sulit didapat karena bergantung pada musim. Maklum udang selingkuh hingga kini memang tidak dibudidaya secara khusus di Wamena. Sejumlah restoran besar yang ada di kota ini masih dan hanya mengandalkan dari hasil tangkapan penduduk lokal yang berburu secara tradisional di Sungai Baliem. Mereka biasanya menjual langsung ke restoran dengan harga berkisar antara Rp 300 ribu hingga Rp 1 juta per kantong plastik. Berapa kilogram beratnya memang tidak bisa dipastikan, karena penduduk lokal ini memakai ukuran kantong plastik untuk menjual udang selingkuh tangkapannya. Harga udang mentah memang bisa membumbung tinggi jika pasokan udang terbatas.

Selain Restoran Mas Budi, menu udang selingkuh dapat dicari disejumlah restoran seperti di Restoran Baliem Pilamo, Kafe Pilamo atau Blambangan.

Yang jelas jangan datang pada saat musim penghujan (banjir) karena udang selingkuh akan hilang dari peredaran di restoran alias stok kosong. Dan kami cukup beruntung bisa menikmatinya meski ukurannya lebih kecil dari biasanya.

Ya, rasa lelah setelah menunggu pesawat delay hingga beberapa jam sebelum menempuh perjalanan dari Jayapura ke Wamena seakan terbayar dengan kenikmatan udang selingkuh yang istimewa ini.
(non)