Pages

Kamis, 12 April 2012

Ketika Wayang Asia Bertemu



Jendela Budaya 
Radio Deutsche Welle / Indonesian Programme
080411

Wayang bukan cuma tumbuh dan berkembang di pulau Jawa dan Bali. Tetapi juga di berbagai belahan dunia lain. Khususnya di kawasan Asia, yang memang secara kebudayaan cukup dekat satu sama lain, dan selama beratus tahun saling mempengaruhi. Hal ini mengemuka dengan jelas dalam Temu Wayang Asia yang diselenggarakan terpadau dengan festival wayang Indonesia ke-2, di Taman Budaya Yogyakarta. Pesta setiap tiga tahun sekali ini diselenggarakan Persatuan Pedalangan Indonesia Pepadi bersama Lembaga Sena Wangi.
Saya Nonie Arni, koresponden Anda di Jawa Tengah, berbagi cerita dalam Jendela Budaya kali ini.

Lakon Abimanyu Ranjab atau tewasnya Abimanyu dalam pakeliran padat selama 1 jam yang disajikan dalang muda asal Jawa Timur Ki Cahyo Kuntadi, begitu menghanyutkan penonton. Wajar saja kalau akhirnya Wayang Kulit Jawa Timuran ini memperoleh predikat penyaji  dan garap sabet atau permainan wayang terbaik.

Selain Abimanyu Ranjab dari Ki Cahyo Kuntadi, tampil 17 dalang dari seluruh Indonesia dengan 17 laokon yang berbeda. Juga dengan berbagai gaya, jenis, dan bahkan aliran wayang yang berbeda.
Gaya utama yang kali ini tampil antara lain Wayang Golek Sunda, Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta, Wayang Kulit Jawatimuran, Wayang Kulit Gaya Yogyakarta, dan Wayang Banjar.

Ketua panitia festival wayang, Ki Ageng Mas’ud Thoyib mengatakan, festival ini  selain untuk  memberi motivasi baru bagi  seniman pewayangan, juga   diupayakan untuk menumbuhkan apresiasi masyarakat lebih luas, khususnya generasi muda, terhadap seni budaya wayang.
“Setelah diakui dunia, maka pertama langkahnya adalah konsolidasi yang diwujudkan dalam bentuk festival yang disebut festival wayang Indonesia 2008. Tapi festival wayang itu sudah dilaksanakan 3 tahun lalu yang pada saat itu pesertanya 10, padahal PEPADI punya Komda di 24 propinsi. 18 mengirimkan berarti di daerah itu sudah tumbuh wayang-wayang itu sendiri. mewakili tingkat propinsi. Sangat dinamis dan tidak didominasi oleh Jawa. Tujuan akhir dengan adanya festival pasti akan lahir dalang baru. Ke depan akan sangat baik sekali potensinya”


Upaya Festival Wayang untuk menjangkau penonton lebih luas tampak dari pertunjukan-pertunjukan yang tidak dilangsungkan semalaman sebagaimana pertunjukan tradisional. Melainkan dengan pertunjukan padat yang berlangsung sekitar 1 jam. Setiap gharinya dalam festival ini ditampilkan lima pakeliran padat oleh lima peserta.

Wayang Indonesia saat ini mencapai lebih dari 50 jenis dan gaya,  yang terbedakan dalam hal bentuk, gaya dan teknik pertunjukan. Bentuk yang nyata terlihat bedanya, misalnya antara wayang kulit, wayang golek, wayang beber, wayang klitik,  bahkan juga wayang orang. Sebagian sudah tak lagi hidup dengan wajar, karena sudah tidak lagi disangga masyarakat pendukungnya. Seperti wayang beber atau wayang klitik.

Yang paling dominan adalah wayang kulit purwa, khususnya gaya Yogyakarta dan Surakarta. Dalam Festival Wayang, pakeliran gagrak wayang purwa begitu mendominasi. wayang gaya Surakarta lebih banyak dipilih peserta dari luar Jawa. Ada juga pakeliran wayang banjar khas Kalimantan Selatan yang disajikan Ki Syaputra.

Namun kata pemerhati wayang asal Yogyakarta, Sumari, festival akan lebih menarik jika jenis dan gaya wayang yang dipertontonkan lebih variatif. “Bagaimana festival ini mencakup berbagai jenis dan gaya  wayang di Indonesia. Tidak hanya wayang kulit gaya surakarta, yogyakarta, tapi mungkin gaya-gaya yang lain seperti wayang Palembang, gaya Banyumasan, gaya Betawi. Itu semua bisa pentas alangkah lebih bagus lagi”

Terlepas dari itu, Festival Wayang selalui dijubeli pengunjung. Dalam setiap pertunjukan, kursi di gedung pertunjukan berkapasitas seribu orang selalu dipadati penonton, siang dan malam. Mungkin kkarena pertunjukan juga digratiskan.

Di antara ribuan penonton terdapat Sartono warga Yogyakarta yang sore itu datang bersama istri dan Bagus anaknya yang berusia lima  tahun.“Pada dasarnya saya sebagai orang tua ingin megenalkan kebudayaan lokal kepada anak, tapi anehnya kejadian kemarin itu justru anak saya yang memberitahukan bahwa disini ada wayang, jadi hari ini saya menyempatkan melihat karena diajak anak saya. Anak saya bilang wah.. kasian ya bapak ga bisa lihat wayang padahal bapak suka wayang. Kemudian anak saya mengajak untuk menonton wayang.”


Festival Dalang disleenggarakan sesudah terhentinya Pesta Wayang yang biasanya diselengagrakan oleh pemerintah. Berbeda denan Pesta Wayang yang biasanya berlangsung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Festival Wayang diselenggarakan secara berpindah-pindah. Upaya ini mendapat dukungan kuat dari para dalang dan seniman seni pewayangan. Seperti dikatakan Ki Cahyo Kuntadi dalang asal Jawa Timur. “Sangat luar biasa, saya sangat mendukung dan menorong adanya festival wayang tingkat nasional seperti ini, karena untuk memacu generasi-generasi penerus untuk mengiprahkan keahlian dan kemampuan dalam berkesenian terutama di wayang. Dengan cara begini temen-temen bisa berpikir oh.. kalau dengan festival seperti ini dengan kriteria seperti ini, nilainya gimana, bobotnya gimana.. lha ini tantangan, itu sangat positif.”


Yang menarik dari ajang ini juga adalah tampilnya peserta dari Papua. Tentu saja bukan wayang Purwa Papua. Melainkan wayang kulit purwa Jawa yang didhidupkan oleh pendatang Jawa di pulau paling timur itu. Ki Toto Handoko, dalang peserta dari Papua, menggambarkan:
“Untuk mengenalkan wayang disana biasanya kita pakai pegelaran padat juga tapi dialognya pakai bahasa Indonesia. Di sana kita mengenalkan anak-anak kadang kita memancing pagelaran pakai doorprize tiap triwulan. kalau frontal langsung susah. Biasanya ada hari-hari penting seperti 17an, satu syuro, tahun baru. Saya pribadi Ingin menciptakan wayang papua mengangkat cerita asli daerah sana tapi ya tetep pakai bahasa Indonesia karena sekitar 300 lebih bahasa disana dan sulit untuk mempelajari.”


Di Papua Ki Toto Handoko berusaha memperkenalkan wayang Jawa. Kendati dengan bahasa Indonesia. Namun di pulau Jawa sendiri, wayang tidak lagi berada di masa kejayaannya. Jumlah dalang jauh berkurang, seiring menurunnya jumlah penonton dan undangan manggung. Pertunjukan wayang kini lebih terbatas kesempatannya. Dan banyak yang harus menyertakan bumbu kesenian populer seperti dangdut, agar bisa tetap bertahan dalam kehidupan masyarakat. Sementara wayang yang murni sebagaimana pakemnya, lebih banyak ditampiulkan dalam acara kebudayaan yang khusus. Pengamat pewayangan Sumari menjelaskan,
“Satu sisi kita prihatin generasi muda kita khususnya diperkotaan itu semakin jauh dari wayang, itu kita akui.  Tapi kalau kita petakan di pedesaaan daerah-daerah tertentu seperti Jawa timur khususnya itu masih tinggi sekali. Ya ini tantangan bagi semua yang ngurusi wayang ini. Kendalanya banyak anak muda kita jauh dari wayang itu karena dari sisi bahasa mereka kurang paham. Kedua memang munculnya pesaing media lain seperti media elektronik.“


Kondisi yang sama dialami wayang lain di berbagai negara Asia. Sebagaimana terungkap dalam Temu Wayang Asia zang diikuti 13 negara.
.Kali ini sebagian peserta berasal dari Asia Tenggara. Namun wayang atau teater boneka dalam berbagai bentuknya, juga tersebar di hampir semua wilayah Asia
Sekretaris Jendral Asosiasi Wayang ASEAN, Tupuk Sutrisno mengatakan, dalam temu Wayang Asia itu para delegasi menyepakati beberapa hal.
“Melestarikan dan mengembangan wayang diseluruh sub region, itu antara lain tukar 
 menukar pagelaran, tukar menukar ahli untuk saling membantu agar wayang ini tumbuh. Ke dua adalah membuat dimasing-masing Negara itu sanggar wayang tradisional dan tidak membutuhkan banyak biaya. Disanggar itu akan dipelajari filosofi dari masing-masing wayang. Wayang Indonesia, Thailand, Myanmar dan sebagainya. Nantinya akan tumbuh kualitas dalang dan SDM  lainnya secara lebih meningkat kualitas nya.”

Dalam pertemuan tersebut juga digagas pembuatan buku Wayang ASEAN sebagai  referensi Wayang  di negara-negara ASEAN.

Terdesaknya seni tradional wayang oleh berbagai tradisi kesenian dan kebudayaan baru, juga diderita negara-negara Asia lain.  Di Thailand misalnya.  Ketua delegasi Thailand, Siriporn Theopipithporn menjelaskan, untuk bisa bertahan, seni wayang Thailand yang disebut ‘hun’, bahkan dikemas dalam bentuk mini konser yang lebih modern.

“Teater boneka tradisional Joe Louise, misalnya,  sangat terkenal nasional dan internasional. Bahkan mendapatkan  2 penghargaan best performance dalam festival teater boneka internasional di Praha pada tahun 2006 dan tahun ini. Tahun depan berencana ikut festival di Prancis. Pada dasarnya teater boneka tradisional di dunia punya masalah yang sama dalam hal penyajian dan bagaimana mempertahankan.”


Teater boneka tradisional Thailand dari kelompok Joe Louise bisa terus bertahan, karena mereka berkompromi dengan kebudayaan dan kenyataan baru dan modern. Kini mereka berencana membuat sekolah khusus mengenai teater boneka ini. Di Indonesia pun banyak kelompok dan dalang yang bertahan dan memperoleh tempat khusus justru karena mereka berkompromi dengan selera baru masyarakat. Seperti tampak dari wayang golek Asep Sunarya, dalang Ki Narto Sabdo, dalang wayang Kulit Tegal  Enthus Sismono, dan lain-lain.
Sementara wayang dalam bentuk aslinya hanya bisa hidup jika disangga dengan peristiwa dan dana kebudayaan yang besar. Masalahnya, kesenian bukan merupakan prioritas dalam anggaran pemerintah Indonesia. Kendati justru kesenian merupakan salah satu unggulan dan kebanggaan Indonesia di dunia internasional.

Pendengar demikian jendela budaya kali ini. Saya Noni Arni.

Rabu, 16 Maret 2011

Syahwat Keabadian...

Budaya dan gaya
Radio Deutsche Welle Jerman
15.03.11



Syahwat Keabadian Friedrich Nietzsche :

Lewat karya fenomenalnya Sabda Zarathustra, Friedrich Wilhelm Nietzsche begitu populer sebagai filsuf Jerman yang sangat berpengaruh dan berdampak besar pada jagat filsafat dan perkembangan pemikiran di dunia.

Namun, belum lama ini, melalui tur di beberapa kota di Jawa Tengah, Berthold Damnhauser, ahli sastra dari Universitas Bonn bersama penyair Sosiawan Leak dan Dorothea Rosa Herliany, justru memperkenalkan sosok Nietzsche yang berbeda, yakni sebagai salah satu penyair besar pada zamannya. Dalam rubrik budaya kali ini, Saya, Noni Arni mengikuti tur Syahwat Keabadian di 3 kota di Jawatengah.

”Oh, bagaimana aku tak syahwatkan keabadian, dan cincin kawin segala cincin, cincin Sang Keberulangan! Tak pernah kutemukan perempuan, yang ingin kujadikan ibu anak-anakku, kecuali perempuan yang kucintai ini: karena kucintai kau, oh Keabadian!.”

Penggalan sajak ”Tujuh Materai” yang dibaca penyair Sosiawan Leak merupakan salah satu sajak dalam kumpulan puisi Syahwat Keabadian yang termaktub dalam buku Nietzsche Also Sprach Zarathustra. Ini buku keenam dari Seri Puisi Jerman yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia.

Benarlah, Nietzsche memang lebih dikenal sebagai filsuf bukan penyair. Karena itu, dalam rangkaian pembacaan dan diskusi sajak-sajak karyanya yang dilangsungkan di Universitas Negeri Semarang, Balai Soedjatmoko Solo, dan Rumah Buku Dunia Tera Magelang, Nietzsche diperkenalkan ke kalangan lebih luas. Begitu penjelasan Berthold Dams-hauser.

”Yang kita sebarkan terutama melalui buku puisi tentulah puisi, estetika. Karena itu puisi-puisi besar saya kira itu bisa dirasakan sebagai puisi saja. Itu sebenarnya bukan tujuan menyebarkan pikiran Nietzsche, tapi memperkenalkan puisi indah Nietzsche dalam bahasa Indonesia yang juga indah. Ada pertimbangan estetika sebenarnya.”

Sebagai penyair, Nietzsche bahkan dianggap sebagai salah seorang pembaharu pada sastra Jerman. Sajak-sajaknya menunjukkan kebebasan berbahasa, metafora-metaforanya demikian kaya yang banyak diikuti oleh penyair sesudahnya.

”Penyair seperti Rilke, Trackel, mereka semua membaca Nietzsche. Tidak dibaca pada zamannya. Baru setelah meninggal dia dibaca, ramai dibaca. Di Jerman dipengaruhi baik oleh pemikiran Nietzsche maupun oleh bahasanya. Metafora-metafora itu terlihat muncul pada bentuk yang sedikit diubah pada cukup banyak puisi. Itu penuh patos. Saya kira patos itu juga bisa dirasakan dalam terjemahannya. Jadi semangat yang ada di puisi Nietzsche juga suka ditiru, cara metaforis dan mereka juga angkat ide-ide dari filosofinya. Terutama pada awal abad yang lampau di situ pengaruh bisa dilihat bahkan dalam bentuk puisi. Ketika perang dunia pertama, banyak tentara membawa dua buku. Alkitab dan Zarathustra. Alkitab oke tapi Zarathustra juga dibawa, yang sebenarnya sangat bertentangan.”

Dams-hauser juga mengatakan adanya pengaruh metafora Nietzshe pada sajak-sajak karya para penyair yang hidup di era tahun 1844 hingga tahun 1900 ini.

’’’Palsu dengan diri sendiri’. Bukankah itu luar biasa palsu pada diri sendiri. Gamang. ’Di tengah ratusan kenangan, lelah di tiap luka’, itu sebuah metafora bagamana kita bisa lelah di tiap luka. ’Gigil di tiap kedinginan tercekik pada tali sendiri’.

Itu ide-ide luar biasa. Bayangkan yang terjadi di sini. Menggali-gali diri sendiri. Menggali diri itu sebuah metafora. Hal-hal yang tidak terjadi dalam kehidupan sehari-hari. ‘Kau dibungkukkan di antara dua tiada’. Yang satu tiada adalah Tuhan, yang lain adalah setan.”

Namun, menurut Dams-hauser, 60 puisi karya Nietzsche itu memuat pemikirannya. Buku Syahwat keabadian dipilih dan diambil dari sejumlah karya Nietzsche dalam periode yang merepresentasikan gagasan dan kegelisahan jejak pemikiran Nietzsche yang ditulis pada puncak kreativitasnya di usia 45 tahun.

”Latar belakang dari kebanyakan puisi adalah filosofinya. Karena banyak puisi yang kita bacakan diambil dari karya Demikian Sabda Zarahustra. Tapi bisa juga dari puisi Nietzsche lain yang tidak demikian jelas berkaitan dengan filosofinya.”

Salah satu puisi yang cukup dianggap penting dan mewakili pemikiran Nietzsche adalah ”Cuma Pandir! Cuma Penyair.”

’’kerinduan yang berlumur ribuan larva,/bersifat rajawali, bersifat macan kumbang,/kau yang pandir! Kau yang penyair!//Kau yang menemukan manusia/sebagai dewa maupun domba,/mencabik dewa dalam manusia/dan terbahak dalam bahak men-cabik,/Itu, itulah bahagia-mu,/bahagia macan kum-bang dan rajawali,/bahagia penyair dan si pandir!”

Lantas, bagaimana cara penyair Sosiawan Leak Sosiawan membaca Nietzsche yang telah dialih bahasakan?

”Sedahsyat apa pun proses penerjemahan selalu ada jarak. Nggak cukup dari terjemahannya saja. proses terjemahan adalah proses menyaring kembali. Kesulitannya ada tapi tidak begitu masalah. Saya kemudian baca waktu dia nulis ini, kegelisahannya pada wilayah di mana, ideloginya, kegelisahan temanya, pengolahannya, pengembaraan estetikanya. Harus mengungkap lebih banyak tentang itu daripada tentang puisinya. Gaya baru yang style dia. Terjemahan itu selalu lebih sulit daripada karya aslinya.”

Dams-hauser menegaskan, puisi Nietzsche mencerminkan dirinya sebagai seorang nihilistik yang mempertanyakan nilai kebenaran seraya terus mencari kebenaran itu sendiri yang kerap dianggap kontradiksi.

“Tetapi toh cuma ilusi. Ini harus dipahami sebagai puisi, bukan sebagai keterangan logis filosofis. Itu penuh dengan absurditas, dan sebagian dari Itu adalah dialog dalam diri Zarathustra. Asosiasi-asosiasi ini sangat penting untuk memahaminya karena logika kadang putus karena sekian banyak pikiran ada di benak Zarathustra. Ada yang menginterpretasikan puisi itu sebagai skitzophrenia Nietzsche sendiri.”

Dari Syahwat Keabadian yang sarat makna itulah kini publik Indonesia bisa melihat sosok lain Nietzsche. Bahkan, Jonuary Ari, penonton yang menyaksikan pembacaan puisi Nietzsche mengaku terkesan.

”Aku sedikit tergerak oleh pemikiran-pemikiran Nietzsche. Jadi sejauh Zarathustra, aku baca bukunya sama beberapa artikel pelengkap. Suka dengan pemikirannya tentang ‘amor fati’ kita mencintai takdir kita sendiri. Ternyata Nietzsche punya walaupun dibukunya itu cukilan-cukilan dari Zarathustra. Yang aku lihat Nietzsche ”nakal” dalam memilih kata-kata. Menggunakan kata-kata yang lugas tapi mengena. Kalau dari terjemahannya kata-katanya biasa saja tapi langsung menusuk memberikan arti yang dalam.

Yang judulnya ”Cuma Pandir! Cuma penyair!. Itu aku suka banget. Lebih baik jadi orang bodoh tapi sadar daripada orang pintar tapi lupa daratan.”

Seperti sudah disebutkan, kumpulan puisi pilihan Nietzsche dengan judul Syahwat Keabadian ini merupakan Seri Puisi Jerman ke-6 dalam versi bahasa Indonesia. Sebelumnya telah terbit kumpulan pilihan karangan Paul Celan, Rainer Maria Rilke, Berthold Brecht, Johan Wolfgang von Goethe dan Hans Magnus Enzensberger. Yang dialihbahasakan bersama penyair Agus Sarjono sebagai penerjemah pendamping.

Demikian sekilas tentang sajak-sajak Nietzsche...

http://www.dw-world.de/popups/popup_single_mediaplayer/0,,4128430_type_audio_struct_11583_contentId_2934131,00.html

Minggu, 13 Februari 2011

Warok Suromenggolo-Suminten Edan

Deutsche Welle
15.12.10

Kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Lewat kethoprak

Pagelaran kethoprak yang digagasi Aliansi We Can ini mengusung judul “Warok Suromenggolo-Suminten Edan”. Sebuah metode kampanye yang digagas pegiat isu perempuan. Tujuannya, untuk mendorong perubahan sikap dan perilaku setiap individu secara berantai untuk menghasilkan sebuah gerakan sosial yang mampu menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Pelaksana Program Kampanye We Can, Ninik Jumoenita  mengatakan, kentalnya budaya di masyarakat juga menjadi penyebab masih banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan dimasyarakat. Data Komnas Perempuan tahun 2009 menyebut, terjadi kenaikan angka kasus kekerasan terhadap perempuan hingga 260 persen lebih, dari 54 ribu menjadi 140 ribu kasus. Karena itu, diperlukan kampanye aktif dalam bentuk apa pun, termasuk kampanye melalui jalur budaya.

”Kita tidak akan memerangi pelaku dalam konteks secara frontal, tapi kita lebih melakukan dengan pendekatan positif. Kami melihat bahwa budaya itu mempunyai posisi yang sangat strategis dalam mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Budaya itu juga berkontribusi untk melanggengkan budaya patriarki. Ketika misalnya kepercayaan yang mereka anut perempuan itu adalah makluk sub ordinat berdampak pada terjadinya kekerasan. Kalau saja budaya ini yang digemari masyarakat bisa mempengaruhi perspektif  cara berpikir masyarakat harapannya bisa berefek domino. Melalui pagelaran-pagelaran seperti ini kampanye We Can  atau nilai-nilai untuk hentikan  kekerasan terhadap perempuan ini akan tertular lebih banyak dalam tingkat pembangunan awarness.”

Sanggar  ketoprak Widya Budaya tampil bersama pegiat isu perempuan dalam ketophrak “Warok Suromenggolo-Suminten Edan”. Ketophrak ini antara lain bercerita tentang nasib dua perempuan. Cempluk Warsiyah, yang mengalami kekerasan fisik dari Surogentho karena menolak diperistri dan Suminten yang mengalami kekerasan secara psikis. Dia menderita hingga hilang ingatan karena rencana pernikahannya dengan anak adipati Trenggalek, Raden Mas Subrata dibatalkan secara sepihak. Calon suami yang dijodohkan kedua orangtuanya itu lebih memilih Cempluk, sepupunya. Anak dari warok Suromenggolo.

Lakon ”Warok Suromenggolo-Suminten Edan” diadaptasi dari babad atau cerita tutur masyarakat yang sering dimainkan dalam kesenian tradisional yang masih relevan dengan kondisi saat ini. Isinya kritik atas berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dimasa lalu, baik kekerasan fisik maupun psikis.

Lakon ini mengisahkan masih kentalnya budaya patriarki kala itu, yang digambarkan dari sikap para warok atau tokoh masyarakat yang disegani, yakni suromengolo dan surobangsat.  Mereka sering bersikap sewenang-wenang, termasuk merenggut hak atas diri anak perempuan mereka Suminten dan Cempluk untuk menentukan hidupnya.

Kisah ini sebenarnya ingin menuturkan masih banyak kekerasan fisik dan psikis terhadap perempuan. Sehingga dengan menunjukkan pesan moral tersebut, penonton menyadari segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Setidaknya itu pesan yang ingin disampaikan Rakun, sutradara ”Warok Suromenggolo-Suminten Edan”.

Ada kaitan dengan ”We Can Indonesia” seperti ketika adipati Trenggalek mencoba pemaksaan anaknya untuk dinikahkan, bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Kedua, Suminten yang sudah diberitahu akan dinikahkan ternyata tidak jadi, kita anggap satu tindakan kekerasan psikis. Adegan Surogentho yang sekarang ini juga sering terjadi bahwa kekerasan dilakukan oleh orang terdekat. Cempluk Warsiyah dan Gentho.  Dari teman sepermainan itu mencoba melakukan pemerkosaan. Jadi gambaran itulah diharapkan tidak harus terjadi dan perlu dicegah. Kita munculkan solusi. Jadi ketika ada adegan kekerasan ada yang menjelaskan Itu adalah pelanggaran. Disitulah pesan kepada masyarakat. ”

Pagelaran ketoprak selama dua setengah jam, memukau penonton. Salah satunya Dyah Ayu, mahasiswi Universitas Diponegoro Semarang.

”Sumintennya itu, dia aktingnya total banget, semua bagus. Kayak kethoprak, wayang orang, sebetulnya aku dari kecil suka. Banyak pelajaran, pesen tapi tidak terkesannya menggurui, daripada baca teks buku, apalagi dengerin orang pidato kayak gitu males. Kayak gini kayaknya lebih mengena. Oh yaa..yaa.. jadi mikir. Jadi kalau pesen-pesen yang diselipin kayak kekerasan terhadap perempuan, kadang kita tidak menyadari perempuan jadi kayak benda, tidak berkuasa atas dirinya sendiri. Jadi semua tergantung dari orang tua, dari orang-orang disekitarnya.  Tidak bisa independen.”

Direktur lembaga bantuan hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan LBH APIK Semarang, Soka Hardinah Katjasungkana menilai, pesan yang disampaikan melalui seni pertunjukan lebih mudah diserap sehingga cukup efektif sebagai alat  kampanye. Termasuk dalam kampanye yang mengangkat isu perempuan.

”Media kesenian tradisional ini sangat efektif untuk bisa menyasar kepada masyarakat. Karena selama ini kesenian tradisional ternyata masih dipilih sebagai hiburan mereka. Jadi kalo  materi pesannya dimasukkan kesenian yang masih dimnati oleh masyarakat, kami anggap ini nanti  akan bermanfaat untuk penyebaran nilai-nilai anti kekerasan terhadap perempuan.”

Sabtu, 12 Februari 2011

Milas: Mimpi Lama Sekali

Politik dan Masyarakat
Radio Deutsche Welle / Indonesian Programme
12.02.2011

Milas: Alternatif Pengentasan Pengangguran

Jumlah anak jalanan dan remaja putus sekolah terus meningkat di kota-kota besar Indonesia. Data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional kerjasama BPS dan pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Pusdatin Kesos tahun 2002 menyebut, jumlah anak jalanan hampir 95 ribu anak. Meningkat 100 % lebih dibandingkan angka tahun 1998.

Tidak mudah mengentaskan mereka lepas dari kemiskinan dan hidup dijalan. Tapi inilah yang dilakukan Milas Yogyakarta, sebuah inisiasi sekumpulan orang yang menyediakan ruang bagi mereka untuk mendapat kehidupan lebih baik. Salah satu caranya dengan pemberdayaan melalui pelatihan ketrampilan di sanggar kerajinan Milas.

Dalam Politik dan Masyarakat kali ini, saya, Noni Arni, berkunjung ke Prawirotaman Yogjakarta untuk melihat seperti apa aktivitas Milas, yang lebih dikenal masyarakat sebagai tempat makan yang menyajikan menu khusus vegetarian.

”Lulus SMP nggak punya biaya, dulu sempet kerja di rumah tangga, ikut sales. Pengen cari uang, udah capek nggak dapet duit.Sehari cuman dikasih 3 ribu. Terus ada yang nyari anak-anak putus sekolah, mau nggak kalau kursus kerajinan. Terus aku ikut di lembaga itu. Programnya udah selesai, terus ditawari gimana kalau masuk ke milas aja ikut belajar lagi. Ingin mendalami kerajinan,.”

Ana mengingat pertemuannya dengan sanggar kerajinan Milas 6 tahun lalu, ketika ia putus asa dengan kehidupan yang dilakoninya. Tawaran belajar ketrampilanpun diterima.

”Belajar tapi dikasih transport. Banyak sekali, macem-macem pelajarannya. Bisa cari uang sendiri. Kalau dulu cuman maen, sekarang disini kalau udah satu tahun udah produksi. Temen-temen masih belajar pertama dikasih transport 10 ribu, nanti beberapa bulan tambah lagi. Bikin buku, atau map. Kamu harus belajar caranya mengukur yang bener, nge-lem yang bener. Nanti kalau kualiti kontrol udah bagus bisa tingkat tinggi lagi. Sudah bisa produksi nanti transportnya ditambah 20 ribu, itu yang digaleri udah bisa bikin. Jadi kalau belajar harus telaten. ”

Kini Ana tidak hanya mahir membuat barang kerajinan tangan, tapi juga mendampingi mereka yang belajar di sanggar Milas. Bahkan Kegiatannya ini menghasilkan rupiah untuk menghidupi suami dan anaknya yang berusia 3,5 tahun.

Selain Ana, ada Febri. Siang itu, ia sedang asyik membuat mainan anak sambil ditemani suara gesekan amplasnya yang beradu dengan merdu Katon Bagaskara dari sebuah radio kecil. Remaja berusia 17 tahun ini tak mampu melanjutkan sekolah.
”Udah nggak sekolah. Ya tertarik dari pada dirumah nggak ada hiburan, cuman main-main di rumah.“

Meski baru 3 bulan, ia merasa betah bergabung di sanggar kerajinan yang terletak di bagian belakang restoran vegetarian Milas. “Suasananya enak. Ada temen-temen nanti kalau nggak bisa bisa dibantu, nanya. Hasilnya ini dimasukan ke galeri. Diajarin bikin tempelan kulkas, gantungan kunci.”

Salah satu pengelola Milas, Kartika Wijayanti mengatakan, mereka dibimbing agar produktif dan menghasilkan berbagai kerajinan berkualitas. Hasilnya dijual di galeri milik Milas yang berada di satu lokasi dengan sanggar dan restoran.

”Ada temen-temen yang kasih materi. Bikin kertas daur ulang, kerajinan kalung, tas jahit dan itu dijual ke galeri. Sejak dulu galeri berfungsi untuk menjual barang-barang kerajinan hasil temen-temen yang disanggar itu. Akhirnya berubah bentuk. Bukan rumah singgah tapi sanggar. Sanggar produksi, sanggar bikin kerajinan tapi dari temen-temen yang dulu di jalan. Temen-temen yang putus sekolahpun diajakin kesini bisa.”

Sebenarnya tidak hanya Ana dan Febri. Di sanggar kerajinan Milas ini juga terdapat puluhan orang yang belajar ketrampilan membuat barang kerajinan tangan. Belajar 4 hari dalam seminggu, mulai pukul 9 hingga 4 sore.

Mereka ini adalah penghuni sanggar Milas. Sebuah tempat yang menampung anak jalanan dan remaja putus sekolah yang tertarik untuk belajar berbagai ketrampilan. Diantaranya membuat aneka mainan anak, figura, aksesoris, tas, dompet dan kerajinan daur ulang.

Sanggar kerajinan Milas terbentuk melalui proses yang panjang. Kartika Wijayanti menjelaskan, gagasan awal pendirian Milas bermula dari kepedulian sekumpulan orang terhadap nasib anak-anak jalanan dan remaja putus sekolah di Yogjakarta.

”Dulu Sebenarnya rumah singgah, pendirinya aktif di pendampingan anak jalanan. Rumahnya dibuka, anak-anak jalanan silahkan dateng. Memang disediain sarana mandi, cuci, kasus, untuk membersihkan diri.“

Selain mendapatkan pelatihan ketrampilan disanggar Milas, seperti menjahit dan membuat kerajinan tangan, mereka juga mendapat pendampingan berupa pengetahuan tentang kesehatan, ketrampilan hidup, dan konseling informasi.

”Selain mereka datang untuk mandi, membersihkan diri, mencuci baju, ikut workshop aids, ikut tes hiv aid juga, mereka juga diajari workshop kerajinan. Terus ada workshop kerajinan yang akhirnya berkembang menjadi bengkel kerajinan. Supaya mereka tahu ada cara hidup lain yang tidak hanya dijalan. ”

Mereka belajar ketrampilan tanpa dipungut biaya, dengan jangka waktu maksimal 2 tahun.

”Kalau kelamaan disini juga ke-enakan, terlalu nyaman disini karena bisa langsung dijual disini, kalau diluar mereka harus berjuang kan. Barangnya bisa masuk ke tempat jualannya, misalnya jualan ke galeri mana ke tempat turis mana kan harus dilihat dulu.”

Yang sudah selesai belajarpun dibebaskan untuk berkembang dan membuka usaha sendiri. Sejak Milas berdiri tahun 1997, sudah tak terhitung lagi mereka yang berhasil mengembangkan diri.

” Dalam tanda kutip lulusan sanggar sudah ada yang menikah, punya usaha sendiri. Ikut sanggar dari dia masih muda sampai sekarang, dia sudah bisa jahit. Mereka memasarkan, diajari supaya setelah dari milas mereka bisa jualan sendiri, cari celah sendiri.”

Milas singkatan dari ”Mimpi Lama Sekali”. Mimpi para pendirinya, untuk mewujudkan seluruh ide membangun "Dunia yang Lebih baik" yang fokus pada pendidikan, kesehatan dan lingkungan.

Selain sanggar dan galeri kerajinan, ide Milas dikembangkan melalui usaha restoran vegetarian dan sekolah hijau untuk anak-anak pra-sekolah.

”Visi misinya Milas, lingkungan, pendidikan, kesehatan. Untuk lingkungan adalah dengan adanya dunia yang serba cepat dunia fast food atau apapun namanya juga harus diimbangi dengan model yang lebih pelan. Yang Milas bisa ya seperti ini, makananya juga dimasak lama sekali. Kalau di restonya pengejawantahannya dari sisi kesehatan adalah dengan memperkenalkan menu vegetarian itu nggak hanya makan sayur dan sayur dan tidak menarik. Dari sisi kesehatan, dari sekolah adalah memperkenalkan bahwa makanan-makanan yang dikonsumsi anak-anak sekarang itu nggak bagus, dari sisi lingkungan disini bisa anda temui misalnya kalau makan disini tidak ada pipet, tidak ada plastik, diganti dengan tas. Itu juga nanti mengerucut di bengkel produksi itu, penghasilannya dari itu, misalnya salah satu permainan harganya bisa seratusan lebih karena handmade.”

Berbeda dengan sebuah lembaga, pengelolaan Milas dilakukan secara swadaya dan donasi dari orang-orang yang peduli dengan aktivitas Milas.

”Dana swadaya dari para pendiri, jadi modelnya saling mendonasi, apalagi setelah ada resto keuntungan restonya itu juga dibagi, disisihkan untuk mensuplai. Dari teman, uangnya dari temen ke temen, jadi lewat programnya, misalnya orang selalu datang kesini boleh nggak kalau saya donasikan ke Milas karena saya suka dengan kegiatannya Milas. Seperti itu sebenarnya.”

Karena itu, Milas menjalankan prinsip nirlaba. Keuntungan dari restoran dan penjualan kerajinan termasuk donasi digunakan untuk mendukung program peningkatan kesadaran lingkungan, kesehatan dan pendidikan.

Tujuannya, tak lain untuk membangun kesadaran dan menawarkan pilihan yang lebih baik pada lingkungan sekitar.

Sanggar Milas memang bisa menjadi salah satu alternatif untuk mengajak anak jalanan dan remaja putus sekolah menjadi produktif sehingga meningkatkan taraf hidupnya. Upaya semacam ini sudah selayaknya diikuti siapa saja yang peduli dengan generasi muda yang kurang beruntung.

Pendengar, demikian kunjungan ke sanggar Milas di Prawirotaman Yogyakarta, saya Noni Arni, salam.

Sabtu, 08 Januari 2011

Mengintip Semarang United Football Club


INDONESIA PLUS MINUS
Semarang United Football Club (SUFC)

Deutsche Welle / indonesian programme
06.01.2011


Sejak dibentuk tiga bulan lalu, para pemain ”blue devil” Semarang United langsung menjalani latihan intensif, untuk persiapan tampil pada kompetisi Sepak Bola Liga Primer Indonesia  yang digelar 8 Januari mendatang.
Meski didominasi pemain muda,  klub yang berbasis di Semarang Jawatengah optimis maju menjadi salah satu kontestan dan berlaga di LPI musim 2011. 


Meski tidak mentargetkan juara, untuk memperkuat  skuad SUFC, pelatih Semarang United Edy Paryono, merancang 20 pemain lokal dan 5 legiun asing.  Dalam seleksi ketat, mantan pelatih PSIS dan asisten pelatih Ivan Kolev ini, tidak hanya merekrut pemain muda  berpotensi tapi juga pemain senior yang telah merumput di beberapa kompetisi. 


“Amrildo de Souza merangkap kapten itu dari Brasil, Amancio Fortes, pemain berdarah Australia nama Josh Maguire. Disamping beberapa pemain muda lokal disini ada M yusuf. Diajang promosi ini diharapkan mereka bisa prestasi terhadap tim kita dan punya masa depan yang bagus, diantaranya Eko Prasetyo, Iwan HW, Sandy,  Yuda, Haryadi.  Ini prospek-prospek ke depan, diharapkan mereka sebagai penopang dari tim. Ada beberapa pemain lama  jebolan PSIS atau klub-klub lain, pemain senior yang sudah turun di LI atau Super League,  diantaranya Komang Mariawan, Rahman  Lestahulu, Widi Wianto, Sampelo. Kita ini baru melangkah yang pertama kali, namun tidak bisa diartikan hanya sekedar tampil, prestasi tentu tapi tidak terklalu arogan-lah. Sementara untuk target juara atau apa  ini ”keplesetnya” kalau mungkin saya katakan seperti itu. Main bagus, maksimal. Tahapan ini bisa kita lakukan, Juara pasti bisa kita dapat.”

Bahkan untuk permainan maksimal, Vice President Semarang United, Novel Albakrie berani membayar Amancio Fortes, pemain asing termahal di Indonesia yang pernah bermain di Manchester United U-17.


”Kami mengunggulkan yang lokal adalah muhammad yusuf, asing adalah  Amancio Fortes, pemain yang mendapat gelar golden boy dari Manchaster United yunior. Ini merupakan aset bagi Semarang United kedepan mengingat relatif masih muda dengan usia 20 tahun.”

Nilai kontrak ke-19 pemain Semarang United yang telah menandatangai kontrak mencapai 10 miliar rupiah. Sementara itu, selama membela Semarang United, mantan pemain Manchaster United U-17 Amancio Fortes dikontrak senilai 3 miliar plus 1 miliar untuk fasilitas.



 noni arnee

Rabu, 24 November 2010

Candi Borobudur Berselimut Abu

Jendela Budaya

Radio Deutsche Welle Jerman/ Indonesian Programme
24.11.2010


Pasir dan abu vulkanis letusan dasyat gunung Merapi di Yogyakarta dan Jawatengah yang terjadi sejak 26 Oktober telah menutup rata hampir semua bangunan Candi Borobudur di Magelang Jawatengah dan memporak- porandakan fasilitas pendukungnya. Akibatnya, selain terancam rusak, aktifitas pariwisata di situs bersejarah warisan pusaka dunia yang disulap menjadi obyek wisata paling populer di Indonesia ini lumpuh. Seperti apa dampaknya ?

Pelataran parkir Taman Wisata Candi Borobudur yang biasa dipenuhi pedagang cinderamata kini nampak lengang. Padahal hari Sabtu di pertengahan November ini adalah hari pertama obyek wisata ini kembali dibuka terbatas untuk umum, setelah sebelumnya ditutup selama dua pekan. Pendengar, saya Noni Arni koresponden Deutsche Welle di Jawa Tengah, mengunjungi Candi Borobudur

Terlihat hanya beberapa pedagang memperbaiki kios dari terpaan tebalnya abu vulkanis yang sesekali beterbangan tersapu angin. Atau duduk dan ngobrol menunggu pengunjung datang. Seperti yang dilakukan Sapari, pedagang kartu pos.

”Belum laku. Disini nunggu tamu kalau ada. Kalau tidak ada cuman nongkrong begini. Saya jualannya di zona 2 di dalam sana. Tapi sementara ini tidak ada, pengunjung aja tidak bisa naik ke Borobudur. 15 hari tidak aktifitas, di rumah tidak ada kerjaan, ada tabungan dikit sekarang tapi sudah habis buat anak sekolah.”

Tanpa kunjungan para wisatawan lokal dan mancanegara yang biasanya ribuan jumlahnya, tidak banyak aktifitas. Dari ratusan kios cinderamata dan makanan, hanya segelintir yang buka. Johan, pedagang cinderamata terpaksa beralih berjualan masker.

”Karena tidak punya ladang dan sawah. Kerja disini untuk menafkahi anak dan istri, setelah Borobudur kehujanan abu, pedagang asongan ada yang dagang masker, kacamata di jalan-jalan sekitar Magelang. Ada setengah bulan tidak boleh berjualan, makanya kita cari omset diluar. 10 ribu – 5 ribu bisa untuk mencukupi di rumah.”

Letusan Merapi yang mengeluarkan material hingga 150 juta meter kubik ini telah melumpuhkan perekonomian tiga ribu lebih pedagang yang menggantungkan hidup dari pariwisata di Borobudur. Kepala Unit Taman Wisata Candi Borobudur, Pujo Suwarno, mengatakan bahwa kini wisatawan sudah boleh masuk, tetapi hanya di tamannya. Ia juga menambahkan, penurunan pengunjung akan terasa hingga tahun depan.

“Dengan erupsi merapi kita terkena dampak langsung. Kalau 20 persen wisatawan asing kan sangat terasa sekali bagi kita maupun pelaku usaha di borobudur. Sebelumnya total kunjungan 2,8 juta tapi dengan adanya ini praktis harus kita revisi total termasuk untuk target kunjungan 2011 harus kita revisi .”

Sementara itu, Kepala seksi pelayanan teknis Balai Konservasi candi Borobudur, Iskandar Mulia Siregar mengatakan, penutupan harus dilakukan karena batuan candi, vegetasi dan sarana infrastruktur di candi Borobudur rusak dan tertutup abu vulkanis dengan ketebalan hingga 3 sentimeter. Sehingga tidak memungkinkan untuk dikunjungi.

“Merata di seluruh bagian candi yang horizontal. Lantai, bagian atas, Arupadatu rata diselimuti abu. Dalam jangka waktu menengah dan panjang karena abu itu bersifat asam akan mempercepat pelapukan batu.”

Menurutnya, uji laboratorium menunjukkan pelapukan terjadi karena abu vulkanik Merapi mengandung zat silica dan sulfur yang bersifat korosiff dengan tingkat keasaman hingga 5. Sehingga bebatuan, stupa dan relief candi harus segera dibersihkan untuk mencegah kerusakan.

“Yang kita lakukan terutama membersihkan abu pasir yang menempel diseluruh batu-batu candi dengan teknik khusus. Mengoreknya pelan-pelan. Seperti melakukan penggalian.”

Sedikitnya 60 tenaga Balai Konservasi Candi Borobudur dan tiga ribu lebih relawan dari berbagai elemen dilibatkan untuk proses pembersihan. Salah satunya siswa pertukaran pelajar asal Jerman, Lara sobowsky.

(terjemahan) : ” Ini pertamakali saya ke borobudur. Saya senang dapat kesempatan kesini dan membantu membersihkan borobudur. Ini seperti mimpi masa kecil. Waktu kecil ingin jadi arkeolog. Ini menyenangkan dan saya menikmatnya. Meskipun disini sangat panas dan abunya tidak baik untuk kulit saya. Tapi ini cukup menyenangkan.”

Ini adalah kasus pertama didunia, sehingga proses pembersihan harus dilakukan dengan hati-hati, imbuh Direktur Peninggalan Purbakala Kementrian Budaya dan Pariwisata, Yunus Satrio Atmodjo.

“Untuk Indonesia ini sebuah eksperimen yang luar biasa, karena kita sudah mencari literatur dari mana-mana ternyata tidak ada yang menangani masalah ini. Terkait world heritage standarnya berbeda. Belum pernah world heritage mengalami seperti ini. Makanya kita sedang dicermati orang banyak.“

Sehingga menurutnya, butuh waktu lama hingga sebulan lebih untuk menyelesaikannya. Dan keberhasilannya nanti akan menjadi tolak ukur bagi dunia.

“Kalau kita berhasil maka dunia akan mempunyai sebuah pelajaran baru. Bagaimana mereka harus bereaksi dengan suasana keotik, ketika gunung meletus mengendapkan abu dan itu akan berefek pada world heritage, mereka akan belajar dari Indonesia. Ini adalah salah satu contoh yang akan kita gunakan sebagai standar, dipakai untuk semua jenis tinggalan purbakala.”

Memang butuh waktu untuk memulihkan candi peninggalan raja Samaratungga di abad ke 8 ini hingga nafas kehidupan mulai bisa berdenyut kembali, seperti sebelumnya.

Pendengar demikian jendela budaya kali ini. Saya Noni Arni, terimakasih telah mendengarkan

Senin, 25 Oktober 2010

Jogja Java Carnival

Deutsche Welle Radio
21.10.10

Mod :
Layaknya sebuah ulangtahun yang selalu dirayakan dengan kemeriahan. Sabtu malam pekan lalu, kota Yogyakarta merayakan puncak peringatan hari jadi kota yang ke-254 dengan menggelar sebuah acara spektakuler. Namanya Jogja Java Carnival. Sebuah acara untuk menyampaikan pesan kebersamaan dan kemajemukan, yang dikemas dalam bentuk karnaval kolosal. Pendengar, saya Noni Arni melaporkannya untuk Anda dalam Jendela Budaya.

Atmo kerumunan ribuan warga yang menunggu pawai

Gerimis malam itu tak menghalangi ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya untuk memadati bibir ruas jalan Malioboro hingga alun-alun utara Keraton Yogyakarta sepanjang 1,5 kilometer. Mereka nampak antusias berdesakan menanti sebuah karnaval malam hari.

Atmo karnaval

Tak lama kemudian musik gamelan etnik pun menggema di sepanjang jalan mengiringi barisan wayang, aneka reog, jathilan, dan kereta kencana yang pembawa pengantin jawa. Pawai karnaval dimulai dengan fragmen “golong gilig“ diatas kendaraan hias. Sebuah atraksi simbol jati diri kota Yogyakarta yang terbuka dengan budaya lain sebagai bentuk keragaman budaya. Ketua Badan Promosi Pariwisata Yogyakarta, Deddy Pranowo Eryono juga menambahkan, bahwa karnaval ini menjadi sarana promosi pariwisata yang menarik.

Oton Dedy Pranowo : “Jogja Java Carnival ini bisa menggema tidak hanya di lokal tapi juga nasional bahkan Internasional. Nah ini diperlukan untuk investasi sebuah pencitraan. Jadi kami sebagai pelaku wisata sangat mendukung dengan adanya Jogja Java Carnival ini, karena untuk menarik wisatawan disebuah destinasi diperlukan sebuah even yang spektakuler. Kita berharap target jumlah kunjungan wisatawan ini akan meningkat. Saya kira ini menjadi promosi yang sangat luar biasa.“

Atmo karnaval

Dalam karnaval ini, tujuh kendaraan hias menjadi atraksi utama karnaval dengan seribu lebih penari, diantaranya kendaraan yang mengususng tema Gunungan, Putri Bulan, Tugu Golong Gilig, Tuwuh atau pohon tumbuh, Dewi Air, dan Naga Jawa, serta berbagai atraksi kontemporer lainnya.

Atmo karnaval

Tidak hanya itu, karnaval ini juga membawa pesan lingkungan hidup melalui “Bumi Kebranang“, yakni bola dunia setinggi 10 meter yang terus berputar diatas kendaraan hias, yang dilengkapi dengan beberapa penari berbusana simbol sampah, pohon, air dan api. Mereka meliuk-liuk membawakan pesan dampak pemanasan global.

Atmo karnaval

Semua simbol dalam pawai karnaval itu merupakan perwujudan dari tema yang diusung dalam Jogja Java Carnival, yakni keselarasan dengan sesama, keselarasan dengan alam dan keselarasan dengan pencipta.
Wakil Walikota Yogyakarta, Haryadi Suyuti mengatakan, karnaval ini mengusung tema besar “harmonight“, yang dikemas dalam balutan keberagaman seni dan budaya.

O-ton Haryadi Suyuti: “Harmonight itu dari kata harmony at night , suatu keharmonisan di malam hari . Keharmonisan dari suasana karnaval, harmonisasi budaya, harmonisasi kekuatan lighting, sound dan juga performance, antara penyelenggaraan dengan masyarakat yang menyaksikan. Harmonisasi dari manusia dengan lingkungannya, artinya bahwa kita mengusung tema-tema lingkungan. Sebagai salah satu contoh kita berbicara budaya dan budaya itu kita tetapkan menjadi tema pokok, intinya adalah kesatuan budaya. Aspek dari tempat bukan Java dalam arti budaya jawa. Budaya yang selalu kontemporer selalu ada dinamisasi yang bisa diterima tidak hanya masyarakat Kota Yogya tapi juga Indonesia dan masyarakat internasional.“
Tidak hanya atraksi memukau, kostum dan kendaraan hias yang mengeluarkan pendar cahaya di malam hari. Kemajemukan juga terlihat dari musik pengiringnya yang memadukan kesenian tradisonal gamelan dengan musik kontemporer. Salah satu tim kreatif Jogja Java Carnival, SP Joko mengungkapkan,

Oton SP Joko: “Nuansa yang sangat kuat, suara, bende, jathilan karena hal yang sangat terasa salah satunya gamelan jelas, kemudian iringan jathilan atau reog, kita coba meresponapa-apa yang dianggap masrginal tapi ini bsa dianggkat menjadi satu hal yang menasional bahkan menginternasional. Ini Bentuk responsif kita coba harmonisaskan dengan satu hal yang arif. Artinya nuansanya kental dengan instrumen suasana prajurit keraton yang berjalan, kentongan juga sangat merakyat, wilayah yang ajep-ajep, dugem juga kita respon.“

Menurutnya, musik dalam karnaval ini juga menjadi simbol bahwa Yogyakarta adalah kota yang terbuka dan bisa menerima pluralitas. Ini yang membedakan Jogja Java Carnival dengan karnaval lain.

Atmo karnaval
Haryadi Suyuti yang juga selaku ketua panitia Jogja Java Carnival, mengatakan, bahwa ditahun ke-3 ini, penyelenggaraannya tidak sekadar perayaan peringatan hari jadi kota, tetapi juga sebagai penanda awal sebuah acara tahunan yang diharapkan mampu menyedot wisatawan dan semakin mengokohkan Yogyakarta sebagai ikon pariwisata.

Oton hHaryadi Suyuti: “Ada dua hal tujuan kegiatan ini, yang pertama adalah ulang tahun, kemeriahan pada malam harinya. Yang kedua adalah ikon wisatanya, jadi ada aspek untuk mendatangkan wisatawan. Sehingga orang bisa datang ke Jogja jauh-jauh hari. Ada impian besar bahwa kita punya karnival yang memang diselenggarakan malam hari, seluruh warga tumpah ruah sebagai wujud rasa syukur. tidak hanya orang Jogja tapi juga negara lain sehinga menjadi salah satu agenda yang dicatat dalam kegiatan pariwisata tingkat dunia.“

Masyarakat pun ikut menikmati. Salah satunya Yuliani warga Yogyakarta. Ia bangga dengan adanya even karnaval ini di kotanya. Ia datang dan menyaksikan bersama keluarganya dan 2 keluarga lainnya, ditambah 9 anak anak. Ia merasa beruntung anak anak nya dapat ikut meyaksikan Jogja Java Carnival.

Oton Yuliani : “Kreatif melestarikan budaya Yogyakarta, budayanya bisa menampung semua seniman-seniman di seluruh dunia. Bisa menerima. Yang pertama itu budaya petruk punokawan khas Indonesia. Biar anak-anak tahu budaya kita begini gitu lho, budaya wayang, tari-tari Jogja biar tahu.. pernah nonton di Malioboro dan di luar kota juga. Meriah yang ini.

Begitu juga Emilia Tini dan Iwan Karuntu, warga Bantul yang sengaja datang bersama anak cucunya untuk menyaksikan pawai spekakuler ini.

Oton Emilia Tini : “Lumayan bagus , variasi macam-macam jenisnya, pawai lumayan bisa menghibur. Seperti barongsai.“

Oton Iwan Karuntu : “Ada reog , bagus sekali , jadi sesuai dengan kota Yogyakarta yang kota budaya dan kota seni. Ikon-ikon yang ada di Yogya mengenai kreatifitas dari para senimannya yang menonjol sekali. Tahun yang lalu pernah ada karnaval tapi tidak semeriah ini. Ini muncul semua , dari kesenian-kesenianya semua tampil, dari yang tradisional sampai yang modern ada. Harapan saya setiap tahun bisa seperti ini. Bahkan Mungkin bisa lebih lagi melibatkan dari manca juga.“

Iwan menambahkan, acara ini bisa dijadikan sarana untuk mengenalkan dan menanamkan rasa memiliki seni budaya leluhur kepada anak-anak.

Atmo suasana karnaval

Dibawah gerimis langit malam hari, karnaval ini diakhiri dengan pesta kembang api selama limabelas menit. Ribuan warga berteriak takjub sambil memandang ke langit menyaksikan kota mereka yang berubah menjadi lautan kelap kelip kembang api yang indah.

Atmo pesta kembang api diiringi dengan suara kemeriahan warga

Pendengar demikian jendela budaya kali ini. Saya Noni Arni, terimakasih telah mendengarkan

Atmo closing tepuk tangan kemeriahan fade out

Jumat, 21 Mei 2010

Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi

Deutsche Welle
22.05.10

Permasalahan seksualitas dan kesehatan reproduksi masih menjadi topik tabu dan terbatas bagi kalangan tertentu. Tapi, beda dengan sekolah khusus di Yogyakarta ini. Di Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi atau SSKR, justru dipelajari secara terbuka. Sekolah ini adalah semacam pelatihan yang berlangsung selama dua bulan. Saya Noni Arni, berkunjung dan menyaksikan mereka mengikuti pelatihan, yang dirancang untuk memberikan pendidikan dan pengetahuan penguatan otoritas tubuh ini.

Enita dan beberapa orang lain memasuki rumah panggung terbuka di Kedai Hijo milik Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Yogyakarta. Mereka langsung duduk di lantai kayu beralas karpet mengelilingi empat meja besar. Pagi itu, pelajaran tentang seks dan gender akan segera di mulai.

Untuk mendukung proses belajar, sejumlah alat peraga yang terkait dengan seksualitas dan reproduksi disiapkan dekat layar monitor di depan kelas.
Seks dan gender merupakan satu dari sekian banyak materi yang dipelajari di sekolah ini. Sepintas, mungkin anda akan bertanya-tanya bahkan merasa aneh mendengar mata pelajaran yang tidak akan di temui di sekolah pada umumnya.

Ya, di rumah panggung yang di sulap menjadi sarana belajar inilah, Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi (SSKR) berada. Sekolah pertama di Indonesia yang memang khusus mempelajari tentang seksualitas dan reproduksi.
Siswanya berasal dari berbagai kalangan seperti Mahasiswa, pegiat LSM, hingga lulusan sekolah menengah atas. Mereka lebih akrab disebut partisipan dan jumlahnya sangat terbatas. Hanya lima belas orang yang sudah diseleksi ketat. Kata Kepala sekolah SSKR Sartika Nasmar

“Usia yang bisa dijadikan agen dari perubahan untuk memperjuangkan atau mengkampanyekan isu-isu seksualitas dan kesehatan reproduksi.”

Layaknya sekolah, metode pembelajaran tidak hanya teori, tapi juga juga memberikan ketrampilan melalui diskusi hingga simulasi.

”Misalnya kita ada pemeriksaaan fisik langsung. Kita ajarkan bagaimana memeriksakan organ seksual dan reproduksinya itu dan bisa dilakukan sendiri dengan cara yang sederhana. Misalnya pemeriksaaan kesehatan payudara, kita ada praktek bagaimana mereka bisa mengetahui kondisi payudaranya, vaginal exam, pemeriksaan vagina dan servix, memberikan pengetahuan mengetahui pola-pola perubahan tubuh, siklus mentruasi, metode-metode kontasepsi, fertility awarness.”

Sartika yang juga menjadi fasilitator di SSKR menambahkan bahwa seluruh materi di SSKR mempunyai kurikulum terstruktur yang dirancang khusus terkait dengan seksualitas dan reproduksi seperti Hak-Hak Seksual dan Reproduksi, Otoritas Tubuh, Seksualitas Agama dan Budaya, Seks dan Media, Pendidikan Seks, Anatomi dan Fisiologi Organ Seksual dan Reproduksi, Kesehatan Payudara, Kontrasepsi Kehamilan dan Menyusui, Aborsi, Penyakit dan Infeksi Menular Seksual, serta Keragaman Seksual.

Lantas apa yang membuat para partisipan termotivasi untuk belajar tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi?
Yemmestri Enita, aktifis IDEA, sebuah organisasi yang fokus pada advokasi perempuan di Yogyakarta, mengemukakan.

“Saya pikir ini ruang yang bagus untuk berbagi informasi. Harapannya ke depan ini bisa jadi bahan ajar ketika bersinggungan masyarakat langsung. Kesehatan reproduksi bagian dari isu-isu yang urgent karena mereka tidak tahu informasi tentang itu. Saya bersingggungan dengan mereka, karena itu saya kerap kali mendapat PR apa sih kesehatan reproduksi. Ini ruang saya untuk belajar.”

Begitu juga Nurul Humafa, yang baru lulus SMA ini dan ingin mengetahui lebih banyak tentang seksualitas dan kehamilan.

“Saya tertarik soalnya dilingkungan saya itu semua orang menganggapnya semua ini tabu dan nggak penting dipelajari. Rata-rata kita disekolah hanya mendapatkan materi tentang organ reproduksi tapi tidak dijelaskan secara detail. Lagian sekarang marak seks bebas, kematian ibu hamil juga meningkat. Dan mungkin dengan ikut ini kita bisa meminimalisir.”

Meski baru sebulan mengikuti sekolah gratis yang berlangsung selama dua bulan ini, keduanya mengaku sangat terkesan

“Yang menarik kita bener-bener eksplorasi tentang tubuh perempuan dan laki-laki. Inikan hal-hal yang langka yang jarang kita dapatkan. Contohnya ketika sesi tentang pemeriksaan payudara itu bener-bener secara terbuka. kita “telanjang” (dalam tanda kutip) bersama-sama di forum, melihat utuh. O begitu.. o begini. Ini hal menarik bagi saya. Se ekstrem itu ketika ada sdesi pemeriksaan vagina, akan dilihat betul apa sih. Ketika diskusi lain kan tidak secara detail dan melihat betul alat-alat tersebut.”

“Kaget gitu ya, terkejut misalnya kayak ada alat peraganya, wah ini kok bener-bener nyata terus kita pertama, ya gimana agak rishi tapi ya mau gimana lagi. Itu ya itu. ada cerita cara pemakaian alat kontrasepsi misalnya kondom, itu kan dipraktekkan lewat jari jempol ternyata salah. Kemarin itu ada alat peraganya langsung ini digunakan disini seperti itu.”

Tak jauh beda dengan Syaiful Huda, mahasiswa yang juga aktifis PLU, organisasi yang konsen dengan transseksual. Syaiful adalah satu dari tujuh partisipan laki-laki di SSKR.

“Cukup efektif dengan adanya sekolah ini. Ilmu yang bisa saya dapatkan disini bisa saya di implementasikan sehari-hari dan sangat riil sangat nyata ketika saya dikasih contoh. Itu memang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Banyak dari mereka yang menganggap tabu, tidak layak dibicarakan, ketika menyebutkan organ reproduksi secara benar sedikit gimana. Sepertinya tidak layak untuk dibicarakan. "

Sekolah khusus ini memang sengaja dirancang untuk meningkatkan akses terhadap informasi pengetahuan dan pendidikan mengenai kesehatan reproduksi, seksualitas, gender dan hak-hak perempuan.
Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi yang memfokuskan pada penguatan otoritas tubuh, digagas oleh SAMSARA, sebuah organisasi non profit di Yogyakarta yang fokus pada isu aborsi melalui kerangka seksualitas, kesehatan reproduksi, hak-hak seksual dan reproduksi, budaya, agama dan spiritualitas. Direktur SAMSARA, Inna Hudaya menjelaskan

“Di SSKR ini kita selain berbicara tentang kesehatan seksual dan reproduksi kita juga berbicara tentang hak, kontruksi sosial, agama dan budaya. Kalau kita berbicara tentang hak seksual semua orang rata-rata tahu, pemahaman tentang tubuh ini kan pemahaman paling mendasar sekali. Kalau ini kelewat begitu saja, kita mo omongin tentang hak seksual sama aja bohong. Dari awal yang mereka harus pahami adalah tentang tubuh mereka. Sebagai individu dan hubungannya dengan pengaruh-pengaruh dari luar yang kemudian menciptakan image mereka terhadap tubuh mereka sendiri.”

Menurutnya, dengan adanya pengetahuan ini, maka akan mempunyai kontrol dan otoritas akan tubuhnya sendiri, sehingga akan lebih bijak menentukan keputusan yang berhubungan dengan seksualitas.

Data dari WHO menunjukkan, Jumlah kasus pengguguran kandungan atau aborsi di Indonesia mencapai 2,3 juta per-tahun. 30 persen diantaranya dilakukan oleh remaja, Dengan kecenderungan meningkat. Begitu juga dengan kasus HIV-AIDS.

Sekolah Seksualitas dan Kesehatan reproduksi diharapkan dapat mengubah paradigma tradisional di masyarakat. Sehingga dengan semakin terbukanya akses terhadap informasi dan pendidikan mengenai kesehatan reproduksi, seksualitas, gender dan hak-hak perempuan, angka kematian ibu, kehamilan tidak diinginkan,aborsi, HIV-AIDS, dan javascript:void(0)IMS di Indonesia dapat ditekan.

Demikian kunjungan ke Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi di Yogyakarta. Saya Noni Arni, Salam.

Jumat, 09 April 2010

Kampung Cyber RT.36 Taman Yogyakarta

Deutsche Welle
03.04.2010

Mencerdaskan masyarakat agar melek teknologi informasi bisa dilakukan siapa saja, tak harus menunggu uluran tangan pemerintah. Seperti yang dilakukan warga Kampung Taman, Yogyakarta. Mereka bersama-sama mengejar ketertinggalan belajar mengenal teknologi dengan menggunakan jaringan internet.
Seperti apa mereka belajar? Saya, Noni Arni berkunjung ke kampung yang mendapat sebutan Kampung Cyber.

Sekilas Kampung Taman, tak beda dengan kampung padat penduduk lainnya. Rumah saling berhimpit dan tingkat ekonomi menengah ke bawah.

Tapi terlihat berbeda begitu melongok gardu siskamling berukuran 3 kali 2 meter di tengah kampung.
Seperti yang terlihat sore itu, Titik dan ibu-ibu lainnya tengah asyik mencari ide cara menghias tumpeng lewat internet. Sementara tangan Ira, ibu lainnya, menekan tombol keyboard komputer agar gambar tumpeng yang mereka inginkan muncul di layar.

Bapak-bapak di kampung itu juga tak kalah. Mereka tengah belajar membuat blog.

Beginilah aktifitas warga Kampung Cyber setiap sore. Tepatnya sejak pos siskamling yang biasa disebut ”Cangkruk” terkoneksi jaringan internet gratis sekitar 2 tahun lalu. Mereka bebas menggunakan komputer meja dan satu buah laptop untuk mengakses internet hasil swadaya ini.

Gagasan menciptakan kampung cyber ini tak lepas dari keinginan Heri Sutanto untuk mengenalkan teknologi informasi kepada warganya yang sangat awam dengan teknologi. Ia adalah pengurus kampung yang bekerja di laboratorium komputer di sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta.

”Untuk mengejar ketertinggalan. masa-masa sekarang masih sulit untuk bisa masuk ke perkampungan ke masyarakat yang paling bawah. Bermula dari membuat blog tentang aktifitas kegiatan sosial yang ada di wilayah kami. Kami publikasikan ke warga . Kami ingin ada ketertarikan dari warga akan internet. Kami tayangkan di acara kegiatan sosial di wilayah kami.”

Juga mengenalkan potensi kampungnya kepada dunia luar, ujar Sasongko, yang membantu Heri mewujudkan kampung cyber ini menambahkan,

”Saya pengen mengenalkan kampung saya yang ternyata banyak sekali potensi yang belum digali. Makanya membikin blog untuk menampilkan profil kampung saya. Rasa kekeluargaan disini sangat erat sekali. Gotong royong dan kumpul sama warga intensitasnya tinggi. Kampung seperti ini kayaknya Sudah jarang. saya bikin blog untuk angkat potensi yang bisa digali. Pertama kegiatan RT kita, mesti langsung upload foto dan berita. Ada yang tukang batik, sablon Kita angkat. Jadi menawarkannya lewat situ.”

Heri Sutanto mengatakan, butuh proses panjang mengenalkan teknologi kepada warga, ketika internet masih jauh dari kehidupan sehari-hari warga. Tapi lambat laun, warga mulai berkenalan dengan dunia cyber.

”Yang jelas bahwa internet itu masih jauh dari kebutuhan mereka. buat apa kegunaanya, misalnya seorang pedagang bakso, lalu yang keseharianya cuman batik.”
Pelan-pelan mengenalkan Melalui berbagai macam sosialisasi baik itu dipertemuan , lalu interaksi dari mereka sendiri. Kami juga melakukan pengenalan melalui pelatihan untuk membekali warga menggunakan internet. Tidak dipungut biaya.”

Terlebih lagi latar belakang dari tingkat pengetahuan tentang internet warga masih sangat rendah. Jadi perlu sesuatu lebih dulu yang bisa menarik perhatian warga. Internet bisa digunakan sebagai ajang tukar-menukar informasi.

”Untuk memancing ketertarikan mereka pada awalnya facebook. Kami gunakan untuk menyampaikan kegiatan juga saling tukar informasi pelatihan. Kalau sebelumnya hanya ditempel di papan pengumuman mungkin yang baca hanya beberapa orang yang kebetulan lewat, tapi begitu saya upload ke facebook tanggapannya bisa sampe kemana-mana bisa meluas.”

Awalnya memang tidak mudah. Kebanyakan orang di kampung sudah mengenal televisi, tetapi belum begitu kenal penggunaan komputer. Ini diakui Rujito warga kampung Taman
Oton Rujito_pengalaman pertama
”Jangankan buka komputer, saya aja gak tahu CPU. Komputer saya kira tu layarnya tok nggak tahu ada mesinnya. Saya baru tahu ya itu. Kalau dulu saya ga tahu, komputer saya lihat ya kayak teve. Saya kira cuman itu tok. Perangkat lainnya apalagi yang macem-macem ga tahu sama sekali. Pertama kita bikin email, caranya ngobrol lewat email gimana, terus ada facebook itu rame, kita bikin facebook.”

Akses internet gratis yang disediakan di Cangkruk atau gardu siskamling ini dimanfaatkan sebagai sarana bertukar informasi dan belajar. Dan bisa digunakan warga yang belum memiliki jaringan internet di rumah.

”Akses gratis, kami adakan di pos kampling yang bisa digunakan oleh warga. Dan disitu Tidak semata-mata mengakses internet tapi ada proses pembelajaran , ada interaksi dengan warga yang lain untuk bisa menggali, saling mengajari. Pembelajaran tidak hanya di pos kampling, dimasing-masing rumah warga biasa kumpul-kumpul tanya-tanya. Belajar bareng.

Perlahan kemudian secara swadaya dan gotong royong, rumah warga juga dipasang jaringan internet. Warga cukup membeli perangkat komputer dan berlangganan sebesar 50 ribu rupiah per bulan untuk mendapatkan akses internet tak terbatas. Instalasi jaringan dilakukan secara gotong royong. Mulanya ada 8 rumah yang disambungkan. Sekarang jumlahnya terus bertambah.

Secara bertahap gagasan kampung cyber mendapat respon baik. Wargapun belajar bersama dan mulai merasakan manfaatnya. Mereka yang dulu tidak bisa menggunakan internet sendiri, sekarang sudah bisa berkomunikasi di dunia maya. Seperti pengalaman Titik:

”Kita dikasih tahu sama suami sama anak, gini lho bu caranya buka internet. Dulu dirumah ga ada jadi ditawari kalau kita bikin internet dikampung gimana . Sekarang kita sendiri bisa ga perlu didampingi. Tiap hari kita merlukan apa. Misalnya kita pengen berita yang aktual lihat di detik.com. Yang dulu ga tahu jadi tahu. Kebetulan saya punya soadara di Jerman, jadi kita bisa chating , tanya khabarnya, lihat gambar-gambarnya. Pokoknya manfaatnya banyak sekali. Di internet ibarat mau minta apa aja bisa. Padahal cuman pesawat segitu tapi bisa mencakup seluruh dunia.”

Manfaat juga dirasakan warga yang memiliki usaha rumahan. Mereka bisa mempromosikan produksinya lebih luas lagi. Seperti Puji Astuti yang punya usaha batik tulis.

”Pemasarannya lebih luas (sampe mana saja?) ya.. yang di Jakarta itu juga lihat dari internet. Ada temen lihat dari internet terus pesen. Sekarang lebih meluaslah, harganya juga bisa lebih mahal. Sampe di malaysia, yang pesen sering datang kesini minta gambar macem-macem, motif ini..motif orang mbatik .. kirim fotonya tok. ada frater datang kesini dari Meksiko. Ya lukisan saya banyak di meksiko. Terus ada teman dari Meksiko yang datang ketempatnya frater, dibawa kesini terus pesen. ”

Begitu juga Bonar yang menggeluti usaha sablon. Usaha meningkat dan kerjanya menjadi lebih efisien setelah menggunakan berbagai fasilitas di Internet.

”Pertama diajari bikin blog untuk penawaran produk-produk saya. Kalau ada pemesan yang dari jauh kadang minta desain atau prove-prove yang mau dipesan, nanti dikirim lewat email. Nanti kalau sudah di acc baru dibikin. Produk-produk saya foto nanti Saya upload di blog saya. Relasi-relasi saya beritahu. Sebelum ada internet saya harus kesana dulu atau yang pesan datang langsung itu kan agak repot . diajarin pak RT pertama nyoba Bikin email itu, belajar chating. Diajarin bikin blog untuk usaha.”

Kini sudah 80 persen rumah warga di kampung RT. 36 Taman sudah terkoneksi internet. Sementara yang belum punya akses internet di rumah, tidak menghalangi keinginan mereka untuk belajar, diantaranya Rujito

”Lagi-lagi faktor ekonomi. Saya kebutuhan untuk sekolah anak, makan, kebutuhan lainnya. Ada rencana mudah-mudahan bisa pasang. Saya sudah kepingin pasang. Untungnya disini ada pos ronda yang menyediakan fasilitas gratis. Saya sedikit-sedikit belajar . Pertama berita, berita terkini tu daripada saya berlangganan koran saya membuka itu.”

Meski warga melek teknologi dan menjadikan komunikasi antar warga menjadi lebih mudah, suasana guyup dikampung tetap terjaga. Misalnya mereka masih rutin bermain olah raga voli setiap sore atau melakukan pertemuan warga.

Bagi warga, teknologi internet hanya digunakan sebagai fasilitas untuk mempermudah komunikasi dan berinteraksi dengan dunia luar. Kampung taman bisa menjadi salah satu contoh.

Sepertinya, target Pemerintah agar seluruh desa dan kecamatan di Indonesia terhubung dengan infrastruktur telepon dan internet pada tahun 2010 akan tercapai jika semua warga yang tinggal di kampung bisa seperti mereka.

Pendengar, demikian kunjungan ke kampung cyber RT 36 Taman Yogyakarta, saya Noni Arni, salam.

Senin, 08 Maret 2010

Goethe dan Islam

Publish on Radio International Jerman Deutsche Welle

http://www.dw-world.de/dw/article/0,,5311257,00.html
Sosial Budaya | 02.03.2010



Großansicht des Bildes mit der Bildunterschrift:

Malam pembacaan dan diskusi karya-karya pujangga terbesa Jerman, Goethe, di empat kota Jawa Tengah. Siapa nyana, Goethe ternyata sangat dekat dengan Islam: menyebut Muhammad, Allah, dan Quran dalam banyak sajak,

Pekan lalu, karya-karya raksasa sastra dunia dan sastrawan terbesar Jerman Johan Wolfgang von Goethe, berkeliling Jawa Tengah. Yang membawanya adalah ahli sastra Indonesia Universitas Bonn yang juga penerjemah seri sastra Jerman, Berthold Damshäuser, didampingi sastrawan perempuan yang baru kembali dari Jerman, Dorothe Rosa Herliany, dan penyair Susiawan Leak.

Rangkaian pembacaan dan diskusi sajak-sajak karya Goethe ini dilangsungkan di Universitas Sunan Muria Kudus, Universitas Diponegoro Semarang, Taman Budaya Surakarta Solo dan Pondok Pesantren Tegolrejo. Acara berlangsung sekitar hari Maulud Nabi tempo hari.

Apa hubungannya peringatan Maulud Nabi, pesantren dan penyair Jeman? Simaklah sajak ini:
"Jika ada yang murka karena Tuhan berkenan. Berkati Muhammad kebahagiaan dan lindungan, Sebaiknya dia pasang tambang kasar. Pada tiang rumahnya yang terbesar. Biar ikatkan diri di sana! Tali itu cukup kukuh. Akan ia rasakan murkanya meluruh."

Anda tidak salah. Ini adalah karya penyair Romantik Jerman Johan Wolgang von Goethe, yang lahir tahun 1749, dan meninggal tahun 1832. Judulnya, Sabda Sang Nabi atau Der Prophet Spricht. Dan yang disebut-sebut memang benar adalah Muhammad SAW, nabi umat Islam.

Tanpa banyak kita tahu, Goethe, sastrawan terbesar Jerman adalah manusia yang sangat dekat dengan Islam. Bahkan ia tak menolak ketika orang mengganggapnya sebagai seorang Muslim. Seperti dikatakan penerjemah karya-karyanya, Berthold Damshäuser. Damshäuser menyebut, Goethe pernah mengaku bahwa ia merasa lebih dekat dengan agama Islam daripada agama Kristen.

Damshäuser mengaku bangga bahwa tokoh budaya Jerman adalah seorang seperti Goethe, tapi lebih bangga lagi bahwa bangsa Jerman tidak pernah ada masalah karena Goethe mengaku jauh dari agama Kristen yang dianut sebagian besar rakyat Jerman, dan justru lebih dekat dengan agama "asing". Ini sebuah pertanda baik bagi bangsa Jerman.

Tak sedikit yang menganggap Goethe memang memeluk Islam. Selain dipandang sebagai salah satu perintis utama dialog Islam dan Barat. Tentu bukan oleh satu puisinya Sabda Sang Nabi tadi, melainkan oleh banyak sekali karya, seperti sajak Kitab Kedai Minuman atau Das Schenkenbuch:

"Apakah Al Quran abadi? Itu tak kupertanyakan! Apakah Al Quran ciptaan? Itu tak kutahu!. Bahwa ia kitab segala kitab, sebagai muslim wajib kupercaya. Tapi, bahwa anggur sungguh abadi, Tiada lah ku sangsi; Bahwa ia dicipta sebelum malaikat, mungkin juga bukan cuma puisi. Sang peminum, bagaimanapun juga, Memandang wajahNya lebih segar belia."

Di sajak ini kita menyimak ungkapan penyerahan diri kepada Al Quran sebagai kitab suci umat Islam, sekaligus juga pemujaannya terhadap anggur. Bahkan menyiratkan bahwa penikmatan sejati terhadap anggur, justru mampu membawa pada religiusitas sejati pula. Suatu sikap yang banyak ditemukan dalam sufisme Islam.

Damshäuser juga menegaskan bahwa Islam yang dikenal, didalami dan dikagumi Goethe memang Islam yang damai, sejuk, jernih, terbuka. Bukan jenis yang diperlihatkan oleh kaum yang kaku, radikal, penuh penghakiman dan pemarah sebagaimana banyak muncul beberapa belas tahun belakangan ini.

Islam yang indah, sikap keagamaan yang indah pula. Itulah yang tampak pada Islam dalam sajak-sajak Goethe. Misalnya lagi, sajak Wasiat:

"Tiada makhluk runtuh jadi tiada! Sang abadi tak henti berkarya dalam segala, Pada sang Ada lestarikan diri tetap bahagia! Abadilah ia: karena hukum-hukum suci. Melindungi khasanah-khasanah hayati, Dengan semesta menghias diri. Kebenaran sejak lama silam ditemukan, Telah pula mempertemukan ruh-ruh mulia. Kebenaran azali itu, peganglah dalam genggaman! Kau, putra bumi, bersyukurlah pada sang Bijaksana. Yang tunjukkan jalan bagi bumi tuk kita mentari"

Menurut Damshäuser, Wasiat merupakan salah satu puisi yang cukup sulit dipahami, namun dianggap penting dan mewakili kepemimpinan Goethe. Ditulis ketika di Eropa muncul pemikiran skeptis. Puisi yang mengajak pembaca memasuki segi-segi keimanan dalam diri masing-masing.

Tetapi bisa jadi sebagian besar karya Goethe memang tergolong sulit, jika bicara tentang upaya alih bahasanya. Terlebih penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia, yang berbeda sama sekali akarnya dengan Bahasa Jerman.

"Karya-karya Goethe cukup sulit karena puisinya punya ciri khas metrum jadi irama tertentu dan rima akhir agak sulit. Dan kadang-kadang tidak berhasil untuk mentransfer rama khas itu dengan rima akhir yang sama ke dalam Bahasa Indonesia. Itu pekerjaan yang rumit. Proses yang cukup pelik dan panjang," dikatakan Berthold Damshäuser, mengisahkan perjuangannya mengalihbahasakan karya-karya Goethe ini.

Karya-karya Goethe ini sebetulnya tahun 2009 lalu pernah pula dikelilingkan di beberapa kota lain di Indonesia. Namun kembali ditampilkan, kali ini di Jawa Tengah, karena karya-karya unik Goethe terkait Islam, dan sebagai salah satu perintis dialog Timur Barat, membuatnya selalu perlu untuk terus diperkenalkan ke kalangan lebih luas. Dikatakan Berthold Damshäuser.

Johan Wolfgang von Goethe adalah seorang penyair, penulis prosa, dramawan, bahkan pelukis dan penemu. Dianggap sebagai sastrawan terbesar Jerman, sehingga namanya diabadikan sebagai pusat kebudayaan Jerman di seluruh dunia. Ia juga dianggap salah satu sastrawan periode Romantis zang paling berpengaruh di seluruh dunia.

Perjalanan Goethe melintasi tanah Arab dan Persia membuatnya terpukau pada kebudayaan Timur, dan membawa Goethe pada ketertarikan kuat untuk mempelajari Islam. Hingga di tahun 1815 tercipta kumpulan puisi Diwan Barat Timur. Salah satu karya penting dari sastrawan penting dunia yang mempertemukan Timur dan Barat dalam suatu dialog. Sebagaimana muncul dalam sajak Mukadimah Diwan.

"Yang kenal diri juga sang lain. Di sini pun kan menyadari:Timur dan Barat berpilin. Tak terceraikan lagi. Arif berayun penuh manfaat. Di antara dua dunia; Melanglang timur dan barat. Mencapai hikmah mulia."

"Andai sang mata tiada bersifat mentari, mentari tak sanggup dilihat olehnya; Andai dalam diri tiada daya Ilahi, Bagaimana keilahian sanggup birahikan kita?"

Karya-karya yang dibacakan dan didiskusikan di Jawa Tengah itu dipetik dari terjemahan sajak-sajak pilihan Goethe dengan judul Diwan Barat-Timur. Ini merupakan seri puisi Jerman ke 4 dalam versi Bahasa Indonesia. Sebelumnya telah terbit kumpulan pilihan karya Paul Celas, Rainer Maria Rilke dan Berthold Brecht. Terakhir telah terbit pula kumpulan pilihan karya Hans Magnus Enzensberger, dan sebentar lagi akan terbit kumpulan pilihan karya Nietszche.

Noni Arni
Editor: Ging Ginanjar

Pasar Imlek Semawis

KBR68H

Pasar Imlek Semawis adalah pasar rakyat menyambut tahun baru Cina yang hanya ditemukan di kota lumpia. Di sini tidak hanya perayaan religi tapi juga budaya
Kontibutor KBR68H Noni Arni, mengajak Anda menyaksikan bagaimana kemeriahan pasar tiban ini.

Atraksi barongsai dan liong samsi terdengar di antara kerumunan di kawasan pecinan Semarang. Pernak pernik imlek dan lampion menghiasi tiap jalan, rumah dan klenteng. Suasana malam di pecinan sejak 5 hari menjelang Sin Cia nampak meriah.

Dan orang-orang pun terus berdatangan . Ada yang berbelanja, makan, cuci mata, atau hanya bersendau gurau. Stan aneka makanan khas semarangan, pernak pernik imlek, kerajinan tangan, pakaian hingga promosi berbagai macam produk modern, berjejer disepanjang jalan-jalan sempit yang penuh sesak.

Semua membaur menjadi satu. Beginilah suasana pasar imlek semawis. Pasar tiban khas pecinan Semarang yang hanya bisa ditemui setahun sekali menjelang tahun baru Cina.
Dalam bahasa jawa, semawis berarti Semarang. Artinya pasar ini hanya ada ada di Semarang. Kemeriahan pasar tradisional ini muncul 7 tahun terakhir, seiring dengan lenyapnya diskriminasi terhadap warga keturunan Cina.

Ditempat ini warga Tionghoa di pecinan biasa berbelanja kebutuhan imlek, seperti makanan, buah-buahan, hiasan rumah dan pakaian. Benita Ariani mencari makanan untuk persiapan makan malam.

”Tujuan utamanya untuk berbelanja barang-barang kebutuhan imlek. Katakan biasa makanan itu masing-masing keluarga sendiri-sendiri, tapi kalau di keluarga saya itu menu wajib itu rebung dimasak sampai lunak. Itu merupakan salah satu menu yang dinikmati pada waktu malam tahun baru imlek.”

Warga semarang umumnya pun datang menyaksikan dan menikmati kemeriahan ini. Seperti Entik

”Tiap tahun kesini lihat-lihat pasar semawis, soalnya kan adanya satu tahun sekali ya. Nyari-nyari pernak pernik berbau cina kan lucu-lucu. Selain itu aku juga wisata kuliner, jarang-jarang ada makanan khas gitu yang bikinan asli orang cina juga, kayak wedang tahu, lumpia. Macem-macem lah wisata kuliner gitu sekalian jalan-jalan.”

Pasar imlek semawis bermula dari tradisi lama pasar senggol Gang Baru yang hidup sejak ratusan tahun. Kala itu, pasar dijadikan tempat berkumpul dan berinteraksi warga Tionghoa dan pribumi.
Nafas Tradisi pasar tiban ini kembali dihidupkan melalui pasar imlek semawis,

”Asal mulanya adalah dari tradisi pasar malam Ji Kau Meh di pasar Gang Baru. Jadi masyarakat Tiong hoa di Semarang setiap tanggal 29 bulan 12 imlek itu ngumpul di pasar gang baru malam hari untuk berbelanja barang-barang keperluan untuk sembahyang imlek tanggal 30 nya. Yang kita sebut dengan pasar malam Ji Kau Meh. Itu yang kemudian kita kembangkan sekarang menjadi pasar imlek semawis.”jelas ketua panitia pasar imlek semawis Dharmadi.

Pasar ini dulunya juga dimanfaatkan muda mudi setempat untuk saling melirik dan mencari jodoh.

”Ada suatu tradisi dari masyarakat Tiong hoa, bahwa pada saat malem Ji Kau Meh itu biasanya pada jaman dulu dipake buat cari jodoh. Bagi yang masih jomlo biasanya datang di pasar gang baru untuk berkenalan, untuk cari jodoh disana. Tradisi masa lalu yang bisa kita jaga , bisa kita lestarikan.”

Pada perkembangannya, pasar imlek semawis tampil lebih modern. Tidak hanya kuliner khas, kerajinan, dan aksesoris khas negeri tirai bambu. Pasar Imlek Semawis juga menyajikan berbagai atraksi budaya seperti tarian gambang Semarang dan Barongsai

Atau wayang mandarin dan wayang potehi, seni pertunjukan yang merupakan akulturasi budaya China dengan budaya lokal.

Perpaduan budaya tak lepas dari sejarah pecinan Semarang. Kawasan yang diapit wilayah Kauman dengan budaya Timur tengah, Kota Lama Belanda dan kawasan Jurnatan dengan mayoritas pribumi. Keunikan Ini tidak ditemui di pecinan lain,

”Ji kao meh khas semarang, karena ditempat lain biasanya di tempat lain perayaan imlek cenderung berbeda. semarang ada kekhasan, meskipun kita mengatakan budaya tradisi seni masyarakat sudah membaur dengan budaya setempat dengan budaya jawa, budaya timur tengah kemudian juga budaya barat. Ada perpaduan budaya yang cukup unik. Di kawasan ini ada 9 klenteng yang umurnya ratusan tahun, Ada gereja, ada masjid yang letaknya berdampingan satu sama lain. Kaeneka ragaman itu ada.” kata Dharmadi.

Budaya lokal dan pendatang inilah yang mempengaruhi tolerasi di komunitas pecinan Semarang. Mereka lebih terbuka enerima perbedaan.

Kini, pasar imlek semawis menjadi kegiatan yang ditungggu menjelang tahun baru cina. Ketua Kopi Semawis, komunitas pecinan semarang untuk pariwisata, haryanto halim mengatakan,

”Yang menarik bahwa sekarang dengan adanya pasar imlek semawis ini, yang dulunya tidak pernah ke pecinan sekarang jadi pengen lihat pecinan. Bukan hanya kalangan non Tiong hoa yang pengen, yang Tiong hoa yang ga pernah ke pecinan jadi pengen ke pecinan. Tionghoa tidak semua ke pecinan. Karena buat mereka itu entitas yang tidak mereka kenal. Karena Tiong hoa itu juga beragam. Dengan diangkatnya pasar imlek semawis ini menjadi sesuatu yang menarik. Dan menarik lagi bahwa orang-orang Semarang yang sudah bermigrasi keluar kota yang dulunya ga pernah pulang sekarang saat imlekpun sekarang juga pengen pulang.”

Multi etnis berbaur dipasar itu. Pasar Imlek Semawis pun menjadi peristiwa budaya dan simbol kerukunan umat beragama.

-Non-

Menghilangnya Kesenian Kentrung

Publish on SAGA KBR68H Jakarta
23 Feb'10

Kentrung adalah seni bertutur khas wilayah Pantura Timur Jawa. Mulai dikenal sejak 1900-an, kentrung dimainkan oleh seorang dalang, diiringi tetabuhan rebana. Bercerita tentang kebajikan, yang dijadikan suri tauladan masyarakat. Namun kini kentrung menghadapi senjakala; kehilangan generasi penerus dan peminat. Kontributor KBR68H Noni Arni menelusuri jejak kentrung yang tersisa...

Setelah mengencangkan kulit dua rebananya, Parno Kodri meletakkan satu rebana di pangkuan. Satunya direbahkan di lantai. Lantas ia mulai menabuh, dengan jari dan tangan. Alunan suara rebana mengiringi cerita yang dituturkannya.

”Bunyi trung..tung..tung..tung dari alat musik rebana ini menjadi ciri khas kesenian kentrung. Bunyi in i sangat dominan sejak awal hingga akhir pertunjukan.”

Laki-laki usia 60 tahun ini duduk beralaskan karpet, di teras sebuah rumah. Penampilannya sederhana; kemeja lengan panjang dan sarung lusuh. Ia diundang sebagai dalang kentrung oleh empunya rumah yang sedang ada hajatan.

Malam itu Parno Kodri menyajikan cerita Aji Saka. Cerita soal kepahlawanan seorang ksatria yang jadi raja pertama di tanah Jawa.

Tak mudah menemukan pergelaran kentrung, meski dulu sangat populer di kalangan masyarakat. Ini kali kedua, sang empunya rumah, Ahyar Permana, menggelar pertunjukan kentrung.

"Saya pernah melihat kentrung ketika saya masih usia sekolah dasar. Di kampung saya di Pati itu beberapa orang suka kentrung. Ketika sekarang ini kentrung sudah tidak ada, saya merindukan kesenian kentrung. Karena kebetulan saya punya hajat, maka saya mengundang dalang kentrung yang masih tersisa, Generasi terakhir karena sesudah itu tidak ada lagi."

Kentrung adalah seni bertutur tradisional, perpaduan antara budaya Timur Tengah dan Jawa. Biasanya kentrung dihelat dalam acara pernikahan, syukuran atau sunatan.

Alat musik yang digunakan adalah rebana, sementara ceritanya berasal dari banyak sumber. Selain lakon babad tanah Jawa, bisa juga menggunakan cerita rakyat, hikayat nabi, cerita Wali Songo sampai kisah 1001 malam. Ada nilai-nilai kebaikan yang disampaikan lewat setiap cerita.

”Melihat esensinya sangat berkaitan dengan budaya Islam, ekspresinya yang pakai trebang. Cerita-cerita islam. Cara mendongeng itu, cara yang efektif mentransformasikan nilai, mentransmisikan nilai dari satu generasi ke generasi. Mereka adalah pentransmisi nilai di masyarakat itu. Di waktu itu fungsinya. Kentrung menjadi salah satu ikon yang dibutuhkan di masyarakat waktu itu." jelas Pemerhati seni kentrung Anis Sholeh Ba’asyin.

Kentrung dimainkan oleh seorang dalang. Pertunjukan berlangsung semalam suntuk.

Penonton kentrung dari dalang Parno Kodri itu malam hanya puluhan. Rata-rata usianya 40 tahun. Ada Ahmad, tetangga Ahyar di sana.

”Kalau nonton sudah pernah baru satu kali saja. Di desa saya di Gulungan kurang lebih sudah 10 tahun yang lalu. Hampir semalam. Jadi ceritanya satu cerita nanti selesai cerita yang lain. Bersambung-sambung. Istiahat nanti main lagi."

Sementara Sulihat, meski sudah berusia lebih separuh abad, baru sekali ini menonton kentrung.

”Katanya tradisional di daerah saya Pati, tapi belum pernah. Saya sendiri kurang paham, dulu di belakang rumah itu dulu pernah ”nanggap” itu istilahnya. Belum pernah nonton? Iya, Saya belum pernah ”blas”(belum pernah sama sekali). Dulu orang-orang tua saja yang bilang itu.”

Kalau yang tua saja baru sekali ini nonton kentrung, tak bisa banyak berharap seni bertutur tradisional ini populer di kalangan anak muda.

Parno Kodri, sang dalang kentrung, mengaku makin kekurangan order.
"Sekarang jarang diundang untuk mendalang kentrung. Hanya sesekali saja kalau kebetulan ada orang yang mempunyai hajat tertentu. Hanya kadangkala. Biasanya saya mendalang sampai Margojero, Bakaran, Bajo, Sluke, kemana-mana tapi masih di sekitar Pati saja. Jarang di tanggap, tidak seperti dulu lagi."

Gilasan roda jaman membuat kentrung terpinggirkan. Kalau tak segera diselamatkan, kesenian ini betul-betul bakal musnah.

Kontributor KBR68H Noni Arni menuju Desa Sadang, di Kudus, Jawa Tengah. Mencari Wiryo Sidi, satu dari dua dalang kentrung senior yang tersisa.

Terlambat. Wiryo meninggal sebulan lalu, di usia 102 tahun.

Perjalanan diteruskan ke rumah Kasriyono. Dalang kentrung berusia 86 tahun ini tengah bersantai di teras rumah sambil menghisap rokok kretek. Penampilannya masih bugar. Badannya masih tegap, raut mukanya cerah dan deretan gigi yang masih utuh.

Kematian Wiryo Sidi menjadi awal perbincangan kami.
"Lha itu habis pinjem golek saya karena dia ndak punya golek. Mau ada yang nanggap dia, terpaksa dia pinjem saya. Habis main 3 hari kemudian meninggal. Dia dulu punya golek katanya dijual. (Untuk apa mbah golek kok dijual?)..Saya sakit, golek saya jual untuk berobat... dah pinjem boleh..pinjem golek saya cuma pinjem 10 biji saja..Ya boleh berapa..ya sudah kuate mbah wiryo berapa..50 ribu ya..ya sudah bawa. Ya tinggal saya sendiri, di Kudus enggak ada lagi.”

Kasriyono awalnya adalah dalang wayang golek. Lantaran sepi order, ia menuruti nasihat Mbah Wawing, dalang kentrung yang populer di tahun 1940-an, untuk menjadi dalang kentrung. Ia lantas memadukan bunyi tetabuhan rebana dan aluanan lagu jawa dari kentrung dengan wayang golek yang terbuat dari kayu.

Kalau di Pati tinggal Kasriyono satu-satunya dalang kentrung yang tersisa, maka di Pati, Parno Kodri adalah dalang pamungkas.

”Dalang kentung sudah banyak yang meninggal, di sekitar wilayah Pati sekarang hanya saya.”

Parno sudah 30 tahun lebih merintis kehidupan sebagai dalang kentrung.
“Sudah lama sekali, keturunan dari bapak saya. Dulu sekitar tahun ’55 mulai menemani bapak saya mendalang sampai kemana-mana dan itu akhirnya menurun pada saya sampai sekarang. Saya tidak pernah latihan tapi langsung bisa karena dulu sering mengikuti bapak saya mendalang, lama-lama bisa sendiri. Saya kentrung keturunan.”

Yang tak menurun adalah rejeki jadi dalang kentrung.
”Sebulan bisa lima hingga enam kali jaman bapak saya, sekarang jarang karena banyak kesenian di TV, kaset-kaset tayub. Orang-orang lebih suka lihat itu. Sekarang jarang mendalang karena kalah dengan kesenian sekarang. Jaman dulu laris.”

Tak heran, Kasriyono lantas disibukkan dengan usaha tempat penitipan sepeda, ketimbang melakoni seni bertutur khas Pantura ini.

“Masih kalau ada yang nanggap. Setahun itu paling-paling ya 10 kali itu dah bagus. Sekarang ini sudah setengah tahun tidak ada yang ‘nanggap’. Kalau tahun 80-an itu 150 ribu, kemarin ini yang terakhir sejuta. Itu kan ga bisa untuk makan untuk nyandang. Ini penitipan sepeda untuk karyawan pabrik rokok, pemasukan hampir sama misalnya 60 ribu”

Pengamat kesenian kentrung Anis Sholeh Ba’asyin seolah memprediksi, kematian kentrung tinggal menunggu waktu.

”Lima jari saya ga habis apalagi yang maesto ga ada. Generasi terakhir yang menguasai betul yang ahli sudah habis, bahkan kalau Anda mendengarkan musiknya tanya yang pernah mendengarkan. Beda cara bermain musik mereka, cara mengekspresikan mereka beda sekarang, tampak sekali bahwa bukan tangan pertama, bukan ahlinya.”

Di Kudus, dalang kentrung tinggal Kasriyono. Di Pati tinggal Parno Kodri. Dan keduanya sudah tua.

Tak banyak pula anak muda yang tahu apa itu kentrung.

“Dulu di kampung sering kali orang menanggap dalang kentrung itu sering sekali. Sekarang hampir tidak ada. Bahkan sekarang kalau kita tanya usia di bawah saya sedikit, tanya kentrung itu apa ga tahu. Mereka ga punya referensi untuk itu bahkan banyak orang-orang di desa-desa ga tahu kentrung itu apa.”ungkap Anis Sholeh Ba'asyin.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kudus mengaku sudah mengupayakan pelestarian kentrung.
Menggelar Pertunjukan kentrung 2 bulan sekali di Taman Budaya Kudus, menyertakan dalam agenda budaya hingga menggelar pertunjukan kentrung di desa-desa. Tapi hasilnya nol, kata Kepala Seksi Seni Budaya dan Tradisi, dan Bahasa Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Giyono. Sepi dengan penonton.

“Perkembangannya mengalami kesulitan karena kami mencoba untuk mensosialisasikan. Seni kentrung itu kita pentaskan. Namun kenyataannya, masyarakat belum bisa menerima sehingga pelestariannya atau pewarisannya kepada generasi muda sampai saat ini belum bisa berjalan. Minat dari generasi muda untuk menggeluti seni kentrung ini masih sangat kurang bahkan malah tidak ada.”

Parno Kodri tak bisa mengharapkan keluarganya jadi penerus dalang kentrung di Pati.

”Kalau ada bisa turun temurun. Tapi anak saya perempuan dan kerja di Malaysia. Satunya lagi kerja di Juwana jadi tukang las di perusahaan. (Tidak ada yang ingin jadi dalang?) Tidak ada yang mau mengikuti jejak saya. Habis, sudah tidak ada lagi. (Di daerah bapak ada yang tertarik jadi dalang?)..Tidak ada.”

Mungkin kentrung tengah berhitung mundur. Sebelum benar-bentar punah karena tak ada yang melestarikannya.

”Tidak ada yang nerusin terus gimana? Ya mau gimana lagi, biarin saja. Kalau ada penggantinya bagus, tapi kalau ga ada ya mau gimana lagi. Ya..Nanti di lain desa pasti ada, di desa-desa lain pasti ada...” kata Parno Kodri pasrah.

-non-

Selasa, 16 Februari 2010

Melongok LP Nusakambangan

Radio International Jerman Deutsche Welle

Pulau Nusakambangan adalah sebuah pulau di Jawa Tengah yang lebih dikenal sebagai pulau penjara. Di pulau ini terdapat 7 Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas dengan standar pengamanan ketat yang dihuni 1600-an napi, yakni Lapas Pasir Putih, Batu, Permisan, Narkotika, Besi, Kembangkuning dan Lapas Terbuka.

Penghuninya narapidana berbagai jenis kejahatan dengan masa pidana cukup lama sampai hukuman seumur hidup dan terpidana mati. Saya Noni Arni mendapat kesempatan mengikuti rombongan Kementrian hukum dan HAM mengunjungi Nusakambangan dan melihat aktivitas para napi.

Menjangkau Pulau Nusakambangan kami harus menggunakan kapal Feri kecil dengan jarak tempuh 10 menit dari Pelabuhan Wijaya Pura Cilacap.
Siang itu, bersama rombongan kami langsung menuju Lapas Pasir Putih, yang terletak sekitar 15 kilometer dari dermaga Sodong Nusakambangan.

Dalam perjalanan, kami bertemu dengan Markus yang menjajakan hiasan batu akik hasil kerajinan tangannya kepada pengunjung. Ia adalah napi yang tengah menjalani masa asimilasi. Maksudnya, sudah menjalani dua pertiga masa hukuman sehingga boleh keluar tahanan dan tinggal di Lapas Terbuka.

"Bikin kayak gini agak lama. Satu hari dapet satu cincinnya, itu kalau ada alatnya. Ini juga menggali. Galinya di hutan sana di gunung. Ini dijual berapa? Ada yang 150ribu, ada yang 200. kalau yang ini 200 masih bisa di tawar. Uangnya buat apa? duitnya buat bantu anak dalam gitu, kurang sayur gitu, ada yang pengin jajanin ini ya saya kasih. tidak saya makan sendiri."jelas Markus.

Ketrampilan membuat kerajinan tangan batu akik seperti Markus, juga dipelajari napi lainnya. Kami menuju Lapas Pasir Putih.

Lapas pasir putih rapi dan sangat terawat . Lapas ini beroperasi sejak Juni 2007 dan dihuni 200-an napi. Lokasinya paling jauh diantara 6 lapas lain dan dianggap sebagai penjara paling ketat se-Indonesia. Pengamanannya 7 lapis. Dilengkapi dengan teropong X-Ray dan pengawasan video. Ada penjaga di tiap pintu masuk dan tembok kawat berduri 3 lapis mengelilingi bangunan.

Puluhan napi terlihat berada di luar sel, tengah istirahat dan ngobrol di sekitar halaman Masjid yang berada tepat di tengah bangunan Lapas.

Diantaranya Gunawan Santoso, Terpidana mati kasus pembunuhan Bos PT Aneka Sakti Bakti Asaba. Ia menceritakan keseharianny selama 1,5 tahun di Lapas Pasir Putih.

"Sini aktifitasnya sangat padet, kalau pagi kegiatan olah raga trus saya banyak di gereja hampir seminggu 4 sampe 5 kali lah ibadah. Setelah itu siang olah raga lagi. Sore saya dikasih kebiasaaan hobinya saya dikasih tugas beternak ikan, burung. Malem semua orang masuk sekitar jam 6. Full kegiatan,"ungkap Gunawan.

Tiap lapas di Nusakambangan memiliki bermacam fasilitas olah raga. Dari 7 lapas yang kami kunjungi, Lapas Pasir Putih, Batu, dan Narkotika menyediakan fasilitas olahraga lebih lengkap. Napi tinggal memilih, jenis olah raga yang disukai seperti tenis, bulutangkis, pingpong, atau sepak bola.

Selain fasilitas olahraga, semua Lapas juga dilengkapi dengan sarana ibadah dan televisi sebagai sarana informasi.

”Saya setiap hari pagi jam 4 bangun subuh setelah shalat subuh tidak tidur lagi , melakukan kebersihan masjid aja. Setelah itu shalat dhuha, ngaji sampai jam 9, istirahat, sambung shalat zhuhur. Pembagian tugas ada yang sapu, ngepel biasa saja. Ini inisiatif sendiri. Pagi siang seperti ini. Kami punya jemaah sekitar 40 orang bisa keluar malam Magrib sampai Isya. Setelah itu masuk kamar.

Beribadah menjadi cara untuk menghabiskan hari bagi Raden Ganda, napi narkotik asal Banten yang menjalani pidana 15 tahun. Begitu juga Suparman terpidana kasus pembunuhan yang divonis 15 tahun.

”Lagi sante-sante nuggu shalat. Aktifitasnya apa saja? Main voli main bola, pokoknya permainan. Kita cuman bersih-bersih masjid. Kalau ada kegiatan kursus bahasa inggris ikut-ikutan setiap hari Rabu. Buang-buang waktu supaya cepat sore cepat malem begitu."

Para napi juga dibekali berbagai ketrampilan seperti bengkel, ruang berkarya, dan lahan bercocok tanam. Kata Muhamad Aswan, napi lain dengan hukuman 10 tahun

”Ada macam-macam kadang kita di sini. Kita bikin jala, bikin mebel. Siapa yang ngajari?Ada dari luar. Kayak kita beternak lobster diajari dari luar. Tergantung kesenengan? Tergantung kesenengan masing-masing”

Menurut kepala Lapas Pasir Putih Sutrisman, pemberian fasilitas di semua lapas yang ada di Nusakambangan menjadi bagian dari program pembinaan napi, yakni pembinaan mental dan kemandirian.

”Kita ikuti kegiatan pembinaan mental dan kemandirian. Mental kita ada dari luar pelayanan dari gereja dan dari Basma dari Yayasan Pertamina untuk kegiatan keagamaan. Kemandirian ada pertukangan dan pertanian. Ada perikanan juga.”

Napi dibebaskan memilih ketrampilan yang disukai.

"Aktivitas ada kegiatan ketrampilan, pertukangan kayu misalnya bikin kapal-kapal mebeler, meja kursi dan sebagainya. Olah raga mulai dari futsal dan sepak bola, voli dan tenis meja. Kegiatan keagamaan baik yang islam maupun kristiani,semua ada. Juga hiburan. Ada buku-buku tapi terbatas. Banyak yang punya buku bacaan sendiri. Mereka banyak belajar, baca, tulis itu tidak masalah untuk mengisi waktu mereka. Banyak juga yang bikin lagu, "kata Dwi Haryanto kepala Lapas Permisan.

Para napi diperlakukan sama. Kepala Keamanan Lapas Pasir Putih Yudho Setiono mengatakan, tidak ada yang mendapat keistimewaan.

”Semua kita perlakukan sama.Saat ini masih persuasif, ketika kita tanya punya keluhan apa di tempat lain dia merasa tidak diperlakukan manusiawi. oke you punya bargaining seperti itu, you saya perlakukan manusiawi tapi jangan sekali-kali sentuh masalah kemanan, akan lebih menderita di tempat ini daripada tempat lain. Bargainingnya seperti itu."

Sesuai aturan, Napi dibebaskan beraktivitas mulai pukul 8 pagi hingga pukul 5 sore. Selebihnya, mereka menghabiskan waktunya di kamarnya.

”Kita tetap punya sentuhan yang manusiawi, bagaimanan dia itu savety kita juga savety. Ada keseimbangan antara pola pendekatan persuasif dengan pendekatan keamanan. Ada kesibukan Gunawan disana, misalnya dia punya kandang burung besar isinya banyak burung. Dia juga ngurusi beberapa kolam isinya ikan. Jadi kita kasih aktifitas tapi pemantauan tetep jalan terus 24 jam. Ga masalah kalau jam-jam tertentu kan.”

Meski ada kegiatan dan fasilitas, sebagian napi mengalami depresi. Mereka terutama napi warga negara asing yang sebagian divonis mati karena terlibat perdagangan narkotika. Mereka memilih mengurung diri di kamar tahanan dan enggan bersosialisasi.
Sebabnya, karena tidak pernah dikunjungi keluarga. Proses mengurus izin besuk tidak mudah.

”Kanwil tidak boleh bawa orang asing, orang Afrika kunjungan. Dari kanwil bisa jaminin orang Afrika kunjungan di sini susah, Harus minta surat. kalau di Jakarta tidak minta surat, tidak minta apa-apa. Cuman kalau di Nusakambangan itu minta surat,”Ungkap John Cukuj, napi asal Nigeria

Di Nusakambangan ada 87 napi warga asing dari 19 negara dengan berbagai macam pidana berat. Di sini pernah ditahan trio bom Bali Imam Samudra, Ali Ghufron dan Amrozi. Ada juga 3 warga Nigeria yang akhirnya menjalani eksekusi mati karena terlibat perdagangan Narkotika. Selain itu, raja kayu Bob Hasan dan Tommy Soeharto pernah menghabiskan masa tahanannya di Nusakambangan.

Sekarang ada 52 terpidana mati yang menunggu eksekusi. Mereka punya cara sendiri menjalani dan menghabiskan hari untuk melupakan hukumannya. Antara lain dengan berolahraga.

Nusakambangan Feb'10
Noni Arni

Kamis, 11 Februari 2010

Pengantin Lingkungan....

Publish on KBR68H Jakarta
8 Januari'10

Perayaan pernikahan tak harus dengan pesta dan kemewahan. Sebuah ritual kecil penuh makna yang menggabungkan seni dan kecintaan pada lingkungan, bisa menjadi pilihan. Kontibutor KBR68H Noni Arni, menyaksikan bagaimana pengantin Kreo Siningkir di Semarang, Jawa Tengah melakukannya

Suasana Desa Kandri, yang tenang berbeda dari biasanya. Siang itu terdengar tetabuhan gamelan barongan mengiringi sepasang pengantin yang membawa bibit pohon ditangan.

Mereka berjalan tanpa alas kaki sejauh lima ratus meter menyusuri jalan berlumpur menuju calon lokasi Waduk Jatibarang yang ada di kawasan obyek wisata Goa Kreo Gunungpati Semarang.

Puluhan pria berpakaian kera Hanoman dan Buto Pithi atau Raksasa Bangsawan, anak-anak, sesepuh kampung, dan tamu undangan mengiringi kedua mempelai.

Diresepsi pernikahan, pasangan pengantin Amanda Putri Nugrahanti dan Muhnur Karsono, berdiri dibawah terik matahari dikelilingi seratusan tamu yang datang diperhelatan sederhana itu. Pengantin hanya mengenakan kain batik semarangan yang melilit di tubuh.

”Dimas Munhur Putro Karsono dalasan sliramu Amanda Putri, tresnamu sak kororon dimas, tanda tresna Gusti marang sliramu. Cedakke sliramu marang bantolo iki, cedak koyo alam, cedak koyo ning bantolo tresnamu marang Gusti ngger ugo marang garwamu..”

Sejurus kemudian terdengar suara meluncur dari seorang seniman padepokan Kandang Gunung, ”menikahkan” kedua mempelai dengan syair doa untuk kelanggengan mereka diiringi lantunan tembang Asmaradana yang menceritakan tentang cinta dan kesetiaan pengantin.

”Gusti..namung panjenengan kulo nyuwun Gusti,penganten kekalih saget wilujeng, kebak anugerahan, kebah raos welas asih, kebah raos tresno. Mugo kasembadan sedyamu kamulyaning urip bisa kaleksanan, singneksen bumi pertiwi iki.”

Tubuh Pengantin kemudian dilumuri lumpur yang diambil disekitar lokasi proyek sebagai simbol pengingat bahwa manusia akan kembali ke perut bumi.

”e...ngantene teko..e.. nanduro klopo..e.. ngantene teko..yo nandur..buto dijak konco-kocomu rewondo nandur ning wetan kono.”

Kemudian Mas kawin berupa seribu bibit pohon buah dibagikan kepada semua yang hadir untuk ditanam di lokasi yang nantinya tak terendam air waduk, agar pohon buah itu bisa menghidupi ratusan kera liar di sana. Bibit pohon juga dibagikan sebagai sovenir.

“ehh.. Rewondo..Buto..iki ono perintah soko rojone awake dewe, rojo lemah. Ono perintah awakmu kudu nandur wit-witan mergo ndunyo kentean wit.”

Dalam prosesi pernikahan juga dimainkan teatrikal lakon ’Kreo Siningkir’. Lakon yang bercerita tentang keresahan dan tersingkirnya kera-kera liar di sekitar kawasan Goa Kreo karena kehilangan sumber pangan. Tempat hidup mereka akan berubah menjadi lokasi Waduk Jatibarang.

”Tulung karo nganten munggah buldoser ngeculke barang sing nyaris ra ono. Saiki tugasmu balikke keseimbangan Tulung alap-alap kae di culke sing wis suwe di openi uwong. Elang eling,.elang eling,elang..eling...hooo..

Prosesi puncaknya, dari atas buldoser di lokasi proyek, pasangan pengantin melepas elang jawa sebagai simbol keseimbangan alam.

Tamu undangan bergiliran memberi ucapan selamat dengan mengguyur lumpur di badan dan di kaki mempelai.

Resepsi pengantin Kreo Siningkir itu ditutup dengan jamuan makan hidangan khas desa dibawah pohon rindang. Gendar pecel , es dawet, aneka camilan dari ketela, dan buah rambutan hasil kebun warga.

Ide menggelar resepsi dikemukakan mempelai wanita, Amanda Putri.
”Kami memang menginginkan konsep yang sederhana dan ramah lingkungan dan ternyata itu di apresiasi positif temen-temen Kandang Gunung. Dan jadi semua meminimalkan sampah terutama sampah plastik .”

Ketertarikan dan kepekaan untuk mengusung isu –isu lingkungan dikehidupan kedua pengantin ini tidak terlepas dari keprihatinan terhadap kondisi lingkungan di kawasan Goa Kreo. Mempelai pria, Munhur Putra Karsono mengatakan alasannya.

”Pesan yang sangat bermakna yaitu kita harus melihat bahwa perubahan iklim yang sangat drastis . Kita akan menyampaikan bahwa kita minimal tidak merusak lingkugan, kita minimal bisa menyumbang pohon untuk menghasilkan oksigen.”

Perhelatan pernikahan yang digelar secara sederhana pernikahan di lokasi mega proyek milik pemerintah kota Semarang. Proyek program pengendali banjir dengan dana 1,7 trilyun rupiah hasil kerjasama dengan Japan Bank for In ternational Cooperation dan pemerintah pusat.

Novi, tamu undangan pun terkesan dengan resepsi pernikahan mereka.

” Memberikan inspirasi yang baik, kita bisa lebih cinta lingkungan karena ya dibuktikan dengan..ini dapet pohon, istilahnya buat sovenir ya..ini kan nanti buat penghijauan. Namanya pohon itu juga banyak manfaatnya.”

Sebuah acara resepsi pernikahan yang menginspirasi untuk menggali kearifan lokal dan keseimbangan alam.

Dan dari jauh terdengar sayub-sayub tetabuhan gamelan barongan menyeruak diantara suara buldoser dilokasi proyek

Laporan ini disusun kontributor KBR68H di Semarang, Noni Arni