Pages

Minggu, 08 Mei 2016

Sekarung plastik untuk sepiring nasi di Kantin Gas Metan



Pasangan suami istri Sarimin dan Suyatmi kompak memasak sayur mangut dan semur tahu di dapur warung makan milik mereka yang berada di sisi kiri zona aktif tempat pembuangan sampah akhir (TPA) Jatibarang, Kecamatan Mijen, Semarang, Jawa Tengah.

Sudah tiga bulan terakhir ini pasangan itu membuka warung makan seluas 3x7 meter dengan berdinding triplek, beratap asbes, dan lantai tanpa plester. Sebuah spanduk merah dipajang di depan warung bertuliskan: Kantin Gas Metan.

Berbeda dengan warung makan pada umumnya, Kantin Gas Metan tidak menggunakan uang sebagai alat transaksi, tetapi plastik. Setiap orang yang ingin menyantap hidangan di warung tersebut harus terlebih dulu menukarkan sampah plastiknya.


Seperti siang itu, Andi Sumanto, pemulung asal Boyolali datang dengan memanggul sampah plastik dan meletakkan di depan warung.

Sarimin menyambutnya dengan membawa alat timbang untuk menimbang tumpukan sampah plastik sedangkan Suyatmi menyiapkan kertas bon pencatat sampah.

Menurut Sarimin, sampah plastik kresek dihargai Rp400 per kilogram. Setelah semua sampah plastik yang dibawa diberi harga, Andi pun masuk ke warung dan bersantap.

“Makan di kantin ini enak. Di warung lain bayar pakai uang, tapi di kantin ini bayarnya pakai plastik jadi meringankan. Kalau plastik saya dihargai Rp10.000 dan saya makan seharga Rp7.000, pemilik warung mengembalikan Rp3.000 kepada saya,” kata Andi, seperti dilaporkan wartawan di Semarang, Nonie Arni.

Kurangi plastik di TPA

Keberadaan Kantin Gas Metan tak lepas dari ide Kepala TPA Jatibarang, Agus Junaidi, yang ingin mengurangi sampah plastik di TPA Jatibarang dengan target mencapai 40% dari total sampah di TPA sebanyak 800 ton per hari.

Dia lalu menghubungi pasangan Sarimin dan Suyatmi untuk membuat kantin yang memakai plastik sebagai alat transaksi. Untuk menopang kebutuhan bahan bakar memasak di kantin, gas metana pun disuplai dari TPA Jatibarang.

”Kami berpikir bagaimana caranya mengurangi plastik. Lalu muncul ide mendirikan sebuah kantin yang masaknya memakai gas metana. Tapi yang makan di sana harus membayar memakai plastik. Targetnya adalah melayani para pemulung dan supir truk sampah,” kata Agus.

Lalu dari mana gas metana berasal?


Kepala TPA Jatibarang, Agus Junaidi mengatakan gas metana muncul dari sampah aktif yang tertimbun di TPA Jatibarang selama dua tahun. Gas tersebut ditangkap menggunakan pipa-pipa yang ditanam di 9 titik dengan kedalaman 5-6 meter.

Kemudian, gas berkapasitas 72 meter kubik itu dialirkan secara gratis ke 100 rumah warga sekitar TPA, termasuk ke Kantin Gas Metan milik Sarimin dan Suyatmi. Setiap satu meter kubik (m3) gas metana setara dengan energi yang dihasilkan 0,48 kilogram gas elpiji.

Gas metana yang dipakai sebagai bahan bakar pun memuaskan.

“Enak memasak menggunakan gas metana. Apinya biru, tidak mengotori perabotan. Memasak juga cepat,” kata Suyatmi.

Sementara dari sisi bisnis, pemakaian gas metana dan penukaran plastik diakui Sarimin sangat menguntungkan.

“Kalau dulu belum punya warung, selama satu bulan, kami berdua menghasilkan Rp2 juta tapi harus dipotong biaya makan Rp500.000 dan tabungan Rp1 juta. Sekarang Rp1,5 juta sudah bersih. Makanan dari warung dan pengeluaran lainnya, seperti gas, gratis,” ujar Sarimin.

Konsep limbah ke energi

Pengalaman Sarimin dan Suyatmi adalah contoh warga yang mendapat manfaat dari konsep waste to energy atau limbah ke energi yang diterapkan di Tempat Pembuangan Akhir. Idealnya, penanganan dan pengelolaan sampah di TPA menggunakan konsep tersebut.

“Sanitary land fill menjadi salah satu pendukung untuk program waste to energy. Semua sampah bisa masuk. Tapi butuh investasi karena berkaitan dengan teknologi. Ini hanya bisa dilakukan di kabupaten kota yang punya pendanaan besar. Di beberapa kota termasuk Semarang diarahkan untuk pembangkitan energi dari sampah. Kalau itu terealisasi TPA tidak ada masalah,” kata Winardi Dwi Nugraha, Dosen Teknik Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro, Semarang

Akan tetapi, lepas dari teknologi di TPA, Winardi menekankan perlunya sistem pengelolaan sampah yang baik sejak dari rumah tangga.

“Penghasil sampah nomor satu ada di rumah tangga. Karena itu, perlu ada edukasi untuk mengolah sampah agar jumlah sampah yang masuk ke TPA pun bisa berkurang,” paparnya.

Tugas pemerintah, lanjutnya, ialah memprioritaskan anggaran untuk penanganan sampah.

“Pembuangan sampah rumah tangga perlu ditata, tapi harus ada mekanisme tertentu sehingga tidak membebani masyarakat seperti subsidi. Perlu ada. Ini mungkin bisa dicoba di beberapa kota kalau sistem sudah dibangun. Masyarakat untuk berubah juga bisa dengan regulasi yang jelas dan tidak ragu menerapkan itu,” tutupnya.

Anda bisa mendengarkan versi audio artikel ini dalam program Lingkungan Kita yang disiarkan berbagai stasiun radio mitra BBC di Indonesia, pada Rabu (6/4).


http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/04/160405_majalah_lingkungan_sampah

Ketika perempuan berkerudung Muslim dan Kristiani menyerukan persahabatan dan toleransi

Persahabatan bisa terjalin tanpa mengenal ras, suku, agama, dan usia. Mungkin inilah yang tersirat dari kisah persahabatan Suster Atanasia dan sejumlah guru-guru Muslim di Taman Kanak-Kanak Kucica di Semarang.

Kedekatan mereka yang terjalin setahun terakhir ini berawal dari pertemuan dalam kegiatan Himpunan Pendidik dan Kependidikan Anak Usia Dini (Himpaudi) Kabupaten Semarang.

Suster Atanasia, 56 tahun, adalah biarawati dari Kongregasi Abdi Kristus yang aktif dalam dunia pendidikan. Lewat kegiatan Himpaudi, dia dan sejumlah guru TK Kucica sering bertemu dan mengadakan acara-acara bersama.

“Sering latihan bareng. Kalau ada acara di sekolah St Theresia kami selalu datang. Bahkan dikenalkan dengan suster lainnya. Semua ramah," kata Deasy Irawati, salah satu guru TK Kucica.

Lambat laun, interaksi mereka tak hanya melulu terkait kegiatan organisasi, tapi kian personal. Guru-guru muda yang semua berjilbab tak pernah merasa risih ketika datang ke kompleks asrama dan Sekolah Mardi Rahayu, Ungaran, tempat biarawati tinggal. Pun sebaliknya, ketika suster bertandang ke TK Kucica.

"Orangnya asyik dan fun ngobrol apa saja. Jadi kami merasa kalau Ibu tidak hanya seorang suster tapi juga ibu dan teman," imbuh Deasy.

Para perempuan berkerudung

Bagi mereka agama bukan penghalang atau pembatas untuk menjalin kebersamaan, kata Nonie Arnie, wartawan di Semarang melaporkan untuk BBC Indonesia.

Mereka tampak begitu klop bekerja sama ketika menampilkan tari anak 'zunea-zunea' dalam acara Jumpa Hati Perempuan Lintas Agama di halaman Gereja Katolik Kristus Raja, Rabu (09/03).

Tak hanya Suster Ata dan guru TK Kucica yang berpartisipasi dalam acara itu, ratusan perempuan yang mewakili komunitas Muslim dan Kristiani datang untuk menyerukan persahabatan, toleransi, dan pesan pluralisme. Partisipan semakin bertambah ketika mereka juga berkunjung ke Masjid Jami’ Istiqomah yang berada persis di depan gereja.

“Ini menjadi titik awal perempuan lintas agama bersama-sama mengambil peran untuk perdamaian dan semangat kemanusiaan,” ujar koordinator acara Yulia Silalahi dari Kongregasi Penyelenggaraan Ilahi.

Seperti apa acaranya? - Nonie Arnie, wartawan di Semarang bercerita:

"Konsepnya menarik, apalagi ketika ada dua Budi yang berbeda keyakinan tampil di atas panggung. Kyai Budi dan Romo Budi sama-sama berbicara soal cinta yang universal. Di sela-sela, ada pertunjukan dan musik-musik bertema kasih dan kemanusiaan. Menyentuh, begitu humanis, saya pun ikut terenyuh. Mereka tidak bicara saya Islam, kamu Kristen, tapi bicara persaudaraan."

Sempat ditentang

Semangat pluralisme dan toleransi kemudian dituangkan dalam penandatangan bersama di kain putih dan Deklarasi Persaudaraan Perempuan Lintas Agama.

Isinya memuat empat hal penting dari tujuan pertemuan. Di antaranya, rasa syukur atas perjumpaan yang disemangati rasa persaudaraan, tekad menjadi promotor perdamaian dengan menjunjung rasa saling memahami, mengamalkan keyakinan untuk kerukunan di semua lingkup, serta tekad terus merajut dialog dan kerja sama dengan prinsip kebudayaan dan kemanusiaan untuk mewujudkan dan membangun peradaban yang lebih baik.

“Semua menyatu saling mengenal, mengasihi, tanpa melihat agama. Terharu dan terenyuh ya. Kunjungan ke masjid juga disambut hangat. Harapannya terus berjalan dalam kehidupan sehari-hari,” kesan Titik Sudarwati, warga Ungaran.

Walau banyak diapresiasi, acara ini sempat ditentang oleh sebagian kalangan. Bahkan, ada yang mengurungkan niat untuk berpartisipasi. Penyelenggara mengatakan ada sedikit acara yang diubah untuk menghindari gejolak. "Ada yang tetap ikut meski diteror dan dibully. Merata antara Muslim, Katolik, Kristen.”
Perempuan adalah 'agen perubahan'

Acara tersebut diinisiasi oleh Forum Persaudaraan Perempuan yang dibentuk 18 Februari lalu, menjawab keresahan terhadap maraknya kasus intoleransi di Indonesia.

Perempuan-perempuan muslimat dari Fatayat Nahdlatul Ulama (NU), Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU), perempuan Katolik, Kristen dan para suster dari berbagai Tarekat di Semarang kemudian menggelar pertemuan untuk memaknai peran perempuan bagi bangsa.

“Kita akan mengetahui perbedaan lewat perjumpaan. Itu gagasan awal,” jelas Yulia Silalahi.


http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/03/160311_trensosial_perempuan_berkerudung

Sabtu, 23 Januari 2016

Srintil, Harmoni dari Lereng Sumbing


Tembakau Srinthil dari Desa Tilir
Di timur lereng Sumbing, lahan berundak di sisi-sisi jalan beraspal Desa Legoksari, Tlogomulyo, Temanggung, Jawa Tengah itu tak lagi hijau. Hanya tanah pasir berkerikil. Akhir Oktober itu, masa petik daun tembakau memang sudah lewat. 

Di permukiman penduduk, di halaman-halaman rumah, Srintil dipapar di atas anjang-ajang bambu. Srintil itu nama tembakau primadona. Sangat istimewa. Aroma khasnya menguar di situ. Lebih-lebih lagi, "Srintil tidak muncul setiap tahun." Itu kata Sutopo, petani tembakau di Legoksari.

Kenapa Srintil istimewa? Tembakau ini ada secara alamiah dan tak bisa dibudidayakan. Tanda kemunculannya baru saat proses fermentasi atau pengeraman daun tembakau petikan terakhir yang ditumbuhi jamur kuning. Setelah dirajang dan dijemur, bentuknya semakin terlihat. Rajangan daun "printhil-printhil" dipercaya masyarakat setempat sebagai anugerah Dewi Kemakmuran: Dewi Sri yang "nginthil" (ikut) menjadi berkah. Berkah itu berupa harga Srintil yang selangit. "Pada 2011 harganya mencapai Rp 900 ribu per kg. Itu puncak harga tertinggi tembakau srinthil," imbuhnya.

Bagi saya, bertemu Srinthil adalah keberuntungan. Bagi warga Legoksari, tak sekadar keuntungan. Ia adalah proses, perjuangan, keberhasilan, kebanggaan. Juga kearifan lokal bagaimana menjaga harmoni. Srintil adalah juga konsep hidup para petani tembakau di situ. 
"Saat panen tembakau, tatalah hati kita, jangan saling bertengkar. Kalau ada maslaah, ayo dirembuk. Sabar. Jangan sampai memendam kemarahan, sebab nanti daun tembakau yang baik bisa jadi buruk. Ya, agar harganya mahal. Rezeki kita lancar."

Kata Sutopo, itu pesan turun-temurun. Para petani tahu betul memaknai pesan itu dengan pola tanam tebakau yang "pranata mangsa". Semua ada waktunya sendiri-sendiri. Ada proses menyiapkan pupuk kandang, mengolah lahan, membuat lubang tanam, menanam, merawat, hingga memanen. Semua berdasarkan waktunya yang tepat. Dan semua proses itu dibangun berdasarkan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. 
"Ya, kami bergotong royong dari penanaman, petik sampai pengepakan. Yang punya lahan dua hektare atau hanya setengah hektare, sama. Tidak iri-irian. Dengan sukarela dan senang hati membantu petik daun meski jaraknya jauh. Tidak pernah mengeluh."

Kesederhanaan, keikhlasan juga menjadi irama hidup para petani. "Kalau tembakau bagus, jangan dipuji. Yang jelek, jangan disia-siakan. Daun jelek belum tentu jadi jelek. Bergantung atas perawatannya. Kalau ikhlas, itu enak. Semua lancar." 

Kearifan lokal yang turun-temurun itu tak hanya berbuah panen yang bagus, tapi juga sebuah kisah tentang harmoni, kisah keselarasan dari Lereng Sumbing.

Jumat, 22 Januari 2016

Menjaga “Surga” di Bibir Pasifik


Angin selatan di bulan Agustus menghempas kapal kami hingga terseret di bibir Pulau Mioskon, Raja Ampat, Papua Barat. Penyelaman di site Mioskon Ref pun urung. Memang bukan bulan baik untuk diving, hingga nyaris tak ada aktivitas para penyelam di kawasan selatan Waigeo ini. Kami memilih beristirahat dan menikmati keindahan alam di pulau berbentuk hati yang menjadi tempat transit para penyelam di spot penyelaman Mioskon Reef dan Blue Magic. 

Sembari melepas lelah, kami melihat sejumlah orang tengah sibuk membangun rumah-rumah kecil. Nampak seorang laki-laki muda menghampiri dan menyapa ramah. Namanya, Steve Wawiyai, suku asli Raja Ampat, pemilik tanah adat Pulau Mioskon yang mendiami Kampung Friwen, tak jauh dari Mioskon. “Kami sedang membangun homestay,” Steve menjelaskan rasa penasaran kami dengan logat khas Papua.
Steve lantas menceritakan rencana pengelolaan dan pengembangan usaha pariwisata yang muncul seiring dengan menjamurnya resort dan homestay di pulau-pulau di kawasan Raja Ampat yang lebih banyak dikelola warga asing.  
Pembangunan homestay di Mioskon / nonie
Menurutnya, usaha yang akan dikelola masyarakat adat itu tidak akan mengedepankan sisi industri. Tapi lebih pada pembelajaran bagi wisatawan yang datang ke Raja Ampat.  Dengan konsep Etnobotani dan sentral budaya, ia ingin menonjolkan nilai edukasi. Jadi, setiap tamu yang datang dapat menikmati alam, mengenal laut, serta belajar tentang budaya dan kehidupan masyarakat Raja Ampat. 

“Mereka punya kearifan, mereka jaga mereka punya laut, makanya saya ingin transfer pengetahuan dan pemberdayaan masyarakat untuk keanekaragaman hayati.  Turis datang ada beli kerajinan tapi tidak tahu proses pembuatan seperti apa. Wisatawan tidak hanya datang, nginap, pulang tapi juga berinteraksi dengan masyarakat. Mama punya ketrampilan khusus anyaman, mereka sama-sama dengan masyarakat diajak belajar menganyam hingga mengenal tanaman endemik. Itu yang saya mau kembangkan.”

Gagasan Steve sangat menjanjikan. Apalagi pulau yang pernah menjadi sengketa dan di tawar warga Eropa hingga Rp 67 miliar itu  merupakan salah satu pulau strategis dan  terindah di Raja Ampat yang dikelilingi gugusan terumbu karang dan pasir putih. “Dulu kosong tidak berpenghuni dan masuk wilayah adat kami. Pulau ini strategis, dekat dengan kabupaten, transit dari resort-resort  di Mansuar, dari Waiwo dan dekat dengan bandara kedepannya,” ungkap lelaki yang pernah bekerja di TNC ini.

Ya, industri pariwisata di Raja Ampat ibarat jamur dimusim hujan. Itu peluang besar dan masyarakat tidak ingin hanya menjadi penonton.

Jika Mioskon baru mengawali. Kampung Arborek yang terletak di Meos Mansar sudah menjadi kampung wisata dan menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi ketika menyusuri Raja Ampat. 
Papua Explorers Resort di Pantai Pinsilim, Yenwaupnor, Kec. Meos Mansar, Raja Ampat / nonie


Raja Ampat Dive Lodge di Pulau Mansuar / nonie
Menari Bersama Manta
Dari 30 lebih spot penyelaman di Raja Ampat, pulau yang berada di antara Pulau Mansuar dan Pulau Gam ini adalah tempat transit para penyelam yang ingin bertemu dan menari dengan Manta Ray (Pari manta) di Manta Sandy atau Manta point yang berjarak satu kilometer dari kampung.

Di sini, penyelam dapat menyaksikan Manta Ray menari meliuk-liukkan tubuhnya sepanjang 7 meter dan berbobot hingga 2 ton. Mamalia raksasa pemakan plankton dan ubur-ubur ini terbiasa memamerkan aksi akrobatiknya di depan para penyelam. Bahkan jika beruntung, salah satu spesies ikan pari terbesar di dunia ini juga bisa disaksikan di sekitar jetty (dermaga) Kampung Arborek.
Chasing Manta Ray @ Manta Point / Mayang Putranto
Kampung yang dihuni 30 KK memang menjamin kelangsungan dan keberadaan populasi dan kehidupan Manta birostris hingga tempat ini menjadi habitat nyaman Manta Ray dan biota endemik lainnya. “Di sini andalannya pantai, kebersihan kampung, yang spesial  Manta yang ada di bawah jetty,” kata Nommenson Mambraw, warga Arborek yang menyambut kedatangan kami.
Kampung Wisata Arborek / nonie
 
Perempuan Arborek membuat kerajinan tangan /nonie
Kondisi ini jauh berbeda ketika Arborek belum dikenal wisatawan. Dulu mereka sangat menggantungkan hidup dari laut. “Kita di sini bilang buang lanjar cari ikan garam, kerapu terus drop ke sorong. Mata pencaharian nelayan,” imbuhnya.

Tak hanya itu, pasar sirip ikan hiu yang sangat menggiurkan membuat masyarakat berpaling dari Kerapu dan berburu hiu. Perburuan hiu marak hingga menyebabkan populasi hiu Raja Ampat turun drastis. “Kalau dulu di tempat ini tempat hiu juga, di depan-depan sini saja orang-orang bisa dapat. Ikan hiu banyak dipantai dan besar-besar. Yang nangkap masyarakat tapi mereka cari pakai alat tradisional. Dulu harganya Rp.  50 ribu/kg. Kalau sekarang sampai 1 juta ke atas. Harganya beda tergantung jenisnya. Paling mahal Hiu Lontar sampai Rp. 3 juta/ kg. Dijual ke Sorong dan nanti ada yang ambil sendiri,” Pak Mambraw menceritakan kondisi laut kala itu.

Ditambah lagi aktivitas mencari ikan dengan bom dan potasium yang berkeliaran di perairan Raja Ampat karena tidak ada aturan yang membatasi penangkapan ikan. Hingga akhirnya Pemda Raja Ampatpun menerbitkan Perda nomor 9 tahun 2012 tentang larangan penangkapan seperti Hiu, Pari Manta, Dugong, Penyu dan sejumlah ikan-ikan endemik Raja Ampat tak boleh ditangkap. Pelanggar dikenakan sanksi kurungan enam bulan penjara atau denda Rp50 juta.

“Dulu banyak yang cari ikan dengan bom dan potassium. Lama-lama laut dan terumbu karang hancur. Mulai dari situ masyarakat makin mengerti cara menjaga laut sehingga jangan ada kerusakan terumbu karang dan habitat ikan. Pemerintah kasih aturan ke masyarakat supaya ikan jangan di tangkap. Kita punya daerah bisa berubah. Masyarakat bisa jaga lingkungan daerah ini jadi tidak ada perahu bom, potas,” jelasnya bersemangat. 

Sejak tahun 2003, pemda setempat juga  mulai menginisiasi kampung wisata. Ada lima kampung yang dibina pemerintah kabupaten menjadi desa wisata untuk mengangkat potensi dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Kelima Kampung Wisata adalah Arborek, Sawinggrai, Yenbuba, Yenwoubnor, dan Sawandarek. Mereka mengawali dengan membangun home stay dan membentuk kelompok sadar wisata.
“Pemerintah mulai memperhatikan kampung, Ada penyuluhan antara masyarakat dan pemerintah sedikit demi sedikit mulai mengerti, bertahap, tidak sekaligus. Kami mencari ikan sekadar untuk makan, cuman cari ikan hidup seperti kerapu. Dijual juga. Masyarakat kerja sambil monitoring laut dan masyarakat berhenti cari hiu,” Pak Mambraw menjelaskan awal mula kampungnya menjadi rintisan kampung wisata.
Perempuan Arborek membuat kerajinan topi sari daun pandan / nonie

Bibir pantai Kampung Arborek /nonie
Dan mereka tak lagi menangkap ikan sembarangan. Bahkan di beberapa tempat di sekitar laut lepas yang dangkal terpasang papan larangan menangkap jenis-jenis hasil laut di kawasan tertentu untuk mendukung konservasi laut berbasis masyarakat.  Kini, tak melulu melaut, mereka mendapatkan penghasilan dari pawisata seperti menjadi guide, mengelola homestay dan kerajinan tangan. 

Jadi tak hanya transit, wisatawan bisa membeli kerajinan tangan yang terpajang di galeri dekat pintu masuk kampung atau menyaksikan aktivitas penduduk lokal membuat kerajinan tangan. “Abis dari manta point pasti lari ke jetty. Bisa membeli topi, tas, anyaman, noken dari daun pandan sambil lihat ibu-ibu bikin kerajinan dan membeli ikan segar hasil tangkapan.”

Pak Mambraw menambahkan, warga makin sadar wisata. Mereka terbuka menggalakkan dan mengembangkan Kampung Arborek dengan membangun homestay sendiri. “Lebih baik bikin sendiri. Biasanya nginap semalam tarip Rp 500 ribu. Kalau dikelola sendiri lebih menguntungkan. Daripada bekerja di homestay milik orang,” jelasnya sambil menunjukkan beberapa homestay. 

“Sejak banyak wisatawan datang bikin kerajinan. Sehari bisa bikin tikar panjang 1,5 meter. Ada wisatawan datang bisa langsung beli tikar sagu, topi, noken, tas,” ungkap Emi Dimara, perempuan pembuat kerajinan topi.

Tak Memancing di Jetty
Hal serupa juga bisa di saksikan di Kampung Wisata Yenbuba yang berada di dekat Pulau mansuar yang dihuni 70an KK. Pak Marcell, warga kampung menyambut kedatangan kami di jetty bercerita tentang perubahan yang terjadi di kampungnya. 

“Kita merasa ada perubahan. Tidak seperti dulu cari uang susah harus tangkap ikan. Sekarang uang cari kita di kampung. Orang datang kesini, ada perlu ini itu. Tidak seperti dulu lagi. jangankan 10 ribu, kita mau cari 5 ribu saja susah. Tidak seperti sekarang uang gampang.” 
Pintu masuk Kampung Yenbuba
Dermaga Kampung Yenbuba /nonie
Dermaga Kampung Yenbuba /nonie
Pak Marcell mengaku bahwa semua warga kampung punya kesadaran dan sangat paham menjaga alam dan lautnya. Pun dengan anak-anak yang belajar dari orangtua dalam memperlakukan kekayaan laut mereka.
“Tidak boleh ada aktifitas memancing sembarangan. Kami sudah deklarasikan itu jadi semua orang tahu dan paham cari harus beberapa mill baru bisa mancing. Ada tempat khusus untuk mancing. Anak kecil mengerti kalau orangtua kasih tahu tidak boleh jadi sampai sekarang tidak ada anak-anak yang mancing. Di atas jembatan sepi. Sebelum ada larangan anak-anak setiap hari ramai mancing di jembatan.”

“Kita tak boleh tangkap ikan di sini, harus ke tengah laut,” kata salah satu anak yang tengah asyik bermain di sepanjang jetty.

Kini, setiap pengunjung yang datang ke Raja Ampat tak hanya menemukan “surga” di bawah laut tapi juga “surga” di daratan. Dan setiap saat mereka selalu siap menunggu pengunjung dari seluruh dunia untuk menikmati keindahan Pulau Surga di bibir Pasifik ini. (Noni Arnee)