Pages

Selasa, 16 Mei 2017

Jurus Sakti Bernama Inovasi

Jajaran toples-toples bening berisi tembakau berbagai ukuran di atas meja pajang dua susun di sisi kiri pintu masuk seolah menyambut pengunjung yang memasuki Kafe Mukti di Jalan Wahid Hasyim No 2A Kota Semarang. Di badan masing-masing toples tertempel kertas bertulis tangan yang menyebutkan jenis tembakau rajangan di dalamnya.
Sedikitnya 50 jenis tembakau dipamerkan dan ditawarkan kafe itu. Dari tembakau lokal seperti Srinthil Temanggung, Besuki Jember, Paiton, Bojonegoro, Madura, Maesan, Lombok, Soppeng hingga tembakau mancanegara seperti Virginia danHavana dengan berbagai varian. Juga koleksi tembakau tertua yang tersimpan selama 35 tahun.
Sementara di sisi kanan, kotak kaca menempel di dinding berisi beragam cerutu dari beberapa negara. Dipajang sebagai koleksi bersanding dengan koleksi cerutu produksi Kusumaatmadja Agung (69), si pemilik kafe.
Khusus cerutu buatan Agung, jangan bayangkan sebuah gulungan daun tembakau kering yang dilinting padat dan halus dengan daun Besuki itu menebar aroma khas tembakau yang “anthep” atau “berat” dan pahit  saat dibakar dan diisap. “Agung Cigar” kualitas premium dengan varian lightoriginal dan dark ini beraroma lain, seperti kopi, cokelat, vanila, dan berbagai aroma buah.
“Cerutu umumnya berasa berat dan pahit. Pengisapnya kebanyakan orang dewasa atau orang tua. Saya bikin yang ringan dengan memberi rasa yang umumnya mereka sukai,” ujar Agung sembari memperlihatkan beberapa cerutu produknya kepadaIndepeden.
Rasa yang jadi varian cerutunya juga bisa dicecap lidah si pengisap. Begitu juga dengan produk varian dari tembakau linting (rolling tobacco) dan tembakau linting (roll your own tobacco) yang dapat dinikmati dengan rasa green tea, mocca, cherry, mint hingga bubble gum. Atau rokok kretek (clove cigarette) merek Kentana dan Macona yang diracik dari beberapa jenis tembakau dan cengkeh asal Menado.
Agung memang harus bekerja keras menciptakan inovasi dalam peracikan produk olahan tembakaunya untuk merebut pasar. Terutama “pasar baru” cerutu yang menyasar anak-anak muda. Sebagai produsen cerutu, dia terbilang baru. Tapi kemampuan meracik melahirkan inovasi kreatif di tahun 2010 tekanan yang dihadapi “pemain tembakau” ini.
Sebelumnya, seperti yang dilakukan kakek dan ayahnya setengah abad lalu, Agung  hanya berjual-beli tembakau dan memasok pabrik-pabrik rokok kelas menengah dan kecil. Usahanya berkembang hingga mempunyai jaringan petani tembakau yang setiap panen siap menjual tembakau kepada dirinya.
“Terus terang hampir frustrasi. Bisnis tembakau sama sekali tidak jalan. Teman-teman juga mengeluh sama. Kalau tidak salah itu mulai tahun 2005. Baru lima tahun kemudian saya utak-atik memproduksi tembakau yang saya punya,” katanya.
Meski “pemain tembakau” kawakan, Agung mengaku nekat menjajaki pasar cerutu sebagai usaha kerasnya berinovasi menyasar pelanggan muda. Ia menwarkan tembakau bercita rasa “ngepop” dengan variasi rasa.
Meskipun lebih banyak berjual-beli tembakau, Agung punya kemampuan meracik rokok yang didapat dari leluhurnya. Kalau ayah dan kakeknya lebih banyak memakai bumbu dan rempah sebagai saus rokok, Agung memodifikasinya dengan aneka varian buah. Seperti tembakau berasa buah yang terbilang unik ini.  “Saya ambil stroberi yang paling bagus dari Lembang, Bandung karena stroberi sana berasa manis. Saya ekstrak dengan cara tradisional, dipotong, dikukus, diperas, dan diambil air sari buahnya.”
Agung juga berinovasi dalam kemasan bungkusan yang cenderung berwarna pastel, warna yang menurutnya disukai anak muda. Tak hanya itu, dia juga membuat cerutu kecil yang disebutnya mini-cigar dalam kemasan satu bungkus berisi lima dan dua.
Bagaimanapun juga, kreativitas tersebut menyelamatkan Agung dari rasa frustrasi untuk alih profesi. Inovasi yang dikembangkan dalam produk cerutu, tingwe, dan tembakau cangklongnya telah menuai hasil. Lebih-lebih, proyeksi pasarnya terpenuhi. Kafenya hampir setiap malam, anak-anak muda berkumpul menikmati tembakau khas dari Agung.

Taru Martani Bangkit dari Keterpurukan
Apa yang dialami Agung boleh disebut tak seberat yang dialami Taru Martani, pabrik cerutu legendaris di masanya yang berlokasi di Baciro, Yogyakarta. Perusahaan cerutu milik Pemerintah Daerah (Pemda) Yogyakarta ini bahkan hampir gulung tikar.
Taru Matani yang berdiri sejak 1918 itu dihantam badai krisis keuangan. Bahkan performa perusahaan dinilai meragukan sehingga tidak layak mendapat pinjaman untuk membayar cukai. Tanpa cukai, Tara Martani tidak bisa menjual produknya.
“Kami nekat menelepon distributor dan memberi diskon dengan harga cukai lama. Meski menjanjikan produk yang belum diproduksi akhirnya dapat dana segar dari distributor dan dipakai untuk bayar cukai agar bisa berproduksi,” kata Slamet, Kepala Bagian Keuangan TM PT Taru Martani.
Kesulitan keuangan itu terjadi selepas Yogyakarta mengalami gempa tahun 2004. Banyak piutang tak bisa ditarik dan utang perusahaan tak terbayar. Bahkan, pada tahun 2013, Pemda Yogyakarta membantu beban utang yang ditanggung perusahaan.
Dalam terpaan krisis, muncul gagasan inovatif di tahun 2010 dengan menciptakan tembakau iris baru pengganti dua jenis tembakau impor yang tak mampu dibeli. Yakni Mundi Victor pengganti Van Nelle dan Violin pengganti Drum. Tembakau iris ini melengkapi varian cerutu lokal milik Taru Martani seperti merek Mundi Victor,Senator, Adipati Corona, Ramayana Corona dan varian produk ekspor Long Filler.
Untuk bangkit dari keterpurukan, Taru Martani melakukan segmentasi pasar dengan pembedaan cita rasa. Tembakau iris Mundi Victor untuk segmen kelas, sedangkanCountry Man untuk kelas menengah, dan Violin untuk target pasar anak muda.
Tembakau iris ini mempunyai pasar terbesar di Sumatra, Jawa, Bali dan Kalimantan. Taru Martani juga membuat sendiri cerutu flavour untuk mengetatkan biaya produksi. “Buat sendiri ternyata jauh lebih murah,” kata Slamet dengan tersenyum.
Dari Laporan Keuangan Taru Martani menyebutkan, penjualan produk cerutu sebelumnya berada di titik terendah antara tahun 2006-2009. Kejayaan Taru Martani yang dikenal dengan ekpor cerutu ke mancanegara hingga 70 persen dari total poduksi harus beralih pada pasar lokal. Sebabnya penjualan cerutu ekspor dalam 10 tahun terakhir kurang menggembirakan.
Di tahun 2006 penjualan cerutu ekspor mencapai Rp1,19 miliar dan mengalami titik terendah di tahun 2012 yang hanya menghasilkan Rp649 juta. Angka penjualan tertinggi ada di tahun 2009 sebesar Rp4,73 miliar dan tahun 2013 sebesar Rp3,59 miliar. Tahun 2016 hanya mampu menghasilkan Rp601 juta. Penjualan cerutu lokal stagnan dengan kisaran Rp 2 miliar- Rp2,68 miliar.
Produk tembakau iris Mundi Victor mampu mengangkat penjualan hingga Rp3,28 miliar, dan tahun 2016 mencapai Rp7,61 miliar. Sedangkan penjualan Country mancenderung stagnan. Tapi di tahun 2016 nilai penjualan tercatat naik menjadi Rp5,19 miliar dari tahun sebelumnya senilai Rp3,834 miliar. Sedangkan Violin dari tahun 2010 sebesar Rp139 juta menjadi Rp 953 juta di tahun 2016.
Ya, beberapa strategi Taru Martani memang berhasil membuat perusahaan cerutu itu tetap berproduksi. Laba perusahaan meningkat meski tidak cukup signifikan. Setidaknya perusahaan ini bisa bangkit dari titik terendah pada 2012. Laba perusahaan hanya hanya Rp16 juta dengan kontribusi pendapatan asli daerah Rp9 juta. Laba terus meningkat hingga di tahun 2016 menjadi Rp2,03 miliar dan mampu menyumbang pada kas daerah sebesar Rp1,01 miliar.
Slamet mengatakan ketika ramai kampanye antirokok dan Taru Martani terpuruk. DPRD pun mengusulkan menutup perusahaan karena tidak untung. Tapi perusahaan ini bertahan dan bangkit. “Setidaknya bisa nguripi (menghidupi) pekerja dan menghindari PHK. Berat karena harus memikirkan setoran ke pemda dan biaya cukai yang setiap tahun naik,” katanya.

Noni Arnee

http://independen.id/read/khusus/386/jurus-sakti-bernama-inovasi/














Bertahan dari Himpitan Regulasi Kretek

Regulasi ketat pembatasan konsumsi tembakau dan produk olahannya memengaruhi  bisnis pertembakauan berskala menengah dan kecil. Sebagian besar dari mereka gulung tikar. Sebagian bertahan karena pintar berinovasi dan menyiapkan regenerasi.  Independen menurunkan laporan bersambung tentang dinamika perusahaan kretek lokal dari berbagai sisi.

-----------
Kusumaadmadja Agung (69) masih ingat kejayaan usaha tembakau orang tuanya. Saat itu, di lantai dua gudang  toko tembakau ayahnya di Jl Wahid Hasyim 2A, Kota Semarang, bronjong-bronjong tembakau bertumpukan. Daun tanaman bernama Latin Nicotiana tobacco  itu dibeli ayahnya dari para petani di berbagai daerah di Jawa.
Sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, Agung diandalkan meneruskan bisnis tembakau keluarga yang dirintis Yap Sing Tjay, sang kakek yang berasal dari Xiamen, Tiongkok. Sejak usia belia, aroma tembakau sudah akrab tercium hidungnya. Lebih-lebih Bram Mukti Agung, sang ayah, kerap mengajaknya berkeliling daerah untuk membeli tembakau dari para petani.
Ketika ayahnya memproduksi rokok, Agung kecil pun membantunya. “Kakek hanya jualan tembakau. Lalu Ayah mulai memproduksi rokok kretek cap Lelo-lelo Ledung. Bikinnya di gudang Weleri, Semarang, Pekalongan, dan Tegal. Saya masih kecil tapi sudah ikut bikin dan jualan berkeliling naik sepeda di Semarang,” katanya ketika ditemui koresponden Independen saat di Kafe Mukti, miliknya, akhir Maret 2017.
Bisnis tembakau pada masa-masa itu begitu menjanjikan. Hari-hari Agung banyak dihabiskan di daerah-daerah tembakau. Relasinya dari kalangan petani tembakau sangat banyak. Tak mengherankan saat musim panen banyak pabrik rokok memintanya membelikan tembakau dengan komisi 5 persen dari harga pembelian.
Ketika tak banyak memiliki stok tembakau dan kondisi semakin sulit, kini, ruangan di lantai dua toko disulap menjadi kafe. Selain menyediakan pelbagai minuman dan penganan ringan, pengunjung bisa membeli tembakau iris  dan menikmati tembakau lintingan berbagai jenis. Ada juga cerutu produksi Agung, ciri khas dagangnya.
Dia tetap melanjutkan usaha yang sudah dirintis kakeknya. Sebuah pilihan yang tak terelakkan ketika tak lagi kerap berkeliling ke daerah tembakau, karena tak banyak tembakau yang bisa dibeli. Di gudangnya di kawasan Weleri, tembakau tersisa sekitar 80 ton. “Ya, saya rasa banyak yang meninggalkan bisnis ini. Alih usaha. Ada yang stres, sakit. Ngeri ceritanya,” katanya.
Hal itu terjadi karena kondisi saat ini berbeda dibandingkan masa jaya jual beli tembakau periode 1997-2000. Mencari jalan bertahan dengan produksi sendiri harus terus dilakukan jika tak ingin gulung tikar. Seperti yang ia lakukan dengan memproduksi cerutu tahun ini. “Urusan merek dan perizinannya sudah beres. Paling tidak bisa untuk produksi dua atau tiga tahun,” cerita Agung.
Noni Arnee

http://independen.id/read/khusus/385/bertahan-dari-himpitan-regulasi-kretek/

Rabu, 14 Desember 2016

Bencana Itu Di Depan Mata

Dusun Tambaksari nampak dari kejauhan, terisolasi karena abrasi / nonie arnee
Ketika menyusuri Dusun Senik, Sayung, Demak bersama Nurohman, saya teringat ketika kali pertama menjejakkan kaki di dusun ini. Tepatnya, delapan tahun silam. Dusun ini sudah lama diterjang abrasi. Separuh rumah di dusun ini sudah ditinggal penghuninya karena rusak, tinggal puing-puing dan terendam termakan abrasi.

Meski begitu sebagian warga masih nampak beraktivitas senormal mungkin. Mereka masih mencari ikan di laut sebagai mata pencaharian utama. Kegiatan ekonomi masih hidup. Dan jalan utama dusun  masih bisa dilalui kendaraan roda empat. Bahkan  saya masih bisa menyusuri jalan setapak menuju ujung dusun.

Tapi kini, di atas sampan, saya dan warga Dusun Senik itu  hanya bisa berbagai kenangan tentang dusunnya. Semua yang pernah saya lihat di Dusun Senik  delapan tahun silam tak lagi berbekas. Yang nampak hanya sisa-sisa bangunan dan rimbunan pohon mangrove yang menjadi habitat burung kuntul.

Ya, ternyata kemampuan beradaptasi warga tak sebanding dengan masifnya bencana di depan mata mereka sehingga membuat kehidupan ratusan kepala keluarga di Dusun Rejosari Senik tenggelam. Bencana abrasi tidak hanya membuat rumah-rumah hancur, tapi  juga terpuruknya perekonomian warga, hilangnya  mata pencaharian dan ikatan hubungan sosial.

Pemerintah menganggap relokasi menjadi pilihan terakhir dari ancaman abrasi hingga kemudian warga Senik dipindahkan ke Desa Gemulak dan Sidogema di Kecamatan Sayung.
Tapi benarkah itu solusi terbaik? Saya kembali teringat pada Sumadi. Warga Tanggultlare, Jepara yang saya temui di bibir pesisir pantai utara Jepara. Ia berkisah beratnya beradaptasi di tempat baru karena di relokasi setelah desanya habis dilalap abrasi. Tak cukup sekali relokasi, keganasan abrasi membuat warga relokasi hingga tiga kali. Tapi itu delapan tahun silam. Entah sekarang.
Abrasi yang terjadi di kawasan Sayung, Desa Bedono selama 20 tahun terakhir diperkirakan yang terbesar di kawasan pantai utara Jawa bahkan di Indonesia. Luas kawasan yang terkena erosi mencapai 2 ribu hektar lebih yang menyebabkan garis pantai mundur sepanjang 5 kilometer dari garis pantai di tahun 1994 lalu.
Berbagai upaya dilakukan. Mulai dari penanaman dan pemeliharaan mangrove, pembuatan green belt, talut pemecah ombak dari beton, revitalisasi tambak untuk kegiatan budidaya ramah lingkungan. Hingga peraturan desa (perdes) tentang perlindungan kawasan pesisir dengan membagi tiga zona utama yaitu area mangrove, area rehabilitasi dan area larang tangkap.

Pemerintah  juga tak mau dianggap hanya berdiam diri. Sembari menunggu hasil revitalisasi ekosistem mangrove yang dianggap menjadi solusi terbaik. Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memprioritaskan penanganan pesisir di pantura Jawa khususnya Demak dengan merealisasikan pilot project restorasi pesisir melalui Program Membangun Bersama Alam, melalui pembangunan struktur pelindung pantai konstruksi pemerangkap sedimen berstruktur hybrid yang terbuat dari kumpulan ranting dan kayu.
Teknologi ramah lingkungan pemasangan alat pemecah ombak berbasis alam yang disebut  hybrid engineering hasil adopsi dari Belanda ini diyakini mampu mengurangi laju abrasi dan menstabilkan garis pantai dengan membalikkan proses hilangnya sedimen.

Tapi, jika ditilik ke belakang, faktor alam hanya menyumbang kecil munculnya abrasi. Naiknya permukaan air laut yang masif itu justru lebih lebih besar disebabkan oleh ulah manusia. Tidak hanya  karena masifnya penyedotan air tanah yang menyebabkan land subsidence hingga 13 sentimeter per tahun tapi juga karena pembangunan yang tak ramah lingkungan. Bangunan yang menjorok ke pantai dan proyek reklamasi jelas nyata memberi andil terbesar bencana abrasi.
Abrasi sudah terjadi puluhan tahun. Bencana itu sebenarnya ada di depan mata kita dan sudah seharusnya hal itu tidak dianggap sebagai hal biasa.
Selama pembangunan tidak berpihak dengan alam, maka ada dampak yang akan selalu muncul. Dan selama pemerintah selaku pemegang otoritas tidak tegas memberi regulasi dengan mengedepankan pembangunan berperspektif lingkungan, maka pada akhirnya itu justru menjadi bumerang.
Alam akan selalu mencari keseimbangan. Dan seperti kata pepatah bijak “Ketika alam sudah mulai tidak bersahabat, maka manusia harus siap menerima derita.” Tapi apakah adil jika yang akan menui derita justru orang-orang yang selama ini hidup harmonis berdampingan dengan alam?

Senin, 03 Oktober 2016

Kisah Mbah Gotho, pria yang diduga manusia tertua di dunia

Tangan Sodimedjo meraba-raba bangku yang ada di sisi kanannya dengan gerakan lambat. Penglihatannya sudah kabur. Pada usia yang menurut pengakuannya telah menginjak hampir 146 tahun , jarak pandangnya tak sampai satu meter. Tapi ia bisa merasakan keberadaan orang-orang di sekitarnya.
“Aku mau minum dingin,” katanya berulang kali dengan logat bahasa Jawa kental.
Dalam hitungan menit, Suwarni, istri salah seorang cucunya, datang membawa sebotol minuman soda dingin. “Ini dingin, Mbah. Enak, coba minum,” kata Suwarni sambil menyorongkan botol minuman tersebut ke mulut Sodimedjo.

Berdasarkan pengakuan Sodimedjo alias Mbah Gotho yang lantas dimasukkan pada Kartu Tanda Penduduk (KTP), dirinya lahir di Klaten, Jawa Tengah, 31 Desember 1870 lampau. Artinya, jika pengakuan Mbah Gotho benar, dia hampir berusia 146 tahun, melampaui rekor manusia tertua dari Jepang yaitu 112 tahun.

Namun, umur tak membatasi Mbah Gotho untuk hal-hal tertentu. Pria itu masih bisa menikmati es krim, es teh, dan rokok filter yang diisapnya setiap hari. Ingatannya bahkan masih cukup kuat ketika bercerita tentang peristiwa lalu, antara lain keberadaan Pabrik Gula Gondang Winangoen di kota kelahirannya, Klaten, Jawa Tengah, yang semula bernama Suikerfabriek Gondang Winangoen semasa penjajahan Belanda.
“Kalau musim giling itu suara mesinnya keras terdengar sampai ke kampung. Dulu saya suka main di pabrik. Jaman dulu itu jalan besar tidak ada kendaraan, motor, bus. Tidak seperti sekarang," ungkap Mbah Gotho saat diwawancarai wartawan Nonie Arnee.

Sebagai catatan, Pabrik Gula Gondang Winangoen didirikan pada 1860 oleh NV Klatensche Cultuur Maatschappijpabrik dan Pabrik Gula Mojo Sragen pada 1860. Pabrik tersebut masih beroperasi pada era 1930-an hingga 1942. Tak bisa dipastikan pada periode mana Mbah Gotho mengingat masa-masa pabrik gula itu, yang bisa menunjukkan kebenaran pengakuan usianya. Masalahnya, tak ada sumber lain yang bisa mengukuhkan pengakuannya.

Selain pabrik gula, hal lain yang diingatnya ketika dia dan warga kampung mencegat dan membakar tank tentara Belanda saat melintas di jembatan kampung. "Ambil kayu di hutan, disiram bensin terus dinyalakan. Tank Belanda datang, dicegat terus, duuaar," serunya, menirukan suara ledakan.
Cara bertuturnya masih runut, meski sesekali berbicara tak tentu arah, kerap berganti -ganti topik pembicaraan.

Ketika ditanya tentang pendamping hidup, Gotho tak mampu mengingatnya dengan pasti. "Istriku banyak, ada anak Wedana Gondang, ada anaknya Demang di kampung sini. Dulu belum cerai saja saya sudah punya istri lagi. Tapi istriku sudah meninggal semua, anakku empat, yang masih hidup hanya saya,” ujar Mbah Gotho.

Nama asli Mbah Gotho adalah Sodimedjo. Namun, nama itu baru disandangnya setelah menikah.
“Aku lahir Bulan Sapar, makanya orangtuaku memberi nama Suparman.”

Dirawat cucu
Tak banyak informasi yang bisa digali tentang kehidupan Mbah Gotho yang lahir dari pasangan Setrodikromo dan Saliyem. Sepeninggal anaknya pada 1993, cucu dari istrinya yang keempat yang merawatnya. Nama sang cucu adalah Suryanto.
Suryanto sendiri baru mengenal sosok Mbah Gotho karena tak pernah berinteraksi sebelumnya. “Dulu Mbah ikut ibu saya yang bernama Sukinem, karena tidak ada sanak saudara akhirnya saya ambil. Saya sebelumnya tidak mengenal, “ujar Suryanto.

Kini, Mbah Gotho tinggal bersama pasangan Suryanto dan Suwarni di Dusun Segeran, Desa Cemeng, Sragen Jawa Tengah. Menurut Suryanto, Mbah Gotho dikenal sebagai sosok yang rajin bekerja dan penyabar. “Dari dulu sehat, tidak bisa diam di rumah. Mencangkul, mencari rumput. Ia punya kebiasaan bangun pagi dan tidak pernah menggunakan alas kaki. Keluhannya hanya meriang dan dikerokin saja pasti sembuh.”

Suryanto juga mengaku jika Mbah Gotho tidak pantang terhadap jenis makanan apapun. “Tidak pernah mengeluh. Jadi ngurusin nggak susah.”
Kondisi fisik Mbah Gotho memang menurun sejak enam bulan terakhir, sehingga aktivitasnya kini terbatas. Pria itu hanya duduk di teras dan ketika merasa lelah akan kembali ke tempat tidur.
“Jalan harus dibantu, makan disuapi dan dimandikan sehari dua kali. Tapi itu wajar karena usianya.”

Kebenaran usia Mbah Gotho
Namun, benarkah usia Sodimedjo setua itu?Keabsahan identitas yang merujuk pada waktu  kelahirannya memang bisa dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) yang menginduk pada Suryanto, sebagaimana diterangkan Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sragen, Wahyu Lwyanto.
Namun, Mbah Gotho tidak memiliki akta kelahiran sehingga tahun dia dilahirkan hanya berdasarkan pengakuannya. “Identitas seseorang harus ditunjukkan dengan akta kelahiran, tapi dia tidak punya karena waktu itu memang belum ada. Data berdasarkan informasi dan pengakuan yang bersangkutan ketika masih lancar berkomunikasi, sehingga kemudian diterbitkan identitas resmi.,” kata Wahyu.
KTP Sodimedjo masih KTP reguler karena pada saat perekaman e-KTP tahun 2012 lalu, ia tidak ikut dengan alasan identitas yang dimiliki berlaku seumur hidup.
Pembuatan e-KTP bagi Mbah Gotho, menurut Wahyu memiliki kendala. “Sistem yang ada hanya bisa membaca tahun kelahiran yang dimulai tahun 1990 dan sulit deteksi iris mata karena tidak jelas. Nanti diusahakan dengan sidik jari.”

Siapkan pemakaman
Walau berpotensi memecahkan rekor sebagai manusia tertua di dunia, nyatanya Mbah Gotho tak suka  dengan umur panjangnya. Dia pun sudah menyiapkan pemakamannya sejak jauh hari.Bahkan, nisan bertuliskan namanya telah bercokol di samping rumah. “Kematian itu hal yang saya inginkan. Nisan itu untuk jaga-jaga, beli sendiri. Sudah komplet, rumah kuburan dan cungkup sudah siap, tinggal menunggu dipanggil. Kalau saya meninggal harus cepat dimandikan, didandani, pakai baju, celana, kaos tangan komplet, dasi, dan kacamata. Terus dibawa ke makam dan ditidurkan dengan petinya. Dicor biar tidak longsor,” ujarnya sambil menunjuk nisannya.

Keinginan Mbah Gotho itu sempat membuat was-was Suryanto. “Persiapan Mbah Gotho terlalu lama, sejak tahun 1993 sampai sekarang. Awalnya takut dan khawatir itu firasat, tapi lama-lama jadi biasa saja.”

di muat di BBC Indonesia
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/09/160902_indonesia_mbah_gotho_manusia_tertua

Kiai Budi dan Romo Budi: 'Perbedaan justru memperkaya kita'

Bertemu 12 tahun lalu, Kiai Budi dan Romo Budi di Semarang cepat akrab dan menjadi sahabat. Perbedaan, kata mereka, tak menjadi penghalang tetapi sebuah resep agar hidup 'semakin kaya.'
Hari raya Idul Fitri menjadi hari spesial bagi Aloysius Budi Purnomo, yang biasa dikenal dengan nama Romo Budi.
Walau beragama Katolik, dia selalu menyempatkan diri berkunjung ke Pondok Pesantren Al-Ishlah, Semarang, untuk bertemu sahabatnya, Amin Maulana Budi Harjono atau akrab disapa Kiai Budi.
Sejak bertemu 12 tahun lalu, Romo Budi dan Kiai Budi hingga kini terus bersahabat.
Gereja Ismail di Alor dibangun atas inisiatif warga Muslim
Ketika perempuan berkerudung Muslim dan Kristiani menyerukan persahabatan dan toleransi
Mayoritas siswa SMA negeri 'toleran tapi ada potensi radikal'
"Saya memandang orang lain bukan selubung labelnya, tapi hatinya karena Tuhan bersemayam di hati manusia. Gereja dan masjid itu sarana, karena itu memanusiakan manusia itu bagian dari misi agama yang hakiki,” kata Kiai Budi.

'Memperkaya'
Tak cuma saat Lebaran dua Budi ini bertemu. Ketika Kiai Budi mengunduh mantu salah satu santrinya, kedatangan Romo Budi tak sekadar tamu, tapi didapuk memberi doa dan petuah pernikahan bagi kedua mempelai yang sungkem.
"Saya dianggap orang tua dan saya satu-satunya Katolik di situ dan seorang Romo. Jadwalnya nggak cocok pun dicocok-cocokkan supaya bisa ketemu. Apalagi pada saat kangen ngobrol atau sekadar bermain gitar di pondok," ujar Romo Budi.
Juga ketika salah satunya berulang tahun, atau ketika Kiai Budi dan para santrinya diundang ke gereja.
"(Dia) langsung bersedia ketika diminta mempersembahkan tarian mengiringi kepergian Uskup Agung Semarang yang meninggal tahun lalu. Apa yang dilakukan itu lebih dalam dari toleransi. Saya sangat dimuliakan dengan tindakan kasih dan tidak berpikir bahwa imamat saya direndahkan."
Bagi keduanya, ini adalah tindakan sederhana diyakini bisa membawa pesan damai dan kerukunan.
"Kendati berbeda, talenta (Kiai Budi) untuk membangun persaudaraan dengan perspektif positif sangat luar biasa. Perbedaan itu justru memperkaya kita," ujar Romo yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi Hubungan Antaragama Keuskupan Agung Semarang (KAS).

Ketika tarian sufi dibawa ke gereja
Tapi kegiatan antar agama yang mereka lakukan kadang mendatangkan kontroversi, misalnya ketika Kiai Budi membawa tarian sufi ke gereja.
“Sufi diasumsikan Islam dan ketika dibawa ke gereja jangan dikira tanpa masalah. Tarian dihentikan dengan alasan aneh dan menyalahi aturan karena tidak sesuai dengan sunah Rasul. Konflik itu muncul karena kurang memahami,” jelas Kiai Budi.
Tarian Sufi digunakan oleh Kiai Budi dalam beberapa tahun terakhir di berbagai kesempatan sebagai pesan persaudaraan dan ungkapan iman sekaligus cinta pada kepada Tuhan.
Romo Budi mengakui bahwa pro-kontra semacam ini pasti terjadi, tetapi itu tidak menyurutkan langkah mereka mempromosikan perdamaian melalui dialog dan perjumpaan antar umat.
“Saya semakin menjadi Katolik dalam perjumpaan dengan beliau sebagai seorang Kiai," katanya.
"Kami bisa menerima tanpa curiga ketika Bu Sinta Wahid datang ingin berbuka puasa di gereja. Tidak perlu curiga saya di-Islam-kan, dan (takut) jika tausiyahnya akan membuat umat lain kepincut."
Dan sebagai imam, Romo Budi menganggap bahwa tugasnya tidak hanya pelayanan sakramental di altar tapi juga bergerak di 'semak belukar', di seluruh segmen kehidupan untuk mewujudkan persaudaraan dan perdamaian.
“Kami ingin menjadi kaum berjubah yang berjiwa inklusif dan pluralis, maksudnya kaum berjubah yang merangkul siapa saja dalam semangat keberagaman," kata Romo.
“Makanya saya sering menyebut bahwa kamu adalah aku. Dan aku adalah kamu yang lain,” tandas Kiai Budi. 

Dimuat di BBC Indonesia di rubrik trensosial

http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/07/160708_trensosial_budi