Pages

Jumat, 26 Oktober 2012

Cinta Kopi Setengah Mati

Sebagai penikmat kopi, Herman Sudiyono (41), tak begitu peduli dengan jenis kopi hitam yang dia nikmati setiap hari. Dia tak memedulikan mereknya. Yang penting buatnya, racik, seduh, seruput.  Dia bahkan minum kopi dalam porsi besar. “Aku minum kopi sekaligus sebagai pelepas dahaga. Apalagi kalau siang, pakai gelas besar bergagang,” ujar karyawan di salah satu sekolah swasta yang selalu membuat sendiri kopi seduhannya.


Dia memiliki kebiasaan ngopi sejak empat tahun terakhir ini lantaran pekerjaannya sebagai teknisi 24 jam. Lalu dia jadi kecanduan. “Kalau kerja lembur ya ditemani kopi. Setelah itu keterusan. Kalau di kantor sesiangan bisa menghabiskan empat hingga lima gelas. Kalau malam hari dua gelas .”

Selain tak pilik-pilih mereka, Dia lebih suka kopi yang praktis racikannya, terutama kopi pabrikan yang sudah dalam kemasan. “Bikinnya sederhana, aku lebih suka kopi berampas dengan rasa sedang.”
Jika Herman punya prinsip  ‘’yang penting ngopi’’, beda dengan Danar Dono. Kebiasaan ngopi yang ‘’diwarisi’’dari ibunya dimulai sejak dirinya SMA.Saat itu dia sering bergadang.  “Coba-coba minum kopi hitam, katanya khasiatnya bisa bikin melek.”

Hingga satu dekade ini ia sudah mencicipi berbagai macam kopi. Karena penasaran, ia mencoba semua jenis kopi yang baru ditemuinya seperti kopi Sumatera, Aceh, dan kopi impor dari Colombia dan Italia. “Kalau ke luar kota pasti hunting kopi. Apalagi kalau ternyata ada varian baru,  penasaran pengin coba rasanya entah enak atau tidak. Rasanya semua punya keunikan sendiri. Meski  aku lebih suka kopi Gayo karena pahitnya pas.”

Makanya tak heran jika ia mengaku kesehariannya tak komplit tanpa kopi. “Ngantuk nggak bersemangat. Kalau kerja aku bisa ngopi hingga 5 cangkir.”
“Sehari tidak ngopi rasanya tidak enak. Seperti ada sesuatu yang kurang. Tapi saya tidak sampai termehek-mehek gara-gara kopi,”imbuh Herman.

Memang, banyak alasan seseorang menikmati kopi. Salah satunya Jimmy Prasetyo (40) yang meminum kopi sebagai pengganti minuman suplemen yang sebelumnya sering dikonsumsi untuk menjaga mobilitasnya yang tinggi. “Kkalau  di luar kantor dari jam 8 pagi sampai 9 malam. Awalnya tidak suka kopi. Pertama coba minum kopi encer tanpa gula,” ujar penggemar expresso yang meracik sendiri kopinya.

Bagi Agus Ariyanto, kebiasaan ngopi hanya bersama kolega dan teman berubah setelah ia serius mendalami kopi hingga kemudian mendirikan kedai kopi di Pati.“Awalnya coba membandingkan kopi yang satu dengan kopi lain, berpindah dari kafe ke kafe yang lain untuk membandingkan tastenya seperti apa. Dulu suka capuccino, sekarang lebih suka yang strong seperti exspresso.
**

Bukan Tren Baru
Kebiasaan ngopi bukanlah tren yang baru belakang ini saja muncul seiring dengan menjamurnya gerai dan kedai kopi. Budaya itu sebenarnya sudah muncul di Arab, Eropa, Amerika dan belahan dunia lain sejak pertengahan abad lalu.

Namun, berubahnya budaya masyarakat dalam kebiasaan meminum kopi, dari pola konvensional (drip coffee system) yang hanya butuh 8 gram/cup menjadi expresso dalam bentuk kopi esktrak, yang butuh sedikitnya 15 gram/cup. Ini tentunya menjadi salah satu faktor meningkatkan jumlah konsumsi kopi.

Data dari  International Coffee Organization  (ICO) menyebutkan tren peningkatan  konsumsi kopi dunia terjadi sejak dua tahun lalu dengan jumlah rata-rata sebesar 2,5 persen pertahun. Dan tahun 2020 diprediksi kebutuhan kopi dunia mencapai 10,3 juta ton.

Sedangkan data International Coffee Festival (ICF), setiap harinya para pencinta kopi di dunia menyeduh sekitar 100 miliar cangkir atau sekitar 165, 9 ton. Di Indonesia sendiri membutuhkan kopi sekitar 121 ribu ton lebih per tahun.

Moelyono Soesilo (41), pengamat kopi asal Semarang mengatakan awalnya kopi hanya dinikmati kalangan dewasa dan tua. Namun sekarang terjadi pergeseran target pasar penikmat kopi ke anak muda.  Perkembangan mencolok terlihat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini, banyak juga penikmat kopi yang bukan hanya sekadar minum kopi saja. “Minum kopi sebagai sebuah seni karena tiap kopi itu punya ciri khas istimewa dalam setiap penyajiannya. Baik di kedai kopi kenamaan maupun kelas pinggir jalan,” ujar  wakil ketua Asosiasi Ekportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) Jateng yang sudah 20 tahun mendalami bisnis kopi. 

biji kopi
Moelyono sendiri sudah melalang buana ke sejumlah negara penghasil kopi dan mencicipi kenikmatan aroma dan cita rasa kopi di luar negeri. Sebut saja Hawaii Kona, Colombia Supremo, Illy, Segafreto dan Lavassa Italia. Atau kopi spesial dari Indonesia. “Saya bukan peminum kopi jadi tidak masalah kalau sehari tidak minum kopi.  Saya penikmat dan bisa membedakan aroma dan rasa kopi itu berasal.Saya pernah menikmati kopi di sebuah warung kopi yang dicampur dengan  jagung. Rasanya biasa tapi saya suka cara penyajiannya.” 

“Kopi terbaik itu relatif karena citarasa kopi tergantung penyajiannya. Saya biasa menggiling sendiri biji kopinya, racik sesuai keinginan dan nikmati tanpa gula. Bahkan saya punya standar untuk kopi yang akan saya minum,” imbuh Hardjanto Tjandra (40), penikmat kopi yang juga pemilik The Blue Lotus Coffee House di Semarang ini.

Menurut pria yang juga menjadi chief barista dan roaster ini, kini marak kedai kopi yang menawarkan cita rasa kopi dengan meracik spesial. Banyak alat untuk meracik biji kopi dengan berbagai macam cara untuk menghasilkan minuman kopi yang aroma, rasa dan after tastenya lengkap.”

Maka, tak heran jika penyanyi folk legendaris Bob Dylan saja menyelipkan kata "kopi" dalam lirik lagunya. "One more cup of coffee for the road
One more cup of coffee 'fore I go
 To the valley below".

Ya, secangkir kopi lagi untuk perjalanan
Secangkir kopi lagi sebelum aku pergi
Ke lembah curam itu.

Noni Arnee 

continued to "Kopi Lokal Juga Nikmat"

Kamis, 25 Oktober 2012

Menuju Pulau Burung

jalur yang harus dilalui


Tak sulit menuju Pulau Burung. Hanya dengan petunjuk seadanya, kami menemukan desa yang hanya dihuni 6 kepala keluarga ini. Dari Semarang kami menuju jalur pantura, tepatnya di jalan raya Semarang-Demak km 10. Kami dapat melihat dengan jelas papan petunjuk menuju obyek wisata Pantai Morosari. Dengan memasuki gerbang perkampungan jalan aspal berlubang sejauh 4 kilometer dari jalan raya, kami sudah berada di loket obyek wisata dengan tiket masuk Rp. 3 ribu per-orang dan parkir kendaraan seharga Rp. 7 ribu.

Dari Pantai Morosari, Pulau Burung dapat terlihat dengan jelas. Untuk menjangkaunya kami sengaja menyewa sampan bermotor milik nelayan yang disewakan untuk pengunjung. Tawar menawar harga bisa dilakukan, meski biasanya para nelayan mematok harga Rp.20 ribu/orang untuk sekali antar.

Namun, jika tak ingin merogoh kantong, sebenarnya kami juga bisa melalui jalur lain menuju Dusun Tambaksari, yakni dengan cara menyusuri Desa Pandansari dan Dusun Senik, yang letaknya berada di sisi timur Pantai Morosari. Jarak tempuh tentunya lebih lama karena harus berjalan kaki melewati jalan setapak sepanjang lebih kurang 1 kilometer dengan koral tajam yang hanya cukup untuk melintas satu orang saja. Melewati jalur ini juga harus ekstra hati-hati karena licin. Ditambah lagi dengan hempasan air laut yang tiba-tiba bisa naik ke permukaan. Yang pasti dijalur ini kami harus berhitung dengan waktu jika tak ingin terjebak dalam rob.

Meski cukup menguras energi, semua itu terbayarkan dengan pengalaman menyaksikan keganasan air laut mengikis daratan Sayung dan sensasi petualangan menyusuri jalan lorong ditengah rimbunan bakau yang diiringi deburan ombak serta sesahutan burung kokokan laut.

non

Benteng Terakhir dari Gerusan Abrasi



"Dulu di situ permukiman dan area tambak. Sisanya tinggal yang di sana itu,'' ujar Bobi sambil menunjuk ke rimbunan pohonan. 
Dari tepian pantai Morosari, Sayung, Demak, tempat yang ditunjuk pemuda 19 tahun itu mirip sebuah pulau kecil yang memanjang. Warnanya hijau pudar dan seperti tengan mengapung di atas air.
menuju Tambaksari
''Sekarang, orang menyebutnya Pulau Burung. Nanti saya antar ke sana pakai perahu,'' ujar Bobi lagi.
Siang itu, matahari tak begitu cerah. Langit tergayuti kabut. Angin hangat begitu kencang menampari muka kami. Laut belum pasang dan ombak tampaknya sedang bersahabat. Jadi, kami terima tawaran nelayan muda tersebut setelah bertransaksi soal harga sewa sekaligus jasa panduan di lokasi yang kami tuju.

Bersama kawannya, dia merapatkan sebuah perahu kecil ke dermaga kayu di pantai itu. Bentuknya seperti perahu ketinting bermesin diesel. Perahu itu sudah berayun-ayun dengan bibir nyaris menyentuh permukaan air ketika dua nelayan itu bergerak di atasnya. Sejenak kami berdua keder membayangkan kemungkinan perahu itu tak bisa dimuati empat penumpang. Apalagi, kami tak bisa berharap diberi pelampung.

Kami kembali memandangi hamparan air yang memisahkan Pantai Morosari dengan Pulau Burung yang hendak kami tuju. Jaraknya tak jauh. Hanya sekira dua kilometer. Dan di tengah perairan itu, kami melihat seorang nelayan tengah mencari udang dengan alat menganco yang diseret di dalam air. Air hanya menyentuh tubuhnya sebatas pusar. Artinya perairan yang bakal disisir perahu tidak dalam. Apalagi kata Misbah, teman Bobi, area perairan yang bakal dilalui perahu dulunya hunian yang telah ludas tergerus abrasi.

Kami jadi mantap menjejaki lantai perahu. Setidak-tidaknya, kalau di tengah perjalanan perahu terbalik, paling-paling hanya badan dan pakaian kami yang basah, juga kamera dan ponsel kami.

Perahu langsung bergoyang-goyang sehingga kami harus duduk di tempat-tempat yang disarankan Bobi untuk menjaga keseimbangan. Diesel dinyalakan dan perahu mulai bergerak. Cukup 15 menit, perahu sampai di tepian hamparan pasir yang mirip sebuah tanjung kecil.

***
PULAU Burung itu sebenarnya sepetak hamparan tanah yang tersisa dari proses abrasi yang menggerus Dusun Tambaksari, Desa Bedono, Sayung, Demak, beberapa tahun lalu. Di reranting mangrove dan brayu, beberapa jenis burung seperti kokokan laut, kuntul kerbau, atau blekok sawah itu bertengger. Asyik bercereceh seolah-olah menciptakan sebuah orkestrasi bersama deru angin laut.

Tak jauh dari habitat burung itu, enam rumah dan sebuah masjid, sebagian didirikan di atas beton yang menancap ke tanah berlumpur sisa-sisa. Tinggal enam dari 266 kepala keluarga yang masih bertahan. Dan seperti itulah rupanya area yang kami lihat dari tepi Pantai Morosari seperti pulau kecil yang terapung.

Untuk sampai ke wilayah pemukiman tersisa itu, dari tempat perahu ditambatkan kami harus menyusuri hamparan pasir di tengah perairan. Di situ, pecahan kerang putih yang disebut penduduk setempat disebut patang berserakan.
''Penduduk sering mengambili pecahan kerang itu untuk bikin manik-manik dan perhiasan,'' tutur Misbah.

Di tengah hamparan pasir yang memanjang itu, kami seperti dikepung air. Panorama di sekitar kami begitu eksotis: kapal-kapal yang terlihat begitu kecil, jauh di utara; camar-camar dan burung kokokan laut yang beterbangan tak jauh dari permukaan air untuk mencari ikan.

Berada di situ, di antara pecahan karang dan sesekali telapak kaki dibelai tempiasan ombak, saya membayangkan, orang-orang berjalan-jalan menikmati suasana pantai, atau mencari kerang yang berada di dalam pasir, dan ketika menengok ke arah selatan, matanya bersirobok dengan hunian dan area tambak. Beginilah dahsyatnya sebuah abrasi. Ia menenggelamkan apa saja yang tergerus. Ya, sebelum abrasi itu, hamparan pasir tempat kaki kami menapak dulunya adalah sebuah pantai.

''Belum lama dari sekarang, hamparan pasir ini menjelujur sampai ke tepi kafe itu,'' cerita Misbah. Kafe yang dia maksud adalah sebuah resto seafood yang masih kokoh berdiri di kawasan lokawisata Pantai Morosari, di dekat dermaga sebelum kami menumpang perahu tadi. Saya memperkirakan hamparan pasir ini sepanjang dua kilometer. Tapi kini, yang tersisa tinggal sekitar 200 meter.

***
DARI hamparan pasir itu, kami pergi ke makam Syekh Abdullah Mudzakir terlebih dahulu sebelum menelusuri Dusun Tambaksari. Kami harus mencebur ke air sedalam lutut sebelum naik ke jembatan beton selebar satu meter yang menghubungkan area pemukiman dengan kompleks makam tersebut. Di situ kami berpapasan dengan beberapa peziarah yang baru keluar dari area makam. Beberapa saat kami berada di makam sebelum menapaki jembatan beton, dilanjutkan pada titian bambu, lalu menyusuri satu-satunya jalan setapak di Dusun Tambaksari.




Penelusuran kami diiringi celoteh burung-burung. Kami harus berhati-hati ketika melangkah di jalanan dari batu koral. Begitu juga ketika sampai di jalan beton yang dibangun swadaya oleh enam kepala keluarga yang tersisa. Jalannya licin karena mulai ditumbuhi lumut. Jalan itu tersangga oleh tumpukan batu koral, mangrove dan pohon brayu di tepi-tepinya. Sepi sekali ketika itu, seolah-olah rumah-rumah di situ tak berpenghuni. Siang hari seperti itu, para kepala keluarga pasti tengah mencari ikan dengan perahu ketinting. Sebab, itulah pekerjaan utama mereka.

Kami berpapasan dengan seorang anak perempuan kecil berseragam sekolah. Sang ibu yang keluar dari rumah menyambutnya. Kami bercakap-cakap sebentar dan dari percakapan itu, kami tersadar, anak kecil tadi baru saja menyusuri jalan setapak sejauh sekitar satu kilometer dari sekolahnya di Dusun Pandansari. Betul, itu bukan jarak yang panjang. Tapi jangan membayangkan sebuah jalan beton seperti yang tengah kami susuri. Sebab, hanya sekitar 300 meter, jalan beton itu terputus oleh gerusan air. Yang ada lebih tampak sebagai tumpukan batu koral tak beraturan. Bahkan, bila air pasang, anak itu pasti harus menjinjing sepatunya. Dan  arena sekarang dia kelas dua SD, setidaknya dia sudah melakoni itu selama dua tahun.

Kami menuju rumah Pak Muhamad Fauzan (55), tetua dusun dan juru kunci Makam Syekh Abdullah Mudzakir. Kami melewati sebuah masjid, satu-satunya masjid di situ yang seolah-olah mengapung di atas kubangan lumpur. Dan pada satu kubangan lumpur lainnya, di antara mangrove dan brayu, sebuah dinding berlumut bekas rumah masih kokoh berdiri. Itu bekas rumah sang Syekh yang dibiarkan sebagai sejenis ''monumen abrasi''.

Pak Fauzan bercerita banyak pada kami mengenai kisah Dusun Tambaksari sebelum dan sesudah abrasi. Tentu saja, dia juga banyak bercerita mengenai sang Syekh yang tak lain adalah kakek buyutnya sendiri. Tapi yang menurut kami paling penting dicatat adalah keyakinannya, juga keyakinan semua kepala keluarga yang tersisa di situ, bahwa ''Kami tak akan meninggalkan dusun ini. Sebab, rumah-rumah kami ini serupa benteng terakhir. Kalau kami pergi, pasti wilayah ini habis tergerus abrasi.''

Ya, Dusun Tambaksari atau Pulau Burung adalah jejak sebuah tragedi. Perjalanan ke tempat seperti itu mungkin tak memberi kita pesona dan ketakjuban sebuah lokawisata. Tapi tragedi pun bisa membuat kita belajar. Setidaknya, tempat itu bisa menjadi wahana wisata edukasi. Kita bisa belajar mengenai keganasan abrasi atau burung-burung di situ. Itu sebabnya, tak seorang pun, baik penduduk setempat maupun pelancong diperbolehkan menangkap atau membunuh burung di situ. Sebuah kearifan yang pantas juga menjadi bahan studi.


Jalan utama diantara pohon brayu