Pages

Tampilkan postingan dengan label sosial. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sosial. Tampilkan semua postingan

Jumat, 22 Januari 2016

Menjaga “Surga” di Bibir Pasifik


Angin selatan di bulan Agustus menghempas kapal kami hingga terseret di bibir Pulau Mioskon, Raja Ampat, Papua Barat. Penyelaman di site Mioskon Ref pun urung. Memang bukan bulan baik untuk diving, hingga nyaris tak ada aktivitas para penyelam di kawasan selatan Waigeo ini. Kami memilih beristirahat dan menikmati keindahan alam di pulau berbentuk hati yang menjadi tempat transit para penyelam di spot penyelaman Mioskon Reef dan Blue Magic. 

Sembari melepas lelah, kami melihat sejumlah orang tengah sibuk membangun rumah-rumah kecil. Nampak seorang laki-laki muda menghampiri dan menyapa ramah. Namanya, Steve Wawiyai, suku asli Raja Ampat, pemilik tanah adat Pulau Mioskon yang mendiami Kampung Friwen, tak jauh dari Mioskon. “Kami sedang membangun homestay,” Steve menjelaskan rasa penasaran kami dengan logat khas Papua.
Steve lantas menceritakan rencana pengelolaan dan pengembangan usaha pariwisata yang muncul seiring dengan menjamurnya resort dan homestay di pulau-pulau di kawasan Raja Ampat yang lebih banyak dikelola warga asing.  
Pembangunan homestay di Mioskon / nonie
Menurutnya, usaha yang akan dikelola masyarakat adat itu tidak akan mengedepankan sisi industri. Tapi lebih pada pembelajaran bagi wisatawan yang datang ke Raja Ampat.  Dengan konsep Etnobotani dan sentral budaya, ia ingin menonjolkan nilai edukasi. Jadi, setiap tamu yang datang dapat menikmati alam, mengenal laut, serta belajar tentang budaya dan kehidupan masyarakat Raja Ampat. 

“Mereka punya kearifan, mereka jaga mereka punya laut, makanya saya ingin transfer pengetahuan dan pemberdayaan masyarakat untuk keanekaragaman hayati.  Turis datang ada beli kerajinan tapi tidak tahu proses pembuatan seperti apa. Wisatawan tidak hanya datang, nginap, pulang tapi juga berinteraksi dengan masyarakat. Mama punya ketrampilan khusus anyaman, mereka sama-sama dengan masyarakat diajak belajar menganyam hingga mengenal tanaman endemik. Itu yang saya mau kembangkan.”

Gagasan Steve sangat menjanjikan. Apalagi pulau yang pernah menjadi sengketa dan di tawar warga Eropa hingga Rp 67 miliar itu  merupakan salah satu pulau strategis dan  terindah di Raja Ampat yang dikelilingi gugusan terumbu karang dan pasir putih. “Dulu kosong tidak berpenghuni dan masuk wilayah adat kami. Pulau ini strategis, dekat dengan kabupaten, transit dari resort-resort  di Mansuar, dari Waiwo dan dekat dengan bandara kedepannya,” ungkap lelaki yang pernah bekerja di TNC ini.

Ya, industri pariwisata di Raja Ampat ibarat jamur dimusim hujan. Itu peluang besar dan masyarakat tidak ingin hanya menjadi penonton.

Jika Mioskon baru mengawali. Kampung Arborek yang terletak di Meos Mansar sudah menjadi kampung wisata dan menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi ketika menyusuri Raja Ampat. 
Papua Explorers Resort di Pantai Pinsilim, Yenwaupnor, Kec. Meos Mansar, Raja Ampat / nonie


Raja Ampat Dive Lodge di Pulau Mansuar / nonie
Menari Bersama Manta
Dari 30 lebih spot penyelaman di Raja Ampat, pulau yang berada di antara Pulau Mansuar dan Pulau Gam ini adalah tempat transit para penyelam yang ingin bertemu dan menari dengan Manta Ray (Pari manta) di Manta Sandy atau Manta point yang berjarak satu kilometer dari kampung.

Di sini, penyelam dapat menyaksikan Manta Ray menari meliuk-liukkan tubuhnya sepanjang 7 meter dan berbobot hingga 2 ton. Mamalia raksasa pemakan plankton dan ubur-ubur ini terbiasa memamerkan aksi akrobatiknya di depan para penyelam. Bahkan jika beruntung, salah satu spesies ikan pari terbesar di dunia ini juga bisa disaksikan di sekitar jetty (dermaga) Kampung Arborek.
Chasing Manta Ray @ Manta Point / Mayang Putranto
Kampung yang dihuni 30 KK memang menjamin kelangsungan dan keberadaan populasi dan kehidupan Manta birostris hingga tempat ini menjadi habitat nyaman Manta Ray dan biota endemik lainnya. “Di sini andalannya pantai, kebersihan kampung, yang spesial  Manta yang ada di bawah jetty,” kata Nommenson Mambraw, warga Arborek yang menyambut kedatangan kami.
Kampung Wisata Arborek / nonie
 
Perempuan Arborek membuat kerajinan tangan /nonie
Kondisi ini jauh berbeda ketika Arborek belum dikenal wisatawan. Dulu mereka sangat menggantungkan hidup dari laut. “Kita di sini bilang buang lanjar cari ikan garam, kerapu terus drop ke sorong. Mata pencaharian nelayan,” imbuhnya.

Tak hanya itu, pasar sirip ikan hiu yang sangat menggiurkan membuat masyarakat berpaling dari Kerapu dan berburu hiu. Perburuan hiu marak hingga menyebabkan populasi hiu Raja Ampat turun drastis. “Kalau dulu di tempat ini tempat hiu juga, di depan-depan sini saja orang-orang bisa dapat. Ikan hiu banyak dipantai dan besar-besar. Yang nangkap masyarakat tapi mereka cari pakai alat tradisional. Dulu harganya Rp.  50 ribu/kg. Kalau sekarang sampai 1 juta ke atas. Harganya beda tergantung jenisnya. Paling mahal Hiu Lontar sampai Rp. 3 juta/ kg. Dijual ke Sorong dan nanti ada yang ambil sendiri,” Pak Mambraw menceritakan kondisi laut kala itu.

Ditambah lagi aktivitas mencari ikan dengan bom dan potasium yang berkeliaran di perairan Raja Ampat karena tidak ada aturan yang membatasi penangkapan ikan. Hingga akhirnya Pemda Raja Ampatpun menerbitkan Perda nomor 9 tahun 2012 tentang larangan penangkapan seperti Hiu, Pari Manta, Dugong, Penyu dan sejumlah ikan-ikan endemik Raja Ampat tak boleh ditangkap. Pelanggar dikenakan sanksi kurungan enam bulan penjara atau denda Rp50 juta.

“Dulu banyak yang cari ikan dengan bom dan potassium. Lama-lama laut dan terumbu karang hancur. Mulai dari situ masyarakat makin mengerti cara menjaga laut sehingga jangan ada kerusakan terumbu karang dan habitat ikan. Pemerintah kasih aturan ke masyarakat supaya ikan jangan di tangkap. Kita punya daerah bisa berubah. Masyarakat bisa jaga lingkungan daerah ini jadi tidak ada perahu bom, potas,” jelasnya bersemangat. 

Sejak tahun 2003, pemda setempat juga  mulai menginisiasi kampung wisata. Ada lima kampung yang dibina pemerintah kabupaten menjadi desa wisata untuk mengangkat potensi dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Kelima Kampung Wisata adalah Arborek, Sawinggrai, Yenbuba, Yenwoubnor, dan Sawandarek. Mereka mengawali dengan membangun home stay dan membentuk kelompok sadar wisata.
“Pemerintah mulai memperhatikan kampung, Ada penyuluhan antara masyarakat dan pemerintah sedikit demi sedikit mulai mengerti, bertahap, tidak sekaligus. Kami mencari ikan sekadar untuk makan, cuman cari ikan hidup seperti kerapu. Dijual juga. Masyarakat kerja sambil monitoring laut dan masyarakat berhenti cari hiu,” Pak Mambraw menjelaskan awal mula kampungnya menjadi rintisan kampung wisata.
Perempuan Arborek membuat kerajinan topi sari daun pandan / nonie

Bibir pantai Kampung Arborek /nonie
Dan mereka tak lagi menangkap ikan sembarangan. Bahkan di beberapa tempat di sekitar laut lepas yang dangkal terpasang papan larangan menangkap jenis-jenis hasil laut di kawasan tertentu untuk mendukung konservasi laut berbasis masyarakat.  Kini, tak melulu melaut, mereka mendapatkan penghasilan dari pawisata seperti menjadi guide, mengelola homestay dan kerajinan tangan. 

Jadi tak hanya transit, wisatawan bisa membeli kerajinan tangan yang terpajang di galeri dekat pintu masuk kampung atau menyaksikan aktivitas penduduk lokal membuat kerajinan tangan. “Abis dari manta point pasti lari ke jetty. Bisa membeli topi, tas, anyaman, noken dari daun pandan sambil lihat ibu-ibu bikin kerajinan dan membeli ikan segar hasil tangkapan.”

Pak Mambraw menambahkan, warga makin sadar wisata. Mereka terbuka menggalakkan dan mengembangkan Kampung Arborek dengan membangun homestay sendiri. “Lebih baik bikin sendiri. Biasanya nginap semalam tarip Rp 500 ribu. Kalau dikelola sendiri lebih menguntungkan. Daripada bekerja di homestay milik orang,” jelasnya sambil menunjukkan beberapa homestay. 

“Sejak banyak wisatawan datang bikin kerajinan. Sehari bisa bikin tikar panjang 1,5 meter. Ada wisatawan datang bisa langsung beli tikar sagu, topi, noken, tas,” ungkap Emi Dimara, perempuan pembuat kerajinan topi.

Tak Memancing di Jetty
Hal serupa juga bisa di saksikan di Kampung Wisata Yenbuba yang berada di dekat Pulau mansuar yang dihuni 70an KK. Pak Marcell, warga kampung menyambut kedatangan kami di jetty bercerita tentang perubahan yang terjadi di kampungnya. 

“Kita merasa ada perubahan. Tidak seperti dulu cari uang susah harus tangkap ikan. Sekarang uang cari kita di kampung. Orang datang kesini, ada perlu ini itu. Tidak seperti dulu lagi. jangankan 10 ribu, kita mau cari 5 ribu saja susah. Tidak seperti sekarang uang gampang.” 
Pintu masuk Kampung Yenbuba
Dermaga Kampung Yenbuba /nonie
Dermaga Kampung Yenbuba /nonie
Pak Marcell mengaku bahwa semua warga kampung punya kesadaran dan sangat paham menjaga alam dan lautnya. Pun dengan anak-anak yang belajar dari orangtua dalam memperlakukan kekayaan laut mereka.
“Tidak boleh ada aktifitas memancing sembarangan. Kami sudah deklarasikan itu jadi semua orang tahu dan paham cari harus beberapa mill baru bisa mancing. Ada tempat khusus untuk mancing. Anak kecil mengerti kalau orangtua kasih tahu tidak boleh jadi sampai sekarang tidak ada anak-anak yang mancing. Di atas jembatan sepi. Sebelum ada larangan anak-anak setiap hari ramai mancing di jembatan.”

“Kita tak boleh tangkap ikan di sini, harus ke tengah laut,” kata salah satu anak yang tengah asyik bermain di sepanjang jetty.

Kini, setiap pengunjung yang datang ke Raja Ampat tak hanya menemukan “surga” di bawah laut tapi juga “surga” di daratan. Dan setiap saat mereka selalu siap menunggu pengunjung dari seluruh dunia untuk menikmati keindahan Pulau Surga di bibir Pasifik ini. (Noni Arnee)

Merawat Masa Lalu, Menyelamatkan Kota lama Semarang


Menjelang siang di sudut Jalan Kepodang, Semarang, raungan sepeda motor bercampur aduk dengan aroma makanan kaki lima. Terlihat pula beberapa pria dengan ayam aduannya. Tidak jauh dari situ berdiri sebuah gedung tua dengan kondisi merana dan bahkan nyaris hancur.

Belakangan diketahui bangunan merana itu adalah bekas kantor redaksi surat kabar De Locomotief, yang terbit pertama kali pada 1851, dan dikenal sebagai pendukung politik Etis. "Saya tidak habis pikir, ada sebuah bangunan yang punya nilai sejarah yang sangat tinggi, seperti De Locomotief, itu bisa terlupakan," kata Rukardi, pimpinan Komunitas pegiat sejarah, KPS, Semarang, kepada wartawan di Semarang, Nonie Arnee. 
Bekas kantor Surat Kabar De Locomotif yang dirobohkan /nonie

Menurut Rukardi, keberadaan bangunan bersejarah ini tidak tercatat dalam buku Semarai bangunan dan kawasan pusaka budaya kota Semarang (2006) yang diterbitkan pemerintah kota Semarang dan Universitas Diponegoro. “Saya tidak habis pikir, ada sebuah bangunan yang punya nilai sejarah yang sangat tinggi, seperti De Locomotief, itu bisa terlupakan,” Rukardi, pimpinan Komunitas pegiat sejarah, KPS, Semarang. 

Buku ini memuat sekitar 300-an bangunan yang perlu dikaji untuk ditetapkan menjadi cagar budaya, kata Rukardi. "Bahkan sudah melalui proses penelitian, tapi faktual ternyata ada kesalahan, sehingga bangunan itu tidak tercatat sebagai bangunan cagar budaya," katanya.
Rukardi dan orang-orang yang peduli terhadap bangunan cagar budaya telah melaporkan masalah ini kepada Balai pelestarian cagar budaya setempat untuk ditindaklanjuti.

Nasib Pasar Peterongan
Bagaimanapun, kondisi merana yang dialami bangunan De Locomotief menambah daftar panjang bangunan tua bersejarah yang rusak atau dibiarkan terlantar di Semarang. Masyarakat pencinta sejarah di kota itu masih ingat ketika Pasar Peterongan, yang dibangun pada 1916, sebagian bangunannya telah dibongkar, Juli 2015 lalu.

Masalah ini telah dilaporkan ke Wali Kota Semarang, dan kemudian pembongkaran itu untuk sementara dihentikan, menyusul adanya penelitian terakhir yang mengukuhkan bahwa bangunan pasar itu termasuk bangunan cagar budaya.
Semua dapat porsinya masing-masing. Masyarakat sejarah berkontribusi memberikan sejarah, tapi ketika sejarah ini mengakibatkan hanya berpikir satu matra saja yaitu tentang sejarah, ya, yang lain tidak bisa jalan.Anggota Badan pengelola kawasan kota lama Semarang, Albertus Kriswandhono. 
Pembongkaran Konstruksi beton Pasar Peterongan yang dibangun tahun 1916 menjadi polemik / Nonie
Anggota Badan pengelola kawasan kota lama Semarang, Albertus Kriswandhono, yang diberi tanggung jawab menyelesaikan masalah ini, mengharapkan ada kompromi antara kepentingan sejarah dan kebutuhan untuk memperbaiki pasar tersebut. 

Sejauh ini pedagang pasar ditempatkan di tempat lain selama persoalan ini belum dituntaskan, tapi menurut Kriswandhono hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. "Karena ujung dari proses ini adalah ketika cagar budaya ini tidak bisa menyejahterakan masyarakatnya, nggak usah ngomong soal cagar budaya," kata Albertus Kriswandhono.
Dengan kata lain, "semua dapat porsinya masing-masing. Masyarakat sejarah berkontribusi memberikan sejarah, tapi ketika sejarah ini mengakibatkan hanya berpikir satu matra saja yaitu tentang sejarah, ya, yang lain tidak bisa jalan," katanya.

Namun demikian, menurutnya, bisa saja nanti salah-satu opsi jalan keluarnya adalah menyediakan lahan baru untuk pembangunan pasar baru.

Kisah sukses Sobokartti
Sejumlah anak muda tengah latihan tari tradisional di Sasana Sobokartti, sebuah bangunan cagar budaya di Semarang, yang didirikan pada 1929. Keberadaan Sobokartti berikut aktivitas di dalamnya adalah contoh sukses sebuah pelestarian bangunan kuno bersejarah.
Tjahjono Raharjo, ketua paguyuban Sobokartti sekaligus dosen arsitektur di sebuah perguruan tinggi swasta, mengatakan upaya konservasi gedung harus berkompromi dengan tuntutan zaman.  "Kami harus menyesuaikan dengan kondisi sekarang. Misalnya, sekarang kalau pertunjukan membutuhkan lighting (lampu) yang bagus, ya nanti kami harus nambah," kata Tjahjono memberi contoh.
Gedung kesenian Sobokarti yang berhasil dikonservasi /nonie

Dia mengatakan, penambahan fasilitas seperti itu tidak menyalahi kaidah konservasi. "Itu sah-sah saja, nggak melanggar. Sekarang kalau harus punya kamar mandi yang representatif, misalnya dengan mengganti WC jongkok, ya nggak apa-apa."
Sambil mengkonservasi, saya memfungsikan bangunan ini menurut fungsinya yang baru. Tujuannya berhasil dua-duanya. Dari segi bangunan, kita menyelamatkannya, tapi dengan membuat bangunan ini hidup dengan memberi fungsi yang baru.Pemilik Galeri Semarang, Chris Darmawan. 

Di Semarang, juga berdiri galeri seni kontemporer Semarang di Jalan Srigunting, yang merupakan hasil konservasi gedung cagar budaya. Pemiliknya, Chris Darmawan menjelaskan, bagaimana dia melakukan konservasi:  "Sambil mengkonservasi, saya memfungsikan bangunan ini menurut fungsinya yang baru. Tujuannya berhasil dua-duanya. Dari segi bangunan, kita menyelamatkannya, tapi dengan membuat bangunan ini hidup dengan memberi fungsi yang baru," jelas Chris Darmawan.

Disulap menjadi galeri seni pada 2008, gedung tua ini dibangun pada 1918. Bangunan ini pernah ditempati sebagai kantor asuransi milik konglomerat Oei Tiong Ham dan berakhir menjadi pabrik sirop hingga 1998.
Salah satu sudut Galeri Semarang di Kawasan Kota Lama /nonie

Minta dicabut status cagar budaya
Seperti yang dialami gedung De Locomotief, sejumlah gedung cagar budaya milik per orangan di kawasan kota tua Semarang banyak terlantar, karena pemiliknya dihadapkan kendala dana. Tjahjono Raharjo, ketua paguyuban Sasana Sobokartti sekaligus dosen arsitektur di sebuah perguruan tinggi swasta, mengatakan sebagian pemilik gedung tua bersejarah di kota lama Semarang, mengaku kesulitan untuk merawat bangunan miliknya. "Ada orang yang keberatan kalau bangunannya ditetapkan sebagai cagar budaya. Bahkan ada yang pernah minta status sebagai cagar budaya itu dihapus," kata Tjahjono.

Dia melanjutkan, pemilik gedung tua bersejarah itu kemudian mencontohkan dilema yang dialami, utamanya seandainya dia meninggal dunia.
Misalnya saya meninggal, ahli waris saya ingin membagi harta warisannya, diantaranya rumah itu. Nah, status cagar budaya itu menyulitkan, karena bangunan itu tidak dapat dijual, sementara ahli-ahli waris itu 'kan tidak semuanya orang mampu. Dia butuh uang itu.Tjahjono Raharjo, ketua paguyuban Sasana Sobokartti.  "Misalnya saya meninggal, ahli waris saya ingin membagi harta warisannya, diantaranya rumah itu. Nah, status cagar budaya itu menyulitkan, karena bangunan itu tidak dapat dijual, sementara ahli-ahli waris itu 'kan tidak semuanya orang mampu. Dia butuh uang itu," ungkapnya. 

Akibat kekurangan dana, menurut pimpinan Komunitas Pegiat Sejarah (KPS) Semarang, Rukardi, ada sebagian pemilik menelantarkan gedung kuno bersejarah."Mendiamkan bangunan itu dengan harapan bangunan itu roboh dengan sendirinya dan kemudian mereka bisa membangun bangunan baru di atasnya," kata Rukardi.

Di sinilah muncul ide agar pemerintah Kota Semarang memberikan semacam insentif kepada pemilik gedung-gedung kuno sehingga dapat meringankan mereka."Mestinya tidak hanya dibebaskan dari pajak, tapi juga mendapatkan insentif," ujar Rukardi.

Perbaiki infrastruktur

Sekretaris Dinas Tata Kota dan Permukiman Kota Semarang, Irwansyah, tengah menggodok sejumlah jalan keluar untuk menyelesaikan soal kendala dana tersebut. Nanti ada insentif dan disinsentif. PBB (Pajak bumi dan bangunan) juga sedang kita upayakan untuk mereka mendapatkan keringanan. Mungkin kalau itu digunakan untuk usaha, nanti ada keringanan pajak," kata Irwansyah saat dihubungi wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, melalui saluran telepon. 

"Yang sudah kita lakukan, pemerintah kota membantu merecording documenting masing-masing bangunan cagar budaya, terus kita bisa mengarahkan kira-kira apa yang bisa dilakukan terhadap bangunan ini," ungkapnya.

Sejumlah bangunan yang sudah didokumentasikan dan dikaji diantaranya adalah Gedung Marba, bangunan pasar Johar, Pasar Jatingaleh, Restoran Ikan bakar Cianjur, Hotel Dibya Puri, serta Hotel Candi Baru.  Tetapi arsitek dan pegiat pelestarian bangunan cagar budaya, 
Albertus Kriswandhono mengatakan, langkah penting yang harus dilakukan pemerintah kota Semarang adalah memperbaiki infrastruktur:
"Jalan, lampu, listrik, air, itu saja yang Anda perbaiki, tidak banjir, tidak rob, selokannya jalan lancar, itu saja yang diperbaiki, Nah, untuk bekerja di sana, ada aturannya, bertanyalah kepada badan pengelola ini," kata Albertus Kriswandhono. 
Gedung cagar budaya Lawang Sewu difungsikan sebagai museum kereta api / Nonie

Keterangan resmi menyebutkan di Semarang ada 103 bangunan cagar budaya yang telah ditetapkan pada awal 1990-an. Namun demikian, penelitian terakhir menunjukkan ada 300-an bangunan yang perlu dikaji untuk ditetapkan menjadi cagar budaya.

Para pencinta sejarah di Semarang meminta agar pemerintah Kota Semarang dan otoritas terkait terus memperbaharui proses dokumentasi dan pengkajian sehingga dapat melacak dan menyelamatkan bangunan-bangunan kuno bersejarah. (Heyder Affan / Noni Arnee, BBC Indonesia)



Sabtu, 12 Februari 2011

Milas: Mimpi Lama Sekali

Politik dan Masyarakat
Radio Deutsche Welle / Indonesian Programme
12.02.2011

Milas: Alternatif Pengentasan Pengangguran

Jumlah anak jalanan dan remaja putus sekolah terus meningkat di kota-kota besar Indonesia. Data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional kerjasama BPS dan pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Pusdatin Kesos tahun 2002 menyebut, jumlah anak jalanan hampir 95 ribu anak. Meningkat 100 % lebih dibandingkan angka tahun 1998.

Tidak mudah mengentaskan mereka lepas dari kemiskinan dan hidup dijalan. Tapi inilah yang dilakukan Milas Yogyakarta, sebuah inisiasi sekumpulan orang yang menyediakan ruang bagi mereka untuk mendapat kehidupan lebih baik. Salah satu caranya dengan pemberdayaan melalui pelatihan ketrampilan di sanggar kerajinan Milas.

Dalam Politik dan Masyarakat kali ini, saya, Noni Arni, berkunjung ke Prawirotaman Yogjakarta untuk melihat seperti apa aktivitas Milas, yang lebih dikenal masyarakat sebagai tempat makan yang menyajikan menu khusus vegetarian.

”Lulus SMP nggak punya biaya, dulu sempet kerja di rumah tangga, ikut sales. Pengen cari uang, udah capek nggak dapet duit.Sehari cuman dikasih 3 ribu. Terus ada yang nyari anak-anak putus sekolah, mau nggak kalau kursus kerajinan. Terus aku ikut di lembaga itu. Programnya udah selesai, terus ditawari gimana kalau masuk ke milas aja ikut belajar lagi. Ingin mendalami kerajinan,.”

Ana mengingat pertemuannya dengan sanggar kerajinan Milas 6 tahun lalu, ketika ia putus asa dengan kehidupan yang dilakoninya. Tawaran belajar ketrampilanpun diterima.

”Belajar tapi dikasih transport. Banyak sekali, macem-macem pelajarannya. Bisa cari uang sendiri. Kalau dulu cuman maen, sekarang disini kalau udah satu tahun udah produksi. Temen-temen masih belajar pertama dikasih transport 10 ribu, nanti beberapa bulan tambah lagi. Bikin buku, atau map. Kamu harus belajar caranya mengukur yang bener, nge-lem yang bener. Nanti kalau kualiti kontrol udah bagus bisa tingkat tinggi lagi. Sudah bisa produksi nanti transportnya ditambah 20 ribu, itu yang digaleri udah bisa bikin. Jadi kalau belajar harus telaten. ”

Kini Ana tidak hanya mahir membuat barang kerajinan tangan, tapi juga mendampingi mereka yang belajar di sanggar Milas. Bahkan Kegiatannya ini menghasilkan rupiah untuk menghidupi suami dan anaknya yang berusia 3,5 tahun.

Selain Ana, ada Febri. Siang itu, ia sedang asyik membuat mainan anak sambil ditemani suara gesekan amplasnya yang beradu dengan merdu Katon Bagaskara dari sebuah radio kecil. Remaja berusia 17 tahun ini tak mampu melanjutkan sekolah.
”Udah nggak sekolah. Ya tertarik dari pada dirumah nggak ada hiburan, cuman main-main di rumah.“

Meski baru 3 bulan, ia merasa betah bergabung di sanggar kerajinan yang terletak di bagian belakang restoran vegetarian Milas. “Suasananya enak. Ada temen-temen nanti kalau nggak bisa bisa dibantu, nanya. Hasilnya ini dimasukan ke galeri. Diajarin bikin tempelan kulkas, gantungan kunci.”

Salah satu pengelola Milas, Kartika Wijayanti mengatakan, mereka dibimbing agar produktif dan menghasilkan berbagai kerajinan berkualitas. Hasilnya dijual di galeri milik Milas yang berada di satu lokasi dengan sanggar dan restoran.

”Ada temen-temen yang kasih materi. Bikin kertas daur ulang, kerajinan kalung, tas jahit dan itu dijual ke galeri. Sejak dulu galeri berfungsi untuk menjual barang-barang kerajinan hasil temen-temen yang disanggar itu. Akhirnya berubah bentuk. Bukan rumah singgah tapi sanggar. Sanggar produksi, sanggar bikin kerajinan tapi dari temen-temen yang dulu di jalan. Temen-temen yang putus sekolahpun diajakin kesini bisa.”

Sebenarnya tidak hanya Ana dan Febri. Di sanggar kerajinan Milas ini juga terdapat puluhan orang yang belajar ketrampilan membuat barang kerajinan tangan. Belajar 4 hari dalam seminggu, mulai pukul 9 hingga 4 sore.

Mereka ini adalah penghuni sanggar Milas. Sebuah tempat yang menampung anak jalanan dan remaja putus sekolah yang tertarik untuk belajar berbagai ketrampilan. Diantaranya membuat aneka mainan anak, figura, aksesoris, tas, dompet dan kerajinan daur ulang.

Sanggar kerajinan Milas terbentuk melalui proses yang panjang. Kartika Wijayanti menjelaskan, gagasan awal pendirian Milas bermula dari kepedulian sekumpulan orang terhadap nasib anak-anak jalanan dan remaja putus sekolah di Yogjakarta.

”Dulu Sebenarnya rumah singgah, pendirinya aktif di pendampingan anak jalanan. Rumahnya dibuka, anak-anak jalanan silahkan dateng. Memang disediain sarana mandi, cuci, kasus, untuk membersihkan diri.“

Selain mendapatkan pelatihan ketrampilan disanggar Milas, seperti menjahit dan membuat kerajinan tangan, mereka juga mendapat pendampingan berupa pengetahuan tentang kesehatan, ketrampilan hidup, dan konseling informasi.

”Selain mereka datang untuk mandi, membersihkan diri, mencuci baju, ikut workshop aids, ikut tes hiv aid juga, mereka juga diajari workshop kerajinan. Terus ada workshop kerajinan yang akhirnya berkembang menjadi bengkel kerajinan. Supaya mereka tahu ada cara hidup lain yang tidak hanya dijalan. ”

Mereka belajar ketrampilan tanpa dipungut biaya, dengan jangka waktu maksimal 2 tahun.

”Kalau kelamaan disini juga ke-enakan, terlalu nyaman disini karena bisa langsung dijual disini, kalau diluar mereka harus berjuang kan. Barangnya bisa masuk ke tempat jualannya, misalnya jualan ke galeri mana ke tempat turis mana kan harus dilihat dulu.”

Yang sudah selesai belajarpun dibebaskan untuk berkembang dan membuka usaha sendiri. Sejak Milas berdiri tahun 1997, sudah tak terhitung lagi mereka yang berhasil mengembangkan diri.

” Dalam tanda kutip lulusan sanggar sudah ada yang menikah, punya usaha sendiri. Ikut sanggar dari dia masih muda sampai sekarang, dia sudah bisa jahit. Mereka memasarkan, diajari supaya setelah dari milas mereka bisa jualan sendiri, cari celah sendiri.”

Milas singkatan dari ”Mimpi Lama Sekali”. Mimpi para pendirinya, untuk mewujudkan seluruh ide membangun "Dunia yang Lebih baik" yang fokus pada pendidikan, kesehatan dan lingkungan.

Selain sanggar dan galeri kerajinan, ide Milas dikembangkan melalui usaha restoran vegetarian dan sekolah hijau untuk anak-anak pra-sekolah.

”Visi misinya Milas, lingkungan, pendidikan, kesehatan. Untuk lingkungan adalah dengan adanya dunia yang serba cepat dunia fast food atau apapun namanya juga harus diimbangi dengan model yang lebih pelan. Yang Milas bisa ya seperti ini, makananya juga dimasak lama sekali. Kalau di restonya pengejawantahannya dari sisi kesehatan adalah dengan memperkenalkan menu vegetarian itu nggak hanya makan sayur dan sayur dan tidak menarik. Dari sisi kesehatan, dari sekolah adalah memperkenalkan bahwa makanan-makanan yang dikonsumsi anak-anak sekarang itu nggak bagus, dari sisi lingkungan disini bisa anda temui misalnya kalau makan disini tidak ada pipet, tidak ada plastik, diganti dengan tas. Itu juga nanti mengerucut di bengkel produksi itu, penghasilannya dari itu, misalnya salah satu permainan harganya bisa seratusan lebih karena handmade.”

Berbeda dengan sebuah lembaga, pengelolaan Milas dilakukan secara swadaya dan donasi dari orang-orang yang peduli dengan aktivitas Milas.

”Dana swadaya dari para pendiri, jadi modelnya saling mendonasi, apalagi setelah ada resto keuntungan restonya itu juga dibagi, disisihkan untuk mensuplai. Dari teman, uangnya dari temen ke temen, jadi lewat programnya, misalnya orang selalu datang kesini boleh nggak kalau saya donasikan ke Milas karena saya suka dengan kegiatannya Milas. Seperti itu sebenarnya.”

Karena itu, Milas menjalankan prinsip nirlaba. Keuntungan dari restoran dan penjualan kerajinan termasuk donasi digunakan untuk mendukung program peningkatan kesadaran lingkungan, kesehatan dan pendidikan.

Tujuannya, tak lain untuk membangun kesadaran dan menawarkan pilihan yang lebih baik pada lingkungan sekitar.

Sanggar Milas memang bisa menjadi salah satu alternatif untuk mengajak anak jalanan dan remaja putus sekolah menjadi produktif sehingga meningkatkan taraf hidupnya. Upaya semacam ini sudah selayaknya diikuti siapa saja yang peduli dengan generasi muda yang kurang beruntung.

Pendengar, demikian kunjungan ke sanggar Milas di Prawirotaman Yogyakarta, saya Noni Arni, salam.

Jumat, 09 April 2010

Kampung Cyber RT.36 Taman Yogyakarta

Deutsche Welle
03.04.2010

Mencerdaskan masyarakat agar melek teknologi informasi bisa dilakukan siapa saja, tak harus menunggu uluran tangan pemerintah. Seperti yang dilakukan warga Kampung Taman, Yogyakarta. Mereka bersama-sama mengejar ketertinggalan belajar mengenal teknologi dengan menggunakan jaringan internet.
Seperti apa mereka belajar? Saya, Noni Arni berkunjung ke kampung yang mendapat sebutan Kampung Cyber.

Sekilas Kampung Taman, tak beda dengan kampung padat penduduk lainnya. Rumah saling berhimpit dan tingkat ekonomi menengah ke bawah.

Tapi terlihat berbeda begitu melongok gardu siskamling berukuran 3 kali 2 meter di tengah kampung.
Seperti yang terlihat sore itu, Titik dan ibu-ibu lainnya tengah asyik mencari ide cara menghias tumpeng lewat internet. Sementara tangan Ira, ibu lainnya, menekan tombol keyboard komputer agar gambar tumpeng yang mereka inginkan muncul di layar.

Bapak-bapak di kampung itu juga tak kalah. Mereka tengah belajar membuat blog.

Beginilah aktifitas warga Kampung Cyber setiap sore. Tepatnya sejak pos siskamling yang biasa disebut ”Cangkruk” terkoneksi jaringan internet gratis sekitar 2 tahun lalu. Mereka bebas menggunakan komputer meja dan satu buah laptop untuk mengakses internet hasil swadaya ini.

Gagasan menciptakan kampung cyber ini tak lepas dari keinginan Heri Sutanto untuk mengenalkan teknologi informasi kepada warganya yang sangat awam dengan teknologi. Ia adalah pengurus kampung yang bekerja di laboratorium komputer di sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta.

”Untuk mengejar ketertinggalan. masa-masa sekarang masih sulit untuk bisa masuk ke perkampungan ke masyarakat yang paling bawah. Bermula dari membuat blog tentang aktifitas kegiatan sosial yang ada di wilayah kami. Kami publikasikan ke warga . Kami ingin ada ketertarikan dari warga akan internet. Kami tayangkan di acara kegiatan sosial di wilayah kami.”

Juga mengenalkan potensi kampungnya kepada dunia luar, ujar Sasongko, yang membantu Heri mewujudkan kampung cyber ini menambahkan,

”Saya pengen mengenalkan kampung saya yang ternyata banyak sekali potensi yang belum digali. Makanya membikin blog untuk menampilkan profil kampung saya. Rasa kekeluargaan disini sangat erat sekali. Gotong royong dan kumpul sama warga intensitasnya tinggi. Kampung seperti ini kayaknya Sudah jarang. saya bikin blog untuk angkat potensi yang bisa digali. Pertama kegiatan RT kita, mesti langsung upload foto dan berita. Ada yang tukang batik, sablon Kita angkat. Jadi menawarkannya lewat situ.”

Heri Sutanto mengatakan, butuh proses panjang mengenalkan teknologi kepada warga, ketika internet masih jauh dari kehidupan sehari-hari warga. Tapi lambat laun, warga mulai berkenalan dengan dunia cyber.

”Yang jelas bahwa internet itu masih jauh dari kebutuhan mereka. buat apa kegunaanya, misalnya seorang pedagang bakso, lalu yang keseharianya cuman batik.”
Pelan-pelan mengenalkan Melalui berbagai macam sosialisasi baik itu dipertemuan , lalu interaksi dari mereka sendiri. Kami juga melakukan pengenalan melalui pelatihan untuk membekali warga menggunakan internet. Tidak dipungut biaya.”

Terlebih lagi latar belakang dari tingkat pengetahuan tentang internet warga masih sangat rendah. Jadi perlu sesuatu lebih dulu yang bisa menarik perhatian warga. Internet bisa digunakan sebagai ajang tukar-menukar informasi.

”Untuk memancing ketertarikan mereka pada awalnya facebook. Kami gunakan untuk menyampaikan kegiatan juga saling tukar informasi pelatihan. Kalau sebelumnya hanya ditempel di papan pengumuman mungkin yang baca hanya beberapa orang yang kebetulan lewat, tapi begitu saya upload ke facebook tanggapannya bisa sampe kemana-mana bisa meluas.”

Awalnya memang tidak mudah. Kebanyakan orang di kampung sudah mengenal televisi, tetapi belum begitu kenal penggunaan komputer. Ini diakui Rujito warga kampung Taman
Oton Rujito_pengalaman pertama
”Jangankan buka komputer, saya aja gak tahu CPU. Komputer saya kira tu layarnya tok nggak tahu ada mesinnya. Saya baru tahu ya itu. Kalau dulu saya ga tahu, komputer saya lihat ya kayak teve. Saya kira cuman itu tok. Perangkat lainnya apalagi yang macem-macem ga tahu sama sekali. Pertama kita bikin email, caranya ngobrol lewat email gimana, terus ada facebook itu rame, kita bikin facebook.”

Akses internet gratis yang disediakan di Cangkruk atau gardu siskamling ini dimanfaatkan sebagai sarana bertukar informasi dan belajar. Dan bisa digunakan warga yang belum memiliki jaringan internet di rumah.

”Akses gratis, kami adakan di pos kampling yang bisa digunakan oleh warga. Dan disitu Tidak semata-mata mengakses internet tapi ada proses pembelajaran , ada interaksi dengan warga yang lain untuk bisa menggali, saling mengajari. Pembelajaran tidak hanya di pos kampling, dimasing-masing rumah warga biasa kumpul-kumpul tanya-tanya. Belajar bareng.

Perlahan kemudian secara swadaya dan gotong royong, rumah warga juga dipasang jaringan internet. Warga cukup membeli perangkat komputer dan berlangganan sebesar 50 ribu rupiah per bulan untuk mendapatkan akses internet tak terbatas. Instalasi jaringan dilakukan secara gotong royong. Mulanya ada 8 rumah yang disambungkan. Sekarang jumlahnya terus bertambah.

Secara bertahap gagasan kampung cyber mendapat respon baik. Wargapun belajar bersama dan mulai merasakan manfaatnya. Mereka yang dulu tidak bisa menggunakan internet sendiri, sekarang sudah bisa berkomunikasi di dunia maya. Seperti pengalaman Titik:

”Kita dikasih tahu sama suami sama anak, gini lho bu caranya buka internet. Dulu dirumah ga ada jadi ditawari kalau kita bikin internet dikampung gimana . Sekarang kita sendiri bisa ga perlu didampingi. Tiap hari kita merlukan apa. Misalnya kita pengen berita yang aktual lihat di detik.com. Yang dulu ga tahu jadi tahu. Kebetulan saya punya soadara di Jerman, jadi kita bisa chating , tanya khabarnya, lihat gambar-gambarnya. Pokoknya manfaatnya banyak sekali. Di internet ibarat mau minta apa aja bisa. Padahal cuman pesawat segitu tapi bisa mencakup seluruh dunia.”

Manfaat juga dirasakan warga yang memiliki usaha rumahan. Mereka bisa mempromosikan produksinya lebih luas lagi. Seperti Puji Astuti yang punya usaha batik tulis.

”Pemasarannya lebih luas (sampe mana saja?) ya.. yang di Jakarta itu juga lihat dari internet. Ada temen lihat dari internet terus pesen. Sekarang lebih meluaslah, harganya juga bisa lebih mahal. Sampe di malaysia, yang pesen sering datang kesini minta gambar macem-macem, motif ini..motif orang mbatik .. kirim fotonya tok. ada frater datang kesini dari Meksiko. Ya lukisan saya banyak di meksiko. Terus ada teman dari Meksiko yang datang ketempatnya frater, dibawa kesini terus pesen. ”

Begitu juga Bonar yang menggeluti usaha sablon. Usaha meningkat dan kerjanya menjadi lebih efisien setelah menggunakan berbagai fasilitas di Internet.

”Pertama diajari bikin blog untuk penawaran produk-produk saya. Kalau ada pemesan yang dari jauh kadang minta desain atau prove-prove yang mau dipesan, nanti dikirim lewat email. Nanti kalau sudah di acc baru dibikin. Produk-produk saya foto nanti Saya upload di blog saya. Relasi-relasi saya beritahu. Sebelum ada internet saya harus kesana dulu atau yang pesan datang langsung itu kan agak repot . diajarin pak RT pertama nyoba Bikin email itu, belajar chating. Diajarin bikin blog untuk usaha.”

Kini sudah 80 persen rumah warga di kampung RT. 36 Taman sudah terkoneksi internet. Sementara yang belum punya akses internet di rumah, tidak menghalangi keinginan mereka untuk belajar, diantaranya Rujito

”Lagi-lagi faktor ekonomi. Saya kebutuhan untuk sekolah anak, makan, kebutuhan lainnya. Ada rencana mudah-mudahan bisa pasang. Saya sudah kepingin pasang. Untungnya disini ada pos ronda yang menyediakan fasilitas gratis. Saya sedikit-sedikit belajar . Pertama berita, berita terkini tu daripada saya berlangganan koran saya membuka itu.”

Meski warga melek teknologi dan menjadikan komunikasi antar warga menjadi lebih mudah, suasana guyup dikampung tetap terjaga. Misalnya mereka masih rutin bermain olah raga voli setiap sore atau melakukan pertemuan warga.

Bagi warga, teknologi internet hanya digunakan sebagai fasilitas untuk mempermudah komunikasi dan berinteraksi dengan dunia luar. Kampung taman bisa menjadi salah satu contoh.

Sepertinya, target Pemerintah agar seluruh desa dan kecamatan di Indonesia terhubung dengan infrastruktur telepon dan internet pada tahun 2010 akan tercapai jika semua warga yang tinggal di kampung bisa seperti mereka.

Pendengar, demikian kunjungan ke kampung cyber RT 36 Taman Yogyakarta, saya Noni Arni, salam.