Menjelang siang di sudut Jalan Kepodang, Semarang, raungan sepeda
motor bercampur aduk dengan aroma makanan kaki lima. Terlihat pula beberapa
pria dengan ayam aduannya. Tidak jauh dari situ berdiri sebuah gedung tua
dengan kondisi merana dan bahkan nyaris hancur.
Belakangan
diketahui bangunan merana itu adalah bekas kantor redaksi surat kabar De
Locomotief, yang terbit pertama kali pada 1851, dan dikenal sebagai
pendukung politik Etis. "Saya tidak habis pikir, ada sebuah bangunan yang
punya nilai sejarah yang sangat tinggi, seperti De Locomotief, itu bisa
terlupakan," kata Rukardi, pimpinan Komunitas pegiat sejarah, KPS,
Semarang, kepada wartawan di Semarang, Nonie Arnee.
|
Bekas kantor Surat Kabar De Locomotif yang dirobohkan /nonie |
Menurut Rukardi,
keberadaan bangunan bersejarah ini tidak tercatat dalam buku Semarai bangunan
dan kawasan pusaka budaya kota Semarang (2006) yang diterbitkan pemerintah
kota Semarang dan Universitas Diponegoro. “Saya tidak habis pikir, ada sebuah
bangunan yang punya nilai sejarah yang sangat tinggi, seperti De Locomotief,
itu bisa terlupakan,” Rukardi, pimpinan Komunitas pegiat sejarah, KPS,
Semarang.
Buku ini memuat
sekitar 300-an bangunan yang perlu dikaji untuk ditetapkan menjadi cagar
budaya, kata Rukardi. "Bahkan sudah melalui proses penelitian, tapi
faktual ternyata ada kesalahan, sehingga bangunan itu tidak tercatat sebagai
bangunan cagar budaya," katanya.
Rukardi dan
orang-orang yang peduli terhadap bangunan cagar budaya telah melaporkan masalah
ini kepada Balai pelestarian cagar budaya setempat untuk ditindaklanjuti.
Nasib
Pasar Peterongan
Bagaimanapun,
kondisi merana yang dialami bangunan De Locomotief menambah daftar
panjang bangunan tua bersejarah yang rusak atau dibiarkan terlantar di
Semarang. Masyarakat pencinta sejarah di kota itu masih ingat ketika Pasar Peterongan,
yang dibangun pada 1916, sebagian bangunannya telah dibongkar, Juli 2015 lalu.
Masalah ini telah
dilaporkan ke Wali Kota Semarang, dan kemudian pembongkaran itu untuk sementara
dihentikan, menyusul adanya penelitian terakhir yang mengukuhkan bahwa bangunan
pasar itu termasuk bangunan cagar budaya.
Semua dapat porsinya masing-masing. Masyarakat
sejarah berkontribusi memberikan sejarah, tapi ketika sejarah ini mengakibatkan
hanya berpikir satu matra saja yaitu tentang sejarah, ya, yang lain tidak bisa
jalan.Anggota Badan pengelola kawasan kota lama Semarang, Albertus
Kriswandhono.
|
Pembongkaran Konstruksi beton Pasar Peterongan yang dibangun tahun 1916 menjadi polemik / Nonie |
Anggota Badan
pengelola kawasan kota lama Semarang, Albertus Kriswandhono, yang diberi
tanggung jawab menyelesaikan masalah ini, mengharapkan ada kompromi antara
kepentingan sejarah dan kebutuhan untuk memperbaiki pasar tersebut.
Sejauh ini
pedagang pasar ditempatkan di tempat lain selama persoalan ini belum
dituntaskan, tapi menurut Kriswandhono hal ini tidak bisa dibiarkan
berlarut-larut. "Karena ujung dari proses ini adalah ketika cagar budaya
ini tidak bisa menyejahterakan masyarakatnya, nggak usah ngomong
soal cagar budaya," kata Albertus Kriswandhono.
Dengan kata lain,
"semua dapat porsinya masing-masing. Masyarakat sejarah berkontribusi
memberikan sejarah, tapi ketika sejarah ini mengakibatkan hanya berpikir satu
matra saja yaitu tentang sejarah, ya, yang lain tidak bisa jalan,"
katanya.
Namun demikian,
menurutnya, bisa saja nanti salah-satu opsi jalan keluarnya adalah menyediakan
lahan baru untuk pembangunan pasar baru.
Kisah
sukses Sobokartti
Sejumlah anak
muda tengah latihan tari tradisional di Sasana Sobokartti, sebuah bangunan
cagar budaya di Semarang, yang didirikan pada 1929. Keberadaan Sobokartti
berikut aktivitas di dalamnya adalah contoh sukses sebuah pelestarian bangunan
kuno bersejarah.
Tjahjono Raharjo, ketua paguyuban Sobokartti sekaligus dosen
arsitektur di sebuah perguruan tinggi swasta, mengatakan upaya konservasi
gedung harus berkompromi dengan tuntutan zaman. "Kami harus menyesuaikan dengan kondisi
sekarang. Misalnya, sekarang kalau pertunjukan membutuhkan lighting
(lampu) yang bagus, ya nanti kami harus nambah," kata Tjahjono memberi
contoh.
|
Gedung kesenian Sobokarti yang berhasil dikonservasi /nonie |
Dia
mengatakan, penambahan fasilitas seperti itu tidak menyalahi kaidah konservasi.
"Itu sah-sah saja, nggak melanggar. Sekarang kalau harus punya
kamar mandi yang representatif, misalnya dengan mengganti WC jongkok, ya nggak
apa-apa."
Sambil mengkonservasi, saya memfungsikan
bangunan ini menurut fungsinya yang baru. Tujuannya berhasil dua-duanya. Dari
segi bangunan, kita menyelamatkannya, tapi dengan membuat bangunan ini hidup
dengan memberi fungsi yang baru.Pemilik Galeri Semarang, Chris Darmawan.
Di Semarang, juga
berdiri galeri seni kontemporer Semarang di Jalan Srigunting, yang merupakan
hasil konservasi gedung cagar budaya. Pemiliknya, Chris Darmawan menjelaskan,
bagaimana dia melakukan konservasi: "Sambil
mengkonservasi, saya memfungsikan bangunan ini menurut fungsinya yang baru.
Tujuannya berhasil dua-duanya. Dari segi bangunan, kita menyelamatkannya, tapi
dengan membuat bangunan ini hidup dengan memberi fungsi yang baru," jelas
Chris Darmawan.
Disulap menjadi
galeri seni pada 2008, gedung tua ini dibangun pada 1918. Bangunan ini pernah
ditempati sebagai kantor asuransi milik konglomerat Oei Tiong Ham dan berakhir
menjadi pabrik sirop hingga 1998.
|
Salah satu sudut Galeri Semarang di Kawasan Kota Lama /nonie |
Minta
dicabut status cagar budaya
Seperti yang dialami gedung De Locomotief, sejumlah gedung
cagar budaya milik per orangan di kawasan kota tua Semarang banyak terlantar,
karena pemiliknya dihadapkan kendala dana. Tjahjono Raharjo, ketua paguyuban
Sasana Sobokartti sekaligus dosen arsitektur di sebuah perguruan tinggi swasta,
mengatakan sebagian pemilik gedung tua bersejarah di kota lama Semarang,
mengaku kesulitan untuk merawat bangunan miliknya. "Ada orang yang
keberatan kalau bangunannya ditetapkan sebagai cagar budaya. Bahkan ada yang
pernah minta status sebagai cagar budaya itu dihapus," kata Tjahjono.
Dia melanjutkan,
pemilik gedung tua bersejarah itu kemudian mencontohkan dilema yang dialami,
utamanya seandainya dia meninggal dunia.
Misalnya saya meninggal, ahli waris saya ingin
membagi harta warisannya, diantaranya rumah itu. Nah, status cagar budaya itu
menyulitkan, karena bangunan itu tidak dapat dijual, sementara ahli-ahli waris
itu 'kan tidak semuanya orang mampu. Dia butuh uang itu.Tjahjono Raharjo, ketua
paguyuban Sasana Sobokartti. "Misalnya
saya meninggal, ahli waris saya ingin membagi harta warisannya, diantaranya
rumah itu. Nah, status cagar budaya itu menyulitkan, karena bangunan itu tidak
dapat dijual, sementara ahli-ahli waris itu 'kan tidak semuanya orang mampu.
Dia butuh uang itu," ungkapnya.
Akibat kekurangan
dana, menurut pimpinan Komunitas Pegiat Sejarah (KPS) Semarang, Rukardi, ada
sebagian pemilik menelantarkan gedung kuno bersejarah."Mendiamkan bangunan
itu dengan harapan bangunan itu roboh dengan sendirinya dan kemudian mereka
bisa membangun bangunan baru di atasnya," kata Rukardi.
Di sinilah muncul
ide agar pemerintah Kota Semarang memberikan semacam insentif kepada pemilik
gedung-gedung kuno sehingga dapat meringankan mereka."Mestinya
tidak hanya dibebaskan dari pajak, tapi juga mendapatkan insentif," ujar
Rukardi.
Perbaiki infrastruktur
Sekretaris
Dinas Tata Kota dan Permukiman Kota Semarang, Irwansyah, tengah menggodok
sejumlah jalan keluar untuk menyelesaikan soal kendala dana tersebut. Nanti ada
insentif dan disinsentif. PBB (Pajak bumi dan bangunan) juga sedang kita
upayakan untuk mereka mendapatkan keringanan. Mungkin kalau itu digunakan untuk
usaha, nanti ada keringanan pajak," kata Irwansyah saat dihubungi wartawan
BBC Indonesia, Heyder Affan, melalui saluran telepon.
"Yang
sudah kita lakukan, pemerintah kota membantu merecording documenting
masing-masing bangunan cagar budaya, terus kita bisa mengarahkan kira-kira apa
yang bisa dilakukan terhadap bangunan ini," ungkapnya.
Sejumlah
bangunan yang sudah didokumentasikan dan dikaji diantaranya adalah Gedung
Marba, bangunan pasar Johar, Pasar Jatingaleh, Restoran Ikan bakar Cianjur,
Hotel Dibya Puri, serta Hotel Candi Baru. Tetapi arsitek dan pegiat pelestarian bangunan
cagar budaya,
Albertus Kriswandhono mengatakan, langkah penting yang harus
dilakukan pemerintah kota Semarang adalah memperbaiki infrastruktur:
"Jalan,
lampu, listrik, air, itu saja yang Anda perbaiki, tidak banjir, tidak rob, selokannya
jalan lancar, itu saja yang diperbaiki, Nah, untuk bekerja di sana, ada
aturannya, bertanyalah kepada badan pengelola ini," kata Albertus
Kriswandhono.
|
Gedung cagar budaya Lawang Sewu difungsikan sebagai museum kereta api / Nonie |
Keterangan
resmi menyebutkan di Semarang ada 103 bangunan cagar budaya yang telah
ditetapkan pada awal 1990-an. Namun demikian, penelitian terakhir menunjukkan
ada 300-an bangunan yang perlu dikaji untuk ditetapkan menjadi cagar budaya.
Para pencinta sejarah di Semarang meminta agar pemerintah Kota
Semarang dan otoritas terkait terus memperbaharui proses dokumentasi dan
pengkajian sehingga dapat melacak dan menyelamatkan bangunan-bangunan kuno
bersejarah. (Heyder Affan / Noni Arnee, BBC Indonesia)