Pages

Jumat, 22 Januari 2016

Merawat Masa Lalu, Menyelamatkan Kota lama Semarang


Menjelang siang di sudut Jalan Kepodang, Semarang, raungan sepeda motor bercampur aduk dengan aroma makanan kaki lima. Terlihat pula beberapa pria dengan ayam aduannya. Tidak jauh dari situ berdiri sebuah gedung tua dengan kondisi merana dan bahkan nyaris hancur.

Belakangan diketahui bangunan merana itu adalah bekas kantor redaksi surat kabar De Locomotief, yang terbit pertama kali pada 1851, dan dikenal sebagai pendukung politik Etis. "Saya tidak habis pikir, ada sebuah bangunan yang punya nilai sejarah yang sangat tinggi, seperti De Locomotief, itu bisa terlupakan," kata Rukardi, pimpinan Komunitas pegiat sejarah, KPS, Semarang, kepada wartawan di Semarang, Nonie Arnee. 
Bekas kantor Surat Kabar De Locomotif yang dirobohkan /nonie

Menurut Rukardi, keberadaan bangunan bersejarah ini tidak tercatat dalam buku Semarai bangunan dan kawasan pusaka budaya kota Semarang (2006) yang diterbitkan pemerintah kota Semarang dan Universitas Diponegoro. “Saya tidak habis pikir, ada sebuah bangunan yang punya nilai sejarah yang sangat tinggi, seperti De Locomotief, itu bisa terlupakan,” Rukardi, pimpinan Komunitas pegiat sejarah, KPS, Semarang. 

Buku ini memuat sekitar 300-an bangunan yang perlu dikaji untuk ditetapkan menjadi cagar budaya, kata Rukardi. "Bahkan sudah melalui proses penelitian, tapi faktual ternyata ada kesalahan, sehingga bangunan itu tidak tercatat sebagai bangunan cagar budaya," katanya.
Rukardi dan orang-orang yang peduli terhadap bangunan cagar budaya telah melaporkan masalah ini kepada Balai pelestarian cagar budaya setempat untuk ditindaklanjuti.

Nasib Pasar Peterongan
Bagaimanapun, kondisi merana yang dialami bangunan De Locomotief menambah daftar panjang bangunan tua bersejarah yang rusak atau dibiarkan terlantar di Semarang. Masyarakat pencinta sejarah di kota itu masih ingat ketika Pasar Peterongan, yang dibangun pada 1916, sebagian bangunannya telah dibongkar, Juli 2015 lalu.

Masalah ini telah dilaporkan ke Wali Kota Semarang, dan kemudian pembongkaran itu untuk sementara dihentikan, menyusul adanya penelitian terakhir yang mengukuhkan bahwa bangunan pasar itu termasuk bangunan cagar budaya.
Semua dapat porsinya masing-masing. Masyarakat sejarah berkontribusi memberikan sejarah, tapi ketika sejarah ini mengakibatkan hanya berpikir satu matra saja yaitu tentang sejarah, ya, yang lain tidak bisa jalan.Anggota Badan pengelola kawasan kota lama Semarang, Albertus Kriswandhono. 
Pembongkaran Konstruksi beton Pasar Peterongan yang dibangun tahun 1916 menjadi polemik / Nonie
Anggota Badan pengelola kawasan kota lama Semarang, Albertus Kriswandhono, yang diberi tanggung jawab menyelesaikan masalah ini, mengharapkan ada kompromi antara kepentingan sejarah dan kebutuhan untuk memperbaiki pasar tersebut. 

Sejauh ini pedagang pasar ditempatkan di tempat lain selama persoalan ini belum dituntaskan, tapi menurut Kriswandhono hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. "Karena ujung dari proses ini adalah ketika cagar budaya ini tidak bisa menyejahterakan masyarakatnya, nggak usah ngomong soal cagar budaya," kata Albertus Kriswandhono.
Dengan kata lain, "semua dapat porsinya masing-masing. Masyarakat sejarah berkontribusi memberikan sejarah, tapi ketika sejarah ini mengakibatkan hanya berpikir satu matra saja yaitu tentang sejarah, ya, yang lain tidak bisa jalan," katanya.

Namun demikian, menurutnya, bisa saja nanti salah-satu opsi jalan keluarnya adalah menyediakan lahan baru untuk pembangunan pasar baru.

Kisah sukses Sobokartti
Sejumlah anak muda tengah latihan tari tradisional di Sasana Sobokartti, sebuah bangunan cagar budaya di Semarang, yang didirikan pada 1929. Keberadaan Sobokartti berikut aktivitas di dalamnya adalah contoh sukses sebuah pelestarian bangunan kuno bersejarah.
Tjahjono Raharjo, ketua paguyuban Sobokartti sekaligus dosen arsitektur di sebuah perguruan tinggi swasta, mengatakan upaya konservasi gedung harus berkompromi dengan tuntutan zaman.  "Kami harus menyesuaikan dengan kondisi sekarang. Misalnya, sekarang kalau pertunjukan membutuhkan lighting (lampu) yang bagus, ya nanti kami harus nambah," kata Tjahjono memberi contoh.
Gedung kesenian Sobokarti yang berhasil dikonservasi /nonie

Dia mengatakan, penambahan fasilitas seperti itu tidak menyalahi kaidah konservasi. "Itu sah-sah saja, nggak melanggar. Sekarang kalau harus punya kamar mandi yang representatif, misalnya dengan mengganti WC jongkok, ya nggak apa-apa."
Sambil mengkonservasi, saya memfungsikan bangunan ini menurut fungsinya yang baru. Tujuannya berhasil dua-duanya. Dari segi bangunan, kita menyelamatkannya, tapi dengan membuat bangunan ini hidup dengan memberi fungsi yang baru.Pemilik Galeri Semarang, Chris Darmawan. 

Di Semarang, juga berdiri galeri seni kontemporer Semarang di Jalan Srigunting, yang merupakan hasil konservasi gedung cagar budaya. Pemiliknya, Chris Darmawan menjelaskan, bagaimana dia melakukan konservasi:  "Sambil mengkonservasi, saya memfungsikan bangunan ini menurut fungsinya yang baru. Tujuannya berhasil dua-duanya. Dari segi bangunan, kita menyelamatkannya, tapi dengan membuat bangunan ini hidup dengan memberi fungsi yang baru," jelas Chris Darmawan.

Disulap menjadi galeri seni pada 2008, gedung tua ini dibangun pada 1918. Bangunan ini pernah ditempati sebagai kantor asuransi milik konglomerat Oei Tiong Ham dan berakhir menjadi pabrik sirop hingga 1998.
Salah satu sudut Galeri Semarang di Kawasan Kota Lama /nonie

Minta dicabut status cagar budaya
Seperti yang dialami gedung De Locomotief, sejumlah gedung cagar budaya milik per orangan di kawasan kota tua Semarang banyak terlantar, karena pemiliknya dihadapkan kendala dana. Tjahjono Raharjo, ketua paguyuban Sasana Sobokartti sekaligus dosen arsitektur di sebuah perguruan tinggi swasta, mengatakan sebagian pemilik gedung tua bersejarah di kota lama Semarang, mengaku kesulitan untuk merawat bangunan miliknya. "Ada orang yang keberatan kalau bangunannya ditetapkan sebagai cagar budaya. Bahkan ada yang pernah minta status sebagai cagar budaya itu dihapus," kata Tjahjono.

Dia melanjutkan, pemilik gedung tua bersejarah itu kemudian mencontohkan dilema yang dialami, utamanya seandainya dia meninggal dunia.
Misalnya saya meninggal, ahli waris saya ingin membagi harta warisannya, diantaranya rumah itu. Nah, status cagar budaya itu menyulitkan, karena bangunan itu tidak dapat dijual, sementara ahli-ahli waris itu 'kan tidak semuanya orang mampu. Dia butuh uang itu.Tjahjono Raharjo, ketua paguyuban Sasana Sobokartti.  "Misalnya saya meninggal, ahli waris saya ingin membagi harta warisannya, diantaranya rumah itu. Nah, status cagar budaya itu menyulitkan, karena bangunan itu tidak dapat dijual, sementara ahli-ahli waris itu 'kan tidak semuanya orang mampu. Dia butuh uang itu," ungkapnya. 

Akibat kekurangan dana, menurut pimpinan Komunitas Pegiat Sejarah (KPS) Semarang, Rukardi, ada sebagian pemilik menelantarkan gedung kuno bersejarah."Mendiamkan bangunan itu dengan harapan bangunan itu roboh dengan sendirinya dan kemudian mereka bisa membangun bangunan baru di atasnya," kata Rukardi.

Di sinilah muncul ide agar pemerintah Kota Semarang memberikan semacam insentif kepada pemilik gedung-gedung kuno sehingga dapat meringankan mereka."Mestinya tidak hanya dibebaskan dari pajak, tapi juga mendapatkan insentif," ujar Rukardi.

Perbaiki infrastruktur

Sekretaris Dinas Tata Kota dan Permukiman Kota Semarang, Irwansyah, tengah menggodok sejumlah jalan keluar untuk menyelesaikan soal kendala dana tersebut. Nanti ada insentif dan disinsentif. PBB (Pajak bumi dan bangunan) juga sedang kita upayakan untuk mereka mendapatkan keringanan. Mungkin kalau itu digunakan untuk usaha, nanti ada keringanan pajak," kata Irwansyah saat dihubungi wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, melalui saluran telepon. 

"Yang sudah kita lakukan, pemerintah kota membantu merecording documenting masing-masing bangunan cagar budaya, terus kita bisa mengarahkan kira-kira apa yang bisa dilakukan terhadap bangunan ini," ungkapnya.

Sejumlah bangunan yang sudah didokumentasikan dan dikaji diantaranya adalah Gedung Marba, bangunan pasar Johar, Pasar Jatingaleh, Restoran Ikan bakar Cianjur, Hotel Dibya Puri, serta Hotel Candi Baru.  Tetapi arsitek dan pegiat pelestarian bangunan cagar budaya, 
Albertus Kriswandhono mengatakan, langkah penting yang harus dilakukan pemerintah kota Semarang adalah memperbaiki infrastruktur:
"Jalan, lampu, listrik, air, itu saja yang Anda perbaiki, tidak banjir, tidak rob, selokannya jalan lancar, itu saja yang diperbaiki, Nah, untuk bekerja di sana, ada aturannya, bertanyalah kepada badan pengelola ini," kata Albertus Kriswandhono. 
Gedung cagar budaya Lawang Sewu difungsikan sebagai museum kereta api / Nonie

Keterangan resmi menyebutkan di Semarang ada 103 bangunan cagar budaya yang telah ditetapkan pada awal 1990-an. Namun demikian, penelitian terakhir menunjukkan ada 300-an bangunan yang perlu dikaji untuk ditetapkan menjadi cagar budaya.

Para pencinta sejarah di Semarang meminta agar pemerintah Kota Semarang dan otoritas terkait terus memperbaharui proses dokumentasi dan pengkajian sehingga dapat melacak dan menyelamatkan bangunan-bangunan kuno bersejarah. (Heyder Affan / Noni Arnee, BBC Indonesia)



Minggu, 28 Juni 2015

Fenghuang, Mesin Waktu di Kota Perbatasan


Dalam teks religius Book of the Dead (Kitab Kematian) Mesir kuno yang ditulis 200SM, Sang Phoenix berkata, "Aku adalah penjaga catatan takdir, buku tentang hal yang telah terjadi dan akan terjadi."
Ungkapan burung phoenix yang melambangkan perjalanan waktu dan simbol kehidupan abadi hingga kini masih bisa dilihat dan dinikmati di salah satu kota tua tersohor di China. Kota Fenghuang namanya. Letaknya berada di sebelah barat Propinsi Hunan dan berbatasan dengan propinsi GuiZhou. Jaraknya sekitar 10 kilometer dari Great Wall, atau 430 km dari Changsa, ibukota Provinsi Hunan.
sumber:willomegumi.blogspot.com
Kota kuno berpenduduk 300 ribu jiwa yang didirikan era pemerintahan Kaisar Kangxi, Dinasti Qing, dinasti terakhir dalam sejarah Tiongkok ini memang tak lepas dari kisah legenda pengembaraan sepasang burung phoenix ketika “feng” (phoenix jantan) dan “huang” (phoenix betina) singgah dan mengakhiri pengembaraannya di lembah yang indah ini. Simbol penyatuan keduanya nampak dari gunung Nanhua di sebelah barat daya kota yang berbentuk seperti seekor phoenix sedang terbang. Sejak itu, Kota Phoenix yang berusia 1.300 tahun dan dikelilingi pegunungan lebih familiar di sebut Kota Fenghuang.

“Keabadian” Kota Fenghuang seolah menjadi mesin waktu melihat peradaban masyarakat Tiongkok kuno. Patung perunggu burung Phoenix (Hong) berukuran besar menyambut pengunjung yang datang untuk menikmati keindahan kota. Tak perlu menekan tombol waktu, pengunjung cukup membayar tiket masuk ke kota ini sebesar  148 Yuan (Rp 295 ribu) sebelum melintasi North and East City Gate Tower. Jembatan dari tonggak-tonggak batu di bawah gerbang utara kota lama yang membelah Sungai Tuojiang yang dangkal dan jernih. Sungai ini pula menjadi pemisah antara kota baru dan kota lama dan yang dibangun di tepi Sungai Tuojiang. Dan selepas melintasi Jambatan Hong, imej Kota Fenghuang sebagai kampung air di selatan terhampar di depan mata.

Jelajah Kota Kuno
Kota Fenghuang merupakan satu diantara  24 kota sejarah dan budaya terkenal di China. Sejumlah site wajib dikunjungi ketika berada di kota ini. Selain Fenghuang Ancient City, North and East City Gate Tower, banyak tapak peninggalan sejarah yang masih terpelihara dengan baik, antaranya kuil sastra yang dijaga keasliannya dengan mengawetkan bangunan pada zaman Dinasti Ming dan Dinasti Qing, Gua Qiliang bernama "Istana Seni bawah Tanah", kota purba Huangsiqiao pada zaman Dinasti Tang, dan dermaga "Tembok Besar di selatan".

Kota Fenghuang dapat dijelajahi hanya dalam waktu 30 menit. Meski tampak tua dimakan usia, 200 rumah kayu kuno dengan tembok batu merah masih nampak utuh menampilkan tata ruang kota tradisional tiongkok abad ke-13. keunikan terlihat dari rumah kayu beratapkan genting hitam, berbentuk segitiga/nok dengan ujungnya berbentuk kepala burung Hong atau Naga.  Bangunannya bertingkat dan  bersusun-susun sepanjang tepian sungai berdinding kayu warna cokelat berjajar-jajar rapi. Sedangkan kedua sisi rumah-rumah tua itu terdapat 20 jalan kecil dari lempeng batu warna merah tua yang belum berubah sejak zaman Dinasti Ming. Bukan cuma itu, berbagai peninggalan sejarah Dinasti Qing yang ada sejak abad ke-17 juga masih terjaga dengan rapi di sana.
Selain itu nampak kemegahan benteng kota sepanjang dua kilometer dengan dinding setinggi 5,7 meter dan tebal 3,7 meter yang dibangun dinasti Ming sekitar tahun 1800-an untuk melindungi kota dari serangan suku Hmong (etnis Miao) yang kini menjadi penduduk mayoritas selain etnis Tujia. Keindahan lain adalah menara lonceng, dermaga, kelenteng dan kuil kuno yang dibangun di dekat gunung, town gate, serta rainbow bridge. Serta sebuah jalan membujur dari barat ke timur bak sebuah serambi panjang yang hijau.

Tata kota ini sangat teratur. Rumah yang berada di pinggir jalan sebagian besar dimanfaatkan sebagai toko atau kedai arak yang pemiliknya berdandan dengan pakaian tradisional.
Sedangkan di tepi sungai dipenuhi rumah panggung antik tampak seperti burung jenjang yang mendongak berbaris berjajar-jajar.
Rumah panggung beratap melengkung ke atas dengan genteng berlapis-lapis bak sisik ikan ini menjadi ciri khas bangunan yang sebagian besar terbuat dari kayu yang “menggantung” di atas sungai dengan penyangga pasak-pasak yang menancap di dasar sungai. Struktur bangunan masih lengkap dengan khas gaya Ming dan Qing yang mewakili dua etnis yang menempati kota ini.

Meski dalam setengah abad terakhir kota ini terhindar dari gilasan ekonomi besar besaran di China, kota ini sempat mengalami kerusakan di jaman Miao tahun 1795 sampai pemberontakan Getun 1937. namun Fenghuang mampu menjaga harmoni manusia, pegunungan, air dan kota, kebudayaan dan adat istiadat setempat, hingga dijuluki The Chinese Most Beautiful Town.
sumber:topikwisata3
Cahaya Phoenix di Waktu Malam
Kabut melintasi gunung dan kota bak barisan peri putih menambah keindahan cantiknya suasana Fenghuang di pagi hari. Dan ketika matahari menampakkan diri, warna gunung gelap mengeluarkan semburat cahaya.
Sebagai salah satu kota wisata, di kota ini juga bermunculan hotel kecil dengan balkon dan kafe yang menghadap langsung ke Sungai TuoJiang dan melihat pemandangan alam serta kehidupan alami penduduk setempat.
Sungai yang membelah kota kuno ini memang menjadi urat nadi kehidupan kota. Ritme kehidupan warga Fenghuang terlihat di bibir sungai sejak pagi. Mereka mencuci pakaian, sayuran, menjaring ikan, termasuk pemandangan wisatawan saat menikmati keindahan kota ini dengan tur perahu Flou ala Gondola di Venice Italia di sepanjang sungai sembari mendengarkan kisah burung phoenix.
Dan ketika beranjak rembang petang, Kota Fenghuang seolah menjelma bak wujud burung phoenix yang tengah memamerkan keindahan warna merah keemasan bulu yang sangat indah dengan sayap berwarna warni serta kaki ungu dan mata biru laut. Semburat cahaya indah dari lampu warna warni di dinding-dinding seluruh kota dan rumah penduduk di tepi sungai yang memantul bak cermin di tepi sungai  Tuojiang seperti keindahan warna phoenix.
Fenghuang malih rupa dengan gemerlap lampu yang menghiasi tempat ini menjadi sebuah tempat baru yang jauh berbeda menyemarakkan iringan musik dan tarian dari para wisatawan yang bersantai menikmati keindahan kota atau makan malam sambil menyimak kisah Sheng Cong-wen dari penduduk lokal.

Menjenguk Shencongwen
Kota Fenghuang dikenal dunia lewat imajinasi Sheng Congwen yang dituangkan dalam novel berjudul Frontier City. Ia begitu mahir melukiskan keindahan kota kuno yang unik dan indah yang menjadi kampung halamannya. Selain sebagai penyair,  Sheng Congwen juga seorang arkeolog dan sejarawan terkenal zaman modern Tiongkok.
Dan bekas rumah Shen Congwen terletak di sebuah gang Jalan Zhongying di bagian selatan dari kota tua Fenghuang menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi. Hingga kini rumah berstruktur batu dan kayu, bergenting biru dan tembok putih, serta jendela kayu yang terukir terawang dengan dua pekarangan yang berkonfigurasi mirip Siheyuan Beijing (rumah tradisional yang pekarangan di tengah) masih terawat keasliannya. Halaman luas bergaya tektonik dari dinasti Ming dan Qing terdapat teras kecil dan 10 kamar yang kecil tapi dihiasi oleh jendela kayu berukir indah. Halaman ini dibangun kakek Shen  pada tahun 1866.
Shencongwen lahir dan menghabiskan masa kecilnya di sini. Namun, saat berusia 15 tahun, Shen berkelana meninggalkan keluarga dan bergabung dengan tentara, petani, pekerja dan melihat kegetiran hidup rakyat kecil hingga kemudian memutuskan singgah ke Beijing dan menghabiskan hidupnya untuk menulis hingga meninggalkan banyak warisan karya sastra.
Buah Tangan dari Fenghuang 
Seiring dengan meningkatnya wisatawan yang datang ke kota ini. Kiri kanan rumah kuno berjejer yang membelah jalan kini banyak berubah menjadi toko yang menjual aneka cindera mata dari kulit, perhiasan/pernak-pernik dari silver, barang-barang tenunan dan anyaman, guntingan kertas, batik dan batik ikat.
Selain cinderamata, buah tangan khas yang banyak dijumpai di antara toko-toko di kota Fenghuang adalah toko pembuat permen jahe. Salah satu yang terkenal renyah dan harum permen jahe "Zhang" milik Zhang Lanqing yang diwariskan turun temurun sejak tahun 1896 pada zaman Dinasti Qing. Permen yang berkhasiat menghangatkan lambung, memperlancar sirkulasi darah, dan menyembuhkan batuk terbuat dari gula merah, bijan, jahe dan air sumber. Fenghuang juga dikenal sebagai daerah penghasil jahe dan kiwi terbanyak di seluruh China. Karena itu, setiap toko juga menyediakan manisan kiwi kering.

Kota Fenghuang memang ditakdirkan untuk hidup dengan keasliannya seperti burung phoenix yang ditakdirkan hidup kembali. Setidaknya begitulah kisah burung phoenix yang ditulis Publius Ovidius Naso, seorang penyair Romawi “… Lalu ia berbaring di wewangian yang memabukkan itu dan mati dan bangsa assyria berkata dari tubuh itu bangkit kembali phoenix kecil yang ditakdirkan untuk hidup lima abad lagi.”

Minggu, 23 November 2014

Orang-Orang yang Memanen Kabut (1)

Kekeringan melanda sebagian wilayah Indonesia. Mata air hilang atau menyusut, kini merekapun memanen kabut. Cerita dari desa-desa seputaran Semarang, tentang bertahan dari cuaca yang kerontang, sembari mempertahankan semangat hidup agar tak cepat redup.
Kasilah terus menganyam jaring penutup bulir-bulir padi yang mulai menguning. Sesekali bambu panjang berhias plastik di ujungnya dijulurkan menghalau burung-burung pemakan padi. Kali ini musim kering terlalu panjang, dan sawah mulai mengering, tapi perempuan itu tak patah semangat. Pada dua petak sawah miliknya itulah, nenek berusia 64 tahun dan bercucu 12 ini menggantungkan hidup.
“Ya, sawah ini harus diurus. Hasilnya untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari,” ujarnya. Rembang petang di tengah bulan September itu, tetap memberinya harapan sampai panen akhir bulan nanti, meski harus kerepotan dengan wereng, tenggerek, dan burung yang menjadi “musuhnya” sepanjang hari.
Hama-hama ini rakus memakan bulir padi bunting. Walaupun bersemangat menunggui sawahnya tiap hari, Karsilah tahu hasil panennya makin tak bisa diandalkan memberi makan sekeluarga. Pasalnya, padi yang tumbuh bagus dan gemuk seringkali berakhir dengan meranggas karena kekurangan air dan habis disantap hama. Hujan yang dinanti tak kunjung turun.
Apalagi selama ini pasokan air untuk sawahnya hanya berasal dari saluran irigasi yang dialiri air limbah rumah tangga dari komplek perumahan tak jauh dari areal persawahan. “Kalau tidak dijaga bisa habis semua, dan tidak bisa panen. Sebenarnya tetap bisa panen, tapi tidak seperti dulu, dapat 10 karung sudah untung karena banyak yang gabuk. Yang mentes (bernas) hanya sedikit, padahal modal beli jaring saja bisa sampai satu juta,” tutur Karsilah.
Menurut dia, sejak banyaknya sawah yang berubah jadi perumahan atau toko, hama padi menjadi berkali lipat dan menghabisi bulir-bulir padi yang ditanamnya. “Dulu di sisi sana sampai ujung itu sawah semua,” katanya menunjuk ujung jalan. “Sekarang habis jadi perumahan, tinggal sekitar 14 petak ini saja. Mungkin rumah-rumah itu penyebabnya sampai banyak burung makan padi, harus pasang jaring dan dikerudungi dengan kain,” katanya, dan telunjuknya menunjuk lagi ke beberapa arah berusaha meyakinkan Ekuatorial, bahwa sawah di desanya dulu memang jauh lebih luas.

Tidak hanya sawah Kasilah yang kerontang. Puluhan hektare lahan areal persawahan tanaman di Desa Meteseh, Kecamatan Tembalang, Semarang, Jawa Tengah dibiarkan mangkrak oleh pemiliknya. Semak merambat di hamparan sawah yang sebagian besar tak terurus. Tak lagi berharap hujan. “Pemiliknya Sudah nggak pernah ke sini, sawahnya nggak pernah ditengok lagi sejak ada rencana proyek pembangunan perumahan,” ujar Karjo,34, warga Desa Meteseh.
Sama halnya dengan Kampung Deliksari dan Kalialang, Sukorejo, Gunungpati, Semarang. Mata air Sendang Gayam yang selama ini menghidupi 900 kepala keluarga tak lagi bisa memenuhi kebutuhan air bersih. Debit air terus menyusut. “Alirannya kecil jadi harus giliran dan hanya boleh mengambil dua pikul per minggu. Itu pun harus jalan dua kilometer melintasi bukit. Kalau dropping air kan hanya sementara,” jelas Marsudi, salah seorang warga Deliksari.

Darurat Kekeringan
Kota Semarang adalah satu dari 12 kabupaten kota di Jawa Tengah yang menetapkan status darurat bencana kekeringan. Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 384 desa di 91 kecamatan dan 24 kabupaten di Jateng mengalami bencana kekeringan, diantaranya Kabupaten Rembang, Pemalang, Klaten, Kendal, Demak, Kebumen, Magelang, Purworejo, Blora, Wonogiri dan Kabupaten Grobogan.
“Hampir 60 persen dari 35 kabupaten-kota di Jawa Tengah rawan kekeringan. Itu yang terparah dari 24 kabupaten kota rawan kekeringan di Jateng akibat kemarau panjang,” ujar Direktur Penanganan Darurat BNPB J. Tambunan, di Semarang baru-baru ini.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah, Sarwa Pramana mengatakan, upaya tanggap darurat untuk memenuhi suplai air bersih telah dilakukan dengan dropping air, pengadaan pipanisasi, membangun instalasi persediaan air, dan pembuatan sumur untuk mengurangi wilayah-wilayah terdampak kekeringan secara bertahap. “Kami menyiapkan 3.000 tangki air bersih, menyusul bertambahnya wilayah yang mengalami kekeringan.”
Kepala Seksi Ekploitasi Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Jateng, Arus Horizon, menyebutkan debit air di sejumlah bendungan besar di wilayahnya menurun, khususnya Waduk Kedungombo yang mengairi lahan pertanian di Grobogan, Demak, Pati, Kudus, hingga Jepara.
Bahkan, diprediksi ketersedian air tak dapat mencukupi kebutuhan musim tanam awal Nopember mendatang. Padahal tahun lalu, Kedungombo surplus. “Kedungombo bahkan perlu penanganan karena penguapan tinggi akibat cuaca ekstrim. Ketinggian air terus menurun. Sebenarnya sekitar lima juta meter kubik air di situ sudah menguap,” paparnya.

Sementara itu, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Semarang memprediksi musim kemarau terjadi hingga bulan November mendatang dengan suhu mencapai 34 derajat celcius. Sebagian besar terjadi di wilayah pantura timur seperti Rembang, Pati, Blora, Demak, Semarang. “Mundurnya musim kemarau disebabkan El Nino kategori lemah yang mengakibatkan kemarau basah. Hujan baru mulai turun pada minggu ketiga November nanti,” jelas Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Jawa Tengah, Reni Kraningtyas.
Menurutnya, El Nino yang mempengaruhi tingkat kemarau di Jawa Tengah kurang signifikan karena kondisi laut Jawa yang sama-sama hangat dan mudah memunculkan awan. Akibatnya, hujan sesekali turun di beberapa wilayah Jawa Tengah namun dengan intensitas tidak normal.
Ketua Perhimpunan Petani Nelayan Sejahtera Indonesia di Jawa Tengah Riyono mengatakan kekeringan terjadi karena kerusakan lingkungan. “Rusaknya sistem irigasi, resapan tanah di lahan produktif hampir tidak ada, dan tidak berfungsinya embung untuk resapan air. Belum lagi penggundulan hutan atau alih fungsi lahan. Ini akumulasi.”

Menurutnya, persoalan ini seolah menjadi cerita klise karena terjadi tiap tahun tanpa terobosan untuk beradaptasi. Ia memberi contoh kekeringan besar yang terjadi tahun 2007, ketika sekitar 118 ribu ha atau 50% sawah gagal panen yang mengancam persediaan beras di Jawa Tengah. “Panen tingkat Jawa Tengah sekarang cederung konstan di angka 4 sampai 6 ton gabah kering panen tiap ha, padahal potensinya bisa hingga 8 ton/ha. Tak hanya itu, lahan pertanian terus menyusut. Data nasional rata-rata 100 ribu ha lahan hilang, di Jateng perkiraan sekitar 5-10 ribu ha,” ujarnya.
Riyono menambahkan, tingkat kekeringan terus meningkat dari tahun ke tahun. Kerusakan lingkungan yang masif mengakibatkan hilangnya keseimbangan alam dan rumitnya mengatur pola tanam petani. “Dampak nyata, kesulitan mencari sumber air karena debit air di waduk dan irigasi makin menyusut, tanaman mudah terserang hama dan ancaman puso karena anomali cuaca.”
Karena itu, pemerintah perlu mensosialisasikan pada petani perlunya mengantisipasi cuaca perubahan musim yang ekstreem serta perlindungan kepada petani akibat gagal panen. Menurut Kepala Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Jawa Tengah, Siti Narwanti mengatakan, selain fenomena alam, kegagalan panen disebabkan petani kurang menerapkan pola tanam terencana.

Data BPTPH menyebutkan, di akhir Agustus saja sedikitnya 9.691 ha lahan pertanian padi di 20 kabupaten/kota mengalami kekeringan dan 319 ha puso. Jika diakumulasikan dari Januari hingga pertengahan Agustus ini, kekeringan mencapai 118.081 ha dan 10.700 ha puso. Luasan terbanyak terjadi di wilayah Cilacap dan Grobogan. “Kemungkinan terus bertambah karena kemarau mundur. Tapi harapannya tidak mengganggu target produksi padi di lahan seluas 1,6 juta ha karena beberapa wilayah seperti Batang, Pekalongan, Pemalang, dan Brebes masih panen.”

Memanen Kabut
Kondisi lingkungan dan alam yang terus berubah tak membuat para petani di Tlogoweru, Kecamatan Guntur, Kabupaten Demak, Jawa Tengah menyerah. Daerah “kantong” yang selalu bermasalah dengan pasokan air, panen tetap melimpah.
Kegetiran puluhan tahun menjelang panen padi dan jagung pun hilang sejak empat tahun terakhir ini. Persoalan teratasi dengan keberadaan Tyto Alba. Salah satu jenis burung hantu yang kini jadi “penunggu” areal persawahan seluas 225 ha milik warga.
“Yang tersisa hanya tangkai bulir jagung saja karena diserbu hama tikus. Panen jarang berhasil. Semua usaha adaptasi dilakukan untuk mengubah nasib 900 kepala keluarga yang bergantung pada hasil pertanian. Termasuk program peningkatan produksi pertanian, seperti kincir angin dan 800 sumur pantek untuk irigasi dan pertanian SRI,” jelas Soetedjo, 54, Kepala Desa Tlogoweru.

Mujiono Sukarman, 43, lelaki asal Desa Blitar, Kecamatan Madukara, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah yang menciptakan teknologi tepat guna pompa air tanpa listrik. Ide itu muncul dari kegelisahannya terhadap ketersediaan air bersih di desa dengan kontur perbukitan. “Setiap musim kemarau kami selalu kesulitan air bersih. Tiap hari antre di sumber mata air di desa. Saya mencari cara agar air sumur bisa naik dan mengalir ke pipa-pipa milik warga.”

Kekeringan dan kesulitan air juga dialami petani sayur di dusun Ngoho, Desa Kemitir, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang. Dataran tinggi dengan ketinggian 1.600 mdpl selalu menghadapi masalah kekeringan permanen.
“Ketika musim kemarau kami tidak bisa menanam, tapi dengan bantuan alat pemanen kabut (fog harvesting) kekurangan air dapat diatasi dan kami bisa panen. Bagian utama alat pemanen itu adalah paranet atau jala plastik yang memilki rongga cukup kecil, yang akan memerangkap kabut yang berbentuk gas itu, lalu mengubahnya menjadi air. Di Desa Kemitir, paranet sepanjang 8 meter dan selebar 1 meter itu dibagi dua masing-masing 4 meter lalu dibentangkan pada ketinggian 2-3 meter di atas tanah, dengan penyanggu bambu. Sepanjang malam dan subuh, air yang terperangkap di jala itu akan menetes dan ditampung dalam sebuah pipa atau bambu yang terbuka bagian atasnya, lalu dari dalam penampung akan mengalir lewat selang plastik ke dalam ember besar.

Pemanen kabut juga bisa dikombinasikan dengan alat fertigasi tetes atau irigasi tetes, dimana jumlah air yang keluar dari selang itu dapat diatur dan disebarkan ke sebanyak mungkin tanaman yang ingin diberi air. Ternyata setiap alat panen kabut di desa Kemitir mampu menangkap kabut dan menghasilkan 25 liter air per hari untuk keperluan pertanian. “Ini teknologi sederhana dan potensi kabut di sini sangat tinggi meski di siang hari,” kata Puji Utomo, Kepala Desa Kemitir yang dibantu tim dari Program Kreatifitas Mahasiswa Universitas Gajah Mada untuk membuat dan memasang pemanen kabutnya.

Faktor Manusia
Guru besar hidrologi dari Lembaga Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Negeri Semarang, Dewi Liesnoor Setyowati, mengatakan selain perubahan alam karena faktor lingkungan dan manusia, kondisi fisik sejumlah Daerah Aliran Sungai (DAS) di Semarang dan Jawa Tengah memang memprihatinkan. Ia menyebut nama beberapa DAS seperti Kreo, Babon, Sungai Bringin, Sungai Silandak, Sungai Blorong, Sungai Bodri dan Pemali Jratun yang kondisinya tergolong kritis.
Dewi juga mengatakan, perubahan alih fungsi lahan dan kerusakan lingkungan menjadi faktor dominan berkurangnya debit air tanah hingga mengakibatkan ketersediaan air terus menyusut di ambang batas normal. Ketidakseimbangan inilah yang berdampak pada perubahan iklim. “Jumlah air di bumi pada dasarnya tidak mengalami perubahan. Permasalahan air terjadi karena adanya gangguan pada siklus hidrologi akibat aktivitas manusia. Dampaknya ya akan terjadi krisis air,” ujarnya.
Ia menambahkan, perubahan lahan menjadi pemukiman yang terjadi sejak 20 tahun lalu tidak diikuti dengan sistem drainase memadai sehingga berpengaruh besar terhadap siklus hidrologi. .“Yang terpenting mengubah perilaku manusia. Agar prediksi Kota Semarang mengalami krisis air bersih di tahun 2025 itu tidak terjadi,” ungkapnya. Namun Dewi menambahkan bahwa usaha memanen air hujan di sejumlah titik rawan kekeringan dapat dipakai sebagai cara untuk mengantisipasi kurangnya pasokan sumber air, karena upaya konservasi lahan butuh waktu lama.
Nonie Arnee (Semarang)

 http://ekuatorial.com/climate-change/orang-orang-yang-memanen-kabut#!/map=4847&story=post-8968&loc=-6.991859181483679,110.445556640625,7

Selasa, 09 September 2014

Menantang Maut di Sangihe



Perjalanan 90 menit ke pulau Marore tak asing bagi Recksan dan Karce. Sejak kecil mereka hidup di Matutuang, pulau kecil di Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara yang berada di ujung utara Sulawesi dan berbatasan dengan Provinsi Davao del Sur, Filipina.  Kali ini keduanya pergi memenuhi undangan rapat di pulau yang menjadi ibu kota kecamatan.

Seperti biasa, pumpboat, perahu kecil bermesin tempel yang ditumpangi harus melewati Pulau Mamanuk. Perairan yang rawan dengan ombak besar laut Pasifik yang sulit diprediksi.

“Tiba-tiba perahu terhempas dan terbalik. Karce tak bisa berenang. Dia menangis dan banyak minum air hingga stres dan seperti orang gila. Kami sudah putus asa,” kenang Recksan.

Recksan dan Karce berhasil terapung di puing perahu. Mereka terombang ambing ombak di tengah laut tanpa makanan dan minuman selama lima hari dan terseret arus keTarakan. Tapi, mereka berhasil diselamatkan kapal patroli TNI yang kebetulan melintas di sana. Selamat, meski perjalanan itu menyisakan trauma bagi Karce. Dan Recksan butuh dua pekan di rumah sakit untuk memulihkan kulitnya yang mengelupas akibat sengatan matahari.

Tragedi empat tahun lalu yang membuat nyawa nyaris melayang masih membekas. Namun, peristiwa itu tak memupus  Recksan untuk mengabdi sebagai Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) di Pulau Matutuang, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.

Recksan Salur (28) dan Karce Salensehe adalah orang pilihan warga di Kecamatan Kepulauan Marore menjadi Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa PNPM. “Hasil rapat di kampung dipilih kader laki-laki dan Karce terpilih sebagai kader perempuan. Awalnya saya tak tahu PNPM yang masuk ke kampung tahun 2009.”

Selain harus memahami ruh PNPM, penggerak program di daerah perbatasan, seperti di Sangihe, butuh keberanian. Medan yang harus ditempuh dan dihadapinya terbilang sulit. Mereka bahkan rela menantang maut hanya untuk bertemu warga, memimpin pertemuan di desa dan mensosialisasikan program nasional pemberantasan kemiskinan. Keterbatasan transportasi menjadi kendala terbesar.

Pumpboat menjadi moda transportasi andalan warga Matutuang, Marore, dan pulau lain di Kabupaten Sangihe. Dua cadik perahu kecil bermesin biasa digunakan melawan ganasnya ombak. Untuk sampai ke Tahuna, ibu kota Kabupaten Sangihe, harus berperahu hingga enam jam.

Sementara transportasi kapal perintis ke ibu kota kabupaten, hanya beroperasi tiap dua pekan. Di pulau Matutuang juga tak terjangkau sinyal telepon. Urusan antar dokumen ke kecamatan harus menitipkan pada nelayan. “Bahkan tak jarang menguras kantong pribadinya untuk biaya transportasi antar pulau. Ikut berkoordinasi ke Kecamatan Marore memfasilitasi masyarakat yang belum paham program PNPM,” tuturnya.

Selain tak subur, pulau-pulau di Sangihe banyak tak dihuni hingga infrastruktur minim dan kehidupan di wilayah terpencil ini sangat bergantung pada cuaca dan biaya tinggi. Pasokan energi pun menjadi persoalan. “Warga Pulau Matutuang dan Kawio mengusulkan ada generator listrik untuk  menerangi sekitar 100 rumah selama lima jam mulai pukul 18.00 WITA,” tutur lelaki yang hanya mendapat honor fasilitator Rp 200 ribu per bulan.

Selama medio 2009-2012, PNPM Mandiri Perdesaan mengakomodir kebutuhan warga dengan membangun talud pantai di Pulau Matutuang sepanjang 980 meter. pengadaan mesin diesel dan instalasi listrik berkapasitas 22,5 KVA, membangun 18 unit MCK, sumur bor tiga unit, tiga  kamar mandi, dan drainase sepanjang 417 meter.

Kehidupan sosial warga Kabupaten Sangihe yang terpengaruh dengan negara tetangga menjadi tantangan karena Kabupaten dihuni 150 ribu jiwa dan tersebar di 26 dari 105 pulau ini terbiasa hidup bersama.

“Sebagian warga tidak berbahasa Indonesia karena dulu tinggal di Filipina, pendidikan masih rendah. Adaptasi bahasa sering merepotkan. Ya, Kehidupan di sini sulit  tapi harus dijalankan karena ini pengabdian,” kata Recksan.

Lokasi Ekstrem

Dedikasi Jeremia P. Antara (30) selama tujuh tahun terakhir ini sebagai pendamping Lokal PNPM, Kecamatan Tabukan Tengah tak diragukan. Awalnya, dia diangkat menjadi Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) di Desa Bowongkali, Kecamatan Tabukan Tengah, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara dalam sebuah musyawarah desa.

Di daerah berbukit dikelilingi banyak pulau dan dikategorikan lokasi ekstrem dan terpencil ini, tugasnya membantu fasilitator kecamatan melaksanakan kegiatan PNPM. Perencanaan, pelaksanaan, hingga pelestarian program kerja membuatnya berkeliling menapaki perbukitan dan berpindah dari satu desa ke desa lain.

“Saya harus memimpin rapat desa, sosialisasi, menjaring usulan dan ide dari masyarakat. Jarak antardesa sangat jauh.  Terkadang harus naik pumpboat untuk menjangkaunya,” ujar lulusan SMKN 3 Tahuna yang biasa menempuh perjalanan 9 kilometer dari rumahnya di Bowongkali ke sekretariat PNPM Kecamatan Tahuna.

Sejak tahun 2007, kegiatan PNPM di Kecamatan Tabukan Tengah menyerap dana hampir Rp 9 miliar rupiah, yang digunakan untuk pembangunan akses jalan menuju Sekolah Dasar di Desa Bowongkali sepanjang 700 meter, talud pantai, talud sungai, jembatan, jalan desa, sarana air bersih, drainase, tambatan perahu dan bangunan pengolahan sagu yang mesin pencacahnya dirakit sendiri dari mesin perahu.

“Kami punya 12 pengolahan sagu di empat desa Kecamatan Tabukan Tengah. Ini daerah pertama di Sangihe yang punya pengolahaan sagu modern dan bisa mencacah sagu dalam hitungan menit. Warga membayar iuran untuk biaya pemeliharaan aset desa ini,”imbuh Jeremia.

Kegiatan non-fisik program simpan-pinjam perempuan juga digalakkan untuk menambah modal usaha dengan mengalokasikan 15 persen dana PNPM untuk 50 kelompok yang mengajukan pinjaman tanpa agunan dengan bunga 1,5 persen. Tingkat pengembaliannya dalam waktu setahun mencapai  95 persen.  

“Dari perencanaan, pembangunan, hingga pengelolaan dana yang transparan membuat warga antusias. Apalagi warga juga swadaya,” jelas pendamping lokal terbaik nasional untuk wilayah ekstrem dan terpencil dalam PNPM Mandiri Perdesaan 2013 ini.

Ketekunan Jeremia “terbayar” dengan perubahan. Tak hanya jalan mulus menuju sekolah,  ekonomi di wilayahnya juga berkembang. “Sekarang warga punya modal dagang ikan dan punya perahu. Bahkan ada yang punya toko.”