Pages

Tampilkan postingan dengan label lingkungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label lingkungan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 13 Januari 2019

Ketika Mata Air Sendang Tak Lagi Mengalir


Oleh: Noni Arnee
Semarang, JAWA TENGAH. Sendang-sendang di Sekaran, Kecamatan Gunungpati, Semarang, Jawa Tengah kehilangan air akibat perluasan pembangunan di kawasan Gunungpati yang menyebabkan krisis air. Akibatnya, warga harus mencari sumber air baru untuk memenuhi pasokan air.

“Ini Sendang Kali Bendo, airnya sejak dulu digunakan orang-orang untuk mandi, mencuci, dan memasak,” kenang Said (70), warga Kelurahan Sekaran, Gunungpati, sambil menunjuk sendang berukuran sekitar 12 meter persegi yang tertutup rumpun bambu, tak terawat dan kotor, terhimpit di belakang bangunan rumah, ruko dan sumur artesis. Lokasi sendang tersebut hanya berjarak sepuluh meter dari Jalan Raya Sekaran.

Said mengatakan bahwa air Sendang Kali Bendo jernih dan melimpah, dengan kedalaman lima meter, bahkan bisa meluap ke bibir sendang dan muncul tuk Belik, atau sumber air yang lebih kecil. Sebelum tahun 2000, air dari sendang menjadi konsumsi warga Sekaran setiap hari.
“Biasanya pagi dan sore ngangsu (Red: menimba air) dua pikul air ember besar dari sendang untuk memasak. Kalau mandi dan mencuci langsung di sendang. Banyak yang pakai air sendang, kadang kalau mandi sampai antre,” kata Said menambahkan air sendang juga dimanfaatkan oleh Kampung Banaran, yang berbatasan dengan Desa Sekarang.

Namun, kondisi tersebut berubah setelah pohon beringin, preh, dan munggur, dengan diameter seukuran dua rentangan tangan orang dewasa di sekitar Sendang Kali Bendo ditebang. Akibatnya, kedalaman menyusut dari lima meter menjadi sekitar dua meter.
“Awal tahun 2000an, pohon ditebang warga untuk menghilangkan kesan mistis. Ya, kira-kira sekitar lima tahun setelah itu, di sekitarnya banyak bangunan baru. Air sendang makin menyusut,” kenang Said.

Jumari, warga Sekaran, mengatakan hal serupa terjadi pada Sendang Kuwok yang kini hanya menjadi tetenger (red: ciri, tanda khas) kampung dan lokasi berdekatan dengan saluran pembuangan limbah rumah tangga..
“Dulu, airnya limpah-limpah dan jernih. Tapi, sekitar tahun 2005 pohon beringin penopang sendang roboh tertiup angin. Lama-lama air sendang tinggal genangan. Sekarang hanya jadi tempat cari lumut untuk umpan ikan,” jelas Jumari.

Nuryanto, warga Sekaran lainnya menimpali Sendang Wideng yang berjarak sekitar 200 meter dari Sendang Kuwok juga tak terurus, terhimpit bangunan permukiman, kos-kosan dan tegalan, dan kini lebih mirip kolam ikan dengan air hijau pekat. “Akhirnya, sendang tidak dipakai dan dibiarkan begitu saja. Tak ada yang mengurus,” timpal Nuryanto.

Pakar air dari Universitas Negeri Semarang, Dewi Liesnoor Setyawati mengungkapkan sumber mata air yang tidak terjaga dengan baik dan hilangnya vegetasi di sekitarnya berpengaruh pada menurunnya kualitas sumber mata air. Ditambah lagi, alih fungsi lahan akibat masifnya pembangunan memberikan andil terhadap penurunan potensi keberlanjutan sumber air.
“Air sendang menyusut, mengering dan mati, tidak terawat karena tidak digunakan masyarakat. Atau sengaja di “matikan” dan hilang dengan alasan pembangunan jalan, perumahan atau alih fungsi lahan lainnya,” ungkap Dewi.

Beralih ke Sumber Air Baru
Akibat menyusutnya kedalaman air sendang, warga Sekaran, Gunungpati pun kemudian beralih dari mata air sendang pada sumber air baru untuk memenuhi kebutuhan air bersih. 
Mereka pun mulai membangun sumur-sumur dangkal di sekitar halaman rumah sejak akhir tahun 1990an. Kedalaman sumur-sumur tersebut berkisar antara 15-20 meter.
“Untuk kebutuhan air, akhirnya membuat sumur gali. Memang lebih praktis tapi mahal. Ya, mau gimana lagi karena air sendang sudah tidak mencukupi,” kata Said, warga Sekaran.

Meski demikian, ia mengatakan bahwa sumur dangkal tidak menyelesaikan persoalan karena seiring waktu debit air sumur dangkal juga akan menyusut, terutama saat musim kemarau. Tidak sedikit, lanjutnya, warga menggali hingga kedalaman 25-35 meter untuk memperoleh air.
“Untung-untungan juga bisa keluar airnya. Ada yang menggali tidak keluar air. Makanya ada rumah punya dua sumur gali. Kalau sudah tidak keluar air, bikin baru. Beda, dulu gampang air sekarang susah air,” lanjutnya.

Moechammad Sholeh, Kepala Seksi Ketentraman dan Ketertiban Umum Kelurahan Sekaran, Gunungpati mengungkap kualitas air sumur dangkal di Sekaran relatif tidak bagus. “Air sumur gali sedalam 20 meter saja airnya masih keruh seperti ada karatnya, kuning-kuning,”ungkap Soleh.
Secara umum, Nuryanto mengatakan  warga Sekaran kini memanfaatkan sumber air tanah lewat sumur artesis untuk memenuhi kebutuhan ar.
“Warga pakai sumur bor dari pemerintah. Tapi, kebutuhan air meningkat terus. Jadi warga bikin sumur baru yang dikelola swadaya. Kalau punya uang, bikin sumur bor sendiri,” kata Nuryanto.
Moechammad Sholeh mengakui sumur artesis memang membawa kemudahan bagi warga untuk mengakses air bersih. Hal ini mendorong peningkatan pengguna air bawah tanah (ABT).

Berdasarkan data Kelurahan Sekaran dan Pemerintah Kota Semarang tahun 2018, ada sepuluh titik pengguna ABT yang dikomersialkan dengan tarif Rp 2500 per meter kubik, dengan total konsumsi mencapai 20ribu meter kubil per hari.
“Kedalamannya (sumur ABT milik warga) berkisar antara 70-100 meter. Rata-rata pemakaian per titik 2 ribu meter kubik perhari disalurkan ke warga. Kalau untuk pemakaian pribadi memang belum terdata.”

Soleh mengatakan bahwa setiap rumah memiliki ABT, terutama rumah yang disewakan kepada mahasiswa.
“PDAM hingga kini belum masuk ke Sekaran. Kami tidak bisa melarang ABT karena tidak ada alternatif lain. Apa boleh buat. Ini kebutuhan,” jelas Soleh menambahkan setidaknya 400 rumah kost yang ada di Sekaran hingga tahun 2016.

Upaya Konservasi
Kepala Unit Pengelola Teknis Pengembang Konservasi Universitas Negeri Semarang (Unnes), Amin Retnoningsih mengatakan pihak universitas ikut bertanggungjawab terhadap degradasi lingkungan di Gunungpati, yang merupakan daerah penyangga Kota Semarang.

Namun, Amin mengatakan butuh upaya terus menerus dan waktu untuk memperbaikinya termasuk mengambalikan sumber-sumber mata air dan mengatasi persoalan krisis air pada masa datang.
“Alih fungsi lahan hijau menjadi pemukiman tentu mengurangi kawasan hijau untuk mengikat air,” kata Amin.

Lima tahun dikukuhkan sebagai Universitas Konservasi pada 12 Maret 2010, Unnes mengeluarkan Masterplan Unnes 2015-2025 sebagai bagian dari strategi dan program pengembangan konservasi.
Rencana besar konservasi Unnes tersebut mencakup pembangunan embung berkapasitas lima ribu meter kubik, rumah kebun Unnes seluas 2,2 hektar yang ditanami 100 jenis pohon, sumur resapan, biopori dan penanaman pohon, di dalam area kampus .
“Embung berfungsi menampung air hujan dan air limpasan. Mahasiswa wajib menanam pohon setiap tahun, di dalam kampus maupun di kawasan Gunungpati. Menanam pohon sebanyak-banyaknya itu salah satu yang paling mudah dilakukan,” jelas Amin menambahkan sekitar 110 ribu pohon, seperti mahoni, akasia, sengon, glodogan tiang, kersen, Sawo Kecik durian, rambutan, mangga, dan belimbing, yang ditanam sejak delapan tahun terakhir.

Moechammad Sholeh, Kepala Seksi Ketentraman dan Ketertiban Umum Kelurahan Sekaran, Gunungpati menandaskan pihak Keluarahan Sekaran bekerja sama dengan Unnes, tidak hanya menghijaukan lahan kosong, sepanjang jalan dan halaman rumah warga. Kerja sama tersebut juga mengajak warga membangun sumur resapan dan biopori.
“Dulu lahan di Sekaran banyak pohon-pohon besar kemudian ditebang untuk rumah dan usaha. Wilayah Sekaran nyaris habis untuk rumah semua. Sekarang warga diajak menanam lagi.  Izin bangunan disertai persyaratan pembuatan sumur resapan atau biopori. Ada pernyataan bermaterai. Kalau tidak begitu lama-lama sumber air habis dan kita yang bingung,” tandas Soleh.

Wakil Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu mengakui banyak lahan hijau di Gunungpati yang kini berubah menjadi perumahan dan pengembangan bisnis berdampak pada degradasi lingkungan. Salah satunya dengan hilangnya tangkapan air tanah yang menyebabkan krisis air bersih.
“Lahan-lahan resapan dijadikan permukiman baru. Ini memang tidak bisa dihindari karena Kota Semarang merupakan kota metropolitan. Pemkot akan memperbanyak ruang terbuka hijau dan warga dihimbau menanam pohon,” jelas Hevearita.

Amin berharap warga memahami bahwa penanaman pohon untuk memperbaiki fungsi utama kawasan sebagai daerah resapan air tidak bisa bersifat instan. Tapi, ia mengatakan penanaman pohon sudah menunjukkan perubahan dalam lima tahun, meskipun belum signifikan.
“Semua pihak bisa terus berusaha menjaga siklus hidrologi dan penyedia air sehingga ke depan akan banyak tumbuh pohon-pohon besar dan muncul lagi mata air yang menjadi bagian dari ekosistem kawasan penyangga,” harapnya.

Namun, ia mengakui bahwa upaya konservasi di luar area kampus belum maksimal karena keterbatasan kewenangan Unnes.
“Kami edukasi agar warga bersedia menanam. Seluruh bibit pohon kami sediakan. Masalahnya masyarakat mintanya pohon buah karena mengharapkan hasil. Jadi sering tidak sesuai antara persediaan dan permintaan,” keluh Amin.

Jumari, warga Sekaran mengakui menginginkan pohon bernilai ekonomis. “Maunya bukan menanam pohon iyup-iyupan (Red: pohon peneduh) saja. Tapi pohon yang hasilnya bisa dipanen seperti jambu, rambutan dan durian,” harap Jumari.

Menurut Dewi Liesnoor Setyawati, butuh peran semua pihak untuk memperbaiki lingkungan, termasuk dalam pengelolaan sumber daya air berkelanjutan. Tidak hanya aturan tapi butuh andil masyarakat dan kearifan lokal setempat sebagai strategi konservasi yang efektif. “Seperti keberlanjutan mata air sendang dan mata air lainnya yang kecil-kecil, harapannya pemerintah lokal desa dan warga bisa mengambil peran,” saran Dewi. EKUATORIAL.

Kamis, 07 Desember 2017

Mangrove pun bisa Jadi Makanan dan Batik

Chumaeroh membantu Ulfatin membentangkan kain yang akan di cap dengan motif hewan laut mimi yang dikombinasi dengan motif mangrove jenis rizophora. Plat dicelupkan ke pewarna alami yang terbuat dari batang limbah mangrove.

Ini sudah menjadi keseharian perempuan di Desa tapak, Kecamatan Tugu, Semarang Barat, Jawa Tengah selama empat tahun terakhir. Tepatnya sejak Kelompok Studi Ekosistem Mangrove Teluk Awur (KeSeMat) memberikan edukasi dan pelatihan pengolahan mangrove sebagai sumber pangan dan ekonomi alternafit. Ada dua kelompok Pengolah jajanan Mangrove yakni Bina Citra Karya Wanita yang mengelola berbagai jenis makanan dengan produk Mas Jamang dan Kelompok pengrajin batik mangrove Srikandi Pantura.

Mufida, selaku koordinator Srikandi Pantura mengatakan, warga merasakan manfaat dari pemberdayaan tersebut. Tidak hanya memberikan ruang aktualisasi diri, mangrove mampu memberi nilai tambah bagi perempuan pesisir.

 “Potensi mangrove sangat besar di sini, di sisi lain ibu-ibu banyak yang tidak punya kegiatan. Kita dikumpulan di kasih pelatihan bantuan alat, tidak hanya ilmu yang kami dapat.”
Dalam pelatihan tersebut, perempuan yang tinggal di wilayah pesisir utara Semarang Barat ini diajarkan membuat dan mengolah mangrove menjadi aneka penganan. Ada kerupuk , stik, peyek, bolu, Klepon, cendol.

“Macam-macam. Sampai sekarang kita diajak anak-anak KeSeMat untuk melatih kemana-mana. Tenyata manfaat mangrove itu besar sekali, selain pencegah abrasi juga  mempunyai nilai tambah. Ibu-ibu jadi punya uang sendiri selain dikasih suami.”

Ardyan Syahputra, anggota KeSeMaT mengatakan, tidak hanya manfaat ekonomi, warga di pesisir otomatis juga turut serta menjaga kelestarian ekosistem mangrove di wilayahnya dengan selektif memilih bahan baku yang akan diolah menjadi makanan maupun pewarna batik.

Ya, mangrove tumbuhan pesisir yang digadang-gadang sebagai benteng alami penahan laju abrasi di wilayah pesisir memiliki manfaat lain. Tumbuhan yang dulu memprihatinkan, rusak dan habis dibabat untuk alih fungsi lahan, kini keberadaannya terus menjadi perhatian.

Mangrove for Our Life

Di bawah terik, puluhan mahasiswa berbagai perguruan tinggi di Jawa Tengah antusias mempraktikkan pembibitan dan penyulaman  batang tanaman mangrove di pusat konservasi Mangrove Education Center of KeSEMaT (MECoK), Teluk Awur, Jepara. Jawa Tengah, Indonesia.

Ini hanya salah satu kampanye Kelompok Studi Ekosistem Mangrove Teluk Awur (KeSEMaT). Mereka mengajak anak muda belajar tentang mangrove. Seperti identifikasi mangrove, pembibitan, penanaman, penyulaman hingga menjaga ekosistem tumbuhan pesisir ini.

Ardyan Syahputra, anggota KeSeMat mengatakan, selain Mangrove Cultivation, ada Mangrove Replant dan Mangrove Restoration. Dalam setahun sedikitnya 30 program untuk menggerakkan isu penyelamatan mangrove bagi masyarakat pesisir dan urban. Bagi KeSeMat, ini sangat penting untuk memberikan pemahaman pentingnya mangrove bagi kehidupan.

“Kita mendekatkan mangrove kepada warga di kota yang belum menyadari pentingnya mangrove. Mereka masih acuh dan belum peduli karena belum merasakan dampaknya.”

Kampanye mangrove menjadi bagian dari lima program kerja KeSeMat yakni penelitian, edukasi, kampanye. konservasi, dan  dokumentasi.
Komitmen mengenalkan mangrove sangat tinggi hingga KeSeMaT diakui hingga terlibat dalam pengambilan kebijakan konservasi mangrove di Indonesia. Cara kerja voluntari membuat mereka sangat bersemangat karena aktivitas sangat berguna untuk masyarakat,” jelas Arif Priyono, salah satu penggagas KeSeMat

Aksi yang dimulai tahun 2001, digagas 9 mahasiswa Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang yang khawatir sekitar kampus terkena abrasi. Mereka khawatir 10 tahun ke depan kampus mereka akan tenggelam tergerus abrasi.

Empat tahun kemudian, KeSeMaT menjadi unit kegiatan mahasiswa yang fokus pada isu penyelamatan mangrove dengan menciptakan 25 brand inovatif untuk mengemas kampanye penyelamatan mangrove.
“Konservasi, Jurnalistik, Konveksi dengan batik mangrove, dongeng cerita mangrove dengan boneka mangrove, riset, hingga membuat logo mangrover dunia.

Selain menghijaukan wilayah pesisir KeSeMaT juga memberdayakan masyarakat pesisir untuk meningkatkan potensi ekonomi melalui rehabilitasi mangrove sebagai sumber makanan dan ekonomi masyarakat pesisir.
“Mangrove bukan hanya ditanam sebagai penahan abrasi tapi dijadikan makanan, sirup mangrove, batik bakau. KeSeMaT Menggalakkan mangrove is life style.”

Komitmen selama 16 tahun KeSeMaT menerima banyak penghargaan. Diantaranya Coastal Award 2012 Kategori Akademisi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, kategori Tunas Lestari Kehati di KEHATI Award 2015, dan Organisasi Terbaik Tingkat ASEAN - The Accomplished Youth Organizations (TAYO) ASEAN Award 2016 di Kamboja.

KeSeMat, menjadi organisasi anak muda yang berkomitmen menyelamatkan mangrove dan membuat mangrove sebagai gaya hidup.

Rabu, 06 Desember 2017

Are We Walking Alone in Facing Climate Change?*

I was born and grew up in Semarang, capitol of Central Java. Yeah, Semarang is a coastal city. And many people hear about Semarang will definitely remember the local song titled "Semarang Kaline Banjir”. 

Peoples lives in Semarang really knew that Semarang has flooded by rob and abrasion. We usually called Rob and Abrasion for sea level rise and coastal erosion.
Every year. Flooding by Rob and abrasion became a common sight in my town. Even could have sunk the buildings, roads, markets, houses and many infrastructures. And the condition would get worse at the beginning of the month.

At the time I didn't have any personal concern to this coastal city because I moved to Jakarta for studied and worked. But 12 years ago, I decided to back to my hometown and started my career as a journalist on a local broadcast radio. I covered local issues, government, economy, and ceremonial activities. Yes, almost local journalists did just like I did. Worked every day as the boss wish. I almost did the same thing  everyday that really made me feels like a robot.

2 years later, I got an email invitation from Deutsche Welle Germany to submit a climate change story in Indonesia and became a fellow to covering climate change. This story will be published by  Deutsche Welle Radio  at COP 13 in Bali in 2007.

I was so glad even though I really didn't have any interesting ideas for my proposal to be approved. I didnt know coz Climate change was something that I never think deeply. I never learned before to understand this issue.

Then I remembered “Semarang Kaline Banjir”. Rob and abrasion became my idea of my stories on climate change. Then I went and traced the worst areas along the coast of Java that was hit by sea level rise and coastal erosion. I worked for 2 weeks, saw the impact, met local people, scientist, find the document researches.
And from my experience, I learned many things. Not only about reporting techniques, but also learned to understand the real climate change issues and brought to the local context.

Sayung, Demak, Central Java one of the village I visited, had been abandoned by almost the entire people. Yes, many villages along the north coastal of Java are threatened to disappear by coastal erosion.  I met the researchers who had a lot of research on the topic said that coastal erosion in Java occurred since 60 years ago. Land subsidence  and sea level rise reaching a quarter centimeter per year due to global warming. Massive buildings construction and groundwater suction also make the land subsidence  an average at 20 centimeters per year.

I went to Sayung many times, and the last time was the end of last year. Some area was getting worst than before.
Pak Nurohman, a local resident accompanied me to traced the village by perahu (a small boat) because it was the only way to reach the place. My memory back to the first time I came to the village 9 years before. At that time, half of the houses had been left by residents because the houses had been damaged, destroyed, just like living debris, and sunk by coastal erosion.

Several local residents still lived there. The fisherman went to the sea as the main livelihood. Economic activity was still alive, of course in a bad situation. The main road in the village was still passable by cars. I walked down and follow the path to the edge of the village.

But, what we saw was just only memory. Everything I've seen in this village 9 years ago was gone. I only saw the roofs of houses and mangrove trees that become the habitat of herons.

Yeah of course, The government also seeks to solve the problem. Build green belt, the breakwater with billions of fund, revitalization fish cultivation. And revitalizing the mangrove ecosystem that is considered the best solution.

The Ministry of Marine Affairs and Fisheries also restoring the coastline with Nature Building Program to built a coastal shelter natural waves breaker called hybrid engineering from twigs and wood. This technology was adopted from Netherlands and believed to be able to reduce coastal erosion rate and stabilize the coastline.

Many Efforts to adapt to self-help by local people with build breakwater, plants mangroves, make the stage house. But Its not comparable with the massive disaster in front of their eyes. Coastal erosion continued to crash the lives of hundreds of families in Village. Many villages in Sayung were sinking. Houses and infrastructure are destroyed, economic slumps, they lost livelihoods and social relations ties.

The local government considers that relocation to be the best choice for them. But is that the best choice? 
I was remembered Pak Sumadi, a local resident in Tanggultlare, Jepara, north coast of Java who I met. He showed his sunken village in the middle of the sea. He told me how hard to adaptand living in a new place. Not enough one time relocation, coastal erosion makes Saadah, an old woman in Jepara and other residents relocated up to 3 times. They live in a new village, which is 5 kilometers from the origin village. But that was 9 years ago. What happens right now? Honestly, I don't know.

Coastal erosion that occurred in Sayung area, Central Java for the last 20 years was estimated to be the largest in coastal areas in Indonesia. The area affected by erosion reached more than 20,000 hectares causing the coastline retreating along 5 kilometers from the coastline in 1994.

Some local people who choose to survive adapt, makes a village regulations to protect coastal areas with mangrove conservation and prohibition shoot herons. Developing mangrove ecotourism, mangrove culinary and mangrove batik to improve  economic life.

Adaptation to the nature also are done by farmers in Temanggung, in the highlands in the south of Java, those who fought for the droughts every years. They build fog harvesting to collect water sources like the farmer in Cuba did.  They work together with Gajahmada University students to apply and trial the first eco-friendly technology in Indonesia.

But it didn’t last long because there was no support from the local farmer's community and local government. Farmers seem to face it themselves.  fog harvesting tools from nets and bamboo were damaged. Farmers helpless and they failed to harvest vegetable crops and paddy.

Yes, Indonesia had a serious threatening and vulnerability the impacts of climate change. Not only sea level rise, disturbances in the agricultural sector, droughts and food security. But the loss of rainforests because of palm oil and forests fires are the greatest threat and challenge. It  increases Indonesia's greenhouse gas emissions significantly.

Harvest failures, food crises, and forest fire are common and become subscriptions every year. The disaster is actually in sight and it should not be regarded as ordinary. too much of a real impact.  But we seem to look that the existing problems not the impact of climate change because this happens with various other causes.

Nature will always seek to balance. But, is it fair that those who will suffer are who have been living in harmony side by side with nature?
Yeah, it probably will not happen if the media take the role and influence and become a bridge between citizens and governments to combat climate change.

The lack of media to covering climate change and environmental issues occurs because the media seem don’t care about this issue. The media industry only pursuing profits with attracts public attention with  politics, economics, and national issues than climate change. That’s  may be the reason why almost all media in Indonesia dont have an environmental rubrication. I observed only large companies such as Kompas daily with environmental rubrics combined with science technology and health. BBC Indonesia. Natgeo. Or mongabay.id and green radio that is focused on environmental issues.

This condition makes journalist lack ability and understanding to covering this specific issue. Journalists don’t have discourse and any concern. I said that because of many media not willing to spend money for journalists and no much space in the media to cover this issues. 

Yes, I am sure that the media keeps reporting on climate change and the environmental issue but within the framework of news events, such as a live report of floods and forest fires. Not look at climate change context.

Many efforts to reduce the impact of climate change in Indonesia, but so far not been maximized. It's as if we are in Indonesia running on our own. Farmers and fishermen adapt them selves. The central government and local governments also had policy making with they own way.

The other hand, many  journalists try to bring and present environmental and climate change issues by involved in organization. In Indonesia, we have many such like The Society of Indonesian Environmental Journalists and The Alliance of Independent Journalists. 

Coz, Not only having high vitality, Organization is one of the best way for Indonesian journalists to get connected, networking, and meet scientists who have a lot of research on climate change. And provides many opportunities for journalists to improve their skills with training, workshops, fellowship, assistance, and advocacy if journalists are in trouble in the field.

I know it is not easy but it's not difficult either. The Press become the most effective medium to awake peoples to makes them realize and aware of the worst effects of climate change. I am sure if journalists and the media have discourse and concern that this is important.  They can do this.


Journalists and media have a role to inform, to voice, and to give understanding to the public that climate change is real. Climate change is around us, and impact on us. This is a challenge for us to hand in hand. Not walking alone in facing climate change! 


*My Presentation in public lecture at Regional Conference, Getting The Message Across “Telling the Story of Global Change: Better Journalistic Reporting on Climate Change and Sustainable Development”, 8 - 10 November 2017, in Kuala Lumpur, Malaysia.
UNESCO in partnership with Nottingham University and The Universiti Sains Malaysia.

Rabu, 14 Desember 2016

Bencana Itu Di Depan Mata

Dusun Tambaksari nampak dari kejauhan, terisolasi karena abrasi / nonie arnee
Ketika menyusuri Dusun Senik, Sayung, Demak bersama Nurohman, saya teringat ketika kali pertama menjejakkan kaki di dusun ini. Tepatnya, delapan tahun silam. Dusun ini sudah lama diterjang abrasi. Separuh rumah di dusun ini sudah ditinggal penghuninya karena rusak, tinggal puing-puing dan terendam termakan abrasi.

Meski begitu sebagian warga masih nampak beraktivitas senormal mungkin. Mereka masih mencari ikan di laut sebagai mata pencaharian utama. Kegiatan ekonomi masih hidup. Dan jalan utama dusun  masih bisa dilalui kendaraan roda empat. Bahkan  saya masih bisa menyusuri jalan setapak menuju ujung dusun.

Tapi kini, di atas sampan, saya dan warga Dusun Senik itu  hanya bisa berbagai kenangan tentang dusunnya. Semua yang pernah saya lihat di Dusun Senik  delapan tahun silam tak lagi berbekas. Yang nampak hanya sisa-sisa bangunan dan rimbunan pohon mangrove yang menjadi habitat burung kuntul.

Ya, ternyata kemampuan beradaptasi warga tak sebanding dengan masifnya bencana di depan mata mereka sehingga membuat kehidupan ratusan kepala keluarga di Dusun Rejosari Senik tenggelam. Bencana abrasi tidak hanya membuat rumah-rumah hancur, tapi  juga terpuruknya perekonomian warga, hilangnya  mata pencaharian dan ikatan hubungan sosial.

Pemerintah menganggap relokasi menjadi pilihan terakhir dari ancaman abrasi hingga kemudian warga Senik dipindahkan ke Desa Gemulak dan Sidogema di Kecamatan Sayung.
Tapi benarkah itu solusi terbaik? Saya kembali teringat pada Sumadi. Warga Tanggultlare, Jepara yang saya temui di bibir pesisir pantai utara Jepara. Ia berkisah beratnya beradaptasi di tempat baru karena di relokasi setelah desanya habis dilalap abrasi. Tak cukup sekali relokasi, keganasan abrasi membuat warga relokasi hingga tiga kali. Tapi itu delapan tahun silam. Entah sekarang.
Abrasi yang terjadi di kawasan Sayung, Desa Bedono selama 20 tahun terakhir diperkirakan yang terbesar di kawasan pantai utara Jawa bahkan di Indonesia. Luas kawasan yang terkena erosi mencapai 2 ribu hektar lebih yang menyebabkan garis pantai mundur sepanjang 5 kilometer dari garis pantai di tahun 1994 lalu.
Berbagai upaya dilakukan. Mulai dari penanaman dan pemeliharaan mangrove, pembuatan green belt, talut pemecah ombak dari beton, revitalisasi tambak untuk kegiatan budidaya ramah lingkungan. Hingga peraturan desa (perdes) tentang perlindungan kawasan pesisir dengan membagi tiga zona utama yaitu area mangrove, area rehabilitasi dan area larang tangkap.

Pemerintah  juga tak mau dianggap hanya berdiam diri. Sembari menunggu hasil revitalisasi ekosistem mangrove yang dianggap menjadi solusi terbaik. Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memprioritaskan penanganan pesisir di pantura Jawa khususnya Demak dengan merealisasikan pilot project restorasi pesisir melalui Program Membangun Bersama Alam, melalui pembangunan struktur pelindung pantai konstruksi pemerangkap sedimen berstruktur hybrid yang terbuat dari kumpulan ranting dan kayu.
Teknologi ramah lingkungan pemasangan alat pemecah ombak berbasis alam yang disebut  hybrid engineering hasil adopsi dari Belanda ini diyakini mampu mengurangi laju abrasi dan menstabilkan garis pantai dengan membalikkan proses hilangnya sedimen.

Tapi, jika ditilik ke belakang, faktor alam hanya menyumbang kecil munculnya abrasi. Naiknya permukaan air laut yang masif itu justru lebih lebih besar disebabkan oleh ulah manusia. Tidak hanya  karena masifnya penyedotan air tanah yang menyebabkan land subsidence hingga 13 sentimeter per tahun tapi juga karena pembangunan yang tak ramah lingkungan. Bangunan yang menjorok ke pantai dan proyek reklamasi jelas nyata memberi andil terbesar bencana abrasi.
Abrasi sudah terjadi puluhan tahun. Bencana itu sebenarnya ada di depan mata kita dan sudah seharusnya hal itu tidak dianggap sebagai hal biasa.
Selama pembangunan tidak berpihak dengan alam, maka ada dampak yang akan selalu muncul. Dan selama pemerintah selaku pemegang otoritas tidak tegas memberi regulasi dengan mengedepankan pembangunan berperspektif lingkungan, maka pada akhirnya itu justru menjadi bumerang.
Alam akan selalu mencari keseimbangan. Dan seperti kata pepatah bijak “Ketika alam sudah mulai tidak bersahabat, maka manusia harus siap menerima derita.” Tapi apakah adil jika yang akan menui derita justru orang-orang yang selama ini hidup harmonis berdampingan dengan alam?

Minggu, 08 Mei 2016

Sekarung plastik untuk sepiring nasi di Kantin Gas Metan



Pasangan suami istri Sarimin dan Suyatmi kompak memasak sayur mangut dan semur tahu di dapur warung makan milik mereka yang berada di sisi kiri zona aktif tempat pembuangan sampah akhir (TPA) Jatibarang, Kecamatan Mijen, Semarang, Jawa Tengah.

Sudah tiga bulan terakhir ini pasangan itu membuka warung makan seluas 3x7 meter dengan berdinding triplek, beratap asbes, dan lantai tanpa plester. Sebuah spanduk merah dipajang di depan warung bertuliskan: Kantin Gas Metan.

Berbeda dengan warung makan pada umumnya, Kantin Gas Metan tidak menggunakan uang sebagai alat transaksi, tetapi plastik. Setiap orang yang ingin menyantap hidangan di warung tersebut harus terlebih dulu menukarkan sampah plastiknya.


Seperti siang itu, Andi Sumanto, pemulung asal Boyolali datang dengan memanggul sampah plastik dan meletakkan di depan warung.

Sarimin menyambutnya dengan membawa alat timbang untuk menimbang tumpukan sampah plastik sedangkan Suyatmi menyiapkan kertas bon pencatat sampah.

Menurut Sarimin, sampah plastik kresek dihargai Rp400 per kilogram. Setelah semua sampah plastik yang dibawa diberi harga, Andi pun masuk ke warung dan bersantap.

“Makan di kantin ini enak. Di warung lain bayar pakai uang, tapi di kantin ini bayarnya pakai plastik jadi meringankan. Kalau plastik saya dihargai Rp10.000 dan saya makan seharga Rp7.000, pemilik warung mengembalikan Rp3.000 kepada saya,” kata Andi, seperti dilaporkan wartawan di Semarang, Nonie Arni.

Kurangi plastik di TPA

Keberadaan Kantin Gas Metan tak lepas dari ide Kepala TPA Jatibarang, Agus Junaidi, yang ingin mengurangi sampah plastik di TPA Jatibarang dengan target mencapai 40% dari total sampah di TPA sebanyak 800 ton per hari.

Dia lalu menghubungi pasangan Sarimin dan Suyatmi untuk membuat kantin yang memakai plastik sebagai alat transaksi. Untuk menopang kebutuhan bahan bakar memasak di kantin, gas metana pun disuplai dari TPA Jatibarang.

”Kami berpikir bagaimana caranya mengurangi plastik. Lalu muncul ide mendirikan sebuah kantin yang masaknya memakai gas metana. Tapi yang makan di sana harus membayar memakai plastik. Targetnya adalah melayani para pemulung dan supir truk sampah,” kata Agus.

Lalu dari mana gas metana berasal?


Kepala TPA Jatibarang, Agus Junaidi mengatakan gas metana muncul dari sampah aktif yang tertimbun di TPA Jatibarang selama dua tahun. Gas tersebut ditangkap menggunakan pipa-pipa yang ditanam di 9 titik dengan kedalaman 5-6 meter.

Kemudian, gas berkapasitas 72 meter kubik itu dialirkan secara gratis ke 100 rumah warga sekitar TPA, termasuk ke Kantin Gas Metan milik Sarimin dan Suyatmi. Setiap satu meter kubik (m3) gas metana setara dengan energi yang dihasilkan 0,48 kilogram gas elpiji.

Gas metana yang dipakai sebagai bahan bakar pun memuaskan.

“Enak memasak menggunakan gas metana. Apinya biru, tidak mengotori perabotan. Memasak juga cepat,” kata Suyatmi.

Sementara dari sisi bisnis, pemakaian gas metana dan penukaran plastik diakui Sarimin sangat menguntungkan.

“Kalau dulu belum punya warung, selama satu bulan, kami berdua menghasilkan Rp2 juta tapi harus dipotong biaya makan Rp500.000 dan tabungan Rp1 juta. Sekarang Rp1,5 juta sudah bersih. Makanan dari warung dan pengeluaran lainnya, seperti gas, gratis,” ujar Sarimin.

Konsep limbah ke energi

Pengalaman Sarimin dan Suyatmi adalah contoh warga yang mendapat manfaat dari konsep waste to energy atau limbah ke energi yang diterapkan di Tempat Pembuangan Akhir. Idealnya, penanganan dan pengelolaan sampah di TPA menggunakan konsep tersebut.

“Sanitary land fill menjadi salah satu pendukung untuk program waste to energy. Semua sampah bisa masuk. Tapi butuh investasi karena berkaitan dengan teknologi. Ini hanya bisa dilakukan di kabupaten kota yang punya pendanaan besar. Di beberapa kota termasuk Semarang diarahkan untuk pembangkitan energi dari sampah. Kalau itu terealisasi TPA tidak ada masalah,” kata Winardi Dwi Nugraha, Dosen Teknik Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro, Semarang

Akan tetapi, lepas dari teknologi di TPA, Winardi menekankan perlunya sistem pengelolaan sampah yang baik sejak dari rumah tangga.

“Penghasil sampah nomor satu ada di rumah tangga. Karena itu, perlu ada edukasi untuk mengolah sampah agar jumlah sampah yang masuk ke TPA pun bisa berkurang,” paparnya.

Tugas pemerintah, lanjutnya, ialah memprioritaskan anggaran untuk penanganan sampah.

“Pembuangan sampah rumah tangga perlu ditata, tapi harus ada mekanisme tertentu sehingga tidak membebani masyarakat seperti subsidi. Perlu ada. Ini mungkin bisa dicoba di beberapa kota kalau sistem sudah dibangun. Masyarakat untuk berubah juga bisa dengan regulasi yang jelas dan tidak ragu menerapkan itu,” tutupnya.

Anda bisa mendengarkan versi audio artikel ini dalam program Lingkungan Kita yang disiarkan berbagai stasiun radio mitra BBC di Indonesia, pada Rabu (6/4).


http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/04/160405_majalah_lingkungan_sampah

Jumat, 22 Januari 2016

Merawat Masa Lalu, Menyelamatkan Kota lama Semarang


Menjelang siang di sudut Jalan Kepodang, Semarang, raungan sepeda motor bercampur aduk dengan aroma makanan kaki lima. Terlihat pula beberapa pria dengan ayam aduannya. Tidak jauh dari situ berdiri sebuah gedung tua dengan kondisi merana dan bahkan nyaris hancur.

Belakangan diketahui bangunan merana itu adalah bekas kantor redaksi surat kabar De Locomotief, yang terbit pertama kali pada 1851, dan dikenal sebagai pendukung politik Etis. "Saya tidak habis pikir, ada sebuah bangunan yang punya nilai sejarah yang sangat tinggi, seperti De Locomotief, itu bisa terlupakan," kata Rukardi, pimpinan Komunitas pegiat sejarah, KPS, Semarang, kepada wartawan di Semarang, Nonie Arnee. 
Bekas kantor Surat Kabar De Locomotif yang dirobohkan /nonie

Menurut Rukardi, keberadaan bangunan bersejarah ini tidak tercatat dalam buku Semarai bangunan dan kawasan pusaka budaya kota Semarang (2006) yang diterbitkan pemerintah kota Semarang dan Universitas Diponegoro. “Saya tidak habis pikir, ada sebuah bangunan yang punya nilai sejarah yang sangat tinggi, seperti De Locomotief, itu bisa terlupakan,” Rukardi, pimpinan Komunitas pegiat sejarah, KPS, Semarang. 

Buku ini memuat sekitar 300-an bangunan yang perlu dikaji untuk ditetapkan menjadi cagar budaya, kata Rukardi. "Bahkan sudah melalui proses penelitian, tapi faktual ternyata ada kesalahan, sehingga bangunan itu tidak tercatat sebagai bangunan cagar budaya," katanya.
Rukardi dan orang-orang yang peduli terhadap bangunan cagar budaya telah melaporkan masalah ini kepada Balai pelestarian cagar budaya setempat untuk ditindaklanjuti.

Nasib Pasar Peterongan
Bagaimanapun, kondisi merana yang dialami bangunan De Locomotief menambah daftar panjang bangunan tua bersejarah yang rusak atau dibiarkan terlantar di Semarang. Masyarakat pencinta sejarah di kota itu masih ingat ketika Pasar Peterongan, yang dibangun pada 1916, sebagian bangunannya telah dibongkar, Juli 2015 lalu.

Masalah ini telah dilaporkan ke Wali Kota Semarang, dan kemudian pembongkaran itu untuk sementara dihentikan, menyusul adanya penelitian terakhir yang mengukuhkan bahwa bangunan pasar itu termasuk bangunan cagar budaya.
Semua dapat porsinya masing-masing. Masyarakat sejarah berkontribusi memberikan sejarah, tapi ketika sejarah ini mengakibatkan hanya berpikir satu matra saja yaitu tentang sejarah, ya, yang lain tidak bisa jalan.Anggota Badan pengelola kawasan kota lama Semarang, Albertus Kriswandhono. 
Pembongkaran Konstruksi beton Pasar Peterongan yang dibangun tahun 1916 menjadi polemik / Nonie
Anggota Badan pengelola kawasan kota lama Semarang, Albertus Kriswandhono, yang diberi tanggung jawab menyelesaikan masalah ini, mengharapkan ada kompromi antara kepentingan sejarah dan kebutuhan untuk memperbaiki pasar tersebut. 

Sejauh ini pedagang pasar ditempatkan di tempat lain selama persoalan ini belum dituntaskan, tapi menurut Kriswandhono hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. "Karena ujung dari proses ini adalah ketika cagar budaya ini tidak bisa menyejahterakan masyarakatnya, nggak usah ngomong soal cagar budaya," kata Albertus Kriswandhono.
Dengan kata lain, "semua dapat porsinya masing-masing. Masyarakat sejarah berkontribusi memberikan sejarah, tapi ketika sejarah ini mengakibatkan hanya berpikir satu matra saja yaitu tentang sejarah, ya, yang lain tidak bisa jalan," katanya.

Namun demikian, menurutnya, bisa saja nanti salah-satu opsi jalan keluarnya adalah menyediakan lahan baru untuk pembangunan pasar baru.

Kisah sukses Sobokartti
Sejumlah anak muda tengah latihan tari tradisional di Sasana Sobokartti, sebuah bangunan cagar budaya di Semarang, yang didirikan pada 1929. Keberadaan Sobokartti berikut aktivitas di dalamnya adalah contoh sukses sebuah pelestarian bangunan kuno bersejarah.
Tjahjono Raharjo, ketua paguyuban Sobokartti sekaligus dosen arsitektur di sebuah perguruan tinggi swasta, mengatakan upaya konservasi gedung harus berkompromi dengan tuntutan zaman.  "Kami harus menyesuaikan dengan kondisi sekarang. Misalnya, sekarang kalau pertunjukan membutuhkan lighting (lampu) yang bagus, ya nanti kami harus nambah," kata Tjahjono memberi contoh.
Gedung kesenian Sobokarti yang berhasil dikonservasi /nonie

Dia mengatakan, penambahan fasilitas seperti itu tidak menyalahi kaidah konservasi. "Itu sah-sah saja, nggak melanggar. Sekarang kalau harus punya kamar mandi yang representatif, misalnya dengan mengganti WC jongkok, ya nggak apa-apa."
Sambil mengkonservasi, saya memfungsikan bangunan ini menurut fungsinya yang baru. Tujuannya berhasil dua-duanya. Dari segi bangunan, kita menyelamatkannya, tapi dengan membuat bangunan ini hidup dengan memberi fungsi yang baru.Pemilik Galeri Semarang, Chris Darmawan. 

Di Semarang, juga berdiri galeri seni kontemporer Semarang di Jalan Srigunting, yang merupakan hasil konservasi gedung cagar budaya. Pemiliknya, Chris Darmawan menjelaskan, bagaimana dia melakukan konservasi:  "Sambil mengkonservasi, saya memfungsikan bangunan ini menurut fungsinya yang baru. Tujuannya berhasil dua-duanya. Dari segi bangunan, kita menyelamatkannya, tapi dengan membuat bangunan ini hidup dengan memberi fungsi yang baru," jelas Chris Darmawan.

Disulap menjadi galeri seni pada 2008, gedung tua ini dibangun pada 1918. Bangunan ini pernah ditempati sebagai kantor asuransi milik konglomerat Oei Tiong Ham dan berakhir menjadi pabrik sirop hingga 1998.
Salah satu sudut Galeri Semarang di Kawasan Kota Lama /nonie

Minta dicabut status cagar budaya
Seperti yang dialami gedung De Locomotief, sejumlah gedung cagar budaya milik per orangan di kawasan kota tua Semarang banyak terlantar, karena pemiliknya dihadapkan kendala dana. Tjahjono Raharjo, ketua paguyuban Sasana Sobokartti sekaligus dosen arsitektur di sebuah perguruan tinggi swasta, mengatakan sebagian pemilik gedung tua bersejarah di kota lama Semarang, mengaku kesulitan untuk merawat bangunan miliknya. "Ada orang yang keberatan kalau bangunannya ditetapkan sebagai cagar budaya. Bahkan ada yang pernah minta status sebagai cagar budaya itu dihapus," kata Tjahjono.

Dia melanjutkan, pemilik gedung tua bersejarah itu kemudian mencontohkan dilema yang dialami, utamanya seandainya dia meninggal dunia.
Misalnya saya meninggal, ahli waris saya ingin membagi harta warisannya, diantaranya rumah itu. Nah, status cagar budaya itu menyulitkan, karena bangunan itu tidak dapat dijual, sementara ahli-ahli waris itu 'kan tidak semuanya orang mampu. Dia butuh uang itu.Tjahjono Raharjo, ketua paguyuban Sasana Sobokartti.  "Misalnya saya meninggal, ahli waris saya ingin membagi harta warisannya, diantaranya rumah itu. Nah, status cagar budaya itu menyulitkan, karena bangunan itu tidak dapat dijual, sementara ahli-ahli waris itu 'kan tidak semuanya orang mampu. Dia butuh uang itu," ungkapnya. 

Akibat kekurangan dana, menurut pimpinan Komunitas Pegiat Sejarah (KPS) Semarang, Rukardi, ada sebagian pemilik menelantarkan gedung kuno bersejarah."Mendiamkan bangunan itu dengan harapan bangunan itu roboh dengan sendirinya dan kemudian mereka bisa membangun bangunan baru di atasnya," kata Rukardi.

Di sinilah muncul ide agar pemerintah Kota Semarang memberikan semacam insentif kepada pemilik gedung-gedung kuno sehingga dapat meringankan mereka."Mestinya tidak hanya dibebaskan dari pajak, tapi juga mendapatkan insentif," ujar Rukardi.

Perbaiki infrastruktur

Sekretaris Dinas Tata Kota dan Permukiman Kota Semarang, Irwansyah, tengah menggodok sejumlah jalan keluar untuk menyelesaikan soal kendala dana tersebut. Nanti ada insentif dan disinsentif. PBB (Pajak bumi dan bangunan) juga sedang kita upayakan untuk mereka mendapatkan keringanan. Mungkin kalau itu digunakan untuk usaha, nanti ada keringanan pajak," kata Irwansyah saat dihubungi wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, melalui saluran telepon. 

"Yang sudah kita lakukan, pemerintah kota membantu merecording documenting masing-masing bangunan cagar budaya, terus kita bisa mengarahkan kira-kira apa yang bisa dilakukan terhadap bangunan ini," ungkapnya.

Sejumlah bangunan yang sudah didokumentasikan dan dikaji diantaranya adalah Gedung Marba, bangunan pasar Johar, Pasar Jatingaleh, Restoran Ikan bakar Cianjur, Hotel Dibya Puri, serta Hotel Candi Baru.  Tetapi arsitek dan pegiat pelestarian bangunan cagar budaya, 
Albertus Kriswandhono mengatakan, langkah penting yang harus dilakukan pemerintah kota Semarang adalah memperbaiki infrastruktur:
"Jalan, lampu, listrik, air, itu saja yang Anda perbaiki, tidak banjir, tidak rob, selokannya jalan lancar, itu saja yang diperbaiki, Nah, untuk bekerja di sana, ada aturannya, bertanyalah kepada badan pengelola ini," kata Albertus Kriswandhono. 
Gedung cagar budaya Lawang Sewu difungsikan sebagai museum kereta api / Nonie

Keterangan resmi menyebutkan di Semarang ada 103 bangunan cagar budaya yang telah ditetapkan pada awal 1990-an. Namun demikian, penelitian terakhir menunjukkan ada 300-an bangunan yang perlu dikaji untuk ditetapkan menjadi cagar budaya.

Para pencinta sejarah di Semarang meminta agar pemerintah Kota Semarang dan otoritas terkait terus memperbaharui proses dokumentasi dan pengkajian sehingga dapat melacak dan menyelamatkan bangunan-bangunan kuno bersejarah. (Heyder Affan / Noni Arnee, BBC Indonesia)



Minggu, 23 November 2014

Orang-Orang yang Memanen Kabut (1)

Kekeringan melanda sebagian wilayah Indonesia. Mata air hilang atau menyusut, kini merekapun memanen kabut. Cerita dari desa-desa seputaran Semarang, tentang bertahan dari cuaca yang kerontang, sembari mempertahankan semangat hidup agar tak cepat redup.
Kasilah terus menganyam jaring penutup bulir-bulir padi yang mulai menguning. Sesekali bambu panjang berhias plastik di ujungnya dijulurkan menghalau burung-burung pemakan padi. Kali ini musim kering terlalu panjang, dan sawah mulai mengering, tapi perempuan itu tak patah semangat. Pada dua petak sawah miliknya itulah, nenek berusia 64 tahun dan bercucu 12 ini menggantungkan hidup.
“Ya, sawah ini harus diurus. Hasilnya untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari,” ujarnya. Rembang petang di tengah bulan September itu, tetap memberinya harapan sampai panen akhir bulan nanti, meski harus kerepotan dengan wereng, tenggerek, dan burung yang menjadi “musuhnya” sepanjang hari.
Hama-hama ini rakus memakan bulir padi bunting. Walaupun bersemangat menunggui sawahnya tiap hari, Karsilah tahu hasil panennya makin tak bisa diandalkan memberi makan sekeluarga. Pasalnya, padi yang tumbuh bagus dan gemuk seringkali berakhir dengan meranggas karena kekurangan air dan habis disantap hama. Hujan yang dinanti tak kunjung turun.
Apalagi selama ini pasokan air untuk sawahnya hanya berasal dari saluran irigasi yang dialiri air limbah rumah tangga dari komplek perumahan tak jauh dari areal persawahan. “Kalau tidak dijaga bisa habis semua, dan tidak bisa panen. Sebenarnya tetap bisa panen, tapi tidak seperti dulu, dapat 10 karung sudah untung karena banyak yang gabuk. Yang mentes (bernas) hanya sedikit, padahal modal beli jaring saja bisa sampai satu juta,” tutur Karsilah.
Menurut dia, sejak banyaknya sawah yang berubah jadi perumahan atau toko, hama padi menjadi berkali lipat dan menghabisi bulir-bulir padi yang ditanamnya. “Dulu di sisi sana sampai ujung itu sawah semua,” katanya menunjuk ujung jalan. “Sekarang habis jadi perumahan, tinggal sekitar 14 petak ini saja. Mungkin rumah-rumah itu penyebabnya sampai banyak burung makan padi, harus pasang jaring dan dikerudungi dengan kain,” katanya, dan telunjuknya menunjuk lagi ke beberapa arah berusaha meyakinkan Ekuatorial, bahwa sawah di desanya dulu memang jauh lebih luas.

Tidak hanya sawah Kasilah yang kerontang. Puluhan hektare lahan areal persawahan tanaman di Desa Meteseh, Kecamatan Tembalang, Semarang, Jawa Tengah dibiarkan mangkrak oleh pemiliknya. Semak merambat di hamparan sawah yang sebagian besar tak terurus. Tak lagi berharap hujan. “Pemiliknya Sudah nggak pernah ke sini, sawahnya nggak pernah ditengok lagi sejak ada rencana proyek pembangunan perumahan,” ujar Karjo,34, warga Desa Meteseh.
Sama halnya dengan Kampung Deliksari dan Kalialang, Sukorejo, Gunungpati, Semarang. Mata air Sendang Gayam yang selama ini menghidupi 900 kepala keluarga tak lagi bisa memenuhi kebutuhan air bersih. Debit air terus menyusut. “Alirannya kecil jadi harus giliran dan hanya boleh mengambil dua pikul per minggu. Itu pun harus jalan dua kilometer melintasi bukit. Kalau dropping air kan hanya sementara,” jelas Marsudi, salah seorang warga Deliksari.

Darurat Kekeringan
Kota Semarang adalah satu dari 12 kabupaten kota di Jawa Tengah yang menetapkan status darurat bencana kekeringan. Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 384 desa di 91 kecamatan dan 24 kabupaten di Jateng mengalami bencana kekeringan, diantaranya Kabupaten Rembang, Pemalang, Klaten, Kendal, Demak, Kebumen, Magelang, Purworejo, Blora, Wonogiri dan Kabupaten Grobogan.
“Hampir 60 persen dari 35 kabupaten-kota di Jawa Tengah rawan kekeringan. Itu yang terparah dari 24 kabupaten kota rawan kekeringan di Jateng akibat kemarau panjang,” ujar Direktur Penanganan Darurat BNPB J. Tambunan, di Semarang baru-baru ini.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah, Sarwa Pramana mengatakan, upaya tanggap darurat untuk memenuhi suplai air bersih telah dilakukan dengan dropping air, pengadaan pipanisasi, membangun instalasi persediaan air, dan pembuatan sumur untuk mengurangi wilayah-wilayah terdampak kekeringan secara bertahap. “Kami menyiapkan 3.000 tangki air bersih, menyusul bertambahnya wilayah yang mengalami kekeringan.”
Kepala Seksi Ekploitasi Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Jateng, Arus Horizon, menyebutkan debit air di sejumlah bendungan besar di wilayahnya menurun, khususnya Waduk Kedungombo yang mengairi lahan pertanian di Grobogan, Demak, Pati, Kudus, hingga Jepara.
Bahkan, diprediksi ketersedian air tak dapat mencukupi kebutuhan musim tanam awal Nopember mendatang. Padahal tahun lalu, Kedungombo surplus. “Kedungombo bahkan perlu penanganan karena penguapan tinggi akibat cuaca ekstrim. Ketinggian air terus menurun. Sebenarnya sekitar lima juta meter kubik air di situ sudah menguap,” paparnya.

Sementara itu, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Semarang memprediksi musim kemarau terjadi hingga bulan November mendatang dengan suhu mencapai 34 derajat celcius. Sebagian besar terjadi di wilayah pantura timur seperti Rembang, Pati, Blora, Demak, Semarang. “Mundurnya musim kemarau disebabkan El Nino kategori lemah yang mengakibatkan kemarau basah. Hujan baru mulai turun pada minggu ketiga November nanti,” jelas Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Jawa Tengah, Reni Kraningtyas.
Menurutnya, El Nino yang mempengaruhi tingkat kemarau di Jawa Tengah kurang signifikan karena kondisi laut Jawa yang sama-sama hangat dan mudah memunculkan awan. Akibatnya, hujan sesekali turun di beberapa wilayah Jawa Tengah namun dengan intensitas tidak normal.
Ketua Perhimpunan Petani Nelayan Sejahtera Indonesia di Jawa Tengah Riyono mengatakan kekeringan terjadi karena kerusakan lingkungan. “Rusaknya sistem irigasi, resapan tanah di lahan produktif hampir tidak ada, dan tidak berfungsinya embung untuk resapan air. Belum lagi penggundulan hutan atau alih fungsi lahan. Ini akumulasi.”

Menurutnya, persoalan ini seolah menjadi cerita klise karena terjadi tiap tahun tanpa terobosan untuk beradaptasi. Ia memberi contoh kekeringan besar yang terjadi tahun 2007, ketika sekitar 118 ribu ha atau 50% sawah gagal panen yang mengancam persediaan beras di Jawa Tengah. “Panen tingkat Jawa Tengah sekarang cederung konstan di angka 4 sampai 6 ton gabah kering panen tiap ha, padahal potensinya bisa hingga 8 ton/ha. Tak hanya itu, lahan pertanian terus menyusut. Data nasional rata-rata 100 ribu ha lahan hilang, di Jateng perkiraan sekitar 5-10 ribu ha,” ujarnya.
Riyono menambahkan, tingkat kekeringan terus meningkat dari tahun ke tahun. Kerusakan lingkungan yang masif mengakibatkan hilangnya keseimbangan alam dan rumitnya mengatur pola tanam petani. “Dampak nyata, kesulitan mencari sumber air karena debit air di waduk dan irigasi makin menyusut, tanaman mudah terserang hama dan ancaman puso karena anomali cuaca.”
Karena itu, pemerintah perlu mensosialisasikan pada petani perlunya mengantisipasi cuaca perubahan musim yang ekstreem serta perlindungan kepada petani akibat gagal panen. Menurut Kepala Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Jawa Tengah, Siti Narwanti mengatakan, selain fenomena alam, kegagalan panen disebabkan petani kurang menerapkan pola tanam terencana.

Data BPTPH menyebutkan, di akhir Agustus saja sedikitnya 9.691 ha lahan pertanian padi di 20 kabupaten/kota mengalami kekeringan dan 319 ha puso. Jika diakumulasikan dari Januari hingga pertengahan Agustus ini, kekeringan mencapai 118.081 ha dan 10.700 ha puso. Luasan terbanyak terjadi di wilayah Cilacap dan Grobogan. “Kemungkinan terus bertambah karena kemarau mundur. Tapi harapannya tidak mengganggu target produksi padi di lahan seluas 1,6 juta ha karena beberapa wilayah seperti Batang, Pekalongan, Pemalang, dan Brebes masih panen.”

Memanen Kabut
Kondisi lingkungan dan alam yang terus berubah tak membuat para petani di Tlogoweru, Kecamatan Guntur, Kabupaten Demak, Jawa Tengah menyerah. Daerah “kantong” yang selalu bermasalah dengan pasokan air, panen tetap melimpah.
Kegetiran puluhan tahun menjelang panen padi dan jagung pun hilang sejak empat tahun terakhir ini. Persoalan teratasi dengan keberadaan Tyto Alba. Salah satu jenis burung hantu yang kini jadi “penunggu” areal persawahan seluas 225 ha milik warga.
“Yang tersisa hanya tangkai bulir jagung saja karena diserbu hama tikus. Panen jarang berhasil. Semua usaha adaptasi dilakukan untuk mengubah nasib 900 kepala keluarga yang bergantung pada hasil pertanian. Termasuk program peningkatan produksi pertanian, seperti kincir angin dan 800 sumur pantek untuk irigasi dan pertanian SRI,” jelas Soetedjo, 54, Kepala Desa Tlogoweru.

Mujiono Sukarman, 43, lelaki asal Desa Blitar, Kecamatan Madukara, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah yang menciptakan teknologi tepat guna pompa air tanpa listrik. Ide itu muncul dari kegelisahannya terhadap ketersediaan air bersih di desa dengan kontur perbukitan. “Setiap musim kemarau kami selalu kesulitan air bersih. Tiap hari antre di sumber mata air di desa. Saya mencari cara agar air sumur bisa naik dan mengalir ke pipa-pipa milik warga.”

Kekeringan dan kesulitan air juga dialami petani sayur di dusun Ngoho, Desa Kemitir, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang. Dataran tinggi dengan ketinggian 1.600 mdpl selalu menghadapi masalah kekeringan permanen.
“Ketika musim kemarau kami tidak bisa menanam, tapi dengan bantuan alat pemanen kabut (fog harvesting) kekurangan air dapat diatasi dan kami bisa panen. Bagian utama alat pemanen itu adalah paranet atau jala plastik yang memilki rongga cukup kecil, yang akan memerangkap kabut yang berbentuk gas itu, lalu mengubahnya menjadi air. Di Desa Kemitir, paranet sepanjang 8 meter dan selebar 1 meter itu dibagi dua masing-masing 4 meter lalu dibentangkan pada ketinggian 2-3 meter di atas tanah, dengan penyanggu bambu. Sepanjang malam dan subuh, air yang terperangkap di jala itu akan menetes dan ditampung dalam sebuah pipa atau bambu yang terbuka bagian atasnya, lalu dari dalam penampung akan mengalir lewat selang plastik ke dalam ember besar.

Pemanen kabut juga bisa dikombinasikan dengan alat fertigasi tetes atau irigasi tetes, dimana jumlah air yang keluar dari selang itu dapat diatur dan disebarkan ke sebanyak mungkin tanaman yang ingin diberi air. Ternyata setiap alat panen kabut di desa Kemitir mampu menangkap kabut dan menghasilkan 25 liter air per hari untuk keperluan pertanian. “Ini teknologi sederhana dan potensi kabut di sini sangat tinggi meski di siang hari,” kata Puji Utomo, Kepala Desa Kemitir yang dibantu tim dari Program Kreatifitas Mahasiswa Universitas Gajah Mada untuk membuat dan memasang pemanen kabutnya.

Faktor Manusia
Guru besar hidrologi dari Lembaga Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Negeri Semarang, Dewi Liesnoor Setyowati, mengatakan selain perubahan alam karena faktor lingkungan dan manusia, kondisi fisik sejumlah Daerah Aliran Sungai (DAS) di Semarang dan Jawa Tengah memang memprihatinkan. Ia menyebut nama beberapa DAS seperti Kreo, Babon, Sungai Bringin, Sungai Silandak, Sungai Blorong, Sungai Bodri dan Pemali Jratun yang kondisinya tergolong kritis.
Dewi juga mengatakan, perubahan alih fungsi lahan dan kerusakan lingkungan menjadi faktor dominan berkurangnya debit air tanah hingga mengakibatkan ketersediaan air terus menyusut di ambang batas normal. Ketidakseimbangan inilah yang berdampak pada perubahan iklim. “Jumlah air di bumi pada dasarnya tidak mengalami perubahan. Permasalahan air terjadi karena adanya gangguan pada siklus hidrologi akibat aktivitas manusia. Dampaknya ya akan terjadi krisis air,” ujarnya.
Ia menambahkan, perubahan lahan menjadi pemukiman yang terjadi sejak 20 tahun lalu tidak diikuti dengan sistem drainase memadai sehingga berpengaruh besar terhadap siklus hidrologi. .“Yang terpenting mengubah perilaku manusia. Agar prediksi Kota Semarang mengalami krisis air bersih di tahun 2025 itu tidak terjadi,” ungkapnya. Namun Dewi menambahkan bahwa usaha memanen air hujan di sejumlah titik rawan kekeringan dapat dipakai sebagai cara untuk mengantisipasi kurangnya pasokan sumber air, karena upaya konservasi lahan butuh waktu lama.
Nonie Arnee (Semarang)

 http://ekuatorial.com/climate-change/orang-orang-yang-memanen-kabut#!/map=4847&story=post-8968&loc=-6.991859181483679,110.445556640625,7