Pages

Rabu, 10 Oktober 2012

Jangan Lupa “Selingkuh” Dulu…



Setelah check-in di hotel kita langsung ke Restoran S Mas Budi. Kita “selingkuh“dulu.“ Pernyataan Mas Dewanto yang menjadi pemandu kami selama di Wamena sangat mengejutkan. Bagaimana tidak, baru saja kendaraan yang kami tumpangi keluar dari Bandar Udara Wamena, dia sudah menawarkan sesuatu yang membuat Saya dan rombongan menyerngitkan dahi.

Dia terbahak melihat raut wajah saya yang penuh tanda tanya dan curiga. “Jangan khawatir, maksudnya kami mengajak makan siang di restoran Mas Budi. Ada makanan khas Lembah Baliem yang wajib dinikmati kalau datang ke sini.“

Makanan khas? Ternyata yang dimaksud adalah menu makanan bernama “udang selingkuh“ (cherax albertisii).
Makanan ini sangat terkenal. Di sejumlah restoran, hidangan udang selingkuh menjadi hidangan utama yang paling diburu para wisatawan yang datang ke Wamena.

Disebut demikian karena menu khas santapan di Wamena ini mempunyai bentuk badan seperti udang, tapi bercapit layaknya seekor kepiting. Kulitnya juga lebih keras dibanding udang biasa. Masyarakat di Wamena menyebut udang jenis lobster air tawar ini dengan nama udang selingkuh karena dianggap sebagai hasil “perselingkuhan“ antara udang dan kepiting.

Tidak hanya dilihat dari bentuk dan ukurannya yang lebih besar. Udang jenis ini begitu spesial karena hanya hidup di air tawar di Sungai Baliem dan disalah satu bagian di Australia.

** 
Dan hidangan udang selingkuh goreng saus mentegapun siap di meja untuk disantap. “Rasanya lezat.
Dagingnya lebih kenyal dan manis,“ kata salah seorang rombongan kami.
Tidak hanya di masak saus mentega, udang selingkuh juga lezat dengan berbagai pilihan dan selera seperti saus asam manis, rica-rica, atau disajikan dengan woku (masakan Menado). Dinikmati dengan nasi putih yang hangat bersama sayuran seperti cap cay, ca cangkung dan ca bunga pepaya yang berasal dari perkebunan organik di Wamena.. Hidangan inipun lebih lengkap lagi dengan sajian minuman jus terong Belanda yang segar.



Di restoran Mas Budi, seporsi udang selingkuh dipatok dengan harga Rp 90 ribu, cukup untuk dua orang dewasa.
Jumlah isi dalam setiap porsi tergantung dari ukuran udangnya. Jika udangnya besar, satu porsi hanya berisi dua ekor saja. Tapi belum tentu juga hidangan ini bisa ditemui sewaktu-waktu.

Udang selingkuh sulit didapat karena bergantung pada musim. Maklum udang selingkuh hingga kini memang tidak dibudidaya secara khusus di Wamena. Sejumlah restoran besar yang ada di kota ini masih dan hanya mengandalkan dari hasil tangkapan penduduk lokal yang berburu secara tradisional di Sungai Baliem. Mereka biasanya menjual langsung ke restoran dengan harga berkisar antara Rp 300 ribu hingga Rp 1 juta per kantong plastik. Berapa kilogram beratnya memang tidak bisa dipastikan, karena penduduk lokal ini memakai ukuran kantong plastik untuk menjual udang selingkuh tangkapannya. Harga udang mentah memang bisa membumbung tinggi jika pasokan udang terbatas.

Selain Restoran Mas Budi, menu udang selingkuh dapat dicari disejumlah restoran seperti di Restoran Baliem Pilamo, Kafe Pilamo atau Blambangan.

Yang jelas jangan datang pada saat musim penghujan (banjir) karena udang selingkuh akan hilang dari peredaran di restoran alias stok kosong. Dan kami cukup beruntung bisa menikmatinya meski ukurannya lebih kecil dari biasanya.

Ya, rasa lelah setelah menunggu pesawat delay hingga beberapa jam sebelum menempuh perjalanan dari Jayapura ke Wamena seakan terbayar dengan kenikmatan udang selingkuh yang istimewa ini.
(non)


Rabu, 03 Oktober 2012

Mumi dari Kampung Kurulu



Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 kilometer dari Kota Wamena, kendaraan dobel gardan jenis Hillux yang saya tumpangi bersama rombongan akhirnya berhenti di tempat parkir beraspal.
Beberapa meter dari pintu gerbang perkampungan di Desa Yiwika, Distrik Kurulu, Wamena.

Ini kampung wisata di Wamena. Satu dari beberapa perkampungan yang dihuni Suku Dani tradisional yang mendiami Lembah Baliem, Pegunungan Papua Tengah.
“Keaslian“ mereka ini terlihat dari pakaian adat lengkap yang dikenakan. Para lelaki memakai koteka lengkap dengan pernakpernik kalung batu-batuan, kerang, dan aksesoris dari bulu unggas, tulang dan taring babi hutan yang menghiasi tubuhnya. Sedangkan perempuan mengenakan Sali (kulit kayu) yang menutupi bagian pinggang ke bawah. Bagian atas tubuhnya dibiarkan terbuka. Tak lupa noken (tas dari akar) yang terlilit dikepala.

honai

Penduduk asli
Mas Dewanto mengucapkan salam kepada beberapa orang dan langsung memasuki pintu gerbang kampung.
“Kami nego dulu dan jangan mengeluarkan kamera,“ jelas pemandu kami itu.
Maksudnya, kami harus menunggu deal negosiasinya dengan kepala suku untuk menentukan tarif sehingga kami bisa masuk, melihat dan memotret aktivitas para native.

Selain memamerkan kesederhanaan dan keunikan budaya suku pedalaman, Kampung Kurulu juga mempunyai daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal dan manca yang datang ke Wamena, yakni mumi (mayat yang diawetkan) leluhur yang konon usianya ratusan tahun. Semula saya berpikir harus ke negeri di ujung utara benua Afrika untuk menyaksikan mumi. Ternyata, di Wamena juga ada.
Itulah mengapa kampung wisata ini juga disebut dengan kampung mumi.

Memang, di sini mempunyai aturan yang harus dipatuhi para wisatawan. Apa itu? Di kampung mumi dilarang memotret sembarangan karena objeknya “mahal“ dan semua dikenakan“charge“. Karena itu ketika datang ke Kurulu, wisatawan harus siap dengan kantong tebal untuk membayar momentum langka mengabadikan suku pedalaman dan aktivitasnya ini.
Biasanya ketika datang berombongan, pemandu akan menegosiasi tarif paket dengan menghitung jumlah orang.

Pembicaraan “ongkos memotret“ kadang juga berjalan alot dan menegangkan jika ketua suku mematok tarif tinggi karena mengeluarkan mumi dari kotaknya untuk dipertontonkan. Sebenarnya, tidak ada tarif resmi di lokasi mumi Kampung Kurulu. Maksudnya tidak ada harga pasti untuk melihat mumi dan foto bersama atau per orang. Semua harga tergantung pada lobi.
Jadi, tidak bisa membayangkan berapa uang yang “melayang“ kalau kami memotret sembarangan.“Membayar Rp 350 ribu untuk mengeluarkan mumi dari Honai. Foto kelompok berisi 10 orang tarifnya Rp 20 ribu. Kalau ingin berfoto sendiri bersama mumi atau dengan penghuninya bayar Rp 10 ribu sekali jepret.“

Setelah harga disepakati, kami dipersilahkan memasuki pagar besar terbuat dari bambu dan kayu mengelilingi perkampungan yang konon hanya dibuka saat ada tamu datang. Pintu ini menjadi pemisah antara kehidupan di luar dan alami suku Dani. Kesan primitif sangat terasa,meski ada beberapa penghuninya yang berbaju dan bercelana.

Perkampungan ini dihuni 20 kepala keluarga, dengan delapan buah honai berjejer rapi berbentuk “U“. Beberapa lelaki di tengah ruang terbuka terlihat sedang membuat dan membakar koteka, serta membakar ubi dengan bakar batu.
“Wah..wah..wah.“ ucapan beberapa dari mereka memberi salam dan berjabat tangan menandakan mereka senang dengan kehadiran kami.
Mumi yang diletakkan di dalam sebuah kotak kayu dan disimpan dalam pilamo, rumah adat khusus laki-laki dikeluarkan agar kami bisa menyaksikan langsung.
 
Menurut cerita warga setempat, mumi yang bernama Wim Motok Mabel ini adalah generasi ketujuh. Dulunya ia seorang kepala suku di Lembah Baliem yang ahli strategi. Wim Motok meninggal dalam usia tua dan memberi wasiat kepada keluarganya agar jasadnya tidak dibakar, tapi diawetkan agar bisa dilihat generasi berikutnya.

Kondisinya masih terawat. Karena itu, mumi Wim Motok Mabel, di Desa Yiwika, Distrik Kurulu, paling sering dikunjungi wisatawan dibanding mumi yang ada di Distrik Asologaima, dan Distrik Kurima Kabupaten Yahokimo. Meski diperkirakan berumur 360 tahun lebih dan dalam posisi jongkok, kepala, badan, dan kaki masih terlihat jelas. Aksesorisnya juga masih lengkap termasuk koteka yang dipakainya.

Wim Motok Mabel
Umurnya ini bisa dihitung dari kalung yang melingkar di lehernya yang diberikan setiap lima tahun sekali melalui upacara pemotongan babi yang lemaknya kemudian dioleskan ke seluruh tubuh mumi. Tapi tak semua jasad diperbolehkan dijadikan mumi. Hanya yang berjasa besar terhadap suku seperti kepala suku atau panglima perang yang secara adat diizinkan dijadikan mumi, seperti mumi Wim Motok Mabel. Itu juga yang menjadi alasan kenapa mumi selalu dihadirkan dalam setiap pesta. Kehadirannya dipercaya dapat mendatangkan kebahagiaan dan kesuburan.


old version

*** 
Tidak hanya menyaksikan dan berfoto dengan mumi, wisatawan juga bisa memborong suvenir asli hasil kerajinan tangan mereka yang dipajang di pojok halaman.
Seperti koteka berbagai jenis, noken, kalung, gelang, dan beragam kerajinan tangan lain. Kerajinan tangan ini harganya bervariasi. Mulai dari Rp 50 ribu hingga ratusan ribu rupiah. Harganya lebih mahal dibanding toko cenderamata yang ada di sebelah hotel Baliem Palimo tempat kami menginap.

Penghuni kampung Kurulu ini mengenal uang dengan baik. Bahkan mereka tidak menerima uang “kecil“. Itu sebabnya suvenirnya dihargai tinggi. “Uang receh tidak laku di sini,“ kata pemandu kami.
Tawar menawar harus dilakukan untuk mendapatkan suvenir yang diincar. Setelah sebuah noken seharga Rp 50 ribu terbayar, terdengar suara pemandu kami.
“Sudah habis waktunya, jangan memotret lagi,“ sambil memberi kode agar segera beranjak dari tempat ini. Rupanya kami tak bisa berlama di sana karena “sewanya“ telah habis.

belanja belanji..koteka, noken, gelang, bunga..apalagi yaaa..


Sekitar 15 menit perjalanan meninggalkan kampung mumi, di kiri jalan tampak sebuah bukit kecil dengan hamparan pasir putih nan eksotik menghiasi salah satu sisi jalan.
Pasir putih jauh lebih putih dan halus dari pasir yang ada di pantai dan berkilau bila tertimpa sinar matahari ini berada di gunung Pikhe Distrik Kurulu. Hamparan pasir putih ini biasa disebut Pasir Putih Tulem.
Cukup menarik dan unik mengingat pasirnya ini tidak berada di pantai tapi memenuhi pegunungan batu dan kaki gunung ditengah hijaunya dataran Papua.
Tidak ada yang tahu pasti dari mana munculnya pasir putih ini, meski ada spekulasi yang menyatakan bahwa kota Wamena dulunya adalah lautan yang mengering.


Pasir putih
Dari atas bukit itu, hamparan padang savana dapat terlihat jelas. Pasir putih ini tidak hanya mengingatkan Saya pada pada film Denias “Senandung di atas Awan“ yang mengambil tempat ini sebagai lokasi syuting. Tapi juga tragedi jatuhnya pesawat Avia Star dua tahun lalu yang menewaskan seluruh penumpangnya.
Bekas jejak hitam pesawat jatuh itu masih terlihat di atas bukit ini. 


Non

narsis

Senin, 01 Oktober 2012

Kedamaian Misterius di Ratu Boko

Petualangan sejarah bisa diawali dari ketidaksengajaan. Seperti yang dilakukan penyanyi kondang Trie Utami ketika melakukan pemotretan di sebuah situs purbakala dan merangkumnya dalam sebuah buku fotografi “Abhayagiri Keraton Ratu Boko-Matahariku Rembulan”

Buku  “based on” sejarah ini bercerita misteri dan pesona Candi Ratu Boko melalui penyajian prosa dan fotografi yang dikemas unik dan eksotis sehingga mampu menggugah rasa penasaran untuk mengulik sejarah situs purbakala yang berada di selatan Candi Prambanan ini.

Buku inilah yang menuntun Saya menuju perjalanan menikmati kesejukan dan keindahan senja di Ratu Boko, sebuah situs  bernilai sejarah tinggi di bukit Boko.

***
Meski tak setenar  Candi Borobudur atau Prambanan, situs Ratu Boko memiliki keunikan tersendiri. Tidak hanya pesona panorama dari ketinggian tapi juga arsitektur berbeda ditiap bangunan yang hingga kini menyimpan tanda tanya.

Situs  Ratu Boko terletak diatas bukit Boko, sekitar 18 kilometer timur Kota Yogyakarta diantara  desa Dawung dan Sambirejo. Lokasinya mudah dijangkau, hanya berjarak lebih kurang tiga kilometer arah selatan Candi Prambanan. Selain menggunakan kendaraan pribadi, paket wisata Prambanan Boko dengan fasilitas shuttle bus menjadi alternatif transportasi yang bisa dipilih menuju ke tempat ini. Atau  menggunakan ojek dari terminal Prambanan.

Suara rekaman dari pengeras suara bercerita tentang sejarah situs Ratu Boko menggema disekeliling membuat Saya tak sabar memasuki “kediaman” Rakai Panangkaran ini. Saya langsung membeli tiket seharga Rp 10 ribu. Berbeda ketika berkunjung di Candi Borobudur atau Prambanan, pengelola rupanya cukup jeli menangkap peluang dari wisatawan dengan mengenakan charge lima ribu rupiah untuk sebuah kamera yang saya bawa.

Dari petunjuk pintu masuk di samping batu berundak, Saya berjalan sepanjang 100 meter menuju bangunan.  Disisi kanan nampak lima ekor rusa tengah asyik merumput menjadi “among tamu” wisatawan memasuki gerbang utama.



Situs Ratu Boko terdiri atas beberapa kelompok bangunan yang  saat ini hanya berupa reruntuhan. Sepintas memang tidak menarik, tapi sebagai sebuah bangunan peninggalan, situs Ratu Boko memiliki keunikan dibanding peninggalan lain. Bukan candi atau kuil, sesuai namanya situs ini menunjukkan ciri-ciri sebagai tempat tinggal.

Situs diatas areal seluas 250ribu meter persegi  yang terletak diketingian 196 meter di atas permukaan laut terbagi menjadi empat, yaitu bagian tengah yang terdiri dari bangunan gapura utama, lapangan, Candi Pembakaran, kolam, batu berumpak, dan Paseban. Bagian tenggara meliputi Pendopo, Balai-Balai, tiga candi, kolam, dan kompleks Keputren. Sementara disisi timur terdapat kompleks gua, Stupa Budha, dan kolam. Sedangkan bagian barat hanya berupa perbukitan.

Dua buah gapura tinggi nan megah didepan Saya ini menjadi pintu gerbang utama. Gapura pertama memiliki tiga pintu gerbang yang saling berdekatan, bagian tengah yang besar berada diantara dua gerbang pengapit yang membujur dari utara ke selatan. Di gerbang ini terdapat tulisan 'Panabwara'. Berdasarkan prasasti Wanua Tengah III, ini adalah tulisan dari  Rakai Panabwara, (keturunan Rakai Panangkaran) yang mengambil alih istana untuk melegitimasi kekuatan. Sedangkan  gapura kedua yang berada di belakangnya memiliki lima pintu, sama seperti sebelumnya tapi diapit empat gerbang.

gapura utama


Menoleh kearah kanan, bangunan Candi Pembakaran nampak tengah direnovasi. Candi itu berbentuk bujur sangkar dan memiliki dua teras digunakan untuk pembakaran jenasah. Tak jauh dari situ terdapat sebuah batu berumpak dan sumur. Konon, sumur tersebut bernama Amerta Mantana (air suci yang diberikan mantra) diyakini masyarakat setempat  dapat membawa keberuntungan. Kini, airnya masih digunakan umat Hindu untuk Upacara Tawur agung karena dipercaya dapat mensucikan diri kembali dan mengembalikan harmoni bumi isinya. Kalau ingin melihat prosesi upacara pengambilan air ini biasanya pengunjung datang kesini sehari sebelum Nyepi. Sedangkan disebelah barat gerbang utama terdapat sebuah benteng yang terbuat dari batu kapur (Temple of Limestone).

Setelah puas berkeliling, penyusuran saya lanjutkan ke bagian kedua disisi tenggara. Disini  terdapat sisa peninggalan berupa Pendopo (Ruang Pertemuan) dengan panjang 20 meter yang dikelilingi pagar dengan tangga di tiga gerbang beratap disebelah utara, selatan, dan barat.

Mungkin saja dari sini Rakai Panangkaran memantau aktivitas permaisuri dan putrinya. Pasalnya, dari atas Pendopo ini, pemandangan komplek pemandian yang berada di sisi timur dapat terlihat jelas meski dikelilingi pagar tinggi.  Ada tiga kolam yang terpisahkan gerbang. Dua di antaranya memanjang dari utara sampai selatan, dan satu kolam lainnya terdiri dari delapan kolam bundar.

Di teras ini, juga terlihat sisa-sisa bangunan diantara reruntuhan gerbang dan landaian yang disebut Paseban (Ruang Resepsi) yang membujur dari utara ke selatan dan Keputren (tempat tinggal putri).
Sebenarnya, masih banyak sisa reruntuhan di Ratu Boko yang bisa ditelusuri. Seperti Gua disisi timur. Gua Wadon (Female Cave) dan Gua Lanang (Male Cave) yang didepannya terdapat sisa sebuah kolam dan temuan tiga stupa yang merupakan Aksobya, salah satu Pantheon Budha.



***
Sebagai sebuah peninggalan bersejarah, Ratu Boko meninggalkan banyak temuan. Keramik, artefak lima fragmen prasasti berhuruf Pranagari dan berbahasa Sansekerta, tiga prasasti berhuruf Jawa Kuno dalam bentuk Syair Sansekerta, Arca Hindu (Durga, Ganesha, Garuda, lingga, dan yoni), dan Buddha (tiga Dhyani Buddha yang belum selesai) serta prasasti Siwagraha yang menceritakan peperangan antara Raja Balaputradewa dan Rakai Pikatan.

Namun, begitu banyak dan beragamnya sisa kepingan sejarah ditempat ini masih sulit direkatkan hingga sekarang, karena tidak ada prasasti yang secara eksplisit menterjemahkan fungsi setiap bangunan. Persepsi dan temuan tetap membuat sejarah Boko sulit terpecahkan.

Beberapa temuan hanya mencatat Ratu Boko dibangun abad ke-8 Masehi. Ini berdasarkan prasasti Abhayagiri Vihara beraksara pranagari ditahun 746-784 Masehi yang menyebutkan bahwa Raja Tejapurnama Panangkarana, yang diperkirakan adalah Rakai Panangkaranlah (keturunan Wangsa Syailendra) yang membangun tempat ini. Menurut para pakar, Abhayagiri Vihara (berarti biara di bukit yang penuh kedamaian)  didirikan untuk tempat menyepi dan memfokuskan diri pada kehidupan spiritual.
Temuan ini mengingatkan Saya pada tulisan Trie Utami yang menuliskan pesona Abhayagiri atau bukit yang penuh kedamaian dan menyimpan kisah luhur yang di dalamnya tersembunyi sebuah kisah  Rakai Panangkaran yang mengajarkan "Boddhicitta", sebuah ajaran yang dibawa Atisha sampai ke Tibet dan masih diajarkan Dalai Lama kepada para bhiksu hingga kini. 

Meski periode berikutnya, Abhayagiri Vihara difungsikan sebagai Keraton Walaing oleh Rakai Walaing Pu Khumbayoni yang beragama Hindu. Tidak mengherankan bila unsur Hindu dan Budha bercampur di bangunan ini.

Arkeolog asal Belanda, HJ De Graaf yang menemukan Situs Ratu Boko pertama kali di abad ke-17. Van Boeckholtz menemukan kembali reruntuhan bangunan kuno ini tahun 1790 hingga  seratus tahun kemudian, FDK Bosch mengadakan penelitian dan mempublikasikan dalam tulisan berjudul Keraton Van Ratoe Boko
Kata keraton berasal dari kata Ke-Ratu-an yang artinya istana atau tempat tinggal raja, sedangkan Boko berarti bangau. Namun hal ini juga tak menjelaskan siapa sebenarnya raja Bangau, apakah penguasa pada zaman itu, atau ini merupakan  istana Ratu Boko, ayah Lara Jonggrang, atau nama burung dalam arti sebenarnya yang dahulu sering hinggap di kawasan perbukitan Ratu Boko? Entahlah…

Yang jelas, senja di bukit Boko yang dipadu Panorama Kota Yogyakarta dan Candi Prambanan ini tak kalah menakjubkan dengan cerita yang melingkupinya.

****



Momen Abadi dibalik Eksotika
Sore itu, sesosok perempuan bergaun ungu menapaki tangga berundak menuju Situs Ratu Boko. Tangan kanannya memegang buntut gaunnya yang menjuntai panjang. Sesekali ia melempar senyuman kepada laki-laki berjas hitam disampingnya. Sementara beberapa orang mengiringi dibelakang  dengan membawa peralatan fotografi dan baju ganti.

Tak lama kemudian dibagian tenggara Situs Ratu Boko, tepatnya di komplek Pemandian, sejoli itu tanpa canggung tengah beradu mesra didepan jepretan kamera sang fotografer dan pengarah gaya.
Rupanya mereka tengah melakukan sesi pemotretan untuk foto  Pre-wedding. Suasana old-fashion begitu kental terasa. “Saya suka karena pemandangannya bagus dan bangunannya unik, makanya kami ingin mengabadikan foto pre-wedding disini,” jelas mereka beralasan.

Meskipun kini tinggal reruntuhan, eksotika Situs Ratu Boko yang memberikan kesan special dan romantis mistis ternyata tidak hanya mengundang pesona untuk dinikmati, tapi juga diabadikan dalam momen tak terlupakan seperti yang dilakukan sepasang calon pengantin asal Yogyakarta itu.

pre-wed


Tidak hanya sesi pemotretan Pre-wedding saja, Objek Wisata Ratu Boko menyediakan berbagai fasilitas pendukung di  Plaza Andrawina.  Selain restoran, tempat ini juga multifungsi untuk berbagai kegiatan seperti gathering, ulangtahun, pesta pernikahan, malam keakraban, atau temu relasi. Panggung terbuka berkapasitas 500 orang ini juga berfungsi sebagai gardu pandang untuk menikmati panorama alam nan indah Kota Yogyakarta yang dibelah sungai Opak dan Candi Prambanan dengan gunung Merapi  sebagai latar belakangnya.

Pengelolaan objek wisata Situs Ratu Boko memang cukup diacungi jempol dengan menawarkan berbagai paket wisata edukasi kepada wisatawan. Diantaranya paket petualangan budaya dengan merasakan Boko Camping di bumi perkemahan terasering dan Boko Trekking dini hari untuk menyaksikan out standing views of silk sunrise di bukit Boko.
Sementara wisatawan yang berminat khusus pada arkeologi, pengelola juga menyediakan beberapa alternatif kegiatan berunsur edukasi seperti  paket Boko eskavasi (penggalian), restorasi (perbaikan) dan konservasi (perawatan).

Memang, gabungan pemandangan alam dan peninggalan masa lampau membuat Situs Ratu Boko layak masuk daftar tempat wisata yang patut dikunjungi.
(Non)



Rabu, 26 September 2012

Memutar Mesin Waktu Peradaban Jawa

Sepatu treking, tas punggung, jaket, dan buku panduan menuju masa lalu yang belum sempat terbaca menemani perjalanan saya. Sudah lama saya mengimpikan perjalanan yang mirip-mirip memasuki "mesin waktu", ke masa lalu.


Jadi, gerimis pagi pun bukan halangan buat saya mengikuti rombongan fieldtrip geo heritage “Jogja Riwayatmu Dulu“ untuk mengulik sejarah pulau Jawa yang digagas Fakultas Geologi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta dengan panitia Biennale XII.
Pukul 08.00, saya dan 20 orang dari berbagai kota meninggalkan pusat kota Yogyakarta dengan shuttle bus menuju Dusun Watuadeg, Desa Jogotirto Berbah, Sleman. Tepatnya, di bibir sungai Opak inilah pintu gerbang kami memulai petualangan ke masa 60 juta tahun lalu.


Prasetyadi, ketua rombongan, mengajak kami menyusuri Sungai Opak yang alirannya cukup deras karena hujan semalam. “Kita sudah berada di waktu sekitar 53-40 juta tahun yang lalu,” ucapnya.

Hah, secepat itu dan kami tak menyadari mesin waktu telah berputar. Sebelum kami terperangah ucapannya, doktor geologi dari UPN Veteran Yogyakarta itu meminta kami memperhatikan lokasi tempat kami berdiri. Bongkahan batu besar berwarna hitam mengilat di bibir sungai yang strukturnya menyerupai ban tal. Batu yang menjadi tumpuan kaki sejak tadi inilah yang membawa kami ke masa itu.

Ya, menurutnya, batuan yang kami injak itu sebenarnya merupakan lava cair bersuhu tinggi hasil erupsi gunung api yang membeku cepat karena air hingga membentuk gumpalan menyerupai bantal.

Lava bantal (pillow lava) yang tersingkap oleh gerusan aliran Sungai Opak tentu saja menjadi fenomena alam sangat menarik dan penting karena bukti ini menunjukkan proses awal pembentukan gunung api purba pertama di Jawa. Batuan seperti ini hanya bisa ditemui di beberapa tempat dibagian selatan Jawa, seperti Bayat (Klaten), Pacitan (Jatim), dan Jampang (Jabar). “Gunung api purba berada di bawah laut. Jadi yang kita injak ini dulunya dasar laut dan lava bantal berfungsi sebagai penopangnya,“ imbuhnya.

Lava Bantal

 Ia juga menunjukkan fenomena alam lain di depan kami. Bebatuan berlapis-lapis berwarna putih keabuabuan terang yang berada di sisi seberang sungai hasil endapan debu vulkanis dari erupsi gunung api strato (kerucut). Lapisan debu vulkanis yang sangat tebal ini menandai periode masa kejayaan gunung api purba 36 juta tahun lalu.


Hanya dengan berdiri selama 30 menit, kami menyaksikan dua fase pembentukan gunung api. Yakni fase keluar lava dan letusan debu vulkanik. Tapi jangan salah, meskipun batuan itu berdekatan, jeda peristiwanya mencapai ribuan tahun.


***
RASA penasaran kami untuk melihat kehebatan letusan gunung api purba pada saat itu ditunjukkan ketika Prasetyadi membawa kami ke daerah pertambangan di Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan. Lokasinya tak jauh dari kompleks Candi Ijo.


Di tempat ini kami menyaksikan hamparan bukit bebatuan putih berlapis kehitaman karena cuaca. Ketinggiannya sekitar 60 meter. Puncak perbukitan ini mencapai 300 meter dengan ketebalan 250 meter. Di beberapa sisi nampak penambang tradisional melakukan aktivitas penambangan. Mereka ini masyarakat sekitar. Hamparan perbukitan ini adalah bekas tumbukan debu vulkanis erupsi super Semilir gunung api purba yang mahadahsyat sekitar 36-30 juta tahun lalu. Material, hamparan, dan ketebalan erupsi mencapai puluhan kilometer.


Meski nampak kokoh, batuan ini tidak seberat yang dibayangkan. Ringan sekali seperti batu apung dan mudah retak. Struktur batuan di bukit ini makin ke atas semakin halus dan berwarna kuning kecokelatan.
Tentu saja bukan sembarang bukit. Ini bukti episode katastropik atau merusak diri dari gunung api strato yang tadi diceritakan di lava bantal. Seperti karakteristik gunung api pada umumnya, gunung api strato Semilir tak kuat menahan tekanan magma yang semakin besar maka akan menghancurkan diri dengan cara erupsi.




Untuk membuktikan ketebalan endapan debu vulkanik hasil erupsi super Semilir ini, mesin waktu kami berpindah ke daerah Jurang Jero di perbatasan Klaten-Gunung Kidul untuk melihat fenomena yang sama seperti di perbukitan Sambirejo.

Batuan sisa-sisa Semilir super vulkano ini bisa dilihat sampai ke Jawa Timur. Jarak puluhan kilometer yang memisahkan dua tempat ini menajadi bukti kedahsyatan erupsi Semilir waktu itu tak kalah dengan Danau Toba 74 juta tahun lalu.


Bebatuan yang kami saksikan ini tentu saja hanya sedikit dari bekas kaldera Semilir. Menurut Prasetyadi, bentuknya mirip dengan Gunung Bromo yang memiliki batuan serupa dengan bentuk ring yang masih jelas. Namun, di mana posisi tepatnya gunung api purba waktu itu para geologis masih melacaknya karena yang bisa kita ketahui hanya hasil aktivitasnya berupa tumpukan debu vulkanis yang sangat tebal.


Jejak masa kejayaan gunung api purba juga kami temui di situs gunung api Nglanggran di kawasan Piyungan Yogyakarta. Tempat ini memang sudah dikenal sebagai objek wisata yang banyak dikunjungi wisatawan. Di lokasi ini terdapat batu dengan ukuran superbesar dan bukit menjulang tinggi berwarna kehitaman. Dalam istilah geologi, batu dan bukit yang disebut bomb atau aglomerat ini adalah lontaran lava hasil erupsi gunung api purba sekitar 36 juta tahun lalu. Situs Nglanggaran ini mempunyai peristiwa yang sama dengan letusan Gunung Rakata yang muncul dari kaldera Gunung Krakatau. 


***
SIKLUS alam yang berganti ternyata juga memengaruhi peradaban gunung api purba dan berganti dengan zaman baru tanpa gunung api. Untuk membuktikan teori itu, mesin waktu kami berputar lebih cepat ke masa 16 juta tahun lalu menuju kawasan Sambipitu Wonosari. 


Platform atau paparan berbentuk bentang alam lanskap di Wonosari dengan ketinggian hampir 300 di atas permukaan laut (dpl) ini merupakan bukti zaman keemasan kehidupan laut yang bersih seperti koral, terumbu karang, berbagai jenis fauna kecil, binatang laut, dan kerang-kerang kecil pada era itu. Bahkan jika dianalogikan, dahulu wilayah ini sama dengan Great Barrier Reef di lautan timur Australia. 


Kami menemukan singkapan geologis berupa batu gamping yang mengandung fosil terumbu dan berbagai jenis fauna kecil. Ini menunjukkan keberadaan daerah selatan Yogyakarta belasan juta tahun lalu merupakan dasar laut yang bersih. Terumbu hidup dengan baik di masa ini tanpa debu vulkanik yang menandai habisnya periode gunung api di era ini. Gunung api yang kami temui sebelumnya sudah tidak aktif lagi. Dan jika sekarang ini menjadi daratan Gunung Kidul karena karst formasi Wonosari terangkat ke atas oleh desakan lempeng Australia. 


Umur pulau Jawa yang masih terekam peneliti memiliki batuan tertua berusia 96 jtua tahun lalu. Dan kami diajak menguak lembaran-lembaran sejarah yang dulu merupakan gabungan dari dua lempeng benua yaitu mikrokontinen Jawa Timur dan paparan Sunda. 


Lantas, jika hasil erupsi super Semilir ini menjadi tulang punggung pulau Jawa, lalu di manakah pondasi Pulau Jawa? Meskipun tidak terkait dengan gunung api, bukti temuan ini juga sangat penting untuk menyatukan keping cerita pembentukan Pulau Jawa. 


Singkapan Geologis
Pertanyaan itu yang membuat mesin waktu kami kembali ke belakang lagi dan bergeser ke wilayah perbukitan terisolasi di perbukitan Jiwo. Tepatnya, dusun Gunung Gajah, Desa Watu Prau Jiwo Barat dan Dusun Sekar Bolo Jiwo Timur, Bayat, Klaten untuk melihat singkapan geologis melalui susunan batuan yang terbentuk sekitar 66 juta tahun lalu. 


Di kawasan tersebut ditemukan beberapa situs bebatuan yang mewakili suatu kejadian geologi ketika Pulau Jawa masih berupa daratan tanpa gunung api dengan sungai-sungai di tepi laut dangkal.
Itu misalnya ditemukan pada batuan sedimen konglomerat yang usianya lebih tua dari peristiwa gunung api purba dan batuan metamor yang menjadi penanda masa awal pembentukan Pulau Jawa yang berbentuk lembaran tipis seperti filet. Warnanya hitam dan mudah hancur. Letaknya persis di samping rumah salah seorang warga berupa gundukan tanah setinggi tiga meter baru terkepras. 




Salah seorang dari rombongan menguji dengan meneteskan asam klorida (HCL) di batuan hingga muncul buih untuk membuktikan bahwa itu batuan karbonet. ”Tempat ini adalah tempat wajib mahasiswa geologi dari berbagai universitas di Jawa karena tempat ini istimewa,” kata Prasetyadi. 


Ya, di kawasan ini, periode sejarah geologi Pulau Jawa bisa ditemukan jejaknya untuk dipelajari.
Tempat ini berdekatan sekali dengan tiga periode yang sudah disebutkan. Di sisi utara yang menjadi masa awal pembentukan Pulau Jawa yang ditandai dengan bebatuan tertua berumur 60 juta tahun lalu. Kemudian masa sebelum kejayaan gunung api purba dan perbukitan Pendul sisi selatan yang masuk kelompok Semilir menandai masa kejayaan gunung api purba. 


Sebuah cerita warisan geologi yang luar biasa komplet tentang perkembangan sejarah Jawa yang terjadi 60 juta tahun yang bisa dinikmati hanya dalam sehari tanpa mengalami jetleg ini tentu saja bisa mengajarkan kita untuk bijaksana dalam menyikapi ancaman geologi yang sedang terjadi. 


Dan siapa tahu geoheritage ini bisa dikemas menjadi wisata alternatif minat khusus yang potensial, sekaligus mengedukasi masyarakat bahwa proses alam yang utuh termasuk bencana kebumian di masa lampau tentu saja merupakan satu mata rantai yang tak terputus dari peristiwa geologi sekarang seperti terjadinya gampa dan letusan gunung berapi. Di luar itu, geoheritage sebenarnya adalah upaya mitigasi bencana.

(Non)

Menapak di batu tertua di Jawa