Oleh: Noni
Arnee
Semarang, JAWA TENGAH. Sendang-sendang di Sekaran,
Kecamatan Gunungpati, Semarang, Jawa Tengah kehilangan air akibat perluasan
pembangunan di kawasan Gunungpati yang menyebabkan krisis air. Akibatnya, warga
harus mencari sumber air baru untuk memenuhi pasokan air.
“Ini Sendang Kali Bendo, airnya sejak dulu digunakan
orang-orang untuk mandi, mencuci, dan memasak,” kenang Said (70), warga
Kelurahan Sekaran, Gunungpati, sambil menunjuk sendang berukuran sekitar 12
meter persegi yang tertutup rumpun bambu, tak terawat dan kotor, terhimpit di
belakang bangunan rumah, ruko dan sumur artesis. Lokasi sendang tersebut hanya
berjarak sepuluh meter dari Jalan Raya Sekaran.
Said mengatakan bahwa air Sendang Kali Bendo jernih dan
melimpah, dengan kedalaman lima meter, bahkan bisa meluap ke bibir sendang dan
muncul tuk Belik, atau sumber air yang lebih kecil. Sebelum tahun 2000, air
dari sendang menjadi konsumsi warga Sekaran setiap hari.
“Biasanya pagi dan sore ngangsu (Red: menimba air) dua pikul
air ember besar dari sendang untuk memasak. Kalau mandi dan mencuci langsung di
sendang. Banyak yang pakai air sendang, kadang kalau mandi sampai antre,” kata
Said menambahkan air sendang juga dimanfaatkan oleh Kampung Banaran, yang
berbatasan dengan Desa Sekarang.
Namun, kondisi tersebut berubah setelah pohon beringin, preh,
dan munggur, dengan diameter seukuran dua rentangan tangan orang dewasa di
sekitar Sendang Kali Bendo ditebang. Akibatnya, kedalaman menyusut dari lima
meter menjadi sekitar dua meter.
“Awal tahun 2000an, pohon ditebang warga untuk menghilangkan
kesan mistis. Ya, kira-kira sekitar lima tahun setelah itu, di sekitarnya
banyak bangunan baru. Air sendang makin menyusut,” kenang Said.
Jumari, warga Sekaran, mengatakan hal serupa terjadi pada
Sendang Kuwok yang kini hanya menjadi tetenger (red: ciri, tanda khas) kampung
dan lokasi berdekatan dengan saluran pembuangan limbah rumah tangga..
“Dulu, airnya limpah-limpah dan jernih. Tapi, sekitar tahun
2005 pohon beringin penopang sendang roboh tertiup angin. Lama-lama air sendang
tinggal genangan. Sekarang hanya jadi tempat cari lumut untuk umpan ikan,”
jelas Jumari.
Nuryanto, warga Sekaran lainnya menimpali Sendang Wideng yang
berjarak sekitar 200 meter dari Sendang Kuwok juga tak terurus, terhimpit
bangunan permukiman, kos-kosan dan tegalan, dan kini lebih mirip kolam ikan
dengan air hijau pekat. “Akhirnya, sendang tidak dipakai dan dibiarkan begitu
saja. Tak ada yang mengurus,” timpal Nuryanto.
Pakar air dari Universitas Negeri Semarang, Dewi Liesnoor
Setyawati mengungkapkan sumber mata air yang tidak terjaga dengan baik dan
hilangnya vegetasi di sekitarnya berpengaruh pada menurunnya kualitas sumber
mata air. Ditambah lagi, alih fungsi lahan akibat masifnya pembangunan
memberikan andil terhadap penurunan potensi keberlanjutan sumber air.
“Air sendang menyusut, mengering dan mati, tidak terawat
karena tidak digunakan masyarakat. Atau sengaja di “matikan” dan hilang dengan
alasan pembangunan jalan, perumahan atau alih fungsi lahan lainnya,” ungkap
Dewi.
Beralih ke Sumber Air
Baru
Akibat menyusutnya kedalaman air sendang, warga Sekaran,
Gunungpati pun kemudian beralih dari mata air sendang pada sumber air baru
untuk memenuhi kebutuhan air bersih.
Mereka pun mulai membangun sumur-sumur dangkal di sekitar halaman
rumah sejak akhir tahun 1990an. Kedalaman sumur-sumur tersebut berkisar antara
15-20 meter.
“Untuk kebutuhan air, akhirnya membuat sumur gali. Memang
lebih praktis tapi mahal. Ya, mau gimana lagi karena air sendang sudah tidak
mencukupi,” kata Said, warga Sekaran.
Meski demikian, ia mengatakan bahwa sumur dangkal tidak
menyelesaikan persoalan karena seiring waktu debit air sumur dangkal juga akan
menyusut, terutama saat musim kemarau. Tidak sedikit, lanjutnya, warga menggali
hingga kedalaman 25-35 meter untuk memperoleh air.
“Untung-untungan juga bisa keluar airnya. Ada yang menggali
tidak keluar air. Makanya ada rumah punya dua sumur gali. Kalau sudah tidak
keluar air, bikin baru. Beda, dulu gampang air sekarang susah air,” lanjutnya.
Moechammad Sholeh, Kepala Seksi Ketentraman dan Ketertiban
Umum Kelurahan Sekaran, Gunungpati mengungkap kualitas air sumur dangkal di
Sekaran relatif tidak bagus. “Air sumur gali sedalam 20 meter saja airnya masih
keruh seperti ada karatnya, kuning-kuning,”ungkap Soleh.
Secara umum, Nuryanto mengatakan warga Sekaran kini memanfaatkan sumber air
tanah lewat sumur artesis untuk memenuhi kebutuhan ar.
“Warga pakai sumur bor dari pemerintah. Tapi, kebutuhan air
meningkat terus. Jadi warga bikin sumur baru yang dikelola swadaya. Kalau punya
uang, bikin sumur bor sendiri,” kata Nuryanto.
Moechammad Sholeh mengakui sumur artesis memang membawa
kemudahan bagi warga untuk mengakses air bersih. Hal ini mendorong peningkatan
pengguna air bawah tanah (ABT).
Berdasarkan data Kelurahan Sekaran dan Pemerintah Kota
Semarang tahun 2018, ada sepuluh titik pengguna ABT yang dikomersialkan dengan
tarif Rp 2500 per meter kubik, dengan total konsumsi mencapai 20ribu meter
kubil per hari.
“Kedalamannya (sumur ABT milik warga) berkisar antara 70-100
meter. Rata-rata pemakaian per titik 2 ribu meter kubik perhari disalurkan ke
warga. Kalau untuk pemakaian pribadi memang belum terdata.”
Soleh mengatakan bahwa setiap rumah memiliki ABT, terutama rumah
yang disewakan kepada mahasiswa.
“PDAM hingga kini belum masuk ke Sekaran. Kami tidak bisa
melarang ABT karena tidak ada alternatif lain. Apa boleh buat. Ini kebutuhan,”
jelas Soleh menambahkan setidaknya 400 rumah kost yang ada di Sekaran hingga tahun
2016.
Upaya Konservasi
Kepala Unit Pengelola Teknis Pengembang Konservasi
Universitas Negeri Semarang (Unnes), Amin Retnoningsih mengatakan pihak
universitas ikut bertanggungjawab terhadap degradasi lingkungan di Gunungpati,
yang merupakan daerah penyangga Kota Semarang.
Namun, Amin mengatakan butuh upaya terus menerus dan waktu
untuk memperbaikinya termasuk mengambalikan sumber-sumber mata air dan
mengatasi persoalan krisis air pada masa datang.
“Alih fungsi lahan hijau menjadi pemukiman tentu mengurangi
kawasan hijau untuk mengikat air,” kata Amin.
Lima tahun dikukuhkan sebagai Universitas Konservasi pada 12
Maret 2010, Unnes mengeluarkan Masterplan Unnes 2015-2025 sebagai bagian dari
strategi dan program pengembangan konservasi.
Rencana besar konservasi Unnes tersebut mencakup pembangunan
embung berkapasitas lima ribu meter kubik, rumah kebun Unnes seluas 2,2 hektar
yang ditanami 100 jenis pohon, sumur resapan, biopori dan penanaman pohon, di
dalam area kampus .
“Embung berfungsi menampung air hujan dan air limpasan.
Mahasiswa wajib menanam pohon setiap tahun, di dalam kampus maupun di kawasan
Gunungpati. Menanam pohon sebanyak-banyaknya itu salah satu yang paling mudah
dilakukan,” jelas Amin menambahkan sekitar 110 ribu pohon, seperti mahoni,
akasia, sengon, glodogan tiang, kersen, Sawo Kecik durian, rambutan, mangga,
dan belimbing, yang ditanam sejak delapan tahun terakhir.
Moechammad Sholeh, Kepala Seksi Ketentraman dan Ketertiban
Umum Kelurahan Sekaran, Gunungpati menandaskan pihak Keluarahan Sekaran bekerja
sama dengan Unnes, tidak hanya menghijaukan lahan kosong, sepanjang jalan dan
halaman rumah warga. Kerja sama tersebut juga mengajak warga membangun sumur
resapan dan biopori.
“Dulu lahan di Sekaran banyak pohon-pohon besar kemudian
ditebang untuk rumah dan usaha. Wilayah Sekaran nyaris habis untuk rumah semua.
Sekarang warga diajak menanam lagi. Izin
bangunan disertai persyaratan pembuatan sumur resapan atau biopori. Ada
pernyataan bermaterai. Kalau tidak begitu lama-lama sumber air habis dan kita
yang bingung,” tandas Soleh.
Wakil Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu mengakui
banyak lahan hijau di Gunungpati yang kini berubah menjadi perumahan dan
pengembangan bisnis berdampak pada degradasi lingkungan. Salah satunya dengan
hilangnya tangkapan air tanah yang menyebabkan krisis air bersih.
“Lahan-lahan resapan dijadikan permukiman baru. Ini memang
tidak bisa dihindari karena Kota Semarang merupakan kota metropolitan. Pemkot
akan memperbanyak ruang terbuka hijau dan warga dihimbau menanam pohon,” jelas
Hevearita.
Amin berharap warga memahami bahwa penanaman pohon untuk
memperbaiki fungsi utama kawasan sebagai daerah resapan air tidak bisa bersifat
instan. Tapi, ia mengatakan penanaman pohon sudah menunjukkan perubahan dalam
lima tahun, meskipun belum signifikan.
“Semua pihak bisa terus berusaha menjaga siklus hidrologi dan
penyedia air sehingga ke depan akan banyak tumbuh pohon-pohon besar dan muncul
lagi mata air yang menjadi bagian dari ekosistem kawasan penyangga,” harapnya.
Namun, ia mengakui bahwa upaya konservasi di luar area kampus
belum maksimal karena keterbatasan kewenangan Unnes.
“Kami edukasi agar warga bersedia menanam. Seluruh bibit
pohon kami sediakan. Masalahnya masyarakat mintanya pohon buah karena
mengharapkan hasil. Jadi sering tidak sesuai antara persediaan dan permintaan,”
keluh Amin.
Jumari, warga Sekaran mengakui menginginkan pohon bernilai
ekonomis. “Maunya bukan menanam pohon iyup-iyupan (Red: pohon peneduh) saja.
Tapi pohon yang hasilnya bisa dipanen seperti jambu, rambutan dan durian,” harap
Jumari.
Menurut Dewi Liesnoor Setyawati, butuh peran semua pihak
untuk memperbaiki lingkungan, termasuk dalam pengelolaan sumber daya air
berkelanjutan. Tidak hanya aturan tapi butuh andil masyarakat dan kearifan
lokal setempat sebagai strategi konservasi yang efektif. “Seperti keberlanjutan
mata air sendang dan mata air lainnya yang kecil-kecil, harapannya pemerintah
lokal desa dan warga bisa mengambil peran,” saran Dewi. EKUATORIAL.