Pages

Tampilkan postingan dengan label budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label budaya. Tampilkan semua postingan

Kamis, 06 Januari 2022

Suara “Kartini” Digital

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat. Sebuah era yang dinamakan sebagai era ”new media”.

Dalam catatan McQuail (2010:141), perubahan penting dalam perkembangan itu nampak dari digitalisasi dan konvergensi semua aspek dari media, meningkatnya interaktivitas dan konektivitas jejaring, mobilitas dan delokasi pengiriman dan penerimaan pesan, adaptasi publikasi dan peran-peran khalayak, hingga munculnya beragam bentuk baru dari media gateway dan kaburnya institusi media.

Tak lagi hanya menjadi pustaka raksasa, internet memberi kemudahan bagi setiap orang untuk  saling berinteraksi, berbagi ide dan menyuarakan pendapatnya dengan cepat, mudah, serta massif. Mulai dari hal-hal keseharian hingga urusan negara.

Internetpun bertransformasi menjadi ruang publik ideal untuk bebas bersuara. Bukan lagi seperti Kartini yang di jamannya begitu sulit berekspresi. Dia hanya bisa menyuarakan gagasannya melalui surat kepada sahabatnya. Juga tidak melulu menggunakan cara-cara konvensional dengan menggelar aksi demo menuntut kesetaraan gender, penyelesaian kasus kekerasan perempuan atau menyewa kebaya agar bisa seperti “Kartini” untuk ikut dalam perlombaan di kantor.

Perubahan jaman di era digital menyulap gagasan dan semangat Raden Ajeng Kartini untuk mengajak perempuan mengubah cara bersuara dalam ruang publik (public sphere) seperti yang dikemukakan Jurgen Habermas itu menjadi sarana gerakan sosial (sosial movement) yang mengglobal.

Perempuan pun semakin berani menunjukkan diri dan unjuk gigi membentuk opini publik untuk  mengkampanyekan dan mewujudkan berbagai isu sosial, kemanusiaan, buruh, HIV/AIDS, lingkungan, politik dan Hak Asasi Manusia pada sebuah perubahan dan tindakan nyata.  Digitalisasi berhasil mengubah peran perempuan dan internet sebagai agen perubahan (agents of change) pada level of change tingkat global.

Siapa Saja

Sebut saja Melanie Subono, aktris Indonesia yang beberapa tahun terakhir ini menjadi pegiat isu kemanusiaan dan lingkungan. Dia terbilang rajin membuat petisi melalui change.org, sebuah platform petisi daring terbesar di dunia yang sudah diakses 96 juta lebih warga dunia di 196 negara  ini memang dinilai efektif dan banyak dimanfaatkan untuk memberdayakan orang di mana pun untuk bersuara dan mengajak penghuni dunia peduli terhadap setiap isu yang digulirkan baik  secara lokal, nasional dan global. Petisi untuk menggerakkan dukungan public yang bisa dimulai hanya dari satu orang.

Seperti petisi berjudul #Demi Rembang dalam laman change.org untuk membantu perjuangan warga Kabupaten Rembang, Jawa Tengah yang menolak pembangunan pabrik semen. Selain terjun langsung memberikan bantuan, petisi daring juga dibuat untuk menggalang upaya penyelamatan nasib satwa di Kebun Binatang Surabaya (KBS), mengkampanyekan Save Turtle, hingga memperjuangkan nasib buruh migran Indonesia yang di eksekusi mati.

Melani juga membuat petisi dengan mengumpulkan dukungan sebanyak mungkin untuk menuntut Komisi III menggagalkan pencalonan Daming Sanusi sebagai hakim agung karena tidak sensitif gender dan melalui pernyataannya yang seolah membela “pemerkosa”. Melanie memanfaatkan akun twitter pribadinya untuk mengajak followers-nya menandatangani petisi yang dibuatnya.

Riyanni Djangkaru bersuara untuk penyelamatan satwa langka berbagai jenis hiu dengan kampanye Save Sharks Indonesia (savesharksindonesia.org), melalui jejaring sosial. Serta membuat petisi daring untuk menuntut dan mengajak maskapai penerbangan di Indonesia agar menolak mengangkut sirip hiu ke luar negeri.

Efeknya nyata dari sebuah gagasan juga dibuktikan Valencia Mieke Randa dan Ina Madjidhan. Dengan menggunakan media sosial twitter @Blood4lifeID dan komunitas Three Little Angel , keduanya berjibaku tiap malam mendapatkan donor darah, penggalangan donasi dan pendampingan untuk menjembatani anak-anak berpenyakit kronis.

Suciwati, istri pejuang HAM Munir Said Thalib menuntu penuntasan pelanggaran HAM di Indonesia dengan membuat petisi yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. Sosok Mia Sutanto patut diapresiasi karena berhasil menginisiasi para ibu di Indonesia melalui Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia dengan menciptakan relasi di dunia maya.  Irawati Harsono berani membuat petisi yang ditujukan kepada Kapolri Jendral Sutarman untuk menghapus tes kesehatan vagina/keperawanan pada rekrutmen Polwan.

Angela Sutandar mendapat 85 ribu lebih dukungan melalui petisi yang ditujukan kepada Gubernur/Sultan Yogyakarta agar membantu menghentikan kekejaman perdagangan anjing untuk konsumsi. Juga Prita Mulyasari yang pernah tersandung perseteruan dengan Rumah Sakit Omni Internasional yang membuat petisi untuk meminta Menkoinfo mengubah UU ITE dan kebebasan berekspresi.

Perempuan berani bersuara untuk melawan koruptor melalui Gerakan Perempuan Anti Korupsi dan Diskriminasi (GPAKD) yang dimulai dengan memasang foto profile di media sosial. Hingga Gerakan “Perempuan Indonesia Mendengar”, gerakan dari perempuan, oleh perempuan, dan untuk perempuan yang bersifat user generated pada siapapun untuk mendengarkan dan memberikan inspirasi serta konsultasi.

Ketika bersuara dengan menggerakkan dukungan dari internet lewat media sosial seperti Facebook, Blackberry Messanger, Google, Blog Twitter, dan change.org, perempuan dari mana saja dan apapun profesinya mempunyai kesempatan sama untuk memulai sebuah kampanye dan menggalang ribuan orang secara lokal atau di seluruh dunia untuk membuat perbedaan, perubahan dan menginspirasi semua orang

Kini, suara nyaring perempuan dalam cyber movement terus bermunculan untuk mengajak pada perubahan yang lebih baik. Tapi, di sisi lain, kita juga tidak bisa memalingkan muka pada suara “sumbang” di dunia maya yang berevolusi menjadi nyata seperti kisah Tata Chubby.* (Noni Arnee)

Rabu, 05 Januari 2022

Perempuan itu (Bukan) Liyan

22 Desember diperingati sebagai hari ibu. Hari yang menurut Wikipedia sebagai  peringatan atau perayaan terhadap peran seorang ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anak, maupun lingkungan sosialnya. Beragam cara diekspresikan untuk “menjunjung” ibu hingga uforia membebastugaskankan kewajiban ibu dari tugas domestiknya, seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya.

Jujur saja, saya tergelitik melihat perbedaan perempuan dan laki-laki dengan mempertanyakan, “Apakah gender tumbuh sebagai ekses dari jenis kelamin dan menjadi suatu pemaksaan kebudayaan yang arbitrer terhadap suatu penentu jenis kelamin?.”

Kewajiban domestik yang disematkan ibu. Siapa yang menganggap itu sebagai kewajiban? Apa peran itu hanya untuk perempuan? Mungkin saja sebagain besar akan menjawab “iya”. Lantas, dimanakah posisi laki-laki dalam ranah domestik?

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) pada Kabinet Kerja, Yuddy Chrisnandi seolah semakin memeruncing pertanyaan saya dengan mengamini kekhawatiran Wakil Presiden Jusuf Kalla terhadap masa depan generasi bangsa dengan memangkas dua jam kerja Pekerja Negeri Sipil (PNS) perempuan yang memiliki balita hingga anak usia SD.

Betapa mulianya menteri bergelar  Doktor memikirkan nasib perempuan agar tidak melupakan anak dengan menjembatani antara kewajiban sebagai pelayan publik dan kewajiban sebagai seorang ibu yang harus memberikan belaian kasih sayang kepada anaknya sehingga meminta seluruh kantor/ instansi penyelenggaraan pemerintahan di pusat hingga daerah dapat menerapkan aturan ini.

Perbedaan fungsi laki-laki dan perempuan seolah semakin menjadi penegas ranah domestik. Seperti halnya ketika Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dalam pidatonya di konferensi perempuan di Istanbul yang mengatakan bahwa perempuan dan laki-laki tidak bisa ditempatkan pada pijakan yang sama karena  bertentangan dengan alam. Tidak semua pekerjaan yang dilakukan laki-laki, boleh dilakukan perempuan karena bertentangan dengan 'sifat halus' perempuan.

“Ibu” merupakan hasil konstruksi sosial dari seorang perempuan yang umumnya sudah berkeluarga. Motherhood biologis dilembagakan di bawah patriarki lebih merupakan konstruksi budaya untuk opresi karena meruncing kendali laki-laki pada perempuan karena tidak membedakan antara motherhood biologis sebagai hubungan privat reproduksi perempuan dan sebagai “institusi”. Padahal istilah mothering mengacu pada hubungan di dalam individu saat merawat dan menyayangi yang lain. Dan seseorang semestinya tidak perlu menjadi ibu biologis untuk menjadi ibu sosial.

Di dalam patriarki, seks juga lebih bersifat politis. Dalam buku “Sexual politics”(1970),  Kate Millett menyatakan, ideologi patriarkal membesar-besarkan perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Laki-laki maskulin dan dominan sedangkan perempuan subordinat/feminin. Dan kondisi ini di”legalkan” melalui institusi.

Opresi terhadap perempuan menjadi semakin mendarah daging dalam sistem seks/gender. Suatu rangkaian pengaturan yang digunakan masyarakat untuk transformasi seksualitas biologis menjadi produk  kegiatan manusia yang dijadikan dasar membangun identitas dan perilaku “maskulin” dan “feminin” dalam masyarakat patriarkal. Normalitas seseorang bergantung pada kemampuannya menunjukkan identitas dan perilaku gender yang secara kultural dihubungkan kepada jenis kelamin seseorang.

Menurut Simone De Beauvoir, perempuan berbeda, terpisah dari laki-laki dan inferior terhadap laki-laki karena anatomi perempuan yang menempatkan perempuan sebagai manusia dan warga negara kelas dua (The Second Sex ). Perempuan dianggap sebagai “Liyan” / “the other”.(Rosemarie Putnam Tong,2010)

Negara yang sudah merasa memberikan perlindungan kepada perempuan, ternyata  justru semakin mengopresi perempuan dengan segala aturan yang dianggap sebagai pembelaan terhadap perempuan melalui intervensi regulasi dan konstruksi dominan di masyarakat. Padahal setiap perempuan membentuk eksistensinya sendiri yang mungkin berbeda dengan perempuan lain.

Manusia sudah semestinya membebaskan perempuan sebagai produk konstruksi kebudayaan atau hasil dari pengaturan ilmiah. Sebenarnya tidak ada satupun pembatas yang “memenjarakan” perempuan karena perempuan ditentukan nasibnya sendiri dan pada saat yang sama bebas dari patriarki. Perempuan harus menggariskan nasibnya sendiri dengan melepaskan beban yang menghambat kemajuan mereka menuju Diri/Selfhood yang autentik. Sehingga tidak ada seorangpun atau sesuatu yang dapat menghambat perempuan untuk maju di ranah sastra, agama, politik, kerja, pendidikan, motherhood, dan seksualitas.

Bisa jadi kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Susi Pudjiastuti dengan mempercepat jam kerja PNS masuk lebih awal sehingga dapat pulang lebih cepat adalah  alasan yang lebih rasional bagi perempuan dan laki-laki yang dianggapnya sebagai ibu dan ayah bagi anak, masyarakat dan negara.

Menteri Susi lebih melihat eksistensi perempuan ketimbang psikologis atau gender dengan menentang mitos dan citra perempuan. Dimana  menuju proses trandensi, perempuan dapat bekerja. Perempuan dapat menjadi anggota intelektual. Perempuan bekerja untuk mencapai transformasi sosialis masyarakat. Dan untuk mentrandensi batasan-batasan, perempuan dapat menolak internalisasi ke-Liyanannya dan ke-Dirian laki-laki.  

Sudah semestinya setiap individu bertanggungjawab atas keputusannya. Seperti keputusan menjadi manusia yang melahirkan manusia lain (disebut ibu). Atau keputusan manusia yang membuat manusia lain itu lahir (disebut ayah). Jadi, sudah saatnya berhenti dari pemikiran dikotomis dan tak ada lagi alasan bolos kerja karena mengurus anak, lembur karena sudah ada yang menjaga anak di rumah, atau memangkas jam kerja pekerja perempuan, bukan?* (Noni Arnee)

Selasa, 31 Desember 2019

Rasa Trisno untuk Tanon

Akses masuk menuju Festival Lereng Telomoyo #2. Foto:Arnee
Suara kendang dan tetabuhan gamelan berirama rancak terdengar sayup-sayup seolah memanggil pengunjung gelaran Festival Lereng Telomoyo #2 untuk bergegas memasuki Dusun Tanon. Sekitar 200 meter dari gerbang dusun, nampak lapangan yang disulap menjadi panggung utama dipenuhi segerombolan bocah beratribut pakaian tradisional.
Aksi bocah-bocah Dusun Tanon memainkan Tari Geculan Bocah. Foto:Arnee
Tubuhnya dibalut rompi merah. Kain jarik bermotif warna coklat menutup celana hitam. Ikat kepala menjadi pelengkap. Mimik wajah mereka jenaka berias mirip badut. Tubuh, tangan dan kaki mereka terus bergerak. Lincah mengikuti irama gamelan.

Ya, ini keceriaan anak-anak Dusun Tanon, Desa Ngrawan, Getasan, Kabupaten Semarang memainkan Tari Geculan Bocah.

Tarian yang menceritakan tentang keseruan dan kelucuan bocah bermain ini pun membuat seratusan penonton yang mengelilingi panggung sesekali tersenyum. Bahkan tertawa menyaksikan polah tingkah mereka.

Tak hanya itu, pengunjung yang datang juga disuguhi kepiawaian ibu-ibu Dusun Tanon memainkan kesenian Lesung Jumengglung. Mereka memadukan suara alu dan lesung (alat pemecah padi). Bertalu-talu, bersahutan diiringi lantunan nyanyian kegembiraan.
Ibu-ibu Dusun Tanon menunjukkan kepiawaian memainkan Lesung Jumlenggung. Foto:Arnee
Pertunjukan itu menjadi rangkaian gelaran Festival Lereng Telomoyo #2 yang berlangsung selama dua hari, pada 12-13 Oktober 2019 lalu. Festival yang dikemas menyuguhkan experience tourism kepada pengunjung untuk mengenalkan Desa Menari Tanon kepada masyarakat luas.

Gelaran ini juga dimeriahkan dengan aneka pertunjukan seni lainnya. Seperti Tari Topeng Ayu, Sebuah tarian transformasi dari Tari Topeng Ireng yang terinspirasi dari gerakan penyamaran zaman perjuangan.
Remaja putri berbalut kostum Tari Topeng Ayu. Foto:Arnee
Ada juga aneka dolanan tradisional yang nyaris sulit ditemui bisa bebas dimainkan pengunjung. Sebut saja permainan Suda Manda, dakon, cublak-cuplak suweng dan egrang bambu.
Pasar rakyat yang menjajakan berbagai makanan tradisional untuk dinikmati dan hasil bumi Dusun Tanon juga menyemarakkan gelaran kali ini.
Wisatawan memainkan permainan Suda Manda. Foto:Arnee
Pengunjung menjajal egrang bambu di gelaran Festival Lereng Telomoyo. Foto:Arnee
Sebenarnya, Festival Lereng Telomoyo ini hanya satu dari sekian banyak gelaran di Dusun Tanon. Pertunjukan lain juga kerap diselenggarakan pada perayaan hari besar seperti hari besar keagamaan, Festival Budaya Desa, Bersih dusun hingga kegiatan peringatan hari kemerdekaan RI.

Daerah Tertinggal

Dusun Tanon berjarak sekitar 58 kilometer dari Ibu Kota Semarang. Terletak di Lereng Gunung Telomoyo. Mayoritas penduduk petani dan peternak sapi perah.

Jalur berliku memasuki dusun yang terletak di Lereng Gunung Telomoyo, sekitar 1,5 kilometer dari kawasan wisata Kopeng membuat Dusun Tanon dianggap daerah sepi.  Terbelakang dan kumuh. Bahkan menjadi salah satu daerah Tertinggal di Kabupaten Semarang.
Peta lokasi Desa Menari. Foto:Arnee
Tapi itu dulu.

Dusun ini perlahan berubah. Sejak Trisno, pemuda asal dusun ini ingin mengajak warga menghidupkan kampungnya menjadi produktif tanpa meninggalkan kearifan lokal.

“Kepikiran sejak masih jadi mahasiswa. Setelah saya amati, salah satu aspek memutus kebuntuan di kampung adalah pendidikan. Maka saya berusaha menyelesaikan kuliah dan pulang,” kenang Trisno.

Namun, Tapi tak semudah itu. Kepulangan Trisno justru tak disambut gembira kedua orangtuanya. Keinginan demi kemajuan desa ditentang kedua orangtua. Trisno “ditolak” kembali ke desa.
Sebagai seorang sarjana pertama Dusun Tanon, itu sebuah prestasi dan kebanggaan kedua orangtua yang ingin anaknya mempunyai pekerjaan lebih baik. “Tantangan awal justru dari keluarga. Saya balik kampung, kembali ke kandang. Orangtua berpikir kenapa sekolah tinggi kalau hanya mau jadi petani lagi. Awalnya ini membuat orangtua malu,”akunya.
Trisno, sang penggagas Desa Menari Tanon. Foto:Arnee
Trisno mengatakan, tantangan terberat adalah menaklukkan fase pergulatan batin dan meyakinkan keluarga untuk membuktikan ucapannya. Trisno butuh waktu 5 tahun. Rasa trisno (baca : cinta-red) pada Tanon tak menggoyahkan tekad membangun tanah kelahirannya. “Padahal saya mencontohkan bahwa saya bertani / beternak bukan dengan cara mereka yang konvensional itu,” katanya.

Tahun 2006, selepas menimba ilmu di Universitas Muhammadiyah Surakarta, lelaki yang akrab disapa Kang Tris ini mulai merealisasikan gagasan-gagasannya. “Saya tekankan bahwa pendidikan itu penting dan saya berkomitmen mewakafkan diri. Artinya kegiatan saya ya kegiatan pelayanan untuk masyarakat Tanon. Saya tidak boleh keluar dan patah arang karena mereka akan mentertawaka saya.”

Menghidupkan Kampung

Trisno mencari cara agar gagasannya dapat diterima warga yang meremehkan dan menolak tawaran untuk mengubah wajah Tanon. Menurutnya, pola pikir dan tingkat pendidikan warga lah yang membuat ide-idenya tidak direspons dengan baik.
“Kebanyakan tidak lulus SD, di generasi saya paling banter SMP dan jarang berinteraksi dengan dunia luar,” lanjut Trisno.

Karena itu, ia mengawali dengan mendekati warga. Ia fokus pada program pendidikan non formal melalui pembelajaran berorganisasi dan aktif membuat forum diskusi warga. Trisno juga mengundang pihak lain seperti mahasiswa yang Kuliah Kerja Nyata untuk mendukung kegiatan desa dan berbagi pengalaman.

Metode ini dianggap ampuh untuk memantik partisipasi warga menggali dan mengembangkan potensi desa. Interaksi dengan pihak luar membawa dampak positif terhadap pola pikir dan pengetahuan warga.

Trisno mulai menggerakkan warga dengan modal Rp 200 ribu untuk membuat lincak (meja bambu) sebagai sarana warga berkumpul. Semangat kemandirian dihembuskan kepada warga. Menurutnya, partisipasi warga jadi kunci terpenting dalam perubahan. “Semangat gotong royong. Ibaratnya siapa yang punya bambu menyumbang bambu, yang punya tenaga menyumbang tenaga. Tidak bergantung pada bantuan.”

Hingga kemudian Trisno berhasil mencetuskan ide laboratorium sosial untuk pengembangan dan pemberdayaan warga Tanon. Artinya, kampung mereka yang kaya potensi dan kearifan lokal akan menjadi laboratorium hidup melalui konservasi desa.
“Kita mengkonservasi apa yang sudah ada. Konservasi masyarakat petani dan peternak, dolanan tradisional, dan kesenian lokal,” jelas ayah 3 anak ini.

“Bertani tidak harus mencangkul dan masuk kandang tetapi membantu mendapat akses. Penari Topeng Ireng tidak perlu ngamen di jalan karena bisa disaksikan pertunjukannya di dusun ini. Hal semacam itu menjadi potensi yang bisa dikembangkan di sini,” paparnya.

Setelah tiga tahun berjalan, Trisno kemudian mengenalkan konservasi desa dan membuka akses warga ke luar melalui pendekatan wisata berbasis konservasi. Wisata yang mengedepankan pada pelestarian atau perlindungan kekayaan lokal yang dimiliki Dusun Tanon.

Trisno menegaskan, Tanon tidak “menjual” objek wisata misalnya keindahan lereng Gunung Telomoyo, melainkan daya tarik aktivitas kehidupan keseharian warga Tanon.
“Wisata sebagai pintu masuk untuk membuka akses masyarakat agar terbuka berinteraksi dengan pihak luar, menambah pengetahuan dan berkembang, tanpa melupakan aktivitas lokal. Paket-paket wisata di sini adalah aktivitas masyarakat sehari-hari. Bertani, beternak, menari, bermain dolanan tradisional, dan pasar rakyat.”
Pasar rakyat yang menyajikan aneka makanan tradisional dan hasil bumi Dusun tanon. Foto:Arnee
Untuk menjaga konsep ini tetap berjalan, semua elemen warga diajak berperan dengan menjadi bagian dari semua aktivitas yang “dijual”. Menjadi penari, pemain musik, pemandu wisata, berjualan di pasar rakyat, membuka homestay.

“Ada orang-orang kunci bertanggung jawab misal koordinator pasar rakyat, kesenian tradisional, homestay, pemandu wisata dan outbound. Jadi tiap kegiatan bisa berjalan. Lambat laun saya sebagai figur akan lepas.”

Desa Menari

Agar mudah dikenal, Trisno bersama masyarakat kemudian membranding Tanon menjadi “Desa Menari”. Menari karena warga Tanon mempunyai warisan kesenian tradisional yang dilestarikan. Hingga kini tercatat 18 kelompok seni tari di Desa Ngrawan. 6 kelompok tari diantaranya berada di Dusun Tanon.
Panggung utama Festival Lereng Telomoyo di Desa Menari Tanon. Foto:Arnee
Selain itu, “menari” yang menjadi slogan Dusun Tanon merupakan akronim dari “Menebar Harmoni Merajut Inspirasi Menuai Memori”.
“Menari mampu menyatukan warga dan pengunjung yang datang ke Tanon bisa merasakan harmoni atau keselarasan, melalui interaksi dengan warga dan alam di sekitarnya. Merasakan semangat dan aktivitas pedesaan akan menjadi pengalaman yang menginspirasi,” lanjut Trisno.

Upaya pengelolaan dan pemberdayaan masyarakat dengan mengelola potensi sumber daya alam dan kearifan lokal untuk mengembangkan ekonomi warga Tanon diapreasiasi Pemerintah Kabupaten Semarang. Tahun 2015, Dusun Tanon dinobatkan sebagai desa wisata dengan SK Bupati Nomor 01 Tahun 2015.

Data Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah menyebutkan, Dusun Tanon menjadi satu dari 229 desa wisata tersebar di 35 kabupaten kota Jawa Tengah. Dusun Tanon juga membawa Desa Ngrawan meraih predikat Sejahtera Mandiri di tahun 2016 dari Kementerian Sosial RI.
Prasasti pengukuhan Desa Menari Tanon. Foto:Arnee
Trisno menambahkan, sebagai desa wisata, Desa wisata Menari mampu menjadi magnet wisatawan hingga mampu meningkatkan ekonomi warga untuk mendapatkan penghasilan alternatif selain dari pencaharian utama di bidang pertanian dan peternakan.

"Pengunjung antara 1500 – 3000 setiap tahunnya. Warga punya penghasilan tambahan 10-15 persen di luar pekerjaan utama. Pendapatan ini untuk warga dan pengembangan desa,” tambah Trisno.
Namun, Trisno menegaskan bahwa Jumlah bukan target dan tolok ukur keberhasilan Desa Menari. Nilai-nilai dari filosofi “menari” lah yang menjadi fokus untuk disebarkan kepada orang lain.

Kampung Pun Berseri

Atas kerja kerasnya menghidupkan Dusun Tanon, Trisno terpilih menjadi salah satu penerima apresiasi SATU (Semangat Astra Terpadu) Indonesia Award tahun 2015, kategori lingkungan dari PT Astra International Tbk.
Setahun kemudian, Trisno dipercaya menjadi penerima SATU Indonesia Award untuk mengelola Kampung Berseri Astra (KBA). Berkat Trisno, Desa Menari Tanon menjadi Kampung Berseri Astra pertama di Jawa Tengah.

Kampung Berseri Astra (KBA) merupakan program Kontribusi Sosial Berkelanjutan Astra yang diimplementasikan kepada masyarakat dengan konsep pengembangan yang mengintegrasikan empat pilar program yaitu Pendidikan, Kewirausahaan, Lingkungan dan Kesehatan.

Melalui program Kampung Berseri Astra, masyarakat dan perusahaan dapat berkolaborasi bersama mewujudkan wilayah yang bersih, sehat, cerdas dan produktif sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Kehadiran Astra di Desa wisata Menari Tanon dengan empat pilar tersebut disinergikan sehingga mempercepat perkembangan konservasi desa yang dikelola warga.
Desa Menari Tanon menjadi desa binaan ASTRA sebagai KBA pertama di Jateng. Foto;Arnee
Trisno menjelaskan, di bidang pendidikan, diimplementasikan melalui program Beasiswa Astra Lestari kepada 36 anak Dusun Tanon untuk menempuh pendidikan mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Selain itu, warga juga mendapat pendidikan informal melalui ketrampilan berbicara dengan baik.

Sedangkan penerapan pilar program kewirausahaan digulirkan dalam bentuk berbagai pilihan paket wisata dan pasar rakyat. “Wisatawan bisa memilih paket wisata yang diinginkan untuk merasakan pengalaman aktivitas keseharian sebagai petani menanam padi, memerah susu sapi, belajar menari hingga outbond. Kami juga menyediakan homestay yang ingin live-in,” jelasnya.
Pasar rakyat yang menyajikan aneka makanan dan hasil bumi Dusun Tanon. Foto:Arnee
Di bidang kesehatan, Astra memfasilitasi pemeriksaan kesehatan gratis warga Dusun Tanon. Tidak hanya mendirikan posko pelayanan kesehatan Posbindu (Pos Pembinaan Terpadu) dan fisioterapi tapi juga menyiapkan kader kesehatan untuk 'jemput bola' sehingga warga lebih mudah cek kesehatan.
Posko pelayanan kesehatan gratis di Dusun Tanon. Foto: Arnee



Petugas kesehatan di posko pelayanan kesehatan sedang melayani warga yang ingin memeriksa kesehatan anaknya. Foto:Arnee
Astra juga membantu di pilar lingkungan dengan penataan zonasi dan pembenahan lokasi outbound, konservasi mata air serta memfasilitasi perbaikan sarana prasarana rumah warga yang disiapkan menjadi homestay dan  disewakan dengan tarif Rp 50 ribu/malam.

Penanda homestay di Desa Menari Tanon. Foto:Arnee
Sebagai desa wisata, konsep Desa Menari Tanon menghadirkan kehidupan desa dengan membangun narasi yang baik, sehingga harmoni Desa Menari dapat menjadi inspirasi dan menerbar kebaikan yang akan menjadi memori bagi warga dan pengunjung Dusun Tanon.

Keberhasilan Trisno mengangkat potensi wisata di kampungnya tak lepas dari totalitas, dedikasi, serta kecintaannya sebagai putra Dusun Tanon. Begitu juga rasa memiliki yang tertanam dalam jiwa seluruh warga Tanon yang menjadi bagian dari proses program yang dijalankan.

Trisno puas dengan pencapaian warga Dusun Tanon. Dan ia punya harapan besar.

“Saya cukup bahagia dengan perkembangan Tanon, meskipun saya ingin membuat terobosan baru. Semoga semangat ini tidak hanya milik warga Tanon tapi juga menular ke desa lain dan seluruh masyarakat di negeri ini,”harapnya.

Sebagai desa wisata, Desa Menari Tanon menjadi Ikon Kebanggaan warga dan masyarakat Jawa tengah. Itu artinya juga menjadi ikon kebanggan Indonesia.

Ya, karena #KitaSATUIndonesia dan #IndonesiaBicaraBaik akan menghasilkan peradaban yang baik pula. Seperti yang dilakukan Trisno bersama warga Dusun Tanon.


Jumat, 27 Desember 2019

Penantian Para Penyintas Jugun Ianfu


Usianya sudah menginjak 87 tahun. Tapi gurat kecantikan masih terlihat jelas di wajahnya yang tirus. Malah senyum selalu mengembang di bibirnya kala menceritakan kesehariannya di sebuah rumah sederhana berlantai tanah.

Di ruang tengah rumahnya, hanya ada tikar lusuh. Dan Paini –begitu dia dipanggil, bertukar cerita dengan saya sembari memutar kembali ingatannya ke masa pendudukan Jepang.

Kata dia, di kurun waktu 1942-1945, serdadu Jepang datang ke kampungnya di Sidomukti, Kopeng, Jawa Tengah. Mereka kemudian merekrut para perempuan dan lelaki muda untuk kerja paksa atau romusha. Dan Paini, adalah satu di antaranya yang baru berusia 13 tahun.
“Waktunya istirahat nggak boleh istrahat, harus kerja. Dikasih pekerjaan apapun saya harus mau, kalau nggak mau pasti saya dipukuli. Bukan hanya kerja angkatin batu, tapi juga angkatin tanah," kata Paini lirih.

"Sudah selesai di dapur, saya di disuruh minta makan di kampung lain. Disuruh ngemis-ngemis minta makanan. Saya jalanin itu supaya selamat, jangan sampai dipukuli. Makan pun kalau saya nggak cari sendiri saya nggak bisa makan.”

Di tangsi militer Kamp Garuda –milik Jepang itu, Paini kecil dipaksa bekerja tanpa imbalan uang dan makanan.

Dia sendiri bahkan tak berdaya ketika dilarang pulang ke rumahnya hanya untuk menengok keluarga atau suami yang baru setahun dinikahi. Dan yang kian membuatnya murka, tatkala dirinya dipaksa melayani hasrat seksual seorang pria berbaju kimono.
“Saya tidak tahu kalau ada orang di belakang saya. Saya lalu disikep (peluk dari belakang-red). Dibekap mulutnya. Dipaksa, saya dipaksa suruh melayani (tentara Jepang). Saya duduk sendirian sambil menangis.”

Paini, adalah saksi hidup sekaligus korban perbudakan seks tentara Jepang pada Perang Dunia ke-2. Korban kejahatan tentara Negeri Matahari Terbit itu membentang dari Korea Selatan, Tiongkok, Taiwan, Timor Leste, hingga Indonesia. Dan diperkirakan korbannya lebih dari 200 ribu perempuan.
Penderitaan Paini, berlangsung kira-kira satu setengah bulan. Hingga kemudian, dua serdadu Jepang bernama Haruka San dan Handika Motto, menyelamatkannya.
“Saya menjerit, lalu ada yang mendengar dan menolong saya. Saya ingat nama yang menolong yaitu Haruka San dan Handika Motto.”

Tapi kepulangannya dari Kamp Garuda, tak disambut gembira keluarganya. Paini justru disangka selingkuh dengan tentara Jepang hingga akhirnya diceraikan sang suami.

Paini lantas menikah untuk kali kedua, tapi usia perkawinan itu tak bertahan lama.
“Waktu ada pelecehan itu, saya terus diceraikan oleh suami. Baru lima bulan orangtua saya menerima lamaran lagi. Baru tujuh bulan, saya diceraikan lagi sama suami yang kedua."

***

Kegetiran Paini, juga dialami Sri Sukanti. Tatkala umurnya sembilan tahun dan masih duduk di bangku Sekolah Rakyat –kini Sekolah Dasar, ia dibawa paksa tentara Jepang untuk melayani hasrat seksual Ogawa –seorang komandan regu.

Di kediaman sekaligus kantor Ogawa, Sri Sukanti dikurung. Di dalam Gedung Papak, Grobogan –yang merupakan bekas bangunan Belanda itulah, Sri kecil tak berdaya melawan tubuh besar lelaki bermata sipit tersebut.
“Ayah saya semaput (pingsan-red) lihat saya dibawa. Dikira mau dibunuh. Waktu diambil Jepang saya diajak tidur, bokong dielus-elus,” ucap Sri Sukanti dengan bibir bergetar.

Atas perintah Ogawa pula, penjagaan ketat dilakukan. Sehingga tak ada yang bisa menolongnya.
“Yang jaga dua, di depan pintu. Saya dikunci di kamar, dijaga kalau ada yang nengok-nengok dibentak sama yang jaga. Jepang itu memang kejam.”

Enam bulan, Sri kecil menjadi budak seks tentara Jepang Ogawa. Ia pun masih ingat dirinya disuntikkan obat anti-hamil berkali-kali di pinggul kiri sebelum akhirnya dipulangkan ke orangtuanya.
“Iya biar nggak punya anak. Suntikannya nih..nih.. Waktu disuntik satu minggu nggak bisa bangun.”
Suntikan itu rupanya berdampak panjang. Ia tak bisa memiliki anak meski telah menikah dua kali. Pertama dengan pria asal Semarang, namun berpisah. Dan kini, dengan Sidik Tonys yang setia mendampinginya.

Catatan Komnas HAM menyebut, di Indonesia ada sekitar dua ribu perempuan korban perbudakan seks tentara Jepang atau disebut jugun ianfu.
Dan hingga kini, belum ada permintaan maaf dari pemerintah Jepang. Negeri itu belakangan hanya bersedia meminta maaf pada ianfu yang berasal dari Korea Selatan, Tiongkok.

***
Kembali ke Paini. Perih akibat perlakuan tentara Jepang, takkan mungkin dilupakan.
“Saya dilecehkan dengan penjajah itu. Malu saya.. memalukan. Biarpun saya dilecehkan, biarpun saya tidak berguna, jiwa saya itu nggak suci lagi saya terima. Tapi saya itu kalau ingat, menyesal sekali, sakit hati. Kalau malam nggak bisa tidur, ingat jiwa saya itu sudah tidak suci lagi, sudah tidak berguna..”

Dan kini, janda empat anak ini tinggal bersama anak perempuan sulungnya di rumah sederhana berlantai tanah itu.

Permintaan Maaf dan Kompensasi
Di rumahnya sederhana –berlantai tanah di Sidomukti, Kopeng, Jawa Tengah, Paini tinggal bersama anak perempuan sulungnya.
Suaminya, meninggal 20 tahun lalu. Maka dia harus menghidupi dirinya sendiri dan sang anak, dengan menjadi buruh lepas; mengisi pot sayuran. Dari situ, dia bisa mengantongi 50 ribu dari lima ribu pot.

Tapi jika tak ada pesanan, Paini hanya mengandalkan pemberian anak-anaknya yang juga serba pas-pasan.
“Satu pot kalau sama ngeranjangi itu cuma seribu, satu pot. Kan masih untung, buat beli beras sekilo, sayurnya cari sendiri di tempat keponakan. Masih terimakasih nenek masih sehat,” imbuh Paini.
Di usianya yang sudah 87 tahun, dia juga masih bisa menyusuri jalan kampung mencari kayu bakar dan rumput.

Perempuan sepuh lain, Sri Sukanti –yang hidup sebatang kara, kini bergantung pada uluran tangan orang sekitarnya. Sementara suaminya yang dulu bekerja sebagai kuli bangunan, tak bisa lagi diandalkan.
“Aku nggak malu, aku minta-minta pada orang kampung buat beli nasi. (Sejak kapan terima raskin?) Sudah lama, kalau nggak begini nggak makan,” kata Sri Sukanti.

Di Salatiga, Sri Sukanti bersama suami, tinggal di rumah yang sangat sederhana. Dinding kusam rumah itu dipenuhi foto dia dan keluarganya. Isi perabotan seolah dibiarkan berantakan tak terurus.
Hanya ada satu kamar tidur yang bersebelahan dengan dapur. Di situ, rak kayu yang sudah lapuk, dipenuhi piring dan panci. Di lantai, sebuah tungku teronggok.
Sementara di ruang depan, penuh sesak. Di sisi kanan rak papan televisi berukuran 14 inchi, perabot rumahtangga bertumpuk. Dan bau pesing, begitu menyengat.

***
Catatan Komnas HAM, di Indonesia ada sekitar dua ribu perempuan korban perbudakan seks tentara Jepang atau disebut jugun ianfu. Dua di antaranya adalah Paini dan Sri Sukanti.
Karena itulah, sejumlah pihak; Komnas HAM, LBH Yogyakarta, dan lembaga lain yang mengatasnamakan Ianfu Indonesia gencar memperjuangkan hak penyintas. Salah satunya, mengajukan gugatan kompensasi atas kerugian materil dan imateril yang dialami para penyintas.

Hingga pada 1997, Asian Women’s Fund (AWF) –sebuah organisasi swasta Jepang mengucurkan dana santunan bagi para penyintas melalui Departemen Sosial RI. Nilainya sebesar 380 juta yen atau setara Rp1,1 Triliun. Tapi uang itu, tak pernah sampai ke tangan Paini pun Sri Sukanti.

“Katanya ada imbalan segini..segini.. Sampai sekarang kok nggak datang. Imbalannya itu saya masih ingat kalau nggak salah 100 juta. Sampai sekarang imbalan dari Jepang itu belum pernah seperserpun saya terima. Saya ikhlas,” jelas Paini.

Uang triliunan itu rupanya dialokasikan Departemen Sosial untuk membangun Panti Wreda khusus penyintas Jugun Ianfu di sejumlah kota di Indonesia.

Karena dana itu digunakan dengan tak semestinya, para penyintas melayangkan surat gugatan ke Pengadilan Jakarta Pusat.
“Dibawa kemana-mana. Ke Yogya kalau nggak salah, sembilan kali diwawancarai. Yang paling banyak di Solo. Terakhirnya saya dibawa ke Jakarta. Saya pun sampai diangkat di podium untuk bicara. Tapi sampai sekarang nol nggak ada apa-apanya,” sambung Paini.

Heruwaty Wahyu, Kepala Panti Wredha Wening Wardoyo Ungaran, Jawa Tengah membenarkan, pernah ada proyek dari pemerintah pusat untuk membangun wisma untuk penyintas Jugun Ianfu di areal pantinya.
“Jugun Ianfu suatu proyek sendiri, bantuan dari Jepang kalaupun saya pimpro saya nggak dipegangin. Bantuan yang jugun ianfu itu hanya fisiknya pandu itu saja. Jadi kita hanya menyediakan lahan. Khusus untuk ianfu sekarang difungsikan untuk yang lain, untuk lansia yang terlantar-terlantar tapi bukan jugun ianfu,” jelas Heruwaty Wahyu.

Wisma yang diberi nama Pandu Dewanata dibangun pada 1997 dengan fasilitas lima kamar tidur dan televisi. Di tahun yang sama juga, pemerintah membangun empat panti yang tersebar di sejumlah kota.

Namun, Paini menolak tinggal di panti dengan berbagai alasan.
“Nggak mau saya. Saya mau di rumah saja, kerja, kumpul sama cucu anak. Terus terang daripada saya dibawa ke panti jompo, dikasih uang 10 ribu dibuat jajan saya ikhlas. Tapi kalau dibawa ke panti jompo, saya nggak mau. Biarpun kayak gini kotor tempatnya. Nggak apa-apa. Kalau saya dibawa ke panti jompo nanti anak saya cucu saya yang repot.”

Para penyintas seperti Paini dan Sri Sukanti, hidupnya sengsara. Hak yang seharusnya mereka peroleh, justru tak diberi. Pemerintah Indonesia sendiri malah menganggap kejahatan yang dilakukan tentara Jepang, sudah selesai. Tapi, tidak bagi Paini.

“Saya ditanyakan apakah sanggup ngasih maaf sama orang Jepang? Kalau saya berhadapan sendirian ya saya mau bisa ngasih maaf. Tapi kalau saya nggak bisa berhadapan sendiri apa bisa saya ngasih maaf? Kan nggak bisa. Yang penting saya dikasih kesehatan, dilindungi, dikasih kekuatan sama Allah saya sudah terimakasih. Saya ikhlas.”

Noted :
Perjalanan menemui Sri Sukanti dan Paini dilakukan pada tahun 2016
Elizabeth Sri Sukanti atau Mbah Sri, penyintas jugun ianfu paling muda meninggal dunia di Kota Salatiga pada 20 Desember 2017 di usia ke-84.

Selasa, 16 Mei 2017

Berharap pada Regulasi Tembakau

Kesulitan Kusumaatmadja Agung (69) pemilik Mukti Kafe dan pengusaha tembakau, Taru Mertani dan perusahaan kretek serupa diduga dampak dari pelbagai regulasi, baik nasional maupun internasional. Di tingkat internasional muncul pengetatan bisnis tembakau dan segala produk olahannyaFramework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang diadopsi WHO pada 21 Mei 2003.
Perjanjian ini mengikat pengaturan produksi, penjualan, distribusi, periklanan, dan perpajakan tembakau.  Di sisi lain persoalan tembakau dan industri rokok di Indonesia muncul perdebatan antara pro dan kontra tembakau atau rokok akhir-akhir ini, khususnya mengenai bahaya rokok.
Perusahaan rokok yang berkembang menjadi perhatian khusus pemerintah. Regulasinya mengalami perubahan terus-menerus terutama sejak masa Reformasi. Saat pemerintahan BJ Habibie, kali pertama pemerintah mengeluarkan regulasi pengendalian tembakau melalui Peraturan Presiden (PP) Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan yang mengatur iklan tentang rokok serta kewajiban pencantuman peringatan bahaya merokok pada kemasannya. Lebih khusus lagi, peraturan tersebut menetapkan kadar nikotin dan tar dalam sebatang rokok.
Peraturan tersebut diamandemen seturut pergantian presiden. Pada era Presiden Abdurrahman Wahid keluar PP Nomor 38 Tahun 2000. Rokok diperbolehkan mengiklankan produknya di televisi pada malam hari. Selain itu dalam UU Kesehatan Tahun 2009 menyebutkan rokok mengandung zat adiktif.  UU itu diperkuat PP No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
“Paling ngeri karena menganggap tembakau mentah sebagai zat adiktif seperti narkoba. Roadmap perlindungan kesehatan tembakau itu juga hanya dua pasal,” papar Pradnanda Berbudy, Tim Pembela Kretek dari Komite Nasional Penyelamat Kretek (KNPK) dalam Workshop “Membaca Kretek” di Yogyakarta pertengahan Maret 2017.
PP terakhir itu dianggap sebagai hasil kompromi antara pro dan antirokok dan sekarang dalam wacana bakal direvisi, poin-poin dalam PP tersebut tak menguntungkan semua pihak yang memiliki usaha di bidang tembakau. Meskipun Indonesia belum meratifikasi WHO FCTC, dalam praktiknya poin-poin dalam konvensi pengendalian tembakau WHO itu sudah dijalankan di Indonesia.
Banyaknya ketentuan daerah bebas rokok yang mengadopsi aturan WHO mengenai pelarangan merokok di tempat umum. Begitu juga, kenaikan cukai rokok yang bertujuan membatasi konsumsi rokok. Itu menjadi “acuan” pemerintah dalam penetapan cukai yang naik tiap tahun. Soal cukai inilah yang kemudian banyak mematikan perusahaan rokok menengah dan kecil.
“Kalau yang punya modal besar bisa menyesuaikan aturan pajak. Yang sedang atau bahkan yang kecil, bisa kembang kempis hanya untuk membeli pita cukai,” ujar Suwarno M Serad, pengamat industri rokok dan sering disebut sebagai pakar kretek.
Serangan Produsen dan Produk Asing
Berbagai regulasi membatasi gerak usaha tembakau. Begitu juga kampanye kontrol tembakau yang gencar di lingkup nasional maupun internasional. Mereka yang menggantungkan hidup pada tembakau pun semakin tersingkir dengan ekspansi pemilik modal asing yang menguasai pabrik-pabrik rokok legendaris di Indonesia.
Tak hanya menguasai pabrik rokok, mereka juga menguasai dan memonopoli pembelian tembakau di daerah penghasil tembakau. Agung, pengusaha kretek di Semarang mengatakan petani tembakau di beberapa daerah terikat kontrak karena mendapat mendapat modal dari perusahaan. Mereka berkewajiban menjual kembali tanamannya ke perusahaan.
Kondisi tersebut membuat pebisnis tembakau kecil tak bisa membeli tembakau dari para petani yang sekian lama menjadi mitra bisnisnya.  Akhirnya ia harus  membayar lebih mahal dari harga pasar jika ingin mendapatkan tembakau.
Sebagai contoh, dia pernah membeli satu dos tembakau Jember untuk wiper atau daun tembakau pembungkus cerutu dengan harga hampir 10 kali lipat harga normal. Untuk satu dos seberat antara 26-30 kilo dihargai Rp20 juta, atau Rp600 ribu lebih per kilo. Padahal, harga normal hanya berkisar Rp50 ribu hingga Rp60 ribu per kilonya. Harga semahal itu lantaran pembelian dikurs dengan mata uang euro.
“Untuk cerutu dengan tembakau Jember, saya harus nempil (membeli dalam jumlah kecil lewat perantara). Kalau tidak kenal orang-orang lama di sana, tidak bakal dapat tembakau,” kata Agung, “Di Lombok, kalau tidak kenal ‘orang dalam’ pasti tidak bisa beli.”
Suwarno M Serad menilai penguasaan tembakau dan pabrik rokok nasional oleh perusahaan asing orang asing itu salah satu upaya dekretekisasi. Upaya mencegah rokok kretek khas Indonesia menguasai pasar dunia. Sebabnya kretek telah populer sebagai rokok yang khas dan banyak disukai orang asing yang ingin menikmati rokok berkualitas tinggi.
Ia mengatakn rokok kretek diakui memiliki keunikan yang tak dijumpai pada rokok-rokok buatan Amerika atau Eropa karena racikannya mengandung rempah cengkeh. Di Amerika Serikat, rokok kretek sudah masuk ke pasar pada 1970-an dan banyak digemari. Ia menduga ada produsen rokok Amerika rokok khawatir kretek akan menguasai pasar di sana dan menggerus pasar rokok putih dalam negeri Amerika. “Lalu muncul isu soal rokok yang berbahaya dan mematikan pengisapnya,” ujarnya.
Dampak paling nyata adalah kematian perusahaan rokok lokal berskala kecil. Pada 2014 Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Tengah mencatat 40 perusahaan rokok di provinsi tersebut gulung tikar. Para petani dan pedagang tembakau yang selama ini berhubungan bisnis dengan perusahaan rokok kecil terkena imbasnya.
Perusahaan rokok yang masih bertahan sekarang ini pun bukannya tanpa ancaman. Beberapa produk rokok asing dari Vietnam dan Denmark dengan jenis mirip rokok khas Indonesia seperti jenis tingwe (lintingan) sudah mulai masuk ke pasar Indonesia. Meskipun jumlahnya belum besar dan harganya lebih mahal dari produk lokal, penetrasi produk asing akan menjadi menjadi pesaing produk rokok lokal.

Adil dan Proporsional
Tidak mudah mencegah masuknya pemilik modal asing dan produk rokok luar negeri ke Indonesia. Mereka yang menggantungkan hidupnya dari tembakau dan produk olahannya berharap pada regulasi yang berpihak. Revisi UU mengenai tembakau menjadi harapan besar.
Agung, salah seorang yang masih tetap bertahan dalam bisnis tembakau berharap “monopoli” lahan tembakau petani oleh perusahaan rokok besar diatur. Agar para pedagang tembakau kecil dan perusahaan rokok kecil bisa kembali membeli tembakau berkualitas dari para petani seperti Madura, Lombok, Paiton, Temanggung, dan Muntilan. “Keinginan saya, tembakau petani yang telah dikuasai perusahaan rokok besar dibuka. Maksudnya, orang seperti saya bisa ikut membeli,” katanya.
Bagi Suwarno, regulasi yang mengatur tembakau dan produk olahannya harus adil dan proporsional. Selain itu, pengenaan pajak cukai yang berbeda dari industri lain berujung pada bangkrut atau tutupnya perusahaan rokok sedang dan kecil juga mendapat perhatian.
Suwarso tak yakin revisi UU tentang tembakau yang sedang diproses bakal menghasilkan peraturan yang adil dan proporsional terhadap industri tembakau. Dia melihat ambivalensi keberpihakan pemerintah dalam urusan tembakau. Pemerintah seolah-olah berdiri di dua kaki, antara yang pro industri rokok dan yang antirokok.
“Revisi UU tentang tembakau itu inisiatif DPR. Presiden tidak bisa menolak dan harus membuat surat agar revisi UU tersebut dibahas. Lebih-lebih lagi, di dalam kabinetnya, tak banyak yang pro industri rokok,” ujarnya
Suwarno hanya berharap bila tak memungkinkan melakukan proteksi terhadap industri rokok, setidaknya regulasi memperlakukan industri rokok secara proporsional, seperti industri lainnya. Bersambung.

Noni Arnee

http://independen.id/read/khusus/389/berharap-pada-regulasi-tembakau/

Mimpi Lima Generasi

Hidup dari tembakau bagi keluarga Kunadi Ahmad (46) sangat menguntungkan. Dia ingat saat ia bersama kedelepan saudaranya ikut merawat sumber penghidupan keluarga sebagai petani tembakau di Desa Karangmulyo, Kecamatan Pegandon, Kabupaten Kendal, sekitar sekitar 30 tahun lalu. “Selain sekolah, ya, membantu orang tua di kebun, mengurus mbako. Dari menyiram, menyemprot, merawat, semualah sampai panen,” cerita Kunadi Ahmad (46) kepada Independen.
Desa Kunadi dahulu dikenal sebagai salah satu sentra tembakau di Kendal selain di Kecamatan Ngampel, Gemuh, Patebon, Kangkung, Weleri, dan Ringinarum. Tembakau daerah ini menjadi komoditas primadona dan terserap di sejumlah pabrik rokok besar di Jawa.
Pada kurun 1990-2005, petani masih merasakan kejayaan tembakau. Bahkan yang tak memiliki lahan pun berani menyewa lahan karena hasilnya memang menggiurkan, meski hanya menyewa satu tahun. “Misalnya modal dan tenaga habis Rp6 juta, kalau panen bisa dapat dua kali lipat. Bahkan pada 2000-an lahan 0,25 hektare bisa menghasilkan Rp 20 jutaan,” jelas anak terakhir dari 9 bersaudara ini.
Dia mengaku sempat mengikuti jejak kedua orang tua. Tapi semua berubah ketika petani di desanya tidak lagi mendapat jaminan hidup dari mata pencaharian utama sebagai petani tembakau. Dulu, kata Kunadi, pengepul utusan pabrik dulu siap beli tembakau dari petani. “Sekarang yang beli siapa belum jelas. Akhirnya petani malas menanam dan lahan mangkrak,” ujarnya.
Terbukti lahan perkebunan tembakau di desanya menurun drastis hingga 70 persen. Dari 100 hektar tersisa 30 hektar. Kini, hanya kedua kakaknya yang masih bertahan. Warga desa lainnya beralih menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri dan buruh pabrik.
Berbeda dengan Kunadi, Kusumaadmadja Agung (69) sejak usia belia, sudah digembleng sang kakek dan ayahnya mewarisi bisnis tembakau. Kedekatan emosional Yap Sing Tjay terhadap sang cucu membuatnya ingin melibatkan Agung dalam urusan pertembakauan. “Saya masih ingat tembakau Boyolali ‘ting trecep’ rasanya kayak ditusuk jarum tapi ada rasa manisnya. Yang jelas rasanya nggakkeruan. Kalau malam saya sampai nangis karena hampir setiap hari disuruh mencicipi tembakau,” kenang lelaki yang dekat dengan sang kakek.
Agung terbiasa mencium berbagai aroma daun tembakau dari berbagai daerah yang tersimpan di gudang lantai dua. Sejak belia sudah mengikuti kebiasaan Yap pergi ke daerah tembakau.   Sesekali dia mengaku dipaksa untuk mencium dan mencicipi satu per satu aroma tembakau yang ada di gudang.
Ia belajar mengidentifikasi kualitas daun tembakau di setiap urutan tangkainya sehingga hafal jenis dan kualitas tembakau terbaik. “Hanya melihat bentuk, warna, dan bau, saya sudah tahu. Setiap tembakau mempunyai ciri sendiri. Beda warna dan kalau dipegang ada yang memeskemresek, lembut,” katanya.
Bahkan pada usia 11 tahun, Agung sudah mengisap kretek lintingan buatan leluhurnya dan mencicipi cerutu pertama ketika usia 14 tahun. Tidak biasa untuk anak seumurannya, tapi itu wajar bagi keluarganya. “Dulu rumah jadi gudang dan toko tembakau. Istilahnya lahir dan sejak kecil saya ini sudah dibacem denganmbako. Jadi darah saya sudah menyatu dengan tembakau,” katanya.
Sebagai pedagang yang mahir meracik berbagai tembakau Nusantara, Yap mendirikan toko tembakau bernama “Soei An Tabaks” di kawasan Pecinan Semarang pada 1958. Sebelumnya, dia menjajakan tembakau eceran yang diletakkan dalam bumbung bamboo ini dengan berjalan kaki. Lelaki asal Xiamen, Tiongkok itu mengeluti bisnis tembakau sejak 1903 dengan berkeliling dari kampung ke kampung.
Yap mewariskan toko pada anaknya Bram Mukti Agung yang lalu mengganti nama menjadi Toko Mukti pada pertengahan 1930-an. Agung sebagai generasi ketiga dipercaya meneruskan usaha tembakau eceran sejak berumur 20 tahun.

Tak Selalu Mulus
Bisnis keluarga yang dijalankan hampir setengah abad itu tidak selalu berjalan mulus. Berbagai regulasi pada setiap rezim pemerintahan kerap menggoyang denyut bisnis warisan keluarganya, termasuk kemunculan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), badan kesehatan dunia WHO, yang membatasi konsumsi tembakau.
Kondisi ini sempat membuat Agung frustasi. Dia ingin melepas semua aset bisnisnya untuk beralih usaha yang lebih menguntungkan, termasuk menerima tawaran menggiurkan sebagai expert tobacco di Bremen. Sebuah perusahaan asal Amerika bahkan sempat akan membeli toko dan kafe tembakau berlantai dua serta gudang tembakau di Weleri.
“Kalau memikirkan itu saya tidak bisa tidur, apalagi kalau ingat kawan yang bisnis tembakaunya ambruk dan stres. Sulit, sempat berpikir jual semua aset, bayar hutang bank, selesai. Tapi mungkin sudah garis tangan saya disuruh meneruskan,” ujarnya sambil menerawang.
Sejarah keluarga menguatkan Agung untuk bertahan. Pesan ayahnya  untuk meneruskan usaha keluarga selalu terngiang. Meski mengaku sulit, Agung bertekad tidak akan menghapus garis tangan keluarga untuk bertahan di bisnis tembakau.
Sekarang ini, pada usia yang tak lagi muda, ia mencari pewarisnya mewujudkan mimpi “five generation one family tobacconist legacy”. Dia merangkul anak satu-satunya dan kedua cucunya. Dia juga mengaet anak-anak muda untuk berkiprah di kafe tembakaunya.
Keahlian yang didapat karena faktor keturunan itu ia tularkan. Jalan panjang melintasi zaman dalam menjaga warisan sang kakek dilalui demi tumpuan bisnis keluarga. “Anak sekarang tidak sabar, misal meracik masih kurang harus ditambahi, kurang apa tambahi. Kalau tidak ulet, ya sulit,” katanya.
Ia melabeli satu produk cerutunya Khansa, gabungan nama dua cucunya yang masih berusia 9 tahun dan 4 tahun. “Kalau tidak keturunan sepertinya sulit, untuk mempelajarinya juga susah. Saya coba ajak cucu cium tembakau ternyata bisa membedakan.”
Sementara itu Heru Karyanto, pengusaha asal Kudus mengatakan tidak mudah mencari generasi penerus usaha kretek. “Tidak semua generasi penerus siap,” katanya saat bedah buku “Djamhari Penemu Kretek” di Kafe Pustaka John Dijkstra Institute, Semarang, (25/3) lalu.
Prinsipnya orangtua atau pendiri perlu melatih dan membina dengan etos kerja. Ia mengatakan keberhasilan bisnis tembakau secara turun temurun terbukti dalam regenerasi pabrik rokok besar seperti Djarum, Noroyono dan Sukun.

Berharap pada Distributor
Masalah sulitnya membentuk generasi penerus juga dterjadi pada jaringan distributor kretek, seperti yang disampaikan Slamet, Kepala Bagian Keuangan TMPT Taru Martani Yogyakarta. Ia mengungkap pabrik penghasil cerutu ini hidup dengan mengandalkan jaringan distributor yang makin menciut jumlahnya.
Tidak banyak distributor yang melakukan regenerasi meski bisnis ini masih cukup menjanjikan. Banyak yang tidak mendidik anak-anak untuk meneruskan bisnisnya. Distributor yang dimaksud adalah para distributor lama yang dibina puluhan tahun.
“Seperti distributor di Lampung dan Palembang, anaknya yang meneruskan. Di Amerika dan Bandung sudah tua tapi anaknya tidak mau melanjutkan,” katanya.
Padahal bisnis ini lebih mengutamakan sisi kepercayaan dan kehati-hatian agar jalur distribusi lebih tertata sehingga tidak merusak harga cerutu yang diproduksi. Harga jual menjadi mekanisme pasar. “Kita mau mendidik calon distributor satu saja harus hati-hati. Jadinya tidak maksimal. Mau percaya siapa kita tidak tahu dan pada akhirnya pasar kosong dan jadi liar,” ujarnya.
Pada 1994-2009, Taru Martani mempunyai 11 distributor atau importir yang tersebar di berbagai negara seperti Tobacco Service Holland, CVJ Switzerland, Tobaccos Lebanon and Middle East, Havana Tropical, Sal Dubai and Iraq, Birlesik Tutun Turkey, Indo Worldwide Horizon USA and China, Java Royale, Nguila France, Universal Praha Czech &Slovakia, Phoenicia Trading Afro-Asia Sal Cyprus, dan Russia Taekwondo Association.
Kini, jaringan distribusinya menyusut. Hanya enam distributor yang beroperasi di Amerika, Jepang, Swiss, Turki, Georgia (Imeri), dan Jerman (Surya Kretek). Jumlah ekspornya kecil, hanya satu kontainer senilai Rp 700 juta.
Sedangkan distributor lokal ada 18 yang tersebar antara lain di Lampung, Palembang, Pangkalpinang, Jambi, Tembilan, Pekanbaru, Tanjungpinang, Bengkalis, Medan, Jakarta, Bandung, DIY, Bali, Pontianak, Merauke, dan Serang.
Bagi Taru Martani, jaringan distributor yang diwariskan turun-temurun menjadi prioritas sehingga penting membina hubungan baik dengan para jaringan distributor dan berharap ada regenerasi karena pasar tembakau lokal masih potensial. Ia mengakui belum mempunyai sistem agar distributor bisa langgeng. "Mungkin dengan cara memberi bonus dan diskon akan efektif. Tapi yang terpenting bahwa cerutu Taru Martani enak, tanpa itu sulit berjualan,” tandasnya.

Noni Arnee

http://independen.id/read/khusus/387/mimpi-lima-generasi/

Jurus Sakti Bernama Inovasi

Jajaran toples-toples bening berisi tembakau berbagai ukuran di atas meja pajang dua susun di sisi kiri pintu masuk seolah menyambut pengunjung yang memasuki Kafe Mukti di Jalan Wahid Hasyim No 2A Kota Semarang. Di badan masing-masing toples tertempel kertas bertulis tangan yang menyebutkan jenis tembakau rajangan di dalamnya.
Sedikitnya 50 jenis tembakau dipamerkan dan ditawarkan kafe itu. Dari tembakau lokal seperti Srinthil Temanggung, Besuki Jember, Paiton, Bojonegoro, Madura, Maesan, Lombok, Soppeng hingga tembakau mancanegara seperti Virginia danHavana dengan berbagai varian. Juga koleksi tembakau tertua yang tersimpan selama 35 tahun.
Sementara di sisi kanan, kotak kaca menempel di dinding berisi beragam cerutu dari beberapa negara. Dipajang sebagai koleksi bersanding dengan koleksi cerutu produksi Kusumaatmadja Agung (69), si pemilik kafe.
Khusus cerutu buatan Agung, jangan bayangkan sebuah gulungan daun tembakau kering yang dilinting padat dan halus dengan daun Besuki itu menebar aroma khas tembakau yang “anthep” atau “berat” dan pahit  saat dibakar dan diisap. “Agung Cigar” kualitas premium dengan varian lightoriginal dan dark ini beraroma lain, seperti kopi, cokelat, vanila, dan berbagai aroma buah.
“Cerutu umumnya berasa berat dan pahit. Pengisapnya kebanyakan orang dewasa atau orang tua. Saya bikin yang ringan dengan memberi rasa yang umumnya mereka sukai,” ujar Agung sembari memperlihatkan beberapa cerutu produknya kepadaIndepeden.
Rasa yang jadi varian cerutunya juga bisa dicecap lidah si pengisap. Begitu juga dengan produk varian dari tembakau linting (rolling tobacco) dan tembakau linting (roll your own tobacco) yang dapat dinikmati dengan rasa green tea, mocca, cherry, mint hingga bubble gum. Atau rokok kretek (clove cigarette) merek Kentana dan Macona yang diracik dari beberapa jenis tembakau dan cengkeh asal Menado.
Agung memang harus bekerja keras menciptakan inovasi dalam peracikan produk olahan tembakaunya untuk merebut pasar. Terutama “pasar baru” cerutu yang menyasar anak-anak muda. Sebagai produsen cerutu, dia terbilang baru. Tapi kemampuan meracik melahirkan inovasi kreatif di tahun 2010 tekanan yang dihadapi “pemain tembakau” ini.
Sebelumnya, seperti yang dilakukan kakek dan ayahnya setengah abad lalu, Agung  hanya berjual-beli tembakau dan memasok pabrik-pabrik rokok kelas menengah dan kecil. Usahanya berkembang hingga mempunyai jaringan petani tembakau yang setiap panen siap menjual tembakau kepada dirinya.
“Terus terang hampir frustrasi. Bisnis tembakau sama sekali tidak jalan. Teman-teman juga mengeluh sama. Kalau tidak salah itu mulai tahun 2005. Baru lima tahun kemudian saya utak-atik memproduksi tembakau yang saya punya,” katanya.
Meski “pemain tembakau” kawakan, Agung mengaku nekat menjajaki pasar cerutu sebagai usaha kerasnya berinovasi menyasar pelanggan muda. Ia menwarkan tembakau bercita rasa “ngepop” dengan variasi rasa.
Meskipun lebih banyak berjual-beli tembakau, Agung punya kemampuan meracik rokok yang didapat dari leluhurnya. Kalau ayah dan kakeknya lebih banyak memakai bumbu dan rempah sebagai saus rokok, Agung memodifikasinya dengan aneka varian buah. Seperti tembakau berasa buah yang terbilang unik ini.  “Saya ambil stroberi yang paling bagus dari Lembang, Bandung karena stroberi sana berasa manis. Saya ekstrak dengan cara tradisional, dipotong, dikukus, diperas, dan diambil air sari buahnya.”
Agung juga berinovasi dalam kemasan bungkusan yang cenderung berwarna pastel, warna yang menurutnya disukai anak muda. Tak hanya itu, dia juga membuat cerutu kecil yang disebutnya mini-cigar dalam kemasan satu bungkus berisi lima dan dua.
Bagaimanapun juga, kreativitas tersebut menyelamatkan Agung dari rasa frustrasi untuk alih profesi. Inovasi yang dikembangkan dalam produk cerutu, tingwe, dan tembakau cangklongnya telah menuai hasil. Lebih-lebih, proyeksi pasarnya terpenuhi. Kafenya hampir setiap malam, anak-anak muda berkumpul menikmati tembakau khas dari Agung.

Taru Martani Bangkit dari Keterpurukan
Apa yang dialami Agung boleh disebut tak seberat yang dialami Taru Martani, pabrik cerutu legendaris di masanya yang berlokasi di Baciro, Yogyakarta. Perusahaan cerutu milik Pemerintah Daerah (Pemda) Yogyakarta ini bahkan hampir gulung tikar.
Taru Matani yang berdiri sejak 1918 itu dihantam badai krisis keuangan. Bahkan performa perusahaan dinilai meragukan sehingga tidak layak mendapat pinjaman untuk membayar cukai. Tanpa cukai, Tara Martani tidak bisa menjual produknya.
“Kami nekat menelepon distributor dan memberi diskon dengan harga cukai lama. Meski menjanjikan produk yang belum diproduksi akhirnya dapat dana segar dari distributor dan dipakai untuk bayar cukai agar bisa berproduksi,” kata Slamet, Kepala Bagian Keuangan TM PT Taru Martani.
Kesulitan keuangan itu terjadi selepas Yogyakarta mengalami gempa tahun 2004. Banyak piutang tak bisa ditarik dan utang perusahaan tak terbayar. Bahkan, pada tahun 2013, Pemda Yogyakarta membantu beban utang yang ditanggung perusahaan.
Dalam terpaan krisis, muncul gagasan inovatif di tahun 2010 dengan menciptakan tembakau iris baru pengganti dua jenis tembakau impor yang tak mampu dibeli. Yakni Mundi Victor pengganti Van Nelle dan Violin pengganti Drum. Tembakau iris ini melengkapi varian cerutu lokal milik Taru Martani seperti merek Mundi Victor,Senator, Adipati Corona, Ramayana Corona dan varian produk ekspor Long Filler.
Untuk bangkit dari keterpurukan, Taru Martani melakukan segmentasi pasar dengan pembedaan cita rasa. Tembakau iris Mundi Victor untuk segmen kelas, sedangkanCountry Man untuk kelas menengah, dan Violin untuk target pasar anak muda.
Tembakau iris ini mempunyai pasar terbesar di Sumatra, Jawa, Bali dan Kalimantan. Taru Martani juga membuat sendiri cerutu flavour untuk mengetatkan biaya produksi. “Buat sendiri ternyata jauh lebih murah,” kata Slamet dengan tersenyum.
Dari Laporan Keuangan Taru Martani menyebutkan, penjualan produk cerutu sebelumnya berada di titik terendah antara tahun 2006-2009. Kejayaan Taru Martani yang dikenal dengan ekpor cerutu ke mancanegara hingga 70 persen dari total poduksi harus beralih pada pasar lokal. Sebabnya penjualan cerutu ekspor dalam 10 tahun terakhir kurang menggembirakan.
Di tahun 2006 penjualan cerutu ekspor mencapai Rp1,19 miliar dan mengalami titik terendah di tahun 2012 yang hanya menghasilkan Rp649 juta. Angka penjualan tertinggi ada di tahun 2009 sebesar Rp4,73 miliar dan tahun 2013 sebesar Rp3,59 miliar. Tahun 2016 hanya mampu menghasilkan Rp601 juta. Penjualan cerutu lokal stagnan dengan kisaran Rp 2 miliar- Rp2,68 miliar.
Produk tembakau iris Mundi Victor mampu mengangkat penjualan hingga Rp3,28 miliar, dan tahun 2016 mencapai Rp7,61 miliar. Sedangkan penjualan Country mancenderung stagnan. Tapi di tahun 2016 nilai penjualan tercatat naik menjadi Rp5,19 miliar dari tahun sebelumnya senilai Rp3,834 miliar. Sedangkan Violin dari tahun 2010 sebesar Rp139 juta menjadi Rp 953 juta di tahun 2016.
Ya, beberapa strategi Taru Martani memang berhasil membuat perusahaan cerutu itu tetap berproduksi. Laba perusahaan meningkat meski tidak cukup signifikan. Setidaknya perusahaan ini bisa bangkit dari titik terendah pada 2012. Laba perusahaan hanya hanya Rp16 juta dengan kontribusi pendapatan asli daerah Rp9 juta. Laba terus meningkat hingga di tahun 2016 menjadi Rp2,03 miliar dan mampu menyumbang pada kas daerah sebesar Rp1,01 miliar.
Slamet mengatakan ketika ramai kampanye antirokok dan Taru Martani terpuruk. DPRD pun mengusulkan menutup perusahaan karena tidak untung. Tapi perusahaan ini bertahan dan bangkit. “Setidaknya bisa nguripi (menghidupi) pekerja dan menghindari PHK. Berat karena harus memikirkan setoran ke pemda dan biaya cukai yang setiap tahun naik,” katanya.

Noni Arnee

http://independen.id/read/khusus/386/jurus-sakti-bernama-inovasi/